Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian

AGROTECHNO

Volume 2, Nomor 1, April 2017

ISSN: 2503-0523 ■ e-ISSN: 2548-8023

Perbandingan Hidrolisis Enzimatik Bahan Jerami Padi dengan Metode Perlakuan Menggunakan Autoclave dan Microwave

Comparison of Enzymatic Hydrolysis of Rice Straw Pretreated Using Autoclave and Microwave Methods

Poppy Diana Sari

Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Islam Majapahit

Email: [email protected]

Info Artikel

Diserahkan: 29 Februari 2017

Diterima dengan revisi: 15 Maret 2017

Disetujui: 30 April 2017

Abstrak

Enzim selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma reesei dan Aspergillus niger memiliki aktivitas yang berbeda. Hidrolisis enzimatik menggunakan enzim selulase tersebut secara terpisah akan menghasilkan glukosa yang sedikit, namun ketika kedua enzim sellulase tersebut dikombinasikan maka akan menghasilkan glukosa yang lebih banyak. Hasil glukosa tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas enzim, namun juga volume dari glukosa yang di hidrolisis. Pada bahan lignoselulosa, delignifikasi sangat berpengaruh terhadap volume glukosa yang dihasilkan. Proses hidrolisis dilakukan dengan dua tahap, yaitu pretreatment dan hidrolisis itu sendiri. Tahap pertama adalah pretreatment bubuk jerami padi dengan menggunakan autoclave, dan pretreatment bubuk jerami padi dengan menggunakan microwave. Tahap kedua adalah tahap hidrolisis dengan 2 variabe perlakuan, pertama adalah perbandingan kadar enzim selulase dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebanyak 1:0, 0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 dan 3:1 (unit/unit), yang kedua adalah waktu hidrolisis itu sendiri, observasi dilakukan setiap 8 jam sekali selama 72 jam. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil glukosa tertinggi adalah 277 mg/ml dengan menggunakan bubuk jerami padi yang telah di delignifikasi menggunakan microwave selama 48 jam dengan perpaduan enzim selulase dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebanyak 3:1 dengan aktivitas enzim sebesar 2,630 IU/ml.

Kata Kunci: Jerami, delignifikasi, hidrolisis, microwave dan glukosa

Abstract

Cellulose enzymes produced by Trichoderma reesei and Aspergillus niger have different activities. Enzymatic hydrolysis using the cellulose enzyme separately produces a little amount of glucose, otherwise, it produces more glucose when two enzymes cellulose are combined. The results of glucose are not only influenced by enzymatic activity, but also the volume of glucose in the hydrolysis. In lignocellulosic materials, delignification greatly affects the volume of glucose produced. Hydrolysis process was done by two stages, namely pretreatment, and hydrolysis itself. The first stage was pretreatment of rice straw powder using an autoclave, and pretreatment of rice straw powder using a microwave. The second stage was the hydrolysis stage with 2 treatment variable, first was the ratio of cellulose enzyme from Trichoderma reesei and Aspergillus niger in 7 level, namely 1:0, 0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 and 3:1 (unit/unit), the second was the hydrolysis time itself. The observation was done every 8 hours for 72 hours. The results showed that the highest glucose yield was 277 mg/ml using a rice straw powder that had been delignified using microwave for 48 hours with a 3:1 cellulose enzyme blend of Trichoderma reesei and Aspergillus niger with enzyme activity of 2,630 IU/Ml.

Keywords: Straw, delignification, hydrolysis, microwave and glucose.

PENDAHULUAN

Harga bahan bakar minyak yang terus meningkat dan cadangan minyak dunia yang makin terbatas telah mendorong upaya untuk mendapatkan bahan bakar alternative. Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Bahan bakar berbasis produk proses biologi seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak atau tidak dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes atau mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat (gula, pati, selulosa, dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak atau tidak dapat dikonsumsi, sebagai contoh bagas tebu ataupun jerami padi. Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan ber sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum

manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete), bahan berpati (seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain-lain), dan bahan berserat selulosa atau lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, terdapat bahan berlignoselulosa sebagai bahan yang jarang digunakan karena cukup sulit dilakukan penguraiannya menjadi bioetanol. Ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol sehingga lebih sukar diuraikan dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa dan jumlahnya sedikit (Khairani, 2007). Bahan berlignoselilosa dapat diubah menjadi glukosa melalui beberapa tahap, antara lain delignifikasi yang dilakukan untuk menghancurkan lignin yang mengikat selulosa, kemudian setelah kandungan selulosa keluar dilakukan hidrolisis untuk mengubah selulosa menjadi glukosa. Dalam penelitian ini, bahan dasar yang digunakan adalah jerami padi. Jerami merupakan salah satu limbah pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini jerami padi digunakan untuk pakan ternak dan media tumbuh jamur. Meskipun demikian jerami masih berlimpah dan terkadang harus dibakar. Indonesia menghasilkan 180 juta ton jerami padi pertahun (Sabiham dan Mulyanto, 2005). Selulosa dalam jerami padi dapat dihidrolisis sehingga menghasilkan glukosa yang dapat difermentasi lebih lanjut menjadi biofuel. Hidrolisis jerami padi dapat dilakukan secara kimiawi (Xiang dkk., 2003), secara enzimatis (Dewi, 2002; de Vrije dkk., 2002) maupun menggunakan mikroorganisme penghasil selulase (Aderemi dkk., 2008). Dengan adanya lapisan lignin yang menyelimuti selulosa, maka dilakukan pretreatment atau delignifikasi. Agar dapat mengolah selulosa dan mengubahnya menjadi glukosa, selulosa harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan merusak jaringan lignin, sehingga selulosa dapat keluar dan dapat dengan mudah diolah menjadi glukosa. Ingram dan Doran (1995) menyatakan bahwa selulosa dan

hemiselulosa tidak dapat dikonversi secara langsung karena berasosiasi dengan lignin. Proses yang dilakukan untuk mengeluarkan selulosa dari lignin adalah dengan proses delignifikasi. Menurut Fridia (1989), proses delignifikasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku sehingga mempermudah pelepasan hemiselulosa. Proses ini berfungsi untuk membersihkan lignin. Berbagai perlakuan pendahuluan atau delignifikasi dapat dilakukan seperti fisik (penggilingan, pemanasan dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan kimia (pelarut, larutan pengembang, gas SO2). Foody et al., (1999) menyatakan bahwa perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan antara perlakuan fisik dan kimia. Perlakuan fisik seperti penggilingan, tekanan, pengepresan dan sebagainya sedangkan kimia seperti penggunaan panas, pelarut dan asam. Dalam penelitian ini perlakuan delignifikasi merupakan salah satu variable perlakuan yang diberikan, yaitu delignifikasi secara konvensional dengan menggunakan autoclave dan delignifikasi dengan menggunakan microwave. Iradiasi gelombang mikro merupakan metode yang memiliki efisiensi pemanasan yang tinggi, pengoperasian yang mudah untuk mengubah ultra struktur selulosa, mendegradasi hemiselulosa dan lignin, meningkatkan kerentanan enzimatik, serta meningkatkan hidrolisa enzimatik pada bahan lignoselulosa dengan adanya air (Parameswaran et al, 2012). Absorpsi gelombang mikro akan meningkatkan suhu yang sangat cepat pada lignoselulosa. Pemanasan gelombang mikro yang meningkat pada bahan dapat mengubah energi elektromagnetik menjadi panas. Efek panas berasal dari medan listrik gelombang mikro yang memaksa dipol ber-putar dan ion untuk berpindah dari respon lambat mengikuti medan listrik yang cepat, hal ini mengakibatkan efek ledakan fisik pada mikrofiber, yang menyebabkan disintegrasi struktur lignin (Rachmawati et al, 2013). Setelah dilakukan delignifikasi, kemudian dilakukan hidrolisis terhadap bubuk jerami padi hasil delignifikasi

dengan menambahkan perpaduan atau kombinasi enzim selulase dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger. Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O) menjadi kation hydrogen (H+) dan anion hidroksida (OH-) melalui suatu proses kimia. Proses ini digunakan untuk memecah polimer tertentu, terutama yang dibuat melalui polimerisasi tumbuh bertahap (step-growth polymerization). Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan enzim selulase (Vrije dkk., 2002; Raghavendra dkk., 2007) maupun mikroorganisme selobiosa glukosa penghasil selulase (Aderemi dkk., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran partikel. Hidrolisis enzimatik lebih menarik jika dipandang dari penggunaan energi karena dapat dilangsungkan pada suhu rendah (de Vrije dkk., 2002). Hidrolisis selulosa terdiri dari dua tahap, yaitu degradasi selulosa menjadi selobiosa oleh endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4 glukanase kemudian dilanjutkan dengan pemecahan selobiosa oleh β-1,4 glukosidase. Kebanyakan sistem selulase yang dihasilkan oleh jamur selulotik, jumlah β-glukosidasenya kurang dari yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz dkk., 2003; Martins dkk., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008). Selobiosa merupakan inhibitor kuat terhadap endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanase mendegradasi selulosa. Trichoderma reesei mampu menghasilkan endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanase sampai 80% (Muthuvelayudham dan Viruthagiri, 2006), tetapi β-glukosidasenya rendah (Martins dkk., 2008) sedangkan Aspergillus niger dapat menghasilkan β-glukosidanse tinggi tetapi endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanasenya rendah. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sehingga dapat menghasilkan endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-glukosidase tinggi.

Bahan dan Metode

Adapun bahan-bahan yang digunakan antara lain jerami padi, enzim selulase dari Trichoderma reesei, enzim selulase dari Aspergillus niger, NaOH, larutan buffer, reagen DNS dan aquades. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain diskmill, erlenmeyer, autoclave, microwave, waterbath shaker dan spektrofotometer. Dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap, antara lain persiapan bahan, delignifikasi dan hidrolisis. Pada tahap persiapan bahan baku, jerami padi dipotong-potong kemudian di jemur hingga kering. Kemudian jerami dihancurkan dengan menggunakan diskmill. Setelah hancur kemudian di ayak untuk mendapatkan bubuk jerami padi dengan menggunakan ayakan berukuran 100 mesh. Setelah diperoleh bubuk jerami padi 100 mesh, kemudian bubuk jerami padi dibagi menjadi 2 untuk dilanjutkan pada tahap delignifikasi. Pada tahap delignifikasi, terdapat 2 perlakuan yaitu delignifikasi konvensional dengan menggunakan autoclave, dan delignifikasi dengan menggunakan microwave. Delignifikasi dengan menggunakan autoclave dilakukan dengan menambahkan NaOH 0,5 N pada jerami padi berukuran 100 mesh dengan perbandingan 1 : 10 (Jerami : NaOH) kemudian dimasukkan kedalam autoclave dengan tekanan 304,50 Kpa dalam waktu 60 menit. Sludge kemudian di oven selama 24 jam pada suhu 105°C (Rokhmah, 2011). Bubuk jerami hasil pengeringan inilah yang dipakai dalam proses hidrolisis enzimatik (bubuk jerami hasil delignifikasi konvensional). Delignifikasi dengan menggunakan microwave dilakukan mengacu penelitian yang telah dilakukan oleh Sri Winarsih (2016), bahwa kondisi terbaik dalam delignifikasi menggunakan microwave adalah dengan menambahkan NaOH 0,5 N pada jerami padi berukuran 100 mesh dengan perbandingann 1 : 10 (Jerami : NaOH) dan dipanaskan selama 40 menit dalam microwave. Setelah delignifikasi, kemudian sludge dicuci dengan air hingga

diperoleh pH netral kemudian dikeringkan pada suhu 50 oC hingga diperoleh bubuk jerami padi hasil delignifikasi microwave dengan ukuran 100 mesh. Bubuk – bubuk jerami padi yang telah di delignifikasi kemudian dihidrolisis dengan menggunakan kombinasi enzim selulase sesuai dengan variable perlakuan yaitu perbandingan enzim selulase dari Trichoderma reesei : enzim selulase dari Aspergillus niger sebanyak 1:0, 0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 dan 3:1 (unit/unit) dengan masing-masing 3 kali pengulangan. Proses hidrolisis dilakukan selama 72 jam dengan suhu 50°C dan kecepatan pengadukan 75 rpm (El-Zaher et al., 2010). Pengamatan kadar glukosa dilakukan setiap 8 jam sekali. Jerami padi yang telah mengalami proses delignifikasi, diseragamkan dengan ukuran 100 mesh dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan larutan buffer dengan pH larutan yang telah ditentukan sehingga larutan menjadi 100 ml dengan perbandingan volume enzim selulase dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sesuai perlakuan. Dimasukkan kedalam waterbath shaker selama 72 jam untuk hidrolisis.

Hasil dan diskusi

Metode hidrolisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hidrolisis secara enzimatik dengan memanfaatkan enzim selulase sebagai katalisnya. Pemilihan metode hidrolisis enzimatik ini berdasarkan pada kondisi operasi yang lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan metode hidrolisis dengan menggunakan asam. Enzim selulase yang digunakan pada tahap hidrolisis adalah enzim selulase yang baru, dibuat dengan mengacu pada kondisi optimal produksi enzim selulase dari tahap 1 dan 2. Namun pH yang digunakan adalah pH 5.5, hal tersebut dikarenakan penggunaan pH 5.2 dan pH 5.5 tidak berbeda nyata sehingga dapat diambil pH yang lebih mudah diproduksi. Aktivitas enzim selulase dari Trichoderma reesei adalah dilakukan perpaduan sesuai

sebesar 2.44 IU/ml sedangkan selulase kemudian dengan perlakuan (T : A) yaitu 1 : 0, 0 : 1, 1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 2 : 1 dan 3 : 1.

Setelah dilakukan uji aktivitas enzim pada masing-masing enzim tersebut kemudian

Dari perpaduan aktivitas enzim selulase dari Aspergillus niger adalah sebesar 2.21 IU/ml.

diperoleh aktivitas enzim seperti pada table di bawah ini:

Tabel 1.

Aktivitas enzim selulase.

Perpaduan Enzim Selulase

Trichoderma reesei             Aspergillus niger

Aktivitas Enzim (IU/ml)

1

0

0

1

1

1

1

2

1

3

2

1

3

1


2.440

2.210

1.332

1.437

1.758

1.792

2.630


Sumber: Data hasil penelitian

Enzim selulase yang dihasilkan digunakan untuk tahap hidrolisis enzimatik sesuai dengan variable perlakuan dan metode yang ada. Hidrolisis dilakukan selama 72 jam dan pengamatan

dilakukan setiap 8 jam sekali. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil seperti pada table di bawah ini:

Tabel 2.

Glukosa hasil hidrolisis.

Delignifikasi

Perpaduan enzim (T : A)

Aktivitas enzim (IU / ml)

Glukosa hasil hidrolisis (mg / ml)

1 : 0

2.440

144

0 : 1

2.210

142

1 : 1

1.332

141

Konvensional

1 : 2

1.437

159

1 : 3

1.758

164

2 : 1

1.792

176

3 : 1

2.630

187

1 : 0

2.440

152

0 : 1

2.210

149

1 : 1

1.332

157

Microwave

1 : 2

1.437

169

1 : 3

1.758

188

2 : 1

1.792

249

3 : 1

2.630

277

Sumber : Data hasil penelitian.


Hidrolisis menggunakan substrat jerami padi dengan delignifikasi konvensional (dengan menggunakan autoclave) menghasilkan glukosa tertinggi sebesar 187 mg/ml dengan penggunaan perpaduan enzim selulase 3 : 1. Sedangkan pada hidrolisis dengan menggunakan substrat jerami padi dengan delignifikasi microwave menghasilkan glukosa tertinggi sebesar 277 mg/ml. Hal tersebut dikarenakan pada saat delignifikasi, yang diperoleh oleh bubuk jerami padi tidak hanya panas, tekanan dan asam, namun juga radiasi yang membantu mempercepat penghancuran lignin. Sehingga kerusakan lapisan lignin pada delignifikasi menggunakan microwave lebih besar dibandingkan kerusakan lapisan lignin pada delignifikasi menggunakan autoclave.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulakn bahwa perolehan glukosa tertinggi adalah pada proses hidrolisis dengan menggunakan bubuk jerami padi hasil delignifikasi dengan microwave sebagai substrat. Diperoleh glukosa sebesar 277 mg/ml dengan aktivitas perpaduan enzim selulase 3 : 1 (T : A) sebesar 2.630 IU/ml.

Daftar Pustaka

Aderemi, B.O., E. Abu, B. K. Highina. 2008. The Kinetics of Glucose Production from Rice Straw by Aspergillus niger. African Journal of Biotechnology Vol. 7 (11), pp. 1745-1752.

Ahamed, A. P. dan Vermette, 2008. Culturebased Strategies to Enhance Cellulase Enzyme Production from Trichoderma reesei RUT-C30 in Bioreactor Culture Conditions. Biochemical Engineering Journal, 40, 399-407.

Dewi, H.. 2002. Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik. Akta Agrosia Vol. 5, No. 2, pp. 67 – 71.

El-Zaher, Fatma, H., A. and Fadel, M. (2010) Production of Bioethanol via Enzymatic Saccharification of Rice Straw by Cellulase Produced by Trichoderma reesei under Solid State Fermentation. New York Science Journal, 3, 72-78.

Fajar Rahmawati D.P., Bambang D.A., dan Rini Yulianingsih. 2013 Pemanfaatan Iradiasi Gelombang Mikro Untuk Memaksimalkan Proses Pretreatment Degradasi Lignin Jerami Padi (Pada Produksi Bioetanol). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. Vol. 1 No. 1. Pp. 13-20.

Foody, B., J. S. Tolan and J. D. Bernstein. 1999. Pretreatment Process for Conversion of Cellulose to Fuel Ethanol. U.S. Pat. No. 6.090.595.

Fridia, T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap      Sakarifikasi     Limbah

Lignoselulosik. Skripsi. Fateta IPB. Bogor.

Ingram, L.O. and J.B. Doran. 1995. Conversion of cellulosic materials to ethanol. FEMS Microbiology Reviews 16:235-241.

Juhasz, T., K. Kozma, Z. Szengyel, and K. Reczey. 2003. Production of βGlucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technology Biotechnology. 41 (1), pp. 49–53.

Khairani, R. 2007. Tanaman jagung sebagai bahan bio-fuel. http://www.macklintmip-

unpad.net/Bio-fuel/Jagung/Pati.pdf. Tanggal akses 15 April 2017.

Surendro,H. 2006. Biofuel. DJLPE, Jakarta.

Martins, L.F., D. Kolling, M. Camassola, A.J.P. Dillon, and L.P. Ramos. 2008. Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in Relation to Their Activity against Various Cellulosic Substrates. Bioresource Technology, 99, 1417–1424.

Muthuvelayudham, R. dan T. Viruthagiri, 2006. Fermentative Production and Kinetics of Cellulase Protein on Trichoderma reesei Using Sugarcane Bagasse and Rice Straw. African Journal of Biotechnology Vol. 5 (20), 16 October, pp. 1873-1881.

Parameswaran Binod, Karri Satyanagalakshmi, Raveendran Sindhu, Kanakambaran Usha Janu, Rajeev K. Sukumaran dan Ashok Pandey. 2012. Short duration microwave assisted pretreatment enhances the enzymatic saccharification and fermentable sugar yield from sugarcane bagasse. Elsevier. Renewable Energy 37. pp.109-116.

Q. Xiang, Y.Y. Lee, P.O. Pettersson, R.W. Torget. 2003. Heterogeneous Aspects of Acid Hydrolysis of α- Cellulose. Applied Biochemistry and Biotechnology, pp. 105– 108.

Raghavendra, R., G.S. Havnnavar, and Geeta. 2007. Pretreatment of Agroresidues for Release of Maximum Reducing Sugar. Karnataka J. Agric. Sci., 20 (4), pp. 771772.

Rokhmah, I. 2011. Pengaruh Pretreatment (Delignifikasi) Bertekanan terhadap Kandungan Bubuk Jerami Padi Giling pada Produksi Bioetanol. Skripsi. Jurusan Keteknikan Pertanian, Universitas Brawijaya - Malang.

Sabiham S. and B. Mulyanto. 2005. Biomass Utilization in Indonesia: Integration of Traditional and Modern Principles of Organic Matter Management. Paper is presented in APECATC Workshop on Biomass Utilization held in Tokyo and Tsukuba Japan, pp. 19 – 21.

Sri Winarsih, 2016. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemaparan microwave terhadap kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin tongkol jagung. Universitas Muhammadiyah Malang Research Report. Malang.

T. de Vrije, G.G. de Haas, G.B. Tan, E.R.P. Keijsers, and P.A.M. Claassen. 2002. Pretreatment of Miscanthus for hydrogen production by Thermotoga elfii. International Journal of Hydrogen Energy, Vol. 27, pp. 1381 – 1390.

Sari, Poppy Diana. 2017. Perbandingan Hidrolisis enzimatik bahan jerami padi dengan metode perlakuan menggunakan autoclave

dan microwave. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian AGROTECHNO. Vol. 2, No. 1 2017 hal 133-139.

139