Analisis Keberlanjutan Agrowisata Berbasis Masyarakat di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende
on
Jurnal Manajemen Agribisnis
Vol.11, No.2, Oktober 2023
E- ISSN: 2684-7728
Analisis Keberlanjutan Agrowisata Berbasis Masyarakat di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende
Sustainability Analysis of Community Based Agrotourism in Waturaka Village, Kelimutu District, Ende Regency
Longginus Saji*)
I Wayan Budiasa
I Dewa Putu Oka Suardi
Mahasiswa Prodi Magister Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
*)Email: sajilongginus0@gmail.com
ABSTRACT
This study was conducted with the aim of measuring the sustainability status of community based agro tourism management activities in Waturaka Village, Kelimutu District, Ende Regency. The dimensions of sustainability measured in this study are the ecological dimension, the economic dimension, and the socio-cultural dimension. This research was conducted using a quantitative method, and used a questionnaire as the instrument to collect data. The sample in this study were 95 farmers representing the overall population of 126 members of farmer groups who play a direct role in farming activities around the Waturaka agrotourism area. Sample size was determined using the Slovin technique. Research data were analyzed using the Multi Dimensional Scaling (MDS) analysis technique with RAPFISH program. The results of the MDS analysis show that the status of community based agrotourism management activities in Waturaka village is highly sustainable from the ecological and socio-cultural dimensions. While the economic dimensions it obtains quite sustainable status.
Keywords: Agrotourism, Sustainability, Multi Dimensional Scalling.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengukur status keberlanjutan dari kegiatan pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat di desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Adapun dimensi-dimensi keberlanjutan yang diukur dalam penelitian ini adalah dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif, dan menggunakan instrumen berupa kuesioner untuk mengumpulkan data. Sampel dalam penelitian ini adalah 95 orang petani yang mewakili populasi keseluruhan sebanyak 126 orang anggota kelompok tani yang berperan langsung dalam kegiatan usaha tani di sekitar kawasan agrowisata Waturaka. Ukuran sampel tersebut ditentukan dengan menggunakan teknik Slovin. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) atau analisis skala multi dimensi dengan bantuan program RAPPFISH. Hasil analisis MDS menunjukan status kegiatan pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat di desa
Waturaka adalah sangat berkelanjutan dari dimensi ekologi dan sosial budaya. Sementara dimensi ekonomi memperoleh status cukup berkelanjutan.
Kata kunci: Agrowisata, Keberlanjutan, Skala Multi Dimensi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan potensi pertanian yang dikolaborasikan dengan bidang pariwisata telah melahirkan konsep agrowisata. Konsep pengembangan agrowisata ini bertujuan untuk dapat meningkatkan atau mengoptimalkan pendapatan di bidang pertanian, yang secara langsung maupun tidak langsung akan memberi manfaat bagi masyarakat (terutama para petani). Palit, dkk (2017), menyatakan bahwa agrowisata adalah rangkaian kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi pertanian sebagai obyek wisata. Potensi pertanian yang dimaksud bisa berupa panorama alam pada kawasan pertanian, bisa juga berupa keunikan dan keragaman aktivitas produksi dan teknologi pertanian, serta budaya masyarakat yang hidup di daerah pertanian tersebut. Aridiansari, dkk (2015), juga memberikan definisi yang serupa. Menurutnya, agrowisata merupakan serangkaian kegiatan yang identik dengan suasana pedesaan, termasuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan bertani, mempelajari kebuadayaan lokal, menikmati pemandangan dan keragaman hayati, mempraktikan pertanian organik dan konvensional, serta memanen buah dan sayuran.
Adapun pengembangan agrowisata dapat dilakukan dengan menggunakan dua model seperti yang dikemukakan oleh Budiasa (2011). Kedua model pengembangan agrowisata yang dimaksud adalah pengembangan agrowisata berbasis modal (capital-based agritourism) dan pengembangan agrowisata berbasis masyarakat (community-based agritourism). Pengembangan agrowisata berbasis modal mengandalkan kemampuan modal / dana yang dimiliki oleh investor. Pengembangan berbasis modal juga didasarkan pada pertimbangan investor mengenai peluang keuntungan yang akan diperolehnya dari pengelolaan agrowisata tersebut. Kemampuan modal menjadi aspek yang sangat penting sebab seorang investor perlu menyediakan lahan minimal seluas 1,5 atau 2.0 ha, juga menyediakan infrastruktur serta fasilitas dasar agrowisata agar dapat membangun sebuah pusat agrowisata. Sementara model pengembangan agrowisata yang berbasis masyarakat dicirikan dengan adanya organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat itu sendiri. Melalui organisasi tersebut masyarakat akan menghasilkan suatu kesepakatan bersama mengenai berbagai aturan, serta pembagian tugas dan wewenang terkait pengelolaan bisnis agrowisata yang dijalankan. Dalam pengembangan agrowisata berbasis masyarakat, status kepemilikan lahan usahatani tetap menjadi hak masing-masing petani secara perorangan. Namun bisa juga asset tersebut diserahkan kepada kelompok pengelola / pihak manajemen yang sudah mereka tentukan secara bersama-sama, dengan catatan bahwa keuntungan yang diperoleh dari aktivitas agrowisata tersebut akan dibagi secara proporsional sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan agrowisata misalnya dari karcis / tiket masuk (enterance fee), penjualan atraksi, penyewaan homestay, penyediaan fasilitas makanan dan minuman seperti breakfast, lunch, dan dinner, serta penjualan produk agroturistik lainnya. Keuntungan
tersebut akan diakumulasikan dan dibagi secara proporsional sehingga dapat menambah pendapatan usahatani perorangan. Sementara itu, penyediaan infrastruktur dan fasilitas dasar pengembangan pusat agrowisata, akan dibangun dengan menggunakan asset modal bersama.
Berdasarkan model pengembangan agrowisata yang dikemukakan oleh Budiasa (2011), maka pengembangan yang berbasis masyarakat merupakan model yang paling tepat untuk diterapkan oleh masyarakat petani di wilayah pedesaan. Pengembangan agrowisata yang dimulai atas dasar kesadaran dan inisiatif dari masyarakat itu sendiri akan menimbulkan manfaat yang lebih besar pula bagi mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Yoeti dalam Krisnawati (2018) yang menyatakan bahwa dalam perencanaan dan pengembangan agrowisata di daerah pedesaan, hendaknya masyarakat menjadi pelaku utama. Inisiatif harus datang dari masyarakat itu sendiri, dan kemudian diberikan pembinaan / pendampingan oleh kalangan atas. Dengan demikian, pengembangan agrowisata pada suatu kawasan dapat berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan pengentasan kemiskinan. Nurhidayati, (2015) juga menambahkan bahwa pengembangan agrowisata dengan pendekatan Community Based Tourism (CBT) merupakan alternatif untuk pengembangan potensi pertanian lokal, meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat lokal, serta menjamin keberlanjutannya, karena menempatkan masyarakat sebagai subyek pengembangan pariwisata, bukan sebagai obyek.
Sebagai salah satu sektor pembangunan dan penggerak roda perekonomian, pariwisata tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional (Arafah, 2015). Peraturan Menteri Pariwisata No. 14 tahun 2016, menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan. Demikian pula yang dinyatakan oleh World Tourism Organization (UNWTO) bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, menangani kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat lokal. Prinsip keberlanjutan mengacu pada aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk menjamin keberlanjutan jangka panjangnya, maka pengembangan pariwisata harus memperhatikan keseimbangan antara ketiga dimensi tersebut.
Desa Waturaka merupakan salah satu desa penyangga kawasan wisata danau Kelimutu, yang terletak di kecamatan Kelimutu kabupaten Ende. Wilayah kecamatan Kelimutu termasuk desa Waturaka telah mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Daerah Kabupaten Ende untuk program pengelolaan agrowisata. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) Kabupaten Ende tahun 2014; hal. 3637, dicantumkan bahwa Kecamatan Kelimutu masuk dalam klaster 1 pengembangan wilayah pariwisata Kabupaten Ende, yang tercakup dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Kelimutu dan sekitarnya dengan program unggulannya berupa pengembangan daya tarik wisata buatan yaitu agrowisata. Program ini bertujuan untuk mensukseskan visi misi yang diemban oleh pemerintah daerah Kabupaten Ende, salah satunya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal (RIPPARDA Kabupaten Ende Tahun 2014, hal. 27-29). Dalam menjalankan program tersebut, masyarakat sekitar dilibatkan dalam setiap prosesnya.
Sejak program pengembangan agrowisata dicanangkan pada tahun 2014 masyarakat desa Waturaka selalu berperan aktif. Mereka menerapkan model pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat. Masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk mengelola lahannya dengan kegiatan usaha tani sesuai yang diinginkan. Masyarakat juga memiliki hak penuh atas pendapatan yang diperoleh dari hasil kegiatan usaha taninya. Kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka sudah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak tahun 2014. Secara tidak langsung hal ini menunjukan bahwa masyarakat sudah merasakan manfaat dari kegiatan pengelolaan agrowisata yang mereka jalankan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diperhatikan aspek keberlanjutan dari kegiatan pengelolaan agrowisata tersebut, sehingga lingkungan alam maupun sosial budayanya dapat tetap terpelihara dengan baik hingga generasi-generasi selanjutnya. Dengan dimikian manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat saat ini tapi juga tetap bisa dirasakan oleh generasi penerus pada masa-masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dikaji dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial budaya dalam pengelolaan agrowisata tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur status keberlanjutan kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka dari ketiga dimensi tersebut beserta atribut-atribut pengungkitnya. Hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi semua pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan yang tepat dalam program-program lanjutan yang berkaitan dengan pengembangan agrowisata berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini antaralain: (1) Menganalisis potensi agrowisata di kawasan Gunung Kelimutu, Kabupaten Ende. (2) Menganalisis persepsi masyarakat setempat mengenai pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Kelimutu Kabupaten Ende. (3) Menganalisis partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat di kawasan gunung Kelimutu kabupaten Ende. (4) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan agrowisata berbasis masyarakat di kawasan Gunung Kelimutu Kabupaten Ende.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan melakukan analisis statistik untuk mengetahui secara jelas dan terukur status keberlanjutan dari kegiatan pengelolaan agrowisata. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kelimutu – Kabupaten Ende, khususnya di kawasan agrowisata Waturaka. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 95 orang petani yang mewakili populasi sebanyak 126 anggota kelompok tani di desa Waturaka. Ukuran sampel tersebut ditentukan dengan rumus Slovin (yang dikutip dari Imran, 2017), yaitu:
N n N.d2 + 1
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d² = taraf signifikansi yang diinginkan
Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% (0.05) atau dengan kata lain taraf kepercayaan yang diinginkan adalah 95%, dengan populasi berjumlah 126, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan adalah:
n _ 126 _ 126 _ 126 _ 126 _
126.(0.05)2+1 126.(0.0025) + 1 0.315+1 1.315 .
Dengan demikian, jumlah sampelnya adalah 95 orang. Jumlah sampel tersebut sudah memenuhi syarat ukuran sampel yang diajukan oleh Roscoe dalam Sugiyono (2016), dimana jumlah sampel yang dianggap layak untuk sebuah penelitian adalah sekurang-kurangnya sebanyak 30 orang hingga 500 orang.
Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa kuesioner. Sebelum disebarkan, kuesioner diuji kelayakannya terlebih dahulu. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan terhadap 30 responden pra penelitian. Mereka diminta untuk memberikan penilaian (skor) terhadap setiap item indikator dalam kuesioner. Menurut Sugiyono (2016), uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r-hitung dan nilai r-tabel korelasi product moment. Nilai r tabel korelasi product moment untuk jumlah sampel sebanyak 30, dengan taraf kesalahan 5% adalah 0,361. Oleh karena itu, nilai r-hitung harus lebih besar dari 0,361 agar memenuhi kriteria valid. Sementara untuk mengetahui kehandalan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, dilakukan uji reliabilitas dengan membandingkan nilai Cronbach Alpha (α). Apabila nilai α yang diperoleh lebih besar dari 0,70, maka kuesioner tersebut dianggap handal atau reliabel (Ghozali, 2017).
Selanjutnya, untuk mengukur status keberlanjutan dari masing-masing dimensi digunakan teknik analisis Multi dimensional scalling (MDS). Analisis MDS merupakan teknik analisis statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah (Suryana dkk., 2012; Mahida dkk., 2019). MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan software RAPFISH atau SPSS (Hasdi dkk., 2015). Menurut Fauzi dan Anna (2005), terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam teknik MDS, antara lain, yang pertama ; menetapkan atribut-atribut dari setiap dimensi keberlanjutan, yang kedua ; memberikan skor pada masing-masing atribut, dan yang ketiga ; adalah melakukan analisis multi dimensional untuk menentukan status keberlanjutan pada setiap dimensi, dengan mengacu pada skala indeks keberlanjutan yang dihasilkan dari analisis tersebut. Adapun skala indeks keberlanjutan yang akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan status keberlanjutan, secara lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Skala indeks keberlanjutan
Skala Indeks |
Status Keberlanjutan |
0,00– 25,00 |
Buruk / tidak berkelanjutan |
25,01 – 50,00 |
Kurang berkelanjutan |
50,01 – 75,00 |
Cukup berkelanjutan |
75,01 - 100 |
Baik / sangat berkelanjutan |
Sumber Acuan: Hasim, dkk. (2012)
Skala indeks keberlanjutan yang telah diperoleh melalui analisis MDS perlu didukung juga dengan beberapa analisis penting lainnya; yaitu, analisis Monte Carlo, analisis nilai
stress dan nilai koefisien determinasi (R²), serta analisis Laverage. Analisis Monte Carlo bertujuan untuk mengukur sensitivitas / mengukur tingkat keakuratan dari hasil analisis MDS. Selisih antara MDS dan Monte Carlo menunjukan tingkat kepercayaan terhadap output yang dihasilkan oleh MDS. Output MDS akan memiliki tingkat kepercayaan > 90% apabila selisih antara MDS dan Monte Carlo < 1. Sementara untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R²), berfungsi untuk mengetahui apakah output MDS tersebut sudah cukup baik dalam merepresentasikan / mewakili variabel – variabel yang dibahas. Nilai stress dikatakan baik apabila nilainya < 0,25 sedangkan koefisien determinasi (R²) dikatakan baik apabila nilainya mendekati 1. Selanjutnya, analisis laverage berfungsi untuk menunjukan variabel mana yang paling berpengaruh / memiliki daya ungkit paling tinggi terhadap skala indeks yang diperoleh, ditunjukan dengan nilai RMS tertinggi (Root Mean Square) atau akar dari nilai rata-rata yang dikuadratkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Setelah melakukan analisis MDS terhadap sepuluh (10) atribut dimensi ekologi berdasarkan skor / nilai yang diberikan oleh responden, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 78,48. Nilai indeks tersebut menunjukan bahwa kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka berpotensi sangat berkelanjutan secara ekologi. Setelah dilakukan uji Monte Carlo dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai sebesar 77,49. Selisih antara nilai indeks MDS dan Monte Carlo adalah 0,99. Hasil analisis juga menunjukan nilai stress sebesar 0,23 dan nilai R² sebesar 0.94. Dengan demikian semua atribut dimensi ekologi yang dikaji dalam penelitian ini beserta hasil analisisnya adalah akurat dan dapat dipercaya.
Gambar 1. Posisi status keberlanjutan dimensi ekologi dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis RAPFISH
Gambar 2. Posisi status keberlanjutan dimensi ekologi dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis MONTE CARLO
Selanjutnya dilakukan analisis Leverage untuk melihat atribut-atribut dimensi ekologi yang paling sensitif atau atribut pengungkit terhadap keberlanjutan kegiatan pengelolaan agrowisata yang ditunjukan dengan nilai RMS (Root Mean Square) atau akar dari nilai rata-rata yang dikuadratkan. Atribut-atribut yang memiliki nilai RMS tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif atau atribut pengungkit dari dimensi yang diukur. Berikut adalah hasil analisis Leverage dimensi ekologi.
Leverage of Attributes
Gambar 3. Hasil analisis LEVERAGE dimensi ekologi
Berdasarkan hasil analisis leverage yang tertera pada Gambar 3.3, dapat dilihat bahwa atribut pengungkit dalam dimensi ekologi terhadap keberlanjutan agrowisata di desa Waturaka adalah; 1) kelestarian ekosistem di kawasan, 2) kualitas tanah, air dan udara, 3) minimalisir penggunaan bahan kimia, 4) cuaca dan iklim sekitar, 5) ketersediaan sumber daya air.
Berdasarkan analisis Multi Dimensional Scalling (MDS) yang dilakukan, telah diperoleh hasil bahwa kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka memiliki status sangat berkelanjutan secara ekologi. Pengelolaan agrowisata di Waturaka sangat didukung dengan keadaan lingkungan alamnya. Status sangat berkelanjutan yang telah diperoleh
berdasarkan hasil analisis memang sesuai dengan fakta-fakta serta informasi-informasi yang peneliti dapatkan di lapangan. Keadaan lingkungan sekitarnya masih sangat asri dan alami, belum ada alih fungsi lahan untuk pembangunan gedung-gedung bertingkat atau lainnya. Status sangat berkelanjutan menunjukan bahwa secara ekologi pengelolaan agrowisata Waturaka masih sangat berpotensi untuk dikembangkan. Kegiatan pengelolaan agrowisata di Waturaka dapat terus berlangsung hingga generasi berikutnya asalkan masyarakat tetap menjaga dan melestarikan alam sekitarnya. Hasil analisis Laverage dimensi ekologi juga memperlihatkan kelima atribut pengungkit yang paling berperan dalam menghasilkan status sangat berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa kelima atribut tersebut harus tetap dipertahankan agar pengelolaan agrowisata di Waturaka tetap berkelanjutan hingga generasi-generasi selanjutnya.
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Hasil analisis MDS terhadap dimensi ekonomi menunjukan nilai indeks keberlanjutan sebesar 71,95. Nilai indeks yang diperoleh menunjukan bahwa status kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka adalah cukup berkelanjutan secara ekonomi. Uji Monte Carlo menunjukan perolehan nilai sebesar 71,09. Dengan demikian hasil analisis tersebut memiliki keakuratan dan dapat dipercaya karena nilai selisih antara MDS dan Monte Carlo < 1 yaitu sebesar 0,86. Juga didukung dengan perolehan nilai stress sebesar 0,22 serta nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,90.
RAPFISH Ordination
Gambar 4. Posisi status keberlanjutan dimensi ekonomi dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis RAPFISH
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval ErrorBars)
Gambar 5. Posisi status keberlanjutan dimensi ekonomi dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis MONTE CARLO
Kemudian dilakukan analisis Leverage terhadap sepuluh (10) atribut dimensi ekonomi, untuk mengetahui atribut pengungkitnya berdasarkan nilai RMS tertinggi. Berikut hasil analisis leverage dimensi ekonomi.
Leverage OfAttributes
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale O to 100}
Gambar 6. Atribut pengungkit dimensi ekonomi
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui atribut pengungkit dimensi ekonomi bagi keberlanjutan kegiatan pengelolaan agrowisata, diantaranya adalah; 1) perluasan kesempatan kerja, 2) peningkatan keuntungan, 3) terbukanya peluang usaha bagi masyarakat setempat, 4) mendorong berkembangnya usaha-usaha lokal yang sudah ada, 5) perluasan ruang lingkup pemasaran produk pertanian.
Hasil analisis MDS dimensi ekonomi menunjukan status pengelolaan agrowisata di Waturaka adalah cukup berkelanjutan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dimensi ekonomi sudah cukup baik dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan agrowisata, namun ada aspek-aspek yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan kelima atribut pengungkit yang telah diperoleh berdasarkan analisis leverage. Jika kelima atribut tersebut ditingkatkan, maka status keberlanjutannya akan meningkat pula. Semakin besar manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat
setempat maka semakin besar pula peluang kegiatan pengelolaan agrowisata tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan. Sebaliknya, jika manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat semakin berkurang, maka akan berkurang pula potensi keberlanjutan dari kegiatan pengelolaan agrowisata tersebut.
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya
Hasil analisis MDS terhadap dimensi sosial budaya menunjukan nilai indeks keberlanjutan sebesar 76,18. Perolehan nilai indeks ini menunjukan bahwa kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka memiliki status sangat berkelanjutan secara sosial budaya. Uji Monte Carlo menunjukan perolehan nilai sebesar 75,19. Dengan demikian hasil analisis tersebut memiliki keakuratan dan dapat dipercaya karena nilai selisih antara MDS dan Monte Carlo < 1 yaitu sebesar 0,99. Juga didukung dengan perolehan nilai stress sebesar 0,23 serta nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,92.
Gambar 7. Posisi status keberlanjutan dimensi sosial budaya dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis RAPFISH
Rapfish Ordination Monte Carlo (IVlodian with 95%Confidence Interval Error Bars)
Gambar 8. Posisi status keberlanjutan dimensi sosial budaya dalam kegiatan pengelolaan agrowisata di Desa Waturaka berdasarkan analisis MONTE CARLO
Selanjutnya, dicari atribut-atribut pengungkit dari dimensi sosial budaya atau atribut yang paling sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka dengan melakukan analisis Laverage. Atribut pengungkit ditentukan berdasarkan nilai RMS tertinggi. Berikut adalah hasil dari analisis Laverage dimensi sosial budaya.
Leverage of Attributes
Kegiatan Agrowisata menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan lintas budaya

Kegiatan agrowisata menumbuhkan rasa cinta kaum muda pada bidang pertanian
Keglatan pertanian sudah menjadi budaya masyarakat secara turun temurun
Pengalaman masyarakat dalam kegiatan bertani
Hubungan yang harmonis dalam hidup bermasyarakat
Maslh kuatnya budaya gotong royong dalam masyarakat
Kepatuhan pada kearifan lokal
Pertanian sebagai matapencaharian masyarakat setempat
Keterlibatan dalam pengelolaan agrowisata
Kesadaran akan manfaat dari pengelolaan agrowisata
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed {on Status scale O to 100)
Gambar 9. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya
Hasil analisis Laverage yang ditampilkan pada Gambar 9 menunjukan atribut-atribut pengungkit dimensi sosial budaya terhadap keberlanjutan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka, antaralain; 1) pengalaman masyarakat dalam kegiatan bertani, 2) hubungan yang harmonis dalam hidup bermasyarakat, 3) masih kuatnya budaya gotong royong dalam masyarakat, 4) kepatuhan pada kearifan lokal, 5) kegiatan pertanian menjadi budaya masyarakat secara turun-temurun.
Analisis Multi Dimensional Scalling (MDS) yang dilakukan terhadap dimensi sosial budaya juga menunjukan hasil bahwa kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka memiliki status sangat berkelanjutan. Kehidupan sosial budaya masyarakat di desa Waturaka juga sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan agrowisata. Hal ini sesuai dengan temuan fakta-fakta dan informasi yang peneliti peroleh di lapangan. Masyarakat desa Waturaka adalah salah satu kelompok persekutuan masyarakat adat dalam etnis Lio di kabupaten Ende, yang mengakui adanya sistem kepemilikan tanah ulayat atau kepemilikan tanah secara adat budaya setempat. Pemegang hak ulayat adalah mosalaki (tua adat / kepala suku).
Salah satu hukum adat yang masih tetap dipegang teguh hingga saat ini adalah tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan. Pada mulanya mosalaki memberikan hak olah lahan kepada anggota persekutuannya dengan bagiannya masing-masing. Kemudian lahan yang telah diberi hak olah tersebut dapat diwariskan kepada penerus / keturunan dari masing-masing pengolah lahan untuk digunakan atau dikelola demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun pemegang hak ulayat tetap berada di tangan mosalaki, sehingga lahan tersebut tetap tidak dapat diperjualbelikan. Lahan yang telah diberi hak olah hanya boleh digunakan untuk keperluan bertani. Kearifan lokal tersebut menjadi satu kekuatan utama yang dapat mencegah terjadinya alih fungsi lahan, misalnya disulap menjadi gedung-gedung bertingkat. Selain itu, status sangat berkelanjutan dimensi sosial budaya juga didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti masih kuatnya budaya pertanian masyarakat setempat yang diwariskan secara turun-temurun, serta pengalaman masyarakat dalam kegiatan bertani, hubungan yang harmonis dalam hidup bermasyarakat, masih kuatnya budaya gotong royong dalam masyarakat, kepatuhan pada kearifan lokal. Beberapa hal ini merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat setempat yang harus tetap dipertahankan agar kegiatan pengelolaan agrowisata di Waturaka dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.
PENUTUP
Kesimpulan
Status kegiatan pengelolaan agrowisata di desa Waturaka adalah sangat berkelanjutan dari dimensi ekologi dan sosial budaya, serta cukup berkelanjutan dari dimensi ekonomi.
Saran
Masyarakat setempat diharapkan untuk tetap menjaga dan melestarikan potensi alam dan budaya yang dimiliki, tetap mempertahankan semangat gotong royong, serta tetap menjaga keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat menikmati manfaat dari kegiatan tersebut secara berkelanjutan. Masyarakat juga diharapkan dapat mengembangkan lebih banyak banyak jenis usaha selain homestay, misalnya rumah makan, galeri souvenir dan sebagainya, serta lebih giat lagi melakukan promosi melalui internet agar dapat menjangkau lingkup pemasaran yang lebih luas dalam menjual produk-produk pertaniannya. Demikian juga para pemangku kepentingan, diharapkan tetap melakukan pendampingan-pendampingan, bimbingan, dan arahan bagi masyarakat setempat agar dapat menjalankan setiap program kegiatan pengelolaan agrowisata dengan lebih baik. Stakeholder juga diharapkan terus meningkatkan upaya promosi agar agrowisata di Waturaka dapat semakin dikenal luas.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah, Willy. 2015. “Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) pada Sektor Pariwisata (Tourism) di Provinsi Bengkulu”. Studi Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan, Vol. 1, No. 01, hal. 152-156.
Aridiansari, dkk. 2015. “Pengembangan Agrowisata di Desa Tulungrejo Kota Batu, Jawa Timur”. Jurnal Produksi Tanaman, Vol. 3, No. 5, hal. 383- 390.
Budiasa, I Wayan. 2011. “Konsep dan Potensi Pengembangan Agrowisata di Bali”. dwijenAGRO, Vol. 2. No. 1.
Dinas Pariwisata Kabupaten Ende. 2014. Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA).
Fauzi dan Anna. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ghozali, Imam. 2017. Model Persamaan Struktural ; Konsep dan Aplikasi dengan Program AMOS 24 ; Update Bayesian SEM. Edisi ke-7. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hasdi, dkk. 2015. “Analisis Keberlanjutan Peternakan Sapi Perah di Wisata Agro Istana Susu Cibugary di Pondok Ranggon Cipayung Jakarta Timur”. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, Vol. 03. No. 3, hal. 157- 165.
Imran, Ali Hasyim. 2017. “Peran Sampling dan Distribusi Data Dalam Penelitian Komunikasi Pendekatan Kuantitatif”. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, Vol. 21, No. 1, hal. 111-126.
Krisnawati, Ni Wayan. 2018. Potensi dan Strategi Pengembangan Agrowisata Kopi Luwak Teba Sari Bali di Desa Lodtunduh, Ubud. Tesis. Universitas Udayana.
Mahida, dkk. 2019. “Pendekatan Multidimensional Scaling Untuk Menilai Status Keberlanjutan Danau Maninjau”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi - Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hal. 23-42.
Nurhidayati, Sri Endah. 2015. “Studi Evaluasi Penerapan Community Based Tourism (CBT) Sebagai Pendukung Agrowisata Berkelanjutan”. Masyarakat, Kebudayan dan Politik, Vol. 28, No. 1, hal. 1-10.
Palit, dkk. 2017. “Strategi Pengembangan Kawasan Agrowisata Rurukan”. Agri-SosioEkonomi Unsrat, Vol. 13, No. 2A, hal. 21-34.
Kementerian Parwisata. 2016. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia 2016. Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Sumber : https://www.academia.edu
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Cetakan ke-24. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Suryana, dkk. 2012. “Analisis Keberlanjutan Rapfish dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) di Perairan Tanjung Pandan”. Buletin PSP, Vol. 20, No. 1, hal. 45-58.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Sumber : http://www.sanitasi.net/undang-undang-no-10-tahun-2009
UNWTO (World Tourism Organozatio): Sustainable Development of Tourism ;
Definition. Sumber : http://sdt.unwto.org/content/about-us-5
Saji et al,...|272
Discussion and feedback