Kajian Rantai Nilai Agribisnis Mete Kabupaten Wonogiri
on
Jurnal Manajemen Agribisnis
Vol.10, No.2, Oktober 2022
E- ISSN: 2684-7728
Kajian Rantai Nilai Agribisnis Mete Kabupaten Wonogiri
The Study of The Mete Agricultural Value Chain Wonogiri District
-
A. Aru Hadi Eka Sayoga*)
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, Indonesia
*) Email: [email protected]
ABSTRACT
Increasing the value chain of a commodity in a region can be a major factor in the development of the local economy in a region. The same is true for the cashew nut agribusiness in Wonogiri because Wonogiri Regency is the leading producer of cashew (Anacardium occindintale) in Central Java Province with production approaching 90% of the total production in Central Java. Therefore, it is necessary to study the value chain of cashew nut production as the main commodity driving the economy of Wonogiri Regency along with the actors involved, critical points, and obstacles in it so that the objectives of this research can be achieved. With a qualitative descriptive approach, this research makes more use of field observations and surveys, and primary data is the main data source. The results obtained are that obstacles are still found in each value chain both at the input, production, collection, processing, and marketing stages, but efforts to overcome obstacles have been formulated since input, namely through efforts to strengthen institutional systems and farmer’s group management, product diversification and produce derivative products, as well as coaching and mentoring managerial governance, accounting and marketing techniques for cashew agribusiness actors.
Keywords : Anacardium occindintale, Value Chain, Agribussiness, Cashew Kernel, Wonogiri Regency
ABSTRAK
Peningkatan rantai nilai suatu komoditas di suatu wilayah dapat menjadi faktor utama dalam pengembangan ekonomi lokal di suatu wilayah. Hal yang sama juga terjadi pada agribisnis jambu mete di Wonogiri karena Kabupaten Wonogiri merupakan produsen utama jambu mete (Anacardium occindintale) di Provinsi Jawa Tengah dengan produksi mendekati 90% dari total produksi di Jawa Tengah. Oleh karena itu, perlu dikaji rantai nilai produksi jambu mete sebagai komoditas utama penggerak perekonomian Kabupaten Wonogiri beserta para aktor yang terlibat, titik kritis, dan hambatan di dalamnya agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini lebih banyak menggunakan observasi lapangan dan survei, dan data primer sebagai sumber data utama. Hasil yang
diperoleh masih terdapat kendala pada setiap rantai nilai baik pada tahap input, produksi, pengumpulan, pengolahan, dan pemasaran, namun upaya mengatasi kendala telah dirumuskan sejak input yaitu melalui upaya penguatan sistem kelembagaan dan pengelolaan kelompok tani, diversifikasi produk dan menghasilkan produk turunan, serta pembinaan dan pendampingan tata kelola manajerial, akuntansi dan teknik pemasaran bagi pelaku agribisnis jambu mete.
Kata kunci : Anacardium occindintale, Rantai Nilai, Agribisnis, Jambu Mete, Kabupaten Wonogiri.
PENDAHULUAN
Pembangunan wilayah dengan mengedepankan lokalitas dikenal sebagai Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL), tentunya dengan membangun tata kelola, kerjasama dan pola kemitraan sehat dari para stakeholders dengan kelebihan yang dimiliki masing-masing sehingga memacu aktivitas ekonomi di suatu wilayah (Blakely & Leigh, 2013). Lokalitas menjadi elemen kunci yang akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya pengembangan ekonomi lokal di suatu wilayah (Pike et al., 2018). Aspek lokalitas dapat berwujud maupun tak berwujud (Gibbs, 2005; Pike et al., 2018), contoh yang berwujud adalah komoditasnya dan yang tidak berwujud adalah keterampilan para pelaku. Tujuan pengembangan ekonomi lokal salah satunya berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sosial (social welfare) yang akan menggerakkan pengembangan suatu wilayah (Herlina Tarigan, 2020; Rahma, 2006). Jika masyarakatnya berkembang dan sejahtera, maka berbanding lurus dengan perkembangan aktivitas ekonomi masyarakat yang ada didalamnya, sehingga roda pembangunan akan berjalan karena adanya aktivitas produksi-distribusi-konsumsi yang berjalan beriringan dan saling komplementer (Gibbs, 2005).
Seperti halnya pengembangan ekonomi lokal, terdapat pula analisis rantai nilai meliputi seluruh aktifitas yang terangkum yang digambarkan dalam hal-hal yang berupa: sumber bahan baku, produksi, desain, pemasaran, distribusi kepada konsumen akhir (Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017). Rantai Nilai adalah proses keterkaitan antar usaha sebagai upaya pengembangan diversifikasi produk, meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan nilai kualitas dari komoditas yang akan di kembangkan (Kumar & Rajeev, 2016). Peningkatan rantai nilai suatu komoditas di suatu wilayah dapat menjadi faktor utama pengembangan ekonomi lokal di wilayah tersebut jika komoditas menjadi aktivitas utama perekonomian yang menjadi ciri khasnya dengan menyerap tenaga kerja dan arus modal yang besar (Kaplinsky & Morris, 2001).
Ada dua jenis rantai nilai, yaitu rantai nilai yang digerakkan oleh pembeli dan yang digerakkan oleh produsen (Avrigeanu, 2011). Dalam rantai nilai yang digerakkan pembeli, pelaku utama adalah distributor besar dengan kompetensi utama pada merek dan kemampuan pemasaran yang luas. Mereka memiliki kompetensi yang kuat untuk mengkoordinasikan dan membentuk litbang sendiri, menyusun desain dan konsep promosi, serta mampu mengkoordinasikan penjualan pada konsumen luar negeri atau penjual aceran di dalam negeri (Avrigeanu, 2011; Kumar & Rajeev, 2016). Rantai ini khas untuk industri padat karya dan sangat relevan dengan negara berkembang (Avrigeanu, 2011). Dalam rantai nilai yang
digerakkan oleh produsen, pelaku utama adalah produsen dalam rantai yang mengendalikan teknologi vital, yang menentukan posisi di pasar produk akhir. Mereka mengoordinasikan rantai nilai ini dan bertanggung jawab untuk membantu upaya efisiensi pemasok dan konsumen akhir (Kumar & Rajeev, 2016). Rantai ini khas pada industri teknologi menengah dan tinggi, seperti mobil, elektronik, telekomunikasi, dan sejenisnya. Masih terdapat satu jenis rantai nilai yang kurang lazim dibandingkan dua jenis yang disebutkan di atas, yaitu rantai multi-kutub yang dicirikan oleh banyak pusat kekuatan di berbagai bagian rantai nilai. Karakteristik utama dari jenis rantai nilai global ini adalah bahwa tidak ada "perusahaan utama" yang dominan secara keseluruhan dengan kekuatan untuk menentukan bentuk akhir dari produk akhir dan oleh karena itu melakukan kontrol atas aktivitas utama di seluruh rantai (Avrigeanu, 2009). Rantai nilai mete berorientasi pada jenis rantai nilai yang digerakkan oleh pembeli, karena pengolahan mete akan makin terus berkembang jika permintaan terus meningkat.
Rantai produksi pascapanen mete yang cukup panjang sejak pemetikan buah hingga sampai kepada konsumen (end user) menyebabkan terjadinya titik - titik kritis yang dapat mempengaruhi keberlanjutan proses agribisnis mete. Untuk mengembangkan wilayah perdesaan, desa-desa berkembang karena adanya proses produksi komoditas mete gelondong (cashew nut with shell) maupun telah diolah menjadi kacang mete (cashew kernel) (Agyemang et al., 2018; Boafo et al., 2019; Elakkiya et al., 2017).
Selain itu, kolaborasi antarpelaku sangat penting, karena agribisnis mete memiliki rantai nilai yang panjang, sehingga untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi perlu melibatkan banyak pihak yang dapat dipengaruhi dari adanya expertise dalam rantai nilai, sentuhan teknologi, pemasaran yang baik dan jujur, kualitas yang lebih tinggi dengan harga yang lebih rendah (value for money) sehingga sering ditemukan bahwa produk pengolahan hasil pertanian yang terlihat sama tetapi harganya sangat berbeda (Dendena & Corsi, 2014; Fatah, 2007; Kumar & Rajeev, 2016; Syafa’at et al., 2005; R. Tarigan, 2004). Oleh karena ini, dengan pendekatan kolaborasi sinergis antar pihak, diharapkan agribisnis mete dapat terlaksana dengan baik, berkelanjutan dan memberikan manfaat yang nyata, baik secara ekonomi maupun ekologi.
Analisis rantai nilai menggali empat aspek-aspek kunci: (1) memahami struktur rantai nilai (Kaplinsky & Morris, 2001; Muflikh et al., 2021); (2) peran para pelaku yang menentukan apa, bagaimana, siapa, kapan, di mana, dan mengapa proses produksi terjadi (Humphrey & Schmitz, 2004; Muflikh et al., 2021); (3) identifikasi titik-titik kritis dalam proses produksi dan faktor-faktor pengungkit rantai nilai untuk dapat meningkatkan efisiensi pada pasokan dan produksi (Avrigeanu, 2011; Muflikh et al., 2021); dan (4) mengembangkan strategi atau intervensi untuk peningkatan pada masing-masing titik produksi sehingga dapat menghasilkan perubahan besar pada keseluruhan rantai nilai (Mitchell et al., 2015; Muflikh et al., 2021). Analisis rantai nilai dapat memberikan gambaran kelemahan yang dihadapi serta upaya intervensi dan perbaikan dalam aspek didalam rantai nilai itu sendiri, seperti penguatan posisi tawar, partisipasi dan kinerja para pelaku serta mengoptimalkan nilai distribusi antar pelaku (Muflikh et al., 2021; Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana pelaku-pelaku terlibat, nilai uang yang berputar dalam tahapan rantai nilai, hembatan yang ditemui serta upaya pemecahan masalah yang ada dalam setiap tahapan rantai nilai mete wonogiri.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini memanfaatkan sumber data primer yang diambil langsung dari observasi lapangan secara langsung dan wawancara beberapa pengusaha mete di Kecamatan Ngadirojo dan Kecamatan Jatisrono sebagai sentra pengolahan mete wonogiri yang terdiri dari sebelas pengusaha, dengan lima pengusaha rumah tangga yang hanya mempekerjakan keluarga, serta enam pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja kurang dari sepuluh orang. Tahapan dalam rantai nilai agribisnis mete wonogiri yang dapat dilihat adalah tahapan input yaitu mete gelondong yang didapatkan dari hasil kebun para petani mete yang dijual kepada pengepul, kemudian proses pengolahan mete hingga didapatkan kacang mete sebagai kudapan istimewa sampai di tangan konsumen akhir.
Nilai-nilai yang dilihat terdapat pada proses produksi yang dimulai sejak penanaman pohon mete, pemanenen biji, pengeringan, pengupasan biji luar yang keras seperti cangkang, pengupasan kulit ari, pematangan, pengemasan dan pemasaran. Analisis rantai nilai agribisnis mete mencoba menganalisis keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor yang mempengaruhi, serta melihat keterkaitan yang ada didalamnya (Dendena & Corsi, 2014; Kaplinsky & Morris, 2001; Putri, 2016). Pendekatan rantai nilai ini digunakan juga untuk menilai kepentingan relatif dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing aktivitas produksi, kinerja keuangan berbagai pelaku yang terlibat dalam setiap tahapan rantai nilai, mengidentifikasi kelemahan dan hambatan yang dihadapi, serta menggali faktor-faktor potensial untuk meningkatkan kinerja rantai nilai (Islam & Hasan, 2020; Kumar & Rajeev, 2016).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif karena lebih banyak data diambil dari survey lapangan dan penggalian data primer dan sedikit kalian literatur untuk menguatkan dasar metode rantai nilai. Pendekatan literature yang dilakukan terutama untuk mengkaji secara kritis sumber ilmiah yang relevan dalam topik penelitian sehingga dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian secara lebih ilmiah dan sistematis. Tinjauan literatur yang sistematis memungkinkan identifikasi keberagaman dalam sintesis literatur untuk mengidentifikasi kelehaman dari penelitian sebelumnya dan memungkinkan dilakukan perbaikan pada penelitan selanjutnya (Islam & Hasan, 2020; Mitchell et al., 2015; Muflikh et al., 2021). Analisis rantai nilai mungkin pada dasarnya sama, namun dalam aplikasinya ditemukan hasil yang berbeda tergantung dari wilayah penelitiannya (Islam & Hasan, 2020; Kaplinsky & Morris, 2001).
Analisis rantai nilai menggambarkan aktivitas mulai dari pemasokan bahan baku, pengolahan produk hingga sampai ke tangan konsumen yang dapat digunakan untuk memahami hubungan antar pelaku usaha dengan pelanggan, mengidentifikasi permasalahan serta hal-hal yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan untuk meningkatkan nilai serta keunggulan kompetitif produk (Boudi et al., 2016; Rawlins et al., 2018; H. Tarigan, 2007). Selain itu analisis rantai nilai berfungsi untuk mengidentifikasi tahap-tahap rantai nilai di mana industri dapat meningkatkan nilai tambah bagi pelanggan dan mengefisiensikan biaya yang dikeluarkan (Avrigeanu, 2011; Kaplinsky & Morris, 2001; Muflikh et al., 2021). Analisis rantai nilai ini penting dilakukan pada pengembangan ekonomi lokal, untuk meningkatkan kapasitas kualitas produk lokal sehingga memiliki nilai tambah (Arsyad, 1999; H. Tarigan, Sayoga, et al.,…|874
-
2007) . Nilai tambah ini akan meningkatkan produktivitas dan daya saing wilayah yang mengakibatkan peningkatan nilai dampak ekonomi wilayah (R. Tarigan, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada umumnya desa-desa yang memiliki lahan mete berkembang karena adanya proses produksi komoditas mete gelondong (cashew nut with shell) atau mengolahnya menjadi kacang mete (cashew kernel) untuk meningkatkan nilai tambah produk (Agyemang et al., 2018; Boafo et al., 2019; Putri, 2016). Di India yang merupakan penghasil mete terbesar nomor dua dunia sebesar 745.000 ton di tahun 2017 (fao.org) yang produksinya terus meningkat dari dekade 1990 hingga 2015 merupakan hasil dari jalan panjang usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan status ekonomi petani agar bertani merupakan pekerjaan yang menguntungkan (Elakkiya et al., 2017; Imai et al., 2015). Manfaat lain dari produksi mete tersebut juga mempu meningkatkan fungsi tanah tandus dan cenderung kering menjadi lebih produktif (Boafo et al., 2019; Das & Arora, 2017; Tola & Mazengia, 2019). Perkebunan jambu mete dirasa memiliki manfaat cukup signifikan sebagai perintis perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang bertanah kritis, tandus maupun kering (Agyemang et al., 2018; Dendena & Corsi, 2014; Ogunwolu et al., 2020; Samadi, 2010).
Luas kebun mete di Provinsi Jawa Tengah (tahun 2018) 25.045 Ha (epublikasi.setjen.pertanian.go.id) dengan total produksi 10.093,45 ton di tahun 2018 (jateng.bps.go.id) dengan sumbangsih 8,985.96 ton biji mete dihasilkan di Wonogiri sehingga 89% mete di Provinsi Jawa Tengah berasal dari Kabupaten Wonogiri sehingga Wonogiri sangat dominan dalam menyuplai komoditas mete di Jawa Tengah. Bahkan dalam dua tahun terakhir produksinya melebihi produksi total di Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 12.119,3 ton di tahun 2019 dan 12.196,6 ton di tahun 2020.
Di Kabupaten Wonogiri, sebagian besar buah semu tidak dimanfaatkan. Hanya sebagian kecil saja yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan seperti campuran abon maupun dimakan langsung sebagai buah segar. Hampir seluruh buah semu hanya dibiarkan di kebun untuk selanjutnya dibiarkan membusuk dan menjadi pupuk kompos. Sedangkan buah sebenarnya berupa kacang mete dikumpulkan untuk selanjutnya dijemur dan dijual dalam bentuk mete gelondong kering. Usaha pengolahan mete ini secara umum relatif masih tradisional dan dikembangkan secara turun temurun karena tanaman jambu mete merupakan tanaman endemik yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di wilayah Kabupaten Wonogiri yang membentang seluas 182.236,02 hektar yang berada di dalam zona Pegunungan Sewu.
Rantai nilai dimulai sejak mulai dari aktivitas input berupa penyediaan sarana produksi mete dan berproses hingga dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk kacang mete (cashew kernel) untuk diolah sebagai makanan ringan atau diolah lebih lanjut. Dalam proses ini terdapat beberapa titik kritis yang akan menentukan kualitas dan harga produk akhir, seperti proses pemetikan mete dan proses pengupasan akan melewati titik kritis pada saat proses penjemuran / pengeringan (Gambar 1), dimana waktu, tempat dan cara penjemuran / pengeringan yang kurang tepat dapat mengurangi kualitas biji mete. Selain ini masih dapat ditemukan titik kritis lain yang akan mempengaruhi hasil akhir biji mete, diantaranya adalah
cara pengupasan, baik pengupasan kulit luar (shield) maupun kulit ari yang kurang tepat akan mengurangi keutuhan biji mete antara 5-10% sehingga akan mempengaruhi kuantitas produk dan menurunkan harga, dari grade A (utuh 90-100%) menjadi grade B (75-90%) terdapat marjin Rp.10.000,-/kg. Di tahap pengemasan juga terdapat titik kritis dimana pemberian merk akan meningkatkan harga jual hingga Rp5.000/kg karena adanya tambahan cetak sablon pada bungkus mete, namun hal ini dapat menjadi pembeda dari masing-masing penyedia karena ciri khas pengusaha mete dapat dilihat dari merk dan bentuk bungkus mete memiliki pangsa pasar dan segmen yang berbeda-beda. Selain itu kemasan bermerk akan lebih mahal namun lebih diterima konsumen menengah ke atas dan akan lebih mudah bagi pengusaha mete untuk menerima pesanan karena dalam bungkus produk terdapat lokasi dan nomer telepon produsen. Variasi lain dari produk mete yang dipasarkan ada pada pengepakan vakum maupun biasa. Pengepakan vakum akan meningkatkan harga jual mete, namun kelebihannya adalah kualitas mete menjadi terjaga lebih lama dibandingkan dengan bungkus biasa. Selisih harga dalam pengepakan ini hingga Rp.5000,-/kg.
Harga jual mete gelondong kering di tingkat pengepul berkisar antara Rp13.000-Rp18.000/kg tergantung musim dan kualitas biji, atau jka dirata-rata sekitar Rp15.000/kg. Dari 1 kilogram mete gelondong kering dapat menghasilkan 250-350 gram biji mete berkulit ari, dan melalui proses penjemuran/pengeringan dan pengupasan kulit ari akan menghasilkan +200 gram mete kupas yang siap dikemas dan distribusikan. Dengan produksi mete gelondong 12.196,6 ton maka dapat menghasilkan mete kupas sebesar +2.439 ton. Produk hasil olahan mete juga berbeda-beda tergantung kualitasnya. Pada kacang mete grade A dengan tingkat keutuhan 90-100% harga jualnya sekitar Rp.130.000,-/kg dan mete grade B dengan keutuhan 75-90% dijual dengan harga sekitar Rp.120.000/kg, sehingga harga kacang mete rata-rata Rp125.000,-/kg. Harga diatas adalah harga yang diambil pada saat observasi lapangan dilakukan, yaitu bulan November-Desember 2021.
INPUT Penyediaan sarana produksi
OUTPUT Sampai di tangan konsumen
Gambar 1 Bagan rantai nilai pengolahan mete wonogiri Sumber: Hasil analisis, 2021
Dari observasi lapangan, ditemukan hasil bahwa pengolahan mete dapat memberikan nilai tambah sebesar 15% jika hanya menjual mete saja, dan mendapatkan nilai tambah sebesar 17% jika termasuk menjual kulit luar mete untuk diambil minyaknya (CNSL), dengan penghitungan dilakukan dengan melakukan perbandingan pendapatan dengan pengeluaran yang dikeluarkan dalam pengolahan 100 kg mete gelondong (Tabel 1). Komponen bahan
baku berupa mete gelondong kering. Untuk komponen tenaga kerja merupakan tenaga kerja yang sudah berpengalaman dalam membuka mete, dengan jam kerja antara 6-8 jam perhari. Pada komponen biaya implisit, yaitu biaya yang tidak kelihatan dan sulit untuk dihitung satuannya, terdiri dari biaya bahan bakar, pajak/retribusi, biaya alat pengaman diri, biaya asuransi, biaya perawatan dan operasional alat, serta biaya tak terduga. Komponen biaya eksplisit adalah biaya yang mudah dihitung dan terlihat dalam pengeluaran setiap produksi yang dihasilkan, yaitu pembelian plastik pembungkus, pembelian kardus pembungkus, biaya sablon, biaya pengepakan dan biaya transportasi atau distribusi. Jika seluruh mete gelondong dari petani mete di Kabupaten Wonogiri ini diserap oleh usaha pengolahan mete, maka rata-rata perputaran uang yang dihasilkan dari proses rantai nilai mete wonogiri di Kabupaten Wonogiri ini mencapai +Rp.62.438438.400.000,- sehingga aktivitas rantai nilai mete ini menjadi salah satu penggerak ekonomi Wonogiri yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Tabel 1 Penghitungan nilai tambah produksi mete Wonogiri (per 100 kg mete gelondong)
No. |
Komponen |
Ukuran |
Satuan Harga |
Jumlah (Rp) |
A. |
BIAYA | |||
1. |
bahan baku |
100 kg |
Rp.15.000/kg |
1.500.000 |
2. |
Tenaga kerja |
10 hari |
Rp.35.000/OH |
350.000 |
3. |
biaya implisit |
Rp.200.000 |
per 100 kg |
200.000 |
4. |
biaya eksplisit |
Rp.130.000 |
per 100 kg |
130.000 |
TOTAL |
2.180.000 | |||
B. |
PENDAPATAN | |||
1. |
Biji mete |
20 kg |
Rp.125.000 |
2.500.000 |
2. |
Kulit luar |
75 kg |
Rp.800 |
60.000 |
TOTAL |
2.560.000 |
Sumber: Hasil analisis, 2021
Rantai nilai dari pengolahan mete Wonogiri ini cukup panjang dan berisiko, namun melihat keterbatasan vegetasi yang dapat memberikan menfaat bagi ekologi sekaligus ekonomi, maka tanaman jambu mete menjadi pertimbangan utama. Petani mete di Wonogiri tidak semuanya hanya melakukan produksi, namun diantaranya juga melakukan pengolahan biji mete walaupun dalam skala rumah tangga, sehingga tidak mengandalkan orang lain untuk diupah, sehingga dapat mengurangi pengangguran terselubung di wilayah-wilayah utama produsen mete, seperti di Kecamatan Ngadirojo dan Jatisrono. Adapun proses rantai nilai pengolahan mete wonogiri secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada rantai nilai pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan yang dapat menjadi hambatan dalam upaya pengembangan dan peningkatan produksi kacang mete. Permasalahan yang ditemukan diantaranya adalah: 1) dalam tahap Input masih ditemukan adanya keterbatasan dalam mendapatkan produk sarana produksi pertanian (saprotan) akibat kenaikan harga dan suplai yang tidak mencukupi kebutuhan semua petani mete dan akan mempengaruhi produktivitas mete gelondong. 2) Dalam tahap Produksi adalah masih ditemukan kelangkaan dalam penyediaan pupuk yang ada di pasaran, terlebih saat musim tanam tanaman pangan yang hadir di awal musim penghujan, sehingga menyebabkan tidak optimalnya pembungaan dan kuantitas buah yang dihasilkan karena
kekurangan unsur hara sehingga juga akan mempengaruhi produktivitas mete. 3) Pada tahap Pengumpulan kendala utama adalah keterbatasan suplai mete dari petani, karena jambu mete hanya berbuah sekali setahun, sehingga para pengepul harus berlomba-lomba dalam pencari produsen (petani mete) yang masih memiliki stok mete, dan akan berlaku pasar persaingan sempurna karena petani akan menjualnya kepada pengepul yang mau memberikan harga tinggi. Selain itu kendala lain terlihat pada produktivitas mete yang cenderung stagnan karena sangat mengandalkan tanaman mete yang telah bertahun-tahun berproduksi namun kurang memperhatikan regenerasinya, hal ini disebabkan keterbatasan sumberdaya manusia karena para petani hanya memanfaatkan ilmu yang didapatkan secara turun-temurun. 4) Dalam tahap Pengolahan ditemukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencampur mete Wonogiri dengan mete daerah lain sehingga mengurangi kualitas produk, karena membuat produk mete Wonogiri kehilangan ciri khasnya, dimana mete wonogiri dapat dikenali dari bentuk yang lebih kecil, dan memiliki rasa yang lebih manis dan gurih dibandingkan mete daerah lain sehingga akan menurunkan kredibilitas pera pengusaha mete yang konsisten hanya memasarkan mete wonogiri; 5) pada tahap Pemasaran masih ditemukan kendala dalam keterbatasan akses untuk menembus pasar global karena kendala pada limit produksi dan kontinyuitas suplai mete yang dipersyaratkan oleh eksportir, walaupun secara kualitas mete wonogiri sangat baik dan memenuhi kriteria untuk diekspor. Selain itu masih ditemukan kendala lain terkait kelemahan manajerial keuangan karena memang sebagin besar usaha rumah tangga berawal dari petani yang berproduksi secara terbatas kemudian usahanya berkembang dan membentuk usaha produksi mete skala rumah tangga atau usaha kecil sehingga kemampuan manajerial dan akuntansi masih terbatas.
Rp. 800/kg
Gambar 2. Rantai nilai pengolahan mete Wonogiri Sumber: Hasil analisis, 2021
Dilihat dari persaingan usaha, produksi mete di Kabupaten Wonogiri tidak banyak ditemukan kendala, karena masing-masing pengusaha memiliki segmen dan penetrasi pasar sendiri-sendiri, sehingga tidak ditemukan persaingan usaha tidak sehat. Kredit khusus ditujukan pada pembeli yang telah menjadi pelanggan tetap, yang mengetahui perbedaan kualitas mete Sayoga, et al.,…|878
wonogiri dengan mete daerah lain, sehingga permintaan pun cenderung meningkat dari tahun ketahun. Permintaan akan meningkat signifikan akan terjadi saat masa puasa dan lebaran, dimana permintaan dapat naik hingga 300% dibanding hari biasa.
Rantai nilai dalam agribisnis sangat mendukung adanya nilai tambah produk yang dihasilkan (Putri, 2016; Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017). Untuk menunjang keberlanjutan upaya peningkatan rantai nilai agribisnis mete ini dibutuhkan dukungan antar pihak yang terlibat dalam setiap tahapan, sejak input hingga sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, dukungan institusi dan kolaborasi antar institusi sangat diperlukan karena akan sangat mempengaruhi hasil akhir (Pike et al., 2018). Tujuan dari kolaborasi dalam pengembangan agribisnis pertanian mete diantaranya adalah: (1) meningkatkan kuantitas dan nilai tambah produk (Fatah, 2007; Pike et al., 2018; Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017; R. Tarigan, 2004); (2) memperluas penetrasi pasar dan menambah jangkauan pemasaran (Fatah, 2007; Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017; R. Tarigan, 2004); (3) meningkatkan modal untuk meningkatkan skala usaha dalam jangka panjang (Arsyad, 1999; Fatah, 2007; Syafa’at et al., 2005); (4) meningkatkan kualitas hasil produksi agribisnis (Fatah, 2007; R. Tarigan, 2004); (5) meningkatkan peluang diversifikasi hasil produksi (Fatah, 2007; Kumar & Rajeev, 2016; Syafa’at et al., 2005); serta (6) mempercepat pemanfaatan dan pengembangan teknologi sesuai kebutuhan (Budiatmanto et al., 2021; Islam & Hasan, 2020). Manfaat kolaborasi yang didapatkan oleh para pengusaha agribisnis mete wonogiri ini dirasakan cukup besar karena dapat menunjang keberlanjutan usahanya, meningkatkan omzet penjualan, memperluas pasar, dan pengetahuan dan keahlian semakin berkembang serta mempu membuka kerjasama yang lebih luas dengan para pihak lain.
Rantai nilai juga terkait dengan inovasi. Inovasi merupakan sebuah rantai yang saling berkaitan dan mendukung satu sama lain dan bersifat komplementer dan memiliki backwardforward linkange pada setiap subsistem (E. Malizia et al., 2020; E. E. Malizia, 1990; R. Tarigan, 2004). Manfaat dari adanya inovasi yang dirasakan oleh para pelaku agribisnis mete diantaranya adalah: (1) adanya efisiensi dan peningkatan produktivitas usaha; (2) peningkatan kuantitas dan kualitas produk; (3) peningkatan kemampuan teknis dari para pelaku agribisnis terhadap teknologi yang berkembang; (4) peningkatan kualitas lingkungan karena pemanfaatan side product sehingga semakin sedikit limbah yang dihasilkan sehingga mendingkatkan ketahanan lingkungan terhadap bencana akibat perubahan iklim; (5) peningkatan pendapatan pelaku agribisnis yang memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitar kawasan agribisnis; (6) upaya peningkatan teknologi yang terus berkembang ke tahap selanjutnya (advanced technology) karena adanya supply-demand yang konstan dan/atau meningkat (Agyemang et al., 2018; Dendena & Corsi, 2014; Fatah, 2007; Mamat & Sukarman, 2020; Matheus, 2019; Syafa’at et al., 2005). Inovasi yang dilakukan dalam usaha agribisnis mete wonogiri ini diantaranya ada pada sistem produksi, manajemen dan tata kelola keuangan, serta pengolahan limbah menjadi produk sampingan yang mengurangi kuantitas limbah dan meningkatkan omzet.
DISKUSI
Tanaman jambu mete (Anacardium occindintale) merupakan tanaman yang berasal dari wilayah tropis benua Amerika yang menjadi komoditas penting di beberapa Negara Asia,
Amerika Selatan dan Afrika (Daramola, 2013 dalam Das & Arora, 2017). Di beberapa Negara tropis Afrika dan Asia, komoditas ini mampu memberikan dampak positif dalam pengembangan ekonomi regional (Boafo et al., 2019; Das & Arora, 2017; Ogunwolu et al., 2020), dan bahkan supply chain industri pengolahan kacang mete di Afrika Barat menjangkau dan menjembatani dua benua, Asia dan Eropa dengan kuantitas komoditas dan nilai uang yang terus meningkat dari masa ke masa (Agyemang et al., 2018; Vasconcelos et al., 2015)). Berdasarkan penelitian oleh Imai et al (2015), kegiatan non pertanian di perdesaan memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatasi kemiskinan. Contoh dari kegiatan non pertanian adalah industri manufaktur, usaha jasa, konstruksi, perdagangan dan professional lain, Namun tahapan itu tidak serta merta terjadi, karena kebanyakan dari tenaga kerja di sektor pertanian tradisional belum memiliki keterampilan yang memadai karena hanya belajar mengulangi dari pendahulunya (repetition), minim inovasi dan hanya mengandalkan intuisi, sehingga perlu dilakukan peningkatan kemampuan secara bertahap dan kontinyu agar dapat mengikuti perkembangan zaman (Fatah, 2007; Imai et al., 2015; Syafa’at et al., 2005).
Optimalisasi rantai produksi mete menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena secara teori, semua bagian dari pohon mete dapat dimanfaatkan (Dendena & Corsi, 2014; Samadi, 2010), sayangnya semua tidak dapat dimanfaatkan secara luas dan diolah secara massal, padahal sebenarnya dapat memberikan manfaat nlai tambah bagi agroindustry pengolahan biji mete. selain itu upaya optimalisasi mete ini juga dapat kontraporduktif bagi lingkungan jika tidak dilakukan pengolahan dengan cara yang (Agyemang et al., 2018) seperti perubahan warna dan rasa air jika minyak kulit mete tidak dikelola dan mengalir ke sumber air warga walaupun belum ditemukan laporan kasus keracunan akibat kelalaian tersebut. Selain itu, minyak kulit mete yang saat dibuka tidak menggunakan alat yang tepat akan menimbulkan dermatitis bahkan luka yang beresiko terjadi infeksi.
Perlu digarisbawahi bahwa inovasi tidak selalu terkait langsung dengan teknologi, namun keduanya memiliki hubungan yang erat (Boafo et al., 2019) karena bentuk-bentuk inovasi selain penerapan teknologi juga termasuk diversifikasi usaha dalam pengolahan side product dari mete yang sebelumnya dianggap sebagai limbah. Saat ini telah dikembangkan inovasi atas hasil produksi jambu mete yang sudah mulai diarahkan menjadi bahan baku industri, seperti pada pemanfaatan kulit biji mete yang diambil minyak kulit mete (Cashew Nut Shell Liquid) yang menjadi bahan baku industri minyak rem (Samadi, 2010) dan saat ini dikembangkan pula menjadi campuran bahan bakar nabati (Lomonaco et al., 2017). Sayangnya belum semua usaha memanfaatkan cangkang biji mete tersebut, karena terlihat pada beberapa usaha rumah tangga masih ditemukan gundukan cangkang mete yang menumpuk dan dibiarkan sebagai pupuk atau sebagai campuran kayu bakar. Beberapa inovasi yang telah dikembangkan dalam rantai produksi pascapanen mete yang telah cukup banyak dilakukan, namun yang telah tercatat dalam kajian ilmiah diantaranya adalah: (1) Pemanfaatan kacip terstandarisasi SNI untuk meningkatkan kualitas biji mete dari keutuhan 66-70% menjadi 79,25% (Iskandar, 2017) sehingga berdampak pada peningkatan harga jual kacang mete yang dihasilkan; (2) Pembuatan sirup buah semu jambu mete (cashew apple syrup) (Afriyanti et al., 2021) dengan cara diperas dan diambil sari buahnya; (3) Pembuatan manisan dari buah semu jambu mete (Afriyanti et al., 2021); (4) Pembuatan nata de cashew dari sari buah semu jambu mete (Samadi, 2010); (5) Pembuatan abon jambu mete (Bimantari
et al., 2019) yang diambil dari buah semu jambu mete yang telah dikeringkan; (6) Pembuatan etanol (Osho, 2005; Rocha et al., 2011) dari sari buah semu jambu mete; (7) Pembuatan minuman wine dari sirup jambu mete (Osho, 2005); (8) Pembuatan dodol mete dari buah semu jambu mete (Putri, 2016); dan (9) Penyulingan CNSL dari kulit mete menjadi bahan bakar nabati (Lomonaco et al., 2017) sebagai alternatif bahan bakar fosil yang semakin menipis.
Gambar 3. Pemanfaatan hasil produksi tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) Sumber: Samadi (2007), Lomonaco et al. (2017)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rantai nilai mete wonogiri dimulai sejak mulai dari aktivitas input berupa penyediaan sarana produksi mete dan berproses dari produksi, pengumpulan, pengolahan, hingga dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk kacang mete (cashew kernel). Dalam proses ini terdapat beberapa titik kritis yang akan menentukan kualitas dan harga produk akhir. Rantai nilai dalam agribisnis mete sangat mendukung adanya nilai tambah produk yang dihasilkan dengan nilai tambah sebesar 15% jika hanya menjual mete saja, dan mendapatkan nilai tambah sebesar 17% jika termasuk menjual kulit luar mete untuk diambil minyaknya (CNSL). Untuk menunjang keberlanjutan upaya peningkatan rantai nilai ini dibutuhkan dukungan antar pihak yang terlibat dalam setiap tahapan dalam bentuk dukungan antar institusi dan kolaborasi. Manfaat kolaborasi yang didapatkan oleh para pengusaha agribisnis mete wonogiri ini dirasakan cukup besar karena dapat menunjang keberlanjutan usahanya, meningkatkan omzet penjualan, memperluas pasar, dan pengetahuan dan keahlian semakin berkembang serta mempu membuka kerjasama yang lebih luas dengan para pihak lain. Selain itu inovasi sangat diperlukan.
Inovasi yang dilakukan sangat menunjang rantai nilai. Manfaat inovasi diantaranya adalah peningkatan efisiensi dan peningkatan produktivitas usaha, peningkatan kuantitas dan kualitas produk, peningkatan kemampuan teknis dari para pelaku agribisnis terhadap Sayoga, et al.,…|881
teknologi yang berkembang, peningkatan kualitas lingkungan karena pemanfaatan produk sampingan, peningkatan pendapatan pelaku agribisnis, serta upaya peningkatan perkembangan teknologi. Inovasi yang dilakukan dalam usaha agribisnis mete wonogiri ini dilakukan pada sistem produksi, manajemen dan tata kelola keuangan, serta pengolahan limbah menjadi produk sampingan yang mengurangi kuantitas limbah dan meningkatkan omzet.
Saran
Berdasarkan permasalahan pada titik-titik kritis rantai nilai yang ditemukan, maka perlu adanya saran-saran perbaikan kondisi, yaitu: 1) Kelemahan dalam input dan pengolahan dapat diatasi dengan penguatan sistem kelembagaan dan manajemen kelompok petani sebagai upaya optimalisasi kualitas produk dan manajemen harga sehingga dapat membantu meningkatkan produktivitas (Brown & Sonwa, 2015; Dendena & Corsi, 2014; Mamat & Sukarman, 2020; Matheus, 2019); 2) Kelemahan dalam produksi diatasi dengan melakukan diversifikasi produk yang selalu melakukan inovasi, serta terus melakukan promosi hilirisasi dan komersialisasi hasil riset dan pengembangan sehingga dapat menghasilan produk turunan (derivative product) dan berdampak pada meningkatnya pendapatan para pelaku usaha sekaligus mengurangi limbah yang (Boafo et al., 2019; Kumar & Rajeev, 2016); 3) Kelemahan dalam produksi dan pemasaran mete wonogiri terasa pada kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia yang belum optimal, sehingga perlu diatasi dengan adanya pembinaan dan pendampingan tata kelola manajerial, akuntansi dan teknik pemasaran untuk dapat memperbaiki tata kelola keuangan dan memberikan manfaat pada peningkatan omzet dan perluasan pasar (Budiatmanto et al., 2021; Rostwentivaivi & Tustiyani, 2017; Syadzali, 2020). Saran-saran ini diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap peningkatan rantai nilai yang berfokus pada peningkatan efisiensi produksi, dan peningkatan kualitas produk dari komoditas mete wonogiri. Sehingga, nantinya komoditas mete Kabupaten Wonogiri dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan sosial ekonomi warga Wonogiri yang kesejahteraannya terus yang meningkat dan mampu menjadi identitas kota Wonogiri untuk dikenal sebagai kota mete yang melegenda.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, A., Asmoro, N. W., & Nurahmawati, F. (2021). Peningkatan Keterampilan Pembuatan Manisan Kering Dan Sirup Limbah Buah Semu Jambu Mete Pkk Desa Gedong Ngadirojo Wonogiri. SEMNAS 2018: Publikasi Hasil Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 1(1).
Agyemang, M., Zhu, Q., Adzanyo, M., Antarciuc, E., & Zhao, S. (2018). Evaluating barriers to green supply chain redesign and implementation of related practices in the West Africa cashew industry. Resources, Conservation and Recycling, 136(December 2017), 209–222. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2018.04.011
Arsyad, L. (1999). Pengantar perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah. BPFE Yogyakarta.
Avrigeanu, F. A. (2011). The Value Chain Approaches – Managerial Tools for the Romanian Garment Enterprises. SSRN Electronic Journal, 1–4.
https://doi.org/10.2139/ssrn.1499142
Bimantari, N. N. A. I. P., Ariani, R. P., & Suriani, N. M. (2019). Pemanfaatan Buah Semu Jambu Mete (Anacardium Occidentale) Menjadi Abon. Jurnal BOSAPARIS: Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, 8(2).
Blakely, E. J., & Leigh, N. G. (2013). Planning local economic development. Sage.
Boafo, J., Appiah, D. O., & Tindan, P. D. (2019). Drivers of export-led agriculture in Ghana : The case of emerging cashew production in Ghana ’ s James Boafo School of Social Science , University of Queensland Divine Odame Appiah Department of Geography and Rural Development , Kwame Nkrumah University o. Australasian Review of African Studies, 40(1), 31–52. http://afsaap.org.au/ARAS/2019-volume-40/
Boudi, M., Laoubi, K., & Chehat, F. (2016). A value chain analysis for sustainable development of olive oil agro-industry: The case of Algeria. Journal of Agriculture and Environment for International Development, 110(2), 267–292.
https://doi.org/10.12895/jaeid.20162.469
Brown, H. C. P., & Sonwa, D. J. (2015). Rural local institutions and climate change adaptation in forest communities in Cameroon. Ecology and Society, 20(2).
Budiatmanto, A., Sudaryanto, E. A., Murni, S., S, A. R., Cholil, M., P, I. S. S., Rahmawati, R., & Murniyanto, E. (2021). Pelatihan Manajemen dan Akuntansi Pada UKM Jambu Mete UD SS. Sam Di Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Abdimas PHB: Jurnal Pengabdian Masyarakat Progres f Humanis Brainstorming, 4(1), 11-19. http://ejournal.poltektegal.ac.id/index.php/abdimas/article/view/1978
Das, I., & Arora, A. (2017). Post-harvest processing technology for cashew apple–A review. Journal of Food Engineering, 194, 87–98.
Dendena, B., & Corsi, S. (2014). Cashew, from seed to market: a review. Agronomy for Sustainable Development, 34(4), 753–772.
Elakkiya, E., Sivaraj, P., & Vijayaprabhakar, A. (2017). Growth and Performance of Cashew Nut Production in India- An Analysis. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, 6(6), 1817–1823. https://doi.org/10.20546/ijcmas.2017.606.211
Fatah, L. (2007). Dinamika pembangunan pertanian dan pedesaan. Pustaka Banua.
Sayoga, et al.,…|883
Gibbs, D. (2005). Local economic development and the environment. In Local Economic Development and the Environment. https://doi.org/10.4324/9780203994429
Herlina Tarigan. (2020). Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Pada Era Disrupsi: Upaya Mendukung Agribisnis Inklusif Agricultural Human Resources Development in The Disruption Era: Efforts to Support Inclusive Agribusiness Herlina Tarigan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 38(2), 89–101.
http://dx.doi.org/10.21082/fae.v38n2.2020.89-101
Humphrey, J., & Schmitz, H. (2004). Governance and upgrading: Linking industrial cluster and global value chain research. Local Enterprises in the Global Economy, 29(November 2017), 349–381.
Imai, K. S., Gaiha, R., & Thapa, G. (2015). Does non-farm sector employment reduce rural poverty and vulnerability? Evidence from Vietnam and India. Journal of Asian Economics, 36, 47–61.
Iskandar, S. (2017). Pengembangan Desain Alat Pengupas Mete untuk Industri Rumah Tangga. Teknik Mesin" TEKNOLOGI", 17(1 Okt).
Islam, A. H. M. S., & Hasan, M. R. (2020). Characterization of the aquafeed sub-sector in Kyrgyz Republic: A value chain analysis. Aquaculture, 524(May 2019), 735149. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2020.735149
Kaplinsky, R., & Morris, M. (2001). A handbook for value chain research. January 2001.
Kumar, D., & Rajeev, P. V. (2016). Value Chain: a Conceptual Framework. International Journal of Information Engineering and Management Sciences, 7(1), 74–77.
Lomonaco, D., Mele, G., & Mazzetto, S. E. (2017). Cashew nutshell liquid (CNSL): from an agro-industrial waste to a sustainable alternative to petrochemical resources. In Cashew nut shell liquid (pp. 19–38). Springer.
Malizia, E. E. (1990). Economic growth and economic development: concepts and measures. Review of Regional Studies, 20(1), 30–36. https://doi.org/10.52324/001c.9186
Malizia, E., Feser, E., Renski, H., & Drucker, J. (2020). Understanding local economic development. Routledge.
Mamat, H. S., & Sukarman, S. (2020). Manfaat Inovasi Teknologi Sumberdaya Lahan Pertanian Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan, 14(2), 115–132.
Matheus, R. (2019). Skenario Pengelolaan Sumber Daya Lahan Kering: Menuju Pertanian Berkelanjutan. Deepublish.
Mitchell, J., Font, X., & Li, S. (2015). What is the impact of hotels on local economic development? Applying value chain analysis to individual businesses. Anatolia, 26(3), 347–358.
Muflikh, Y. N., Smith, C., & Aziz, A. A. (2021). A systematic review of the contribution of system dynamics to value chain analysis in agricultural development. Agricultural Systems, 189(January), 103044. https://doi.org/10.1016/j.agsy.2020.103044
Ogunwolu, Q. A., Ugwu, C. A., Alli, M. A., Adesanya, K. A., Agboola-Adedoja, M. O., Adelusi, A. A., & Akinpelu, A. O. (2020). Prospects and challenges of cash crop production in Nigeria: The case of cashew (Anacardium occidentale, Linn.). World Journal of Advanced Research and Reviews, 8(3), 439–445.
Osho, A. (2005). Ethanol and sugar tolerance of wine yeasts isolated from fermenting cashew apple juice. African Journal of Biotechnology, 4(7), 660–662.
Pike, A., Rodríguez-Pose, A., & Tomaney, J. (2018). Local and regional development in practice. In Local and Regional Development. https://doi.org/10.4324/9781315767673-8
Putri, C. A. (2016). Analisis Nilai Tambah Dan Kelayakan Finansial Usaha Pengolahan Jambu Mete Di Kabupaten Dompu. Universitas Mataram.
Rahma, H. (2006). Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 1(3), 303– 327.
Rawlins, J. M., De Lange, W. J., & Fraser, G. C. G. (2018). An Ecosystem Service Value Chain Analysis Framework: A Conceptual Paper. Ecological Economics, 147(December 2017), 84–95. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.12.023
Rocha, M. V. P., Rodrigues, T. H. S., Melo, V. M. M., Gonçalves, L. R. B., & Macedo, G. R. de. (2011). Cashew apple bagasse as a source of sugars for ethanol production by Kluyveromyces marxianus CE025. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology, 38(8), 1099–1107.
Rostwentivaivi, V., & Tustiyani, I. (2017). Rantai Nilai Pemasaran Akar Wangi Indonesia. JURNAL MANAJEMEN AGRIBISNIS (Journal Of Agribusiness Management), 5(2), 49. https://doi.org/10.24843/jma.2017.v05.i02.p08
Samadi, B. (2010). Jambu mete teknik budi daya dan pengolahannya. In ANEKA ILMU. ANEKA ILMU Semarang.
Syadzali, M. M. (2020). Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi pada UKM Pembuat Kopi Muria). Syntax Idea, 2(5), 91–97.
Syafa’at, N., Simatupang, M., Mardianto, S., & Khudori. (2005). Pertanian menjawab tantangan ekonomi nasional: argumentasi teoritis, faktual, dan strategi kebijakan. Lapera Pustaka Utama.
Tarigan, H. (2007). Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengembangan Agroindustri Pisang Di Kabupaten Lumajang. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat” 2007, 70, 128–134. https://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/layanan-
publik/publikasi/prosiding/122-prosiding-seminar-nasional-dinamika-pembangunan-pertanian-dan-pedesaan-mencari-alternatif-arah-pengembangan-ekonomi-rakyat-2007.html
Tarigan, R. (2004). Ekonomi regional: Teori dan aplikasi.
Tola, J., & Mazengia, Y. (2019). Cashew production benefits and opportunities in Ethiopia: a review. Journal of Agricultural and Crop Research, 7(2), 18–25.
Vasconcelos, S., Rodrigues, P., Palma, L., Mendes, L. F., Palminha, A., Catarino, L., & Beja, P. (2015). Through the eye of a butterfly: Assessing biodiversity impacts of cashew expansion in West Africa. Biological Conservation, 191, 779–786.
Sayoga, et al.,…|886
Discussion and feedback