Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.10, No.2, Oktober 2022

E- ISSN: 2684-7728

Karakteristik dan Kinerja Subakabian di Tiga Kabupaten Anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani

Characteristics and Performance of Subakabian in Three District Members of MPIG Coffee Arabica Kintamani

I Putu Edi Swastawan*) Ketut Suamba Wayan Windia

Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

*) Email: [email protected]

ABSTRACT

Compared to subak, subakabian literature/study is still rarely considered in development. In fact, sub-abian plays an important role in the development of one of the leading commodities in Bali, namely Kintamani Arabica Coffee which has received geographical indication certification since 2008. This study aims to analyze the characteristics and performance of sub-abian in the three regencies of MPIG Kintamani Arabica Coffee, as well as compare the characteristics and subakabian performance between the three districts. Characteristics and performance of the subakabian were identified based on Mackay's theory, then analyzed qualitatively and quantitatively through the RRA approach and the calculation of economic impact analysis. The results showed that the subakabians in the research location had the characteristics of binding each other with the traditional village; have the right of autonomy; adaptive to technological developments; subakabaian manners are bound by professional, geographical, and historical unity; based on the philosophy of tri hita karana; based on the principles of togetherness and mutual cooperation; leadership and decision-making are democratic; neoclassical agricultural organization with low formalization; and legal norms with dominant social meaning in subakabian, namely customary law. Subakabian's performance has been effective in achieving its goals and efficiently using resources so as to be able to provide local economic impact. Differences in subakabian members of the Kintamani Arabica Coffee MPIG between Bangli Districts; Buleleng Regency; and Badung Regency is only concerned with local government support and technical implementation of social culture.

Keywords : Characteristics, Performance, Subakabian

ABSTRAK

Dibandingkan subak, literatur/kajian subakabian masih jarang dipertimbangkan dalam pembangunan. Padahal, subakabian mengambil peran penting terhadap pengembangan salah satu komoditas unggulan di Bali, yakni Kopi Arabika Kintamani yang telah meraih sertifikasi indikasi geografis sejak tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik dan kinerja subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani, serta membandingkan karakteristik dan kinerja subakabian antara tiga kabupaten tersebut. Karakteristik dan kinerja subakabian diidentifikasi berdasarkan teori Mackay, lalu dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif melalui pendekatan RRA dan kalkulasi economic impact analysis. Hasil penelitian menunjukan subakabian di lokasi penelitian memiliki karakteristik saling mengikat dengan desa adat; memiliki hak otonomi; adaptif terhadap perkembangan teknologi; krama subakabaian terikat oleh kesatuan profesi, geografis, dan historis; berasaskan falsafah tri hita karana; berlandaskan prinsip kebersamaan dan gotong royong; kepemimpinan dan pengambilan keputusan bersifat demokratis; organisasi pertanian yang bersifat neoklasik dengan formalisasi rendah; dan norma hukum bermakna sosial dominan di subakabian yaitu hukum adat. Kinerja subakabian telah efektif dalam rangka mencapai tujuannya dan efisien menggunakan sumber daya sehingga mampu meberikan dampak ekonomi secara lokal. Perbedaan subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani antara Kabupaten Bangli; Kabupaten Buleleng; dan Kabupaten Badung hanya menyangkut soal dukungan pemerintah daerah dan teknis pelaksanaan sosial budaya.

Kata kunci : Karakteristik, Kinerja, Subakabian

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara umum, berbicara mengenai subak selalu hanya diidentikan dengan pertanian lahan basah (persawahan) yang ada di Bali. Paradigma tersebut memicu pengesampingan organisasi pertanian Bali lahan kering yang diorganisasikan dalam bentuk subakabian. Manan dan Galba (1989) mengemukakan bahwa tidak salah ketika masyarakat menggeneralisasi organisasi pertanian Bali hanya terhadap subak, karena dari berbagai literatur hanya menyebutkan demikian. Argumen Manan dan Galba memang sudah relatif lama dikemukakan, namun masih relevan hingga sekarang. Kelangkaan kajian akademis mengenai subakabian mengindikasikan bahwa subakabian masih dianggap tidak begitu penting bila dibandingkan dengan subak.

Subakabian adalah organisasi hukum adat yang bersifat sosio-agraris, religius, ekonomi, dan otonom yang berlandaskan tri hita karana untuk mewadahi kepentingan pertanian lahan kering atau lahan tadah hujan di Bali. Subakabian dan subak secara filosofi sama-sama mengamalkan nilai-nilai falsafah tri hita karana, meski secara teknis jelas berbeda. Tri hita karana adalah falsafah masyarakat Bali tentang tiga penyebab kesejahteraan (Sukarma, 2016). Tiga bagian tri hita karana yaitu: 1) parahyangan, sebagai cara untuk mencapai hubungan harmonis kepada Tuhan; 2) pawongan yang mengajarkan tata krama untuk

mewujudkan kerukunan hubungan dengan orang lain; dan 3) palemahan yang mengajarkan cara mendapatkan hubungan harmonis dengan alam atau lingkungan.

Secara historis subak dianggap lebih memiliki nilai peradaban dibandingkan dengan subakabian. Menurut laporan seminar tentang “Subak dan Desa Adat” yang diadakan oleh Departemen Dalam Negeri dalam Manan dan Galba (1989), subak telah menunjukan keberadaannya sejak abad pertama tahun Caka. Di sisi lain ada wacana yang masih simpang siur bahwa subakabian baru dicetuskan oleh Pemerintah Provinsi Bali sekitar tahun 1980-an. Secara autentikasi, komoditas padi sebagai komoditas utama yang dibudidayakan di subak kuat diidentikan sebagai komoditas autentik Bali. Argumen itu dibuktikan melalui fakta masyarakat Bali yang memiliki kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan yang dalam beberapa konteks diidentikan dengan tanaman padi. Kepercayaan masyarakat Bali (secara khusus anggota subak) terhadap Dewi Sri dimanifestasikan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul, disamping adanya Sanggah Pecatu (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan sadap (intake) di setiap blok/komplek persawahan (Sutawan, dkk dalam Windia, dkk., 2005). Sementara itu, masyarakat Bali belum akrab mengenal literatur mengenai kepercayaan terhadap manifestasi Tuhan yang identik dengan komoditas yang umumnya dikembangkan di subakabian (kopi, jeruk, cengkeh, kakao, salak, dan sejenisnya). Secara kelembagaan, subak juga dianggap lebih kuat karena memiliki hak pengelolaan irigasi yang dijadikan sebagai faktor pengikat krama (anggota). Penetapan subak sebagai Warisan Dunia (World Heritage) (studi kasus pada Subak Jatiluwih) bahkan tidak membuat perubahan penghormatan petani subak terhadap air (Zulkarnaen, 2015). Sementara, ada stigma bahwa subakabian tidak memiliki faktor pengikat kuat seperti subak.

Secara sistematis dan logis, argumen-argumen di atas memang menunjukan bahwa subakabian tidak begitu kuat bila dibandingkan dengan subak, namun konsep itu tidak sepenuhnya mampu menyatakan bahwa subakabian adalah lembaga yang tidak penting dan/atau lemah. Faktanya, subakabian di Bali sampai sekarang masih bertahan dan eksis. Berdasarkan data jumlah desa pakraman, subak, dan subakabian tahun 2017, jumlah subakabian yang berada di Bali mencapai 1.130. Jika dibandingkan dengan desa pakraman (sekarang bernama desa adat) yang berjumlah 1.488, maka terindikasi ada subakabian di hampir semua desa adat di Bali, dan tidak menutup kemungkinan desa adat yang tidak memiliki subakabian hanya yang terletak di daerah pesisir (tidak memiliki potensi komoditas pertanian lahan kering/perkebunan). Tidak mungkin sebuah lembaga bertahan sekian lama bila tidak memiliki karakteristik dan kinerja yang kuat. Subakabian pasti memiliki karakteristik dan kinerja yang kuat, hanya saja belum ada kajian akademis yang menjabarkan hal tersebut.

Tidak hanya terindikasi kuat dalam perspektif kelembagaan, beberapa komoditas yang dikembangakan di subakabian juga menjadi komoditas pertanian unggulan Bali. Salah satu komoditas lahan kering unggulan Bali yakni Kopi Spesialti Arabika Kintamani yang telah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis dari Kemenhumkan RI sejak tahun 2008. Wilayah yang termasuk dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Kintamani Bali memiliki lingkungan fisik (faktor alam) yang cocok digunakan untuk budidaya kopi arabika, sehingga mampu menghasilkan cita rasa kopi yang khas (MPIG Kopi Arabika Kintamani, 2007). Jumlah subakabian yang tergabung dalam MPIG Kopi Arabika Kintamani yaitu 61 subakabian, namun hal unik dan jarang diketahui oleh masyarakat umum

yakni ada subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani yang secara administratif tidak termasuk wilayah Kecamatan Kintamani. Subakabian yang menjadi anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani terdiri dari enam kecamatan yang tersebar dalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bangli; Kabupaten Buleleng; dan Kabupaten Badung.

Fenomena itu tergolong unik, karena subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani telah diakui memiliki keadaan geografis yang serupa, namun tidak menutup kemungkinan memiliki interaksi sosial budaya dan intervensi pemerintah berbeda karena berada dalam tiga kabupaten berbeda. Mackay, et al. (1998) mengemukakan salah satu dimensi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik organisasi yaitu dimensi lingkungan eksternal (the external environment). Jika mengacu teori tersebut, maka besar kemungkinan ada perbedaan karakteristik yang juga berpengaruh terhadap kinerja subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani di Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, dan Kabupaten Badung.

Karakteristik dan kinerja subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani unik untuk diidentifikasi dan adil bila dibandingkan, karena memiliki potensi dan kondisi geografis yang serupa (apple to apple). Penelitian ini sangat strategis dilaksanakan untuk: 1) menambah literatur tentang subakabian yang masih relatif jarang dikaji; 2) menjadi bahan evaluasi dan dasar pengambilan kebijakan bagi pengurus internal subakabian melalui perbandingan karakteristik dan kinerja; 3) menjadi bahan evaluasi dan dasar kebijakan masing-masing pemerintah kabupaten untuk penguatan subakabian berbasis kopi arabika; 4) menjadi barometer evaluasi dan dasar kebijakan pemerintah provinsi untuk penguatan subakabian; dan 5) memperkenalkan subakabian sebagai kearifan lokal Bali yang belum banyak dilirik melalui kajian akademis.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis karakteristik subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani; menganalisis kinerja subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani.; dan membandingkan karakteristik dan kinerja subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani antara Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, dan Kabupaten Badung.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di subakabian tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani, yaitu Kabupaten Bangli; Kabupaten Buleleng; dan Kabupaten Badung. Selanjutnya diambil sampel satu subakabian per masing-masing kabupaten secara purposive, yakni subakabian yang paling maju di masing-masing kabupaten berdasarkan rekomendasi dinas pertanian setempat. Tiga sampel lokasi penelitian ini yaitu Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli; Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng; dan Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung. Identifikasi karakteristik dan kinerja subakabian di lokasi penelitian mengacu terhadap empat dimensi organisasi menurut teori Mackay, et. al (1998). Dari empat dimensi organisasi teori Mackay, tiga diantaranya digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik, yaitu dimensi lingkungan eksternal; dimensi

motivasi; dan dimensi kapasitas lembaga. Sementara satu dimensi lainnya yaitu dimensi kinerja (performance), digunakan untuk mengidentifikasi kinerja organisasi.

Penelitian dominan menggunakan pendekatan kualitatif secara partisipatif melalui metode Rapid Rural Appraisal (RRA) atau Pemahaman Cepat Kondisi Pedesaan (PCKP). Mustikasari (2014) mengemukakan bahwa RRA/PCKP merupakan metode sistem perspektif secara triangulasi, sehingga informasi bersifat lebih literatif dan eksploratif. Selain itu, khusus untuk menganalisis indikator efisiensi dalam dimensi kinerja subakabian dilaksanakan kalkulasi ekonomi melalui pendekatan economic impact analysis. Oleh sebab itu, data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitataif berupa data primer yang dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur secara triangulasi dan melalui observasi partisipatif, serta data sekunder yang dikumpulkan dari jurnal; buku; peraturan-peraturan yang berlaku (hukum positif di Indonesia); dan berkas/arsip subakabian di lokasi penelitian. Sementara data kuantitatif dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada 53 responden secara proporsional di masing-masing subakabian. Responden terdiri dari prajuru (pengurus subakabian); krama (anggota) subakabian; dan tenaga kerja di unit usaha subakabian.

Menyangkut soal analisis data, pertama, analisis karakteristik subakabian dilaksanakan secara deskriptif kualitatif berdasarkan 43 parameter yang diklasifikasikan dari tiga dimensi karakteristik organisasi menurut teori Mackay. Data kualitatif identifikasi 43 parameter tersebut selanjutnya dianalisis dan disintetis sehingga bisa dirumuskan secara eksplisit karakteristik subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani. Kedua, analisis kinerja subakabian dilaksanakan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Indikator kinerja yang dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menyangkut soal indikator efektivitas subakabian dalam rangka mencapai tujuan, sedangkan yang dianalisis secara kuantitatif yakni kalkulasi efisiensi subakabian dalam rangka menggunakan sumber daya. Efisiensi penggunaan sumber daya diukur melalui kemampuan subakabian memberikan dampak ekonomi secara lokal. Dampak dari berbagai kegiatan ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu dampak langsung (direct impact); dampak tidak langsung (indirect impact); dan dampak lanjutan/imbas atau dampak induksi (induced impact) (Ennew, et al. dalam Ikhsan, 2017). Kemudian data dampak ekonomi tersebut digunakan untuk menghitung nilai local keynessian multiplier effect (efek pengganda peredaran uang secara lokal). Terakhir, analisis perbandingan karakteristik dan kinerja subakabian juga dilaksanakan secara deskriprif kualitatif melalui bantuan matrik perbandingan empat dimensi organisasi menurut teori Mackay di tiga subakabian lokasi penelitian. Data perbandingan karakteristik dan kinerja dalam matrik selanjutnya dianalisis dan disintetis sehingga bisa ditarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Subakabian

Analisis melalui tiga dimensi karakteristik organisasi menurut teori Mackay menunjukan bahwa subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani memiliki sembilan karakteristik. Karakteristik subakabian berdasarkan dimensi lingkungan eksternal antara lain: saling mengikat dengan desa adat di lokasi subakabian; menjalankan

pemerintahan sendiri (memiliki hak otonomi); dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Karakteristik berdasarkan dimensi motivasi menunjukan bahwa krama subakabaian terikat oleh kesatuan profesi, geografis, dan historis; subakabian berasaskan falsafah tri hita karana; dan berlandaskan prinsip kebersamaan dan gotong royong. Sementara karakteristik subakabian berdasarkan dimensi kapasitas organisasi yaitu kepemimpinan dan pengambilan keputusan bersifat demokratis; subakabian merupakan organisasi pertanian yang bersifat neoklasik dengan formalisasi rendah; dan norma hukum yang bermakna sosial dominan di subakabian adalah hukum adat. Karakteristik subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani secara lebih terperinci yakni sebagai berikut.

  • 1.    Saling mengikat dengan desa adat di lokasi subakabian

Ditinjau berdasarkan aspek geografis, subakabian di kawasan MPIG Kopi Arabika Kintamani mempunyai batas-batas wilayah jelas yang berbasis desa adat. Batas-batas subakabian dapat berupa kawasan sub wilayah desa adat (misalnya munduk atau banjar adat) atau batas administrasi keseluruhan desa adat itu sendiri. Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli misalnya, berada dalam salah satu kawasan munduk (tanah yang meninggi seperti bukit, biasanya memiliki batas wilayah berupa ngarai/jurang/sungai) di Desa Adat Catur. Sementara Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng berada di kawasan banjar adat (sub wilayah desa adat di Bali) di Desa Adat Lemukih. Berbeda lagi dengan Subakabian Wana Sari Kenjung dan Subakabian Manik Galih, Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung batas wilayahnya sesuai dengan batas wilayah administrasi Desa Adat Jempanang, artinya kawasan Subakabian Merta Sari dan kawasan Desa Adat Jempanang adalah sama. Batas-batas wilayah tiga subakabian tersebut tentu berbeda, ada yang berbasis munduk; banjar adat; dan desa adat, namun masing-masing batas wilayahnya masih berada dalam satu kawasan desa adat. Kondisi batas wilayah subakabian di kawasan MPIG Kopi Arabika Kintamani menunjukan bahwa bila ditinjau berdasarkan aspek geografis, subakabian tidak sama dengan subak. Batas wilayah subak ditentukan berdasarkan wilayah hidrologis, tidak berdasarkan kawasan desa adat maupun desa dinas. Batas-batas subak terdiri dari batas-batas alam yang mudah teridentifikasi (misalnya bukit, hutan, jurang atau lembah, dan/atau sungai), sehingga secara tegas ada pemisahan antara administrasi desa dan administrasi subak dalam urusan keirigasian (Sutawan, 2008).

Ditinjau berdasarkan aspek sosiologis, krama subakabian dan krama desa adat di kawasan subakabian memiliki hubungan erat. Bahkan, antara krama subakabian dan krama desa adat di lokasi subakabian orangnya hampir sama. Hal itu terjadi karena keanggotaan subakabian di ketiga lokasi penelitian diatur berdasarkan lokasi lahan garapan. Awig-awig (peraturan adat) Subakabian Wana Sari Kenjung dan Subakabian Manik Galih misalnya, mengatur soal keanggotaan dengan dalil: “Sapasira ugi sané jenek madruwe tegal ring subakabian kasinganggéh krama subakabian”. Artinya, siapa yang sungguh-sungguh memiliki lahan di subakabian disebut sebagai anggota subakabian. Hubungan yang juga memicu interaksi sosial antara subakabian dan desa adat yaitu persoalan teologis (parahyangan). Hubungan teologis yang erat antara subakabian dan desa adat di kawasan MPIG Kopi Arabika Kintamani terjadi karena ada beberapa ritus (upacara/yadnya) yang dijalankan secara bersama-sama oleh subakabian dan desa adat.

  • 2.    Memiliki hak otonomi

Selain memiliki hubungan erat dengan desa adat, subakabian di kawasan MPIG Kopi Arabika Kintamani juga memiliki keterkaitan dengan beberapa elemen lain, yaitu dengan desa dinas dan pemerintah daerah. Meski ada keterkaitan, tidak ada elemen lain yang memiliki garis komando terhadap subakabian, karena subakabian dalam menjalankan rumah tangganya tidak boleh diintervesi oleh pihak manapun (memiliki hak otonomi). Tata hubungan dan kerjasama subakabian dengan elemen-elemen tersebut serupa (analog) dengan tata hubungan dan kerjasama desa adat di Bali berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, yaitu hanya bersifat koordinatif; konsultatif; dan otoritatif (Pemprov Bali, 2019). Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tersebut dijelaskan bahwa hubungan koordinatif diartikan sebagai hubungan sejajar untuk menyelaraskan kebijakan atau menyelenggarakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan bersama; hubungan konsultatif diartikan sebagai pertukaran pikiran guna mendapatkan saran atau nasihat yang sebaik-baiknya untuk pemecahan masalah; dan hubungan otoritatif diartikan sebagai kewenangan untuk melakukan verifikasi dan validasi bahwa suatu kegiatan di wilayah bersangkutan telah sesuai dengan peraturan atau kebijakan yang berlaku. Kaitannya dengan desa adat, Wibawa, dkk. (2020) mengemukakan bahwa melalui tata hubungan demikian, tidak ada peraturan hubungan hierarki dalam desa adat, termasuk antara desa adat dengan Majelis Desa Adat (MDA). Begitu pula subakabian di MPIG Kopi Arabika Kintamani, tidak ada hubungan hierarki antara subakabian dengan lembaga lainnya.

  • 3.    Adaptif terhadap perkembangan teknologi

Meski subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani tergolong lembaga berlandaskan adat dan relatif berlokasi di pedesaan, organisasi ini cenderung memiliki karakteristik adaptif terhadap perkembangan teknologi. Penggunaan teknologi mutakhir misalnya diterapkan dalam proses budidaya kopi arabika. Selain itu, teknologi pasca panen kopi arabika juga diaplikasikan guna meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi di unit usaha subakabian. Penerapan teknologi pasca panen di unit usaha subakabian juga dilaksanakan dalam rangka adaptasi terhadap perkembangan zaman dan permintaan pasar. Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli misalnya, dalam proses budidaya kopi arabika sedang mencoba menerapkan teknologi biopori sebagai prioritas untuk mitigasi perubahan iklim. Teknologi pengolahan kopi di unit usaha Subakabian Wana Sari Kenjung (UUP Catur Paramita) juga sudah bisa digunakan untuk menghasilkan prouk greenbean dan kopi bubuk, bahkan teknologi untuk penyeduhan kopi (mesin ekspreso, Vietnam drip, V60, rockpresso, dan lain sebagainya) sudah tersedia untuk menunjang aktivitas unit usaha agrowisata subakabian. Adaptasi teknologi Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng juga demikian, teknologi penunjang budidaya kopi arabika yang dikembangkan yaitu instalasi pembuatan pupuk cair MOL (Mikro Organisme Lokal) berbahan limbah pengolahan cherry bean (kopi gelondong). Subakabian Manik Galih melalui unit usahanya (Kelompok Uptiti Sari) juga telah mengaplikasikan teknologi pengolahan kopi, yaitu mesin pulper; mesin roasting; dan mesin disk mill. Teknologi pengolahan kopi di Kelompok Uptiti Sari sudah cukup untuk menghasilkan produk kopi HS (Hard Skin) dan kopi bubuk. Serupa dengan Subakabian Manik Galih, Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung juga sedang mengembangkan teknologi guna mendukung pertanian organik kopi arabika. Teknologi budidaya dalam rangka

mendukung pertanian organik di Subakabian Merta Sari yaitu pestisida nabati; metabolit sekunder untuk pengendalian jamur; dan perbanyakan Trichoderma sebagai jamur antagonis untuk menanggulangi hama nematoda di akar tanaman kopi arabika. UUP Merta Sari sebagai unit usaha Subakabian Merta Sari juga telah memiliki teknologi penunjang pengolahan kopi untuk menghasilkan produk kopi greenbean dan kopi bubuk. Beberapa teknologi di UUP Mekar Sari antara lain mesin pulper, mesin huler, mesin roasting, dan alat impulse sealer.

  • 4.    Krama subakabaian terikat oleh kesatuan profesi, geografis, dan historis

Subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani berdiri atas dasar keinginan masyarakat (buttom up) yang memiliki latar belakang kesamaan profesi, yaitu petani lahan kering (tadah hujan). Selain disatukan oleh profesi, pendirian subakabian juga disatukan oleh kesatuan geografis. Dilihat dari sejarah terbentuknya, motivasi pendirian subakabian di lokasi penelitian adalah motivasi intrinsik kesamaan fisiologis, yaitu motivasi yang lahir dari internal individu krama subakabian secara alamiah karena adanya kesamaan kebutuhan. Motivasi merupakan perspektif dasar dari pendekatan historikal (Supartha dan Sintaasih, 2017). Nilai historis yang dimiliki sebagian besar krama subakabian memicu adanya motivasi intrinsik psikologis, yaitu motivasi kasih sayang (affectional motivation). Motivasi kasih sayang adalah motivasi untuk menciptakan dan memelihara kehangatan, keharmonisan, kepuasan batiniah (emosional) dalam berhubungan dengan orang lain. Motivasi kasih sayang tersebut bisa dipicu oleh adanya kesamaan riwayat antar individu. Kesatuan profesi, geografis, dan historis memposisikan subakabian analog dengan konsepsi kebangsaan. Sukarno (1926) mengemukakan bahwa konsepsi bangsa bukanlah soal batas-batas negeri dan bukan soal fisik, melainkan soal kesamaan riwayat manusia-manusia di dalamnya serta soal kemauan dan keinginan hidup menjadi satu. Demikian pula subakabian, faktor pengikat dalam subakabian bukanlah soal fisik, namun faktor pengikat subakabian yakni soal rasa. Krama subakabian terikat dalam kesatuan rasa yang sama, kesatuan riwayat yang sama, serta soal kemauan dan keinginan hidup menjadi satu dalam subakabian.

  • 5.    Berasaskan falsafah tri hita karana

Kesamaan profesi, geografis, dan kesamaan tujuan di subakabian juga terikat dalam kesamaan pandangan hidup (falsafah), yakni falsafah tri hita karana. Tri hita karana merupakan salah satu motivasi krama subakabian, yaitu motivasi intrinsik fisiologis dan psikologis. Tri hita karana sebagai motivasi subakabian bisa dikaji berdasarkan teori kebutuhan, karena keharmonisan yang berusaha dibangun oleh krama subakabian melalui falsafah tri hita karana merupakan representasi dari kebutuhan aktualisasi diri; kebutuhan sosial; dan kebutuhan keamanan. Berdasarkan aspek parahyangan, krama subakabian memiliki sistem pola pikir teologis yang sama. Secara umum pada rahina (hari raya) Tumpek Wariga, krama subakabian melaksanakan pemujaan terhadap manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sangkara yang dipercaya menjadi penguasa tumbuh-tumbuhan khususnya tumbuhan berkayu (perkebunan). Berdasarkan aspek pawongan, subakabian menjadi wadah interaksi sosial krama subakabian yang bisa memicu keterikatan batin dan saling menolong (gotong-royong). Gillin dan Gillin dalam Budiarti (2016) menerangkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan antara orang-orang secara individu, antar kelompok, dan orang perorangan dengan suatu kelompok. Mengacu teori Gillin dan Gillin tersebut, Budiarti berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berkelompok sesuai

dengan satu atau beberapa kesamaan yang dimiliki oleh anggota kelompoknya. Sementara berdasarkan aspek palemahan, krama subakabian terikat dalam kepentingan sarana teologis berupa Pura Subakabian serta juga terikat dalam kesatuan geografis. Kepentingan terhadap pura dan kesamaan wilayah antar krama subakabian merupakan bentuk motivasi intrinsik psikologis. Keharmonisan berdasarkan aspek geografis terjadi karena ada lahan krama subakabian yang posisinya di tengah (jauh dari akses jalan raya), otomatis krama tersebut harus menjaga keharmonisan dengan krama yang memiliki lahan di sekitarnya (terutama lahan yang menjadi akses jalan menuju jalan raya).

  • 6.    Berlandaskan prinsip kebersamaan dan gotong royong

Hubungan sosial antar krama subakabian analog dengan hubungan sosial desa adat di Bali yang dikemukakan Dharmayuda dalam Arjawa (2012), yaitu berlandaskan prinsip kerukunan (saling asah, saling asuh, saling asih, salunglung sabayantaka); keselarasan (sagilik, saguluk, briuk sapanggul); dan kepatutan (paras, paros, ngawe sukaning won glen). Inti sari dari pedoman hubungan sosial tersebut yaitu kebersamaan dan gotong royong. Landasan kebersamaan dan gotong royong di subakabian juga bisa ditelaah berdasarkan sistem kepengurusan. Prajuru subakabian menjalankan tugasnya didasari oleh prinsip ngayah (mengabdi). Pekerjaan prajuru subakabian tidak didasari oleh motivasi ekstrinsik positif (imbalan/insentif), melainkan didasari oleh motivasi intrinsik psikologis atas dasar kebersamaan dan gotong royong. Tidak ada imbalan/insentif finansial yang berarti yang diterima oleh sebagian besar prajuru subakabian, baik insentif dari pemerintah provinsi; pemerintah kabupaten; maupun dari wilayahnya. Hanya prajuru subakabian di Kabupaten Badung saja yang menerima bantuan finansial berupa insentif dari Pemerintah Kabupaten Badung.

Di tingkat pemerintah provinsi, tidak ada dana khusus yang digelontorkan untuk insentif prajuru subakabian. Dana dari Pemerintah Provinsi Bali untuk subakabian hanya berupa dana BKK (Bantuan Keuangan Khusus) Subakabian sebesar Rp25.000.000 pada tahun 2021. Dari Rp25.000.000 dana BKK Subakabian tersebut, tersedia alokasi baga (bagian) pawongan sebesar Rp5.000.000 untuk satu tahun. Dana baga pawongan inilah yang sering disiasati oleh subakabian digunakan untuk biaya operasional seluruh prajuru subakabian dalam kurun waktu satu tahun. Di tingkat kabupaten, kondisi sistem insentif prajuru subakabian dari pemerintah kabupaten di Kabupaten Bangli dan Kabupaten Buleleng serupa, karena sama-sama tidak memiliki kebijakan khusus tentang insentif prajuru subakabian. Kondisi berbeda terjadi di subakabian yang berlokasi di Kabupaten Badung. Kelian dan petajuh (wakil ketua) subakabian di Kabupaten Badung mendapatkan insentif khusus dari pemerintah kabupaten sebesar Rp1.500.000/bulan untuk kelian dan Rp750.000/bulan untuk petajuh. Tersedianya insentif khusus untuk kelian dan petajuh subakabian di Kabupaten Badung tidak serta merta bisa dijadikan dasar bahwa kesediaan krama menjadi prajuru subakabian berasal dari motivasi ektrinsik positif (imbalan/insentif). Insentif kelian dan petajuh tersebut baru ada sejak tahun 2018, sementara Subakabian Merta Sari sudah ada sejak tahun 1994. Sebelum tahun 2018, sistem jabatan di Subakabian Merta Sari tetap berlandaskan motivasi intrinsik psikologis melalui prinsip ngayah. Sementara di tingkat wilayahnya, prajuru subakabian menerima imbalan (reward) berupa luputan/leluputan. Leluputan adalah pembebasan yang diterima prajuru dan/atau pamangku (orang yang disucikan) subakabian dari kewajiban yang biasanya harus dipatuhi krama subakabian, misalnya berupa dedosan (denda) bila tidak

hadir di kegiatan subakabian atau pepeson (iuran yang biasanya berbentuk barang) untuk kegiatan di subakabian.

  • 7.    Kepemimpinan dan pengambilan keputusan bersifat demokratis

Bila mengacu teori pendekatan kepemimpinan Elton Mayo dalam Suparta dan Sintaasih (2017), pemilihan kelian subakabian dilaksanakan berdasarkan pendekatan hubungan manusia. Teori pendekatan hubungan manusia memandang bahwa fungsi pemimpin adalah untuk memudahkan pencapaian tujuan secara koperatif di antara para pengikut serta pada saat yang sama menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi mereka. Oleh sebab itu, subakabian cenderung tidak bisa dipimpin oleh pemimpin dengan gaya autokratis. Krama subakabian tidak memandang pemilihan kelian sebagai momentum memberikan wewenang autokrasi kepada kelian terpilih, namun untuk memilih seseorang yang mampu mengkordinir kepentingan bersama. Prinsip dan pendekatan demikian akan melahirkan gaya kepemimpinan kelian subakabian yang demokratis. Kelian subakabian di lokasi penelitian dapat berbagi tanggung jawab kepemimpinan dengan krama subakabian serta melibatkan krama dalam perencanaan dan pelaksanaan tugas. Gaya kepemimpinan demikian menurut Hersey dan Blanchard dalam Suparta dan Sintaasih (2017) merupakan gaya demokratis yang tidak direktif dan memiliki penekanan terhadap hubungan manusia. Gaya kepemimpinan demokratis dalam subakabian juga bisa dikaji berdasarkan studi kepemimpinan Michigan yang melihat gaya kepemimpinan dalam suatu organisasi berdasarkan dua konsep, yaitu orientasi pegawai (anggota kelompok) dan orientasi produksi. Orientasi kepemimpinan di subakabian merupakan orientasi terhadap anggota kelompok dan tidak semata-mata berorientasi produksi. Orientasi kepemimpinan demikian merupakan konsep yang sejalan dengan gaya kepemimpinan demokratis (Greiner, 1972). Sistem pengambilan keputusan di subakabian juga demikian, selalu mengedepankan prinip-prinsip musyawarah mufakat. Elemen-elemen dasar dalam proses pengambilan keputusan menurut Suparta dan Sintaasih (2017) meliputi: 1) penetapan tujuan; 2) mengidentifikasi permasalahan; 3) mengembangkan berbagai alternatif solusi; 4) penilaian dan pemilihan alternatif; 5) melaksanakan keputusan; serta 6) evaluasi, pengendalian, dan tindakan koreksi. Seluruh elemen dasar sistem pengambilan keputusan di subakabian di laksanakan dalam paruman (musyawarah) atau sangkepan (rapat) krama subakabian secara musyawarah mufakat.

  • 8.    Organisasi pertanian yang bersifat neoklasik dengan formalisasi rendah

Seperti dijelaskan dalam karakteristik sebelumnya, gaya kepemimpinan dan sistem pengembilan keputusan di subakabian berlandaskan prinsip demokratis yang tidak direktif dan berorientasi terhadap krama. Gaya kepemimpinan dan sistem pengambilan keputusan demikian menunjukan bahwa subakabian termasuk sebagai organisasi neoklasik. Organisasi neoklasik memiliki penekanan terhadap pentingnya aspek psikologis dan sosial karyawan (anggota organisasi) sebagai individu maupun sebagai bagian organisasinya (Suparta dan Sintasih, 2017). Oleh sebab itu, teori organisasi neoklasik mendifinisikan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki tujuan sama. Anggapan dasar teori organisasi neoklasik yaitu pentingnya aspek sosial dalam pekerjaan (atau organisasi informal) dan aspek psikologis (emosi). Bila ditinjau berdasarkan struktur, dibandingkan dengan organisasi modern kontemporer, subakabian termasuk organisasi dengan formalisasi rendah. Berdasarkan teori rentang kendali (span of control) menurut Tewal, dkk. (2017), struktur subakabian termasuk dalam struktur organisasi

sempit (narrow). Elemen pokok yang umum ada dalam struktur organisasi subakabian di lokasi penelitian hanya kelian subakabian; pangliman/patajuh (wakil kelian); panyarikan (sekretaris); dan juru raksa/patengen (bendahara), bahkan tidak semua subakabian memiliki pangliman/patajuh. Beberapa elemen tambahan selain elemen pokok tersebut yaitu kasinoman (penyampai informasi dan pengumuman) dan kelian tempek (ketua sub wilayah). Tidak semua subakabian memiliki elemen tambahan tersebut dalam struktur organisasinya. Jumlah kelian tempek disesuaikan dengan jumlah tempek (sub wilayah) subakabian, namun bila satu kawasan subakabian tidak dibagi menjadi sub-sub wilayah maka jabatan kelian tempek ditiadakan. Khusus di Subakabian Merta Sari posisi kasinoman dan kelian tempek dijabat oleh orang yang sama, sehingga jumlah kasinoman sesuai dengan jumlah tempek subakabian. Elemen struktur yang relatif sedikit mengakibatkan rantai komando dalam subakabian sangat pendek, karena jarak antara puncak struktural subakabian dengan elemen terendah (krama subakabian) relatif dekat.

  • 9.    Norma hukum yang bermakna sosial dominan di subakabian yaitu hukum adat

Aneka norma hukum yang bermakna sosial di subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani serupa dengan norma hukum yang berlaku di subak menurut Sirtha (2008), yaitu 1) hukum kebiasaan (hukum adat, termasuk yang mengandung unsur agama); 2) hukum negara; dan 3) pengaturan diri sendiri. Hukum dikatakan bermakna sosial ketika tindakan manusia dipengaruhi oleh hukum dan masyarakat menggunakan hukum tersebut sebagai acuan bertindak (Sirtha, 2008). Hanya saja, norma hukum yang bermakna sosial dominan di subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani adalah hukum kebiasaan (hukum adat). Hazairin dalam Yulia (2016) mendeskripsikan hukum adat sebagai endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sumber hukum adat yang dijadikan pedoman spesifik subakabian yaitu awig-awig dan pararem. Awig-awig subakabian adalah kaidah-kaidah kesusilaan atau norma-norma adat yang mengatur persoalan subakabian secara umum dan diposisikan sebagai peraturan tertinggi dalam lingkup internal subakabian. Sementara pararem merupakan peraturan turunan dari awig-awig yang dirumuskan dan disepakati oleh krama subakabian melalui sangkepan subakabian. Perbedaan makna sosial hukum antara subakabian dan subak terletak dalam penerapan hukum negara. Makna sosial hukum negara di subak lebih kuat dibandingkan di subakabian, karena ada intervensi pemerintah secara spesifik terhadap subak. Salah satu contoh hukum negara yang turut mengatur hal spesifik dalam subak yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 02/PD./DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali (Pemprov Bali, 1972). Hingga kini dalam situs JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) nasional, status Perda Provinsi Bali Nomor 02/PD./DPRD/1972 dinyatakan masih berlaku. Subak juga bernaung dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Perda Nomor 9 Tahun 2012 tersebut secara eksplisit mendeskripsikan subak sebagai organisasi yang memiliki kegiatan utama mengatur pemakaian air untuk irigasi sawah (Pemprov Bali, 2012), sehingga jelas subak yang dimaksud dalam Perda tersebut tidak termasuk subakabian. Hingga saat ini belum ada sumber hukum positif di Indonesia (termasuk di Bali) yang mengatur secara khusus mengenai sebakabian. Oleh sebab itu, hukum negara di subakabian hanya bermakna sosial dalam rangka mengatur tindakan dan interaksi sosial krama subakabian sebagai warga

negara yang berkaitan dengan kepentingan kehidupan yang bersifat umum (tidak spesifik mengenai aktivitas subakabian).

Kinerja Subakabian

Kinerja subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan perspektif efektivitas dan efisiensi subakabian dalam rangka mencapai tujuan. Tujuan subakabian di lokasi penelitian yaitu menjadi wadah menjalankan kepentingan-kepentingan krama subakabian sebagai petani, antara lain menjalankan nilai teologis, sebagai wadah kerjasama, media pembelajaran, tukar menukar informasi, dan mensejahterakan krama. Semua tujuan tersebut secara filosofis didasari oleh falsafah tri hita karana. Sejauh ini subakabian di lokasi penelitian telah mampu mewadahi kepentingan-kepentingan krama suabkabian. Falsafah tri hita karana sebagai filosofi keharmonisan di subakabian berjalan sebagaimana mestinya. Terindikasi dari sifat krama subakabian yang senantiasa tetap merasa nyaman, disiplin, harmonis, dan tidak ada berontak menjalankan kewajiban sebagai krama subakabian. Subakabian mampu memberikan manfaat kepada krama subakabian, baik berupa manfaat morel maupun materiel. Bahkan di Subakabian Manik Galih, ada fenomena dua orang petani dari luar wilayah Banjar Adat Nangka mengajukan diri menjadi krama subakabian karena menilai subakabian mampu memberikan manfaat bagi krama-nya. Program subakabian mampu memberikan manfaat bagi krama karena pelaksanaannya didasari atas aspirasi krama subakabian melalui musyawarah mufakat. Artinya, program yang dilaksanakan merupakan program yang benar-benar dibutuhkan oleh krama subakabian. Terlebih subakabian juga mampu menjembatani penyaluran bantuan-bantuan morel maupun materiel dari pemerintah/mitra/donatur untuk kepentingan krama subakabian. Tanpa sebuah wadah organisasi seperti subakabian, petani akan sulit menerima bantuan-bantuan demikian.

Menyangkut soal tujuan subakabian dalam rangka mensejahterakan krama erat kaitannya dengan tingkat efisiensi penggunaan sumber daya di subakabian. Syahyuti (2004) menempatkan kalkulasi ekonomi sebagai latar belakang persoalan tersebut. Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli pada tahun 2021 mampu memberikan dampak ekonomi dengan nominal paling tinggi, yaitu dampak ekonomi langsung sebesar Rp246.926.667; dampak ekonomi tidak langsung Rp889.018.182; dan dampak ekonomi imbas/lanjutan sebesar Rp915.221.554. Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng mampu menghasilkan dampak ekonomi langsung dengan nominal Rp48.600.000; dampak ekonomi tidak langsung Rp867.300.000; dan dampak ekonomi imbas/lanjutan Rp781.502.000. Sementara Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung cenderung menghasilkan nominal dampak ekonomi paling rendah, antara lain dampak ekonomi langsung sebesar Rp89.750.000; dampak ekonomi tidak langsung Rp40.157.143; dan dampak ekonomi imbas/lanjutan Rp111.057.143.

Meski demikian Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung mampu menghasilkan nilai local keynessian multiplier effect tertinggi, yakni 1,855. Artinya setiap Rp1 pengeluaran Subakabian Merta Sari mampu mempengaruhi hingga Rp1,855 peredaran uang secara lokal di wilayah subakabian. Nilai local keynessian multiplier effect Subakabian Manik Galih yaitu 1,853, artinya setiap Rp1 pengeluaran Subakabian Manik Galih mampu mempengaruhi hingga Rp1,853 terhadap peredaran uang secara lokal di kawasan subakabian. Sementara

nilai local keynessian multiplier effect Subakabian Wana Sari Kenjung menunjukan angka paling rendah, yakni 1,806. Setiap Rp1 pengeluaran Subakabian Wana Sari Kenjung akan berpengaruh Rp1,806 terhadap peredaran uang secara lokal. Nilai local keynessian multiplier effect di ketiga subakabian telah menunjukan angka lebih dari satu (>1), maka ketiga subakabian di lokasi penelitian telah mampu memberikan dampak ekonomi secara lokal dan dinyatakan efisien dalam rangka menggukan sumber daya.

Perbandingan Karakteristik dan Kinerja antar Kabupaten

Secara universal tidak ada perbedaan substansi yang radikal dari karakteristik tiga subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani. Hanya terdapat empat perbedaan antara tiga subakabian menyangkut soal dimensi kondisi lingkungan eksternal, antara lain ketersediaan aturan dari pemerintah; dukungan materiel pemerintah; pelaksanaan parahyangan dengan desa adat, serta posisi desa adat dan desa dinas di dalam struktur subakabian. Perbedaan dalam dimensi motivasi yaitu mengenai kearifan lokal dalam rangka pengimplementasian tri hita karana dan ketersediaan imbalan (insentif) untuk prajuru subakabian. Sementara perbedaan dimensi kapasitas organisasi yaitu mengenai manajemen eksekusi program di subakabian. Perbandingan karakteristik subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani secara lebih terperinci bisa dilihat dalam Tabel 2. Perbandingan kinerja subakabian menunjukan bahwa cenderung tidak ada perbedaan mencolok mengenai efektivitas subakabian dalam rangka mencapai tujuan. Perbedaan kinerja subakabian yang menarik dibandingkan hanya terletak dalam indikator efisiensi penggunaan sumber daya. Ternyata nominal uang yang dikeluarkan subakabian tidak berbanding lurus dengan nilai local keynessian multiplier effect yang dihasilkan. Subakabian yang mengelola uang lebih besar tidak menjamin subakabian tersebut mampu menghasilkan rasio yang lebih tinggi terhadap peredaran uang di kawasan subakabian tersebut. Subakabian yang megelola nominal uang paling besar di antara tiga subakabian di lokasi penelitian yakni Subakabian Wana Sari Kenjung. Subakabian Wana Sari Kenjung pada tahun 2021 menggelontorkan pengeluaran hingga Rp1.135.944.849, sedangkan Subakabian Manik Galih hanya Rp915.900.000 dan Subakabian Merta Sari hanya Rp129.907.143. Meski demikian, subakabian yang tergolong paling efisien dalam rangka mengelola sumber daya yakni Subakabian Merta Sari, karena mampu menghasilkan nilai local keynessian multiplier effect paling tinggi. Hal itu terjadi terindikasi karena arus pengeluaran Subakabian Wana Sari Kenjung ke luar kawasan subakabian paling tinggi bila dibandingkan dengan Subakabian Manik Galih dan Subakabian Merta Sari. Sehingga meski mengelola uang paling besar, rasio pengeluaran Subakabian Wana Sari Kenjung terhadap peredaran uang secara lokal paling kecil bila dibandingkan dengan Subakabian Manik Galih dan Subakabian Merta Sari. Perbandingan kinerja subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani secara lebih terperinci bisa dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Matrik perbandingan kinerja subakabian antar tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani

Dimensi

Subakabian

Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli

Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng

Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung

Kinerja

1. Pengeluaran subakabian

1. Pengeluaran subakabian

1. Pengeluaran subakabian

secara lokal pada tahun

secara lokal pada tahun

secara lokal pada tahun

2021

2021 sebesar

2021 sebesar

sebesar Rp1.135.944.849.

Rp915.900.000.

Rp129.907.143.

2.Dampak langsung

2. Dampak langsung

2. Dampak langsung

subakabian sebesar

subakabian sebesar

subakabian sebesar

Rp48.600.000.

Rp89.750.000.

Rp246.926.667.

3. Dampak tidak langsung

3. Dampak tidak langsung

3.Dampak tidak langsung

sebesar Rp867.300.000.

sebesar Rp40.157.143.

sebesar Rp889.018.182.

4. Dampak imbas/lanjutan

4. Dampak imbas/lanjutan

4. Dampak imbas/lanjutan

sebesar Rp781.502.000.

sebesar Rp111.057.143.

sebesar Rp915.221.554.

5. Nilai local keynessian

5. Nilai local keynessian

5. Nilai local keynessian

multiplier effect sebesar

multiplier effect sebesar

multiplier effect sebesar

1,853.

1,855.

1,806.

Sumber: Data primer diolah, 2021

Tabel 2. Matrik perbandingan karakteristik subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani

Dimensi

Subakabian

Subakabian Wana Sari Kenjung di Kabupaten Bangli

Subakabian Manik Galih di Kabupaten Buleleng

Subakabian Merta Sari di Kabupaten Badung

Dimensi lingkungan

1.Tidak tersedia naungan

1. Tidak tersedia naungan

1. Tersedia naungan yuridis

eksternal

yuridis.

  • 2. Tersedia dukungan materiel selain penyaluran dana BKK dari pemerintah provinsi.

  • 3.    Terdapat tujuh ritual keagamaan yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan Desa Adat Catur.

  • 4.    Bendesa (kepala) adat dan kepala desa masuk dalam struktur subakabian sebagai penanggungjawab dan pelindung.

yuridis.

  • 2.    Hanya menerima dukungan

materiel penyaluran dana BKK dari pemerintah provinsi.

  • 3.    Hanya ada satu ritual keagamaan yang dijalankan secara bersama-sama dengan Desa Adat Lemukih.

  • 4.    Kepala desa hanya menjadi

saksi pengesahan administratif.

melalui Perda Kabupaten Badung.

  • 2.    Tersedia dukungan materiel

selain penyaluran dana BKK dari pemerintah provinsi.

  • 3.    Terdapat 10 ritual keagamaan

yang dijalankan secara bersama-asama dengan Desa Adat Jempanang.

  • 4.    Bendesa adat dan kepala desa

tercantum dalam struktur namun hanya memiliki garis koordinasi saja.

Dimensi motivasi

1. Implementasi falsafah tri hita karana memiliki keunikan khusus dalam aspek pawongan dan parahyangan, yaitu sistem ulu apad untuk penentuan jabatan kasinoman dan tirual keagamaann yang relatif kompleks.

1. Implementasi falsafah tri hita karana dilaksanakan secara universal dan tidak ada keunikan khusus, pelaksanaan ritual keagamaan pun paling sedikit di antara subakabian di lokasi penelitian.

1. Implementasi falsafah tri hita  karana  memiliki

keunikan khusus dalam aspek  pawongan  dan

parahyangan,      yaitu

sangkepan       krama

subakabian dilaksanakan secara bersamaan dengan sangkepan krama desa adat dan kegiatan ritual

2. Prajuru subakabian hanya


menerima


biaya


operasional dari alokasi baga (bagian) pawongan dana BKK Subakabian yang disalurkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.


2. Prajuru subakabian hanya menerima biaya operasional dari alokasi baga pawongan dana BKK Subakabian yang disalurkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.


Dimensi kapasitas 1. Eksekusi program


organisasi


dikordinir oleh prajuru subakabian sesuai keputusan sangkepan subakabian.


1. Eksekusi program dikordinir oleh prajuru subakabian sesuai keputusan sangkepan subakabian.


yang relatif paling kompleks di antara tiga subakabian di lokasi penelitian.


2. Prajuru subakabian menerima imbalan berupa insentif dari Pemerintah Kabupaten Badung dan biaya operasional dari alokasi baga pawongan dana BKK Subakabian yang disalurkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.


1. Eksekusi program dikordinir oleh prajuru subakabian dan dilaksanakan oleh panitia pelaksana tetap yang telah dibentuk secara bersama-sama oleh subakabian dan desa adat.


Sumber: Data primer diolah, 2021

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik subakabian di tiga kabupaten anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani antara lain 1) saling mengikat dengan desa adat di lokasi subakabian; 2) memiliki hak otonomi; 3) adaptif terhadap perkembangan teknologi; 4) krama subakabaian terikat oleh kesatuan profesi, geografis, dan historis; 5) berasaskan falsafah tri hita karana; 6) berlandaskan prinsip kebersamaan dan gotong royong; 7) kepemimpinan dan pengambilan keputusan bersifat demokratis; 8) organisasi pertanian yang bersifat neoklasik dengan formalisasi rendah; dan 9) norma hukum yang bermakna sosial dominan di subakabian yaitu hukum adat. Kinerja subakabian telah efektif dalam rangka mencapai tujuannya dan efisien menggunakan sumber daya sehingga mampu meberikan pengaruh positif terhadap peredaran uang secara lokal di kawasan subakabian. Perbedaan subakabian anggota MPIG Kopi Arabika Kintamani antara Kabupaten Bangli; Kabupaten Buleleng; dan Kabupaten Badung hanya menyangkut soal dukungan pemerintah daerah dan teknis pelaksanaan sosial budaya.

Saran

Saran yang diajukan antara lain: 1) perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai kalkulasi efisiensi subakabian berdasarkan analisis finansial; 2) Pemerintah Provinsi Bali sebaiknya membuat naungan yuridis (sumber hukum) yang mengatur secara komprehensif tentang subakabian, karena sejauh ini Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak tidak turut membahas/mengatur soal subakabian; 3) Pemerintah Kabupaten Badung harus selalu waspada agar pemberian insentif kepada prajuru subakabian tidak justru menghilangkan prinsip ngayah serta rasa kebersamaan dan gotong royong di subakabian; 4) Pemerintah Kabupaten Bangli dan Kabupaten Buleleng juga harus berhati-hati bila suatu saat

memiliki opsi turut mengeluarkan kebijakan pemberian insentif untuk prajuru subakabian, karena kesalahan memberikan respon (imbalan/reward) bisa mengubah tingkah laku dan motivasi kerja; dan 5) penelitian lebih lanjut mengenai analisis kebudayaan petani kopi arabika krama subakabian di kawasan MPIG Kopi Arabika Kintamani penting untuk dilaksanakan, karena masing-masing subakabian memiliki kearifan lokal dan dresta tersendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Arjawa, I Gusti Putu Bagus Suka. 2012. Desa Pakraman dan Kekuasaan terhadap Warga Masyarakat, Jurnal Ilmiah Widya     Sosiopolitika, Volume 3 Nomor 1 Juni 2012,

ISSN: 2086-1767.

Budiarti, Meilany. 2016. Tanpa tahun. Mengurai Konsep Dasar Manusia sebagai Individu melalui Relasi Sosial yang Dibangunnya,    prosiding KS: Riset, Volume 4 Nomor

1.

Greiner, Larry E. 1972. Evolution and Revolution as Organization Grow, Harvard Business Review Vol. 50 (4), Harvard Collage.

Ikhsan. 2017. Multiplier Effect Industri Pariwisata Candi Muara Takus Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kecamatan XII Koto Kampar Kabupaten Kampar, JOM Fekon, Vol.4 No.1 (Februari) 2017.

Mackay, et. al. 1998. ISNAR's Achievements, Impacts, and Constraints: An assessment of organizational performance and institutional impact,  The Hague:  International

Service for National Agricultural Research.

Manan dan Galba. (1989). Sistem Subak di Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mustikasari. 2014. Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluh Cina, Sebuah Skripsi di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pemprov Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 8.

Pemprov Bali. 2019. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4.

Sirtha, Nyoman. 2008. Subak Konsep Pertanian Religius: Perspektif Hukum, Budaya, dan Agama Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita.

Sukarma. 2016. Tri Hita Karana Theoretical Basic of Moral Hindu, International Journal of Linguistics, Language and Culture (IJLLC), Vol. 2, No. 9, September 2016, pp. 84~96, ISSN: 2455-8028.

Sukarno. 1926. “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Supartha dan Sintaasih. 2017. Pengantar Perilaku Organisasi: Teori, Kasus dan Aplikasi Penelitian, Denpasar: CV Setia Bakti.

Sutawan, Nyoman. 2008. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali, Denpasar: Penerbit Pustaka Bali Post.

Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak, Pusat Penelitian Pengembangan Sosial      Ekonomi Pertaniansebuah makalah

disampaikan pada workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Kalimantan Selatan.

Tewal, Bernhard; Adolfina; Pandowo; dan Tawas, Hendra N. 2017. Perilaku Organisasi, Bandung: CV. Patra Media Gravindo.

Wibawa, IPS.; Martha, IW.; dan Diana, IKD. 2020. Menakar Kewenangan dan Tata Hubungan Kelembagaan antara Majelis Desa Adat dengan Desa Adat di Bali, Vidya Wertta Volume 3 Nomor 1 Tahun 2020, p-ISSN 0852-7776-e-ISSN 2655-7282.

Windia, W; Pusposutarjo; Sutawan, I. N.; Sudira; dan Arif. 2005. Sistem Irigasi Subak dengan Landasan Tri Hita Karana (THK) sebagai Teknologi Sepadan dalam Pertanian Beririgasi, Jurnal Soca Volume 5, Nomor 3, November 2005.

Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Adat, Lhokseumawe: Unimal Press.

Zulkarnaen. 2015. Pola Aktivitas Petani Subak Setelah Ditetapkan sebagai World Heritage, dipublikasikan di repository.ipb.ac.id

Swastawan, et al.,…|861