KAJIAN TEORITIS DINAMIKA KONVERSI LAHAN PERTANIAN
on
Jurnal Manajemen Agribisnis Vol.6, No.2, Oktober 2018
ISSN: 2355-0759
KAJIAN TEORITIS DINAMIKA KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Theoretical Study of Dynamics of Agriculture Conversion
Widhianthini
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRACT
Agricultural land conversion basically occurs because of competition in land use between the agricultural and non-agricultural sectors. Competition arises as a result of three economic and social phenomena, namely: limited land resources, population growth and economic growth. In each region, the available land area is relatively fixed or limited so that population growth will increase the scarcity of land that can be allocated for agricultural and non-agricultural activities. Meanwhile economic growth tends to encourage the demand for land for non-agricultural activities at a higher rate than the demand for land for agricultural activities because the demand for agricultural products is more elastic for income. The dynamics of conversion of agricultural land is very interesting to study theoretically through the study of theories and research results related to the conversion of agricultural land. Several analytical methods can explain future agricultural land use planning, including land evaluation methods (statistically and dynamically) and Geographic Information Systems (through maps and spatial data). The use of these methods must be integrated so that they can be implemented in the field. Descriptively, the direction of policies to control agricultural land conversion can be done through a juridical approach, providing incentives and disincentives for farmers and parties involved in land conversion actions or control measures to convert agricultural land.
Keywords: conversion of agricultural land, land evaluation, geographic information system
ABSTRAK
Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi karena adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian. Persaingan tersebut muncul sebagai akibat dari tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Di setiap daerah, luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas sehingga pertumbuhan penduduk akan meingkatkan kelangkaan lahan yang dapat dialokasikan untuk kegiatan pertanian dan non pertanian. Sementara itu pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaaan lahan untuk kegiatan non pertanian pada laju lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian karena permintaan produk pertanian lebih elastis terhadap pedapatan. Dinamika konversi lahan pertanian sangat menarik untuk dikaji secara teoritis melalui kajian teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan konversi lahan pertanian. Beberapa metode analisis dapat menjelaskan perencanaan penggunaan lahan pertanian di masa mendatang, diantaranya metode evaluasi lahan (secara statistik dan dinamik) dan Sistem Informasi Geografis (melalui peta dan data spasial). Penggunaan metode tersebut harus terintegrasi sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Secara deskriptif, arahan kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan yuridis, pemberian insentif dan disinsentif bagi petani dan pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan konversi lahan atau tindakan pengendalian konversi lahan pertanian.
Kata kunci: konversi lahan pertanian, evaluasi lahan, sistem informasi geografis
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia memiliki dominasi peran dalam pertumbuhan ekonomi. Pada masa Orde Baru sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang paling besar dalam sumbangannya terhadap pendapatan nasional. Hal tersebut bisa terjadi karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sangat mendukung kemajuan sektor pertanian. Kebijakan tersebut tercantum dalam rencana pembangunan lima tahun
(REPELITA) satu dan dua. Dalam kebijakan tersebut sektor pertanian menjadi prioritas yang paling utama dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Pada tahun 1984, Indonesia mengalami ketahanan pangan yang cukup kuat dan berhasil melakukan ekspor hasil-hasil pertanian (beras) ke mancanegara. Menurut Irawan dan Friyanto (2002) terdapat dua faktor kunci keberhasilan pencapaian swasembada beras, yaitu meningkatnya produktivitas usahatani
karena perbaikan teknologi usahatani, serta tersedianya anggaran pemerintah yang cukup karena oil boom untuk membiayai berbagai proyek dan program pengembangan teknologi usahatani. Namun, adanya perubahan kebijakan dari pemerintah yang beralih ke peningkatan industri yang bersifat foot lose, yang semula pada sektor pertanian, membuat sektor tersebut kembali mengalami penurunan. Terlebih saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, sektor pertanian mengalami masa-masa sulit. Masyarakat bahkan para petani mengalami kegoncangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Orientasi pemerintah yang mengarah pada sektor industri dan jasa menyebabkan terjadinya pergeseran sumbangan sektor pertanian bagi pendapatan negara. Petani dan pihak-pihak lain mulai melakukan alih fungsi lahan (konversi lahan) untuk bertahan hidup.
Proses alih fungsi lahan pertanian (konversi lahan) dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan oleh pihak lain. Proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain biasanya berlangsung melalui dua tahapan, yaitu: (1) pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, (2) pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Dengan demikian pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu: (1) mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan atau (2) mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap keseimbangan pengadaan pangan (Nasoetion, 2006).
Bagi sektor pertanian dan daerah pedesaan alih fungsi lahan tanaman pangan memberikan dua dampak utama yaitu penurunan kapasitas produksi pangan dan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian. Iqbal dan Sumaryanto (2007) menyatakan bahwa terjadinya konversi lahan sawah sangat dipengaruhi oleh permintaan terhadap lahan menurut sektor perekonomian, yaitu penggunaan untuk non pertanian dan pertanian.
Sangatlah menarik dikaji secara teoritik beberapa hal terkait dinamika konversi lahan pertanian di Indonesia, yaitu:
-
1. Analisis-analisis apa saja yang dapat digunakan untuk perencanaan lahan pertanian dalam
mengendalikan konversi lahan pertanian?
-
2. Bagaimana arahan-arahan kebijakan secara
deskriptif untuk pengendalian konversi lahan pertanian?
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kajian teoritik dari berbagai hasil penelitian dan teori-teori yang terkait dengan konversi lahan pertanian. Pendekatan dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan dikaji secara global yang mencakup lingkup Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian memiliki dimensi yang sangat luas, tidak hanya berdampak pada penurunan produksi pertanian, tetapi juga berdampak pada pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, dan prioritas pembangunan suatu wilayah. Konversi lahan ini juga menimbulkan multiplier effect, salah satunya adalah meningkatnya harga tanah di sekitar lahan yang terkena konversi lahan. Petani yang memiliki lahan luas akan menikmati tingginya harga tanah, sedangkan petani yang memiliki lahan sempit biasanya akan berubah status dari pemilik lahan menjadi buruh tani atau terpaksa melakukan migrasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiguna (2007) menjelaskan bahwa dampak dari konversi lahan adalah sebagai berikut:
-
1. Ancaman terhadap keberlangsungan
swasembada pangan
Berkurangnya produksi pangan akibat konversi lahan pertanian adalah bersifat permanen, karena proses konversi lahan pertanian menjadi non pertanian sifatnya tidak dapat balik (irreversible) yaitu sekali lahan pertanian tersebut berubah fungsi maka lahan tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai sawah.
-
2. Ancaman terhadap kualitas lingkungan
Lahan pertanian tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk budidaya padi tetapi dapat menjadi lahan yang efektif untuk menampung kelebihan air limpasan, pengendali banjir dan pelestarian lingkungan. Apabila sehamparan lahan sawah beralih fungsi untuk pembangunan kawasan perumahan, hotel atau industri maka dengan sendirinya lahan di sekitarnya akan terkena pengaruh dari konversi tersebut. Lahan untuk menampung kelebihan air akan semakin berkurang sehingga bencana seperti banjir akan semakin sering terjadi. Selain itu harga lahan tersebut pada umumnya akan meningkat dan apabila pemiliknya tetap tidak menggunakan lahan sebagai usaha tani maka dalam jangka panjang kualitas lingkungan ekologinya akan menurun sehingga produktifitas juga menurun.
-
3. Ancaman terhadap penyerapan tenaga kerja Konversi lahan pertanian pada hakikatnya tidak hanya menyangkut hilangnya peluang memproduksi pangan tetapi juga menyangkut hilangnya kesempatan kerja. Seperti diketahui usaha tani mempunyai kaitan dengan berbagai usaha di bagian hulu dan hilir, maka dengan lahan terkonversi akan hilang kesempatan untuk mendapat pekerjaan.
-
4. Ancaman terhadap organisasi subak
Apabila penyusutan areal lahan sawah beririgasi terus berlanjut dikhawatirkan bahwa organisasi subak yang merupakan warisan leluhur yang sudah terkenal sampai ke mancanegara akan terancam punah. Subak yang merupakan organisasi bersifat sosio-agraris-religius akan
hilang sehingga akan berimbas pada terdegradasinya kebudayaan Bali dan dampaknya akan sangat besar bukan hanya bagi pertanian tapi juga akan berdampak terhadap pariwisata Bali (Sutawan, 2009).
Metode Analisis Perencanaan Lahan Pertanian
Terjadinya konversi lahan pertanian memerlukan beberapa metode analisis untuk merancang dan me-manage penggunaan lahan pertanian, diantaranya: 1. Metode evaluasi lahan
Lahan merupakan sumberdaya yang digunakan untuk sumber kemakmuran. Degradasi lahan harus dihindari dan penggunaan lahan disesuaikan dengan kemampuannya sehingga dapat dimanfaatkan secara lestari dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia baik untuk saat sekarang maupun saat mendatang. Evaluasi lahan mempunyai peranan penting untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan yang rasional, tepat, dan berkelanjutan penggunaannya.
Evaluasi lahan kualitatif berdasarkan sistem pakar (Expert System) telah dikembangkan oleh Rossiter pada tahun 1990. ALES (Automated Land Evaluation System) merupakan pendekatan evaluasi lahan yang berbasis pengetahuan lokal untuk menilai kesesuaian lahan pada wilayah yang akan direncanakan. ALES sesuai digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan pada skala perencanaan wilayah. Faktor kunci keberhasilan pemanfaatan ALES adalah perancangan sistematika pohon keputusan sebelum perangkat tersebut digunakan dalam kegiatan evaluasi. Rossiter (1996, dalam Nasution dan Sumono, 2000) menyatakan bahwa pemodelan kuantitatif dalam evaluasi lahan digolongkan dalam dua pendekatan, yaitu; model empirik (model statistik) dan model dinamik. Tujuan utama pemodelan dalam evaluasi lahan secara kuantitatif adalah untuk memprediksi produksi melalui suatu ″nilai″ lahan yang secara langsung menggambarkan produktivitasnya.
-
2. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Kerski (2008) memaparkan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen basis data yang terkomputerisasi untuk mendapatkan data, mengumpulkan data, mengolah kembali, mentransformasikan dan mengumpulkan data, mengolah kembali, mentranformasikan dan melakukan analisis sekaligus menampilkan obyek baik secara spasial maupun dalam bentuk tabel. Secara lebih komprehensif SIG didefinisikan sebagai suatu sistem yang terintegrasi menggunakan perangkat komputer untuk melakukan proses yang berkelanjutan dan menyeluruh yang meliputi pengumpulan data (capture), penyimpanan data (storage), pengaksesan data (retrieval), analisis dan menampilkan data (display) menggunakan posisi obyek di permukaan bumi yang
terintegrasi untuk mendukung pengambilan keputusan.
Sistem informasi geografi menawarkan suatu sistem yang mengintegrasikan data yang bersifat keruangan (spasial/geografis) dengan data tekstual yang merupakan deskripsi menyeluruh tentang obyek dan keterkaitannya dengan obyek lain. Dengan sistem ini data dapat dikelola, dilakukan manipulasi untuk keperluan analisis secara komprehensif dan sekaligus menampilkan hasilnya dalam berbagai format baik dalam bentuk peta maupun berupa tabel atau laporan.
Arahan Kebijakan Secara Deskriptif dalam Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangan terhadap PDRB, penyedia lapangan kerja dan penyedia pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi dari lahan pertanian.
Upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena lahan sawah merupakan private goods yang legal untuk ditransaksikan. Lahan sebagai private goods berbeda dengan common goods yang dapat dikendalikan pemanfaatannya berdasarkan kesepakatan sosial, seperti layaknya pada kawasan hutan dan perairan masih dapat dilindungi pemanfaatannya dengan kesepakatan masyarakat setempat. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Namun hal tersebut hendaknya didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai (Suwarno, 1996). Dari tiga faktor diatas, faktor ekonomi dan perangkat hukum secara simultan diharapkan dapat mengendalikan konversi lahan sawah. Beberapa konsep pengendalian telah direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Namun karena belum adanya pemberdayaan hukum yang konsisten dan dibutuhkan prasyarat yang ketat, maka pengendalian konversi lahan cenderung tidak efektif.
Menurut Irawan dan Friyatno (2002) pengendalian dengan instrumen ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme kompensasi dan kebijakan pajak progresif. Kebijakan pajak progresif relatif mudah diaplikasikan dan sudah dirintis oleh pemerintah. Namun dua peneliti tersebut mengkhawatirkan
penggunaan pendekatan kompensasi dan pajak progresif akan mengarah kepada kondisi kapitalis dimana sumberdaya lahan akan dikuasai dan dimiliki oleh orang yang modalnya kuat. Dengan pendataan yang akurat dan penegakan hukum yang konsisten, sebenarnya pengenaan pajak progresif cenderung lebih aplikatif. Kekhawatiran mengarah pada kapitalis dapat dihambat dengan penegakan hukum. Kalaupun terjadi transaksi dengan harga yang relatif mahal. Untuk kebutuhan konsumtif (perumahan) sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah, karena dibebankan pada konsumen yang umumnya berpendapatan menengah ke atas. Jika konsumennya untuk kegiatan industri, akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Namun dengan kondisi pasar yang makin mengglobal, ekonomi biaya tinggi akan menjadi tidak efisen dan kalah bersaing. Hal tersebut seharusnya menyebabkan investor mengalihkan ke lahan yang sesuai dengan peruntukkannya. Apalagi pemerintah menyediakan fasilitas industri, perkantoran dan perdagangan yang dilengkapi dengan sarana penunjang lainnya. Dana yang diperoleh dari penerimaan pajak progresif bisa digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi. Sejalan dengan upaya peningkatan keakuratan data dan perangkat hukum yang tegas, upaya yang realistis untuk dilakukan adalah mencetak sawah baru dan meningkatkan kualitas irigasi
Irawan dan Firyanto (2002) memaparkan bahwa upaya-upaya pencegahan juga dilakukan untuk petani gurem (kepemilikan lahan < 0,5 hektar) yang menjual atau mengkonversi lahan pertaniannya. Upaya-upaya tersebut antara lain:
-
1. Meningkatkan peran penyuluh pertanian untuk memberikan penyuluhan tentang teknologi tepat guna, mulai dari budidaya sampai penanganan pasca panen dan melakukan fungsi pendampingan dan pembinaan terhadap petani sehingga pola pikir petani yang tadinya sangat tradisional menjadi lebih progresif dan terpacu untuk memajukan usaha taninya.
-
2. Mengusahakan usaha taninya secara kolektif atau berkelompok agar lebih mudah dalam mendapatkan modal melalui kredit yang disediakan oleh pemerintah. Peran pemerintah dalam hal ini adalah memberikan kemudahan pada kelompok tani tersebut dalam mendapatkan kredit lunak, sehingga dengan modal yang ada petani dapat menjalankan usaha taninya dengan sungguh-sungguh.
-
3. Pembangunan infra struktur, kepastian harga dan pasar dari komoditi yang diusahakan juga merupakan hal penting dalam upaya meningkatan kesejahteraan petani. Diharapkan secara bertahap pemerintah dapat membangun infrastruktur sampai ke desa-desa sehingga petani dapat mengangkut hasil panennya. Penetapan harga dasar untuk komoditi pangan juga perlu menjadi perhatian pemerintah, disamping adanya pasar yang pasti untuk petani menjual hasil panennya.
Hingga saat ini kekhawatiran juga terjadi dalam hal penerapan hukum yang berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah. Data menunjukkan konversi lahan sawah terus terjadi. Nasoetion (2006) dan Sihaloho et al. (2007) memaparkan bahwa permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan terjadinya akumulasi penguasaan lahan pada pihak tertentu dapat dijawab dengan reformasi agraria. Namun kegiatan ini membutuhkan tenaga pelaksana yang jujur, tersedianya data penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, dan dukungan dana yang terus menerus. Prasyarat tersebut menyebabkan banyak negara gagal melaksanakannya.
Peraturan-peraturan yang terkait dengan pencegahan konversi lahan sebenarnya telah ada sebelumnya. Peraturan-peraturan tersebut adalah (Purwoko, 2015):
-
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada menteri agraria untuk menetapkan maksimum luas tanah yang boleh ditanami dan atau minimum luas tanah yang harus disediakan untuk suatu jenis tanaman tertentu yang alokasinya untuk desa-desa ditentukan oleh kepala daerah tingkat II.
-
2. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian atau dikenal dengan Undang-Undang land reform. Undang-undang ini menetapkan minimum dan maksimum luas lahan pertanian yang boleh dikuasai oleh perorangan dan keluarganya yakni batas minimum adalah 2 hektar dan batas maksimum antara 5-20 hektar, tergantung jenis tanah (sawah atau tanah kering) dan kepadatan penduduk. Dalam Undang-undang ini ditetapkan ancaman pidana bagi pelanggar larangan pemindahan hak yang mengakibatkan timbulnya atau terus berlangsungnya pemilikan tanah yang kurang dari 2 hektar.
-
3. Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Surat Menteri Teknis terkait yang mengatur bagaimana agar konversi lahan ini tidak terjadi khususnya lahan sawah irigasi misalnya Kepres Nomor 54 tahun 1980 tentang pencetakan sawah, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 5334/MU/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang perubahan penggunaan tanah sawah berigasi teknis untuk penggunaan non pertanian, Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, dan lain-lain.
Semua perundang-undang di atas belum efektif untuk mencegah konversi lahan karena ketiadaan penegakan hukum (law enforcement), kemungkinan besar hal yang sama akan terjadi pula pada Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU Nomor 41 Tahun 2009). Peraturan-peraturan tersebut tidak dilengkapi
dengan sistem pemberian sanksi bagi pelanggar dan sistem penghargaan atau insentif bagi yang patuh. Payung hukum seperti Undang-Undang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan menjadi tidak bermakna ketika nilai rente tanah pada kenyataannya tetap diserahkan pada mekanisme pasar. Para pelaku pasar berpikir keuntungan dalam perspektif myopik dan personal. Dengan pola pandang yang sedemikian maka penggunaan lahan pasti ditujukan untuk kegiatan ekonomi yang memberikan hasil (return) yang tertinggi. Dengan demikian hampir dapat dipastikan lahan-lahan Jawa dan luar Jawa yang subur dalam benak para pelaku pasar akan jauh menguntungkan (profitable) jika ”ditanam” pabrik, perumahan (real estate) atau aktivitas industri lainnya dibandingkan ditanam tanaman pangan.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 pasal 73 juga menyebutkan pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan. Pada pasal tersebut menyebutkan bahwa kawasan budidaya tanaman pangan ditetapkan dengan beberapa kriteria, yaitu:
-
a. Memenuhi keseuaian lahan sebagai kawasan pertanian lahan pangan berkelanjutan.
-
b. Pemanfaatan semua lahan-lahan yang sudah mendapatkan pengairan tetapi belum dimanfaatkan sebagai lahan sawah, khususnya di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana, dan Buleleng.
-
c. Pengoptimalan produktivitas lahan-lahan sawah yang sudah ada melalui program sawah yang sudah ada melalui program intensifikasi di seluruh wilayah kabupaten/kota.
-
d. Pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kegiatan budidaya lainnya, seperti akomodasi/fasilitas pariwisata, industri, perumahan skala besar, kecuali untuk penyediaan prasarana umum di seluruh wilayah kabupaten/kota.
Dalam Perda Provinsi Bali ini juga diatur sanksi bagi pelanggar sebesar Rp 50 juta rupiah namun implementasinya belum terlihat jelas kesesuaian dari sanksi tersebut. Disamping itu sistem penghargaan (reward) bagi yang menjaga
kelestarian lahan pangan berkelanjutan belum nampak pada perda tersebut.
Nasoetion (2006) memaparkan bahwa terdapat tiga kendala mendasar sulitnya peraturan-peraturan tersebut untuk diimplementasikan. Kendala tersebut meliputi:
-
1. Kendala koordinasi kebijakan
Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
-
2. Kendala pelaksanaan kebijakan
Peraturan-peraturan pengendalian alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang
dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.
-
3. Kendala konsistensi perencanaan RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalihfungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.
Nasoetion (2006), Simatupang dan Irawan (2002) juga mengatakan bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
-
1. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah direkayasa, sehingga alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
-
2. Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.
-
3. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggungjawab, mengingat izin alih fungsi lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.
-
4. Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya membutuhkan lahan.
Iqbal dan Sumaryanto (2007) memaparkan pendapat Pearce dan Turner mengenai tiga pendekatan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Tiga pendekatan tersebut adalah:
-
1. Peraturan (regulation)
Pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan
praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan RTRW.
-
2. Akuisisi dan manajemen (acquisition and
management)
Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
-
3. Insentif dan biaya (incentive and charges) Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya. Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan
pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak-pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan sarana produksi pertanian. Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumen-instrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi pelanggaran (reward and punishment). Kebijakan zonasi
berhubungan dengan ketatalaksanaan tata ruang wilayah melalui pengelompokan (cluster) lahan menjadi tiga kategori zona pengendalian, yaitu lahan yang dilindungi (tidak boleh dialihfungsikan), alih fungsi terbatas, dan boleh dialihfungsikan. Zonasi diatur berdasarkan kriteria klasifikasi irigasi, intensitas tanam, dan produktivitas lahan sawah. Kriteria irigasi dibedakan atas lahan sawah beririgasi dan nonirigasi. Kriteria intensitas tanam adalah satu hingga dua kali tanam per tahun, sedangkan
kriteria produktivitas yaitu di bawah 4,5 ton/ha/panen .
Alternatif kebijakan yang diperlukan untuk perlindungan lahan pertanian (Irawan, 2005):
-
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi Konversi lahan sawah dapat diperkecil dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Berdasarkan sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi untuk dirubah, sedangkan dari sisi permintaan dapat ditempuh melalui:
-
a. Pengembangan pajak tanah yang progresif.
-
b. Peningkatan efisiensi kebutuhan lahan
untuk non pertanian sehingga tidak
terdapat tanah yang terlantar.
-
c. Pengembangan prinsip hemat lahan untuk
industri, perumahan, dan perdagangan.
-
2. Mengendalikan kegiatan konversi lahan
-
a. Pembatasan konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan yang tinggi.
-
b. Pengarahan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan
pada kawasan yang kurang produktif.
-
c. Pembatasan luas lahan yang dapat dikonversi di setiap kabupatan atau kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri.
-
d. Penetapan kawasan pangan abadi yang tidak boleh dikonversi dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat.
-
3. Instrumen pengendalian konversi lahan Instrumen yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pengendalian lahan sawah adalah melalui instrumen yuridis dan non yuridis, yaitu:
-
a. Instrumen yuridis berupa peraturan
perundang-undangan yang mengikat dengan ketentuan sanksi yang memadai.
-
b. Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan sawah dan pemerintah daerah setempat.
-
c. Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk mendorong pemerintah daerah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian (sawah).
-
d. Instrumen RTRW dan perizinan lokasi.
Dalam pembuatan RTRW dan perizinan lokasi di areal lahan pertanian perlu melibatkan unsur kelembagaan lokal dari perencanaan sampai evaluasi.
Upaya-upaya pengendalian konversi lahan tersebut sebaiknya selalu melibatkan lembaga legitimator tradisional, misalnya rembug desa, sangkepan desa. Pihak pemerintah hanya berperan sebagai pihak ketiga yang menjalankan fungsi sebagai pengawas dan penimbang keputusan
Kebijakan dalam pengendalian konversi lahan dan berbasis kelembagaan lokal diarahkan bagi pemerintah setempat, kelembagaan lokal, dan masyarakat setempat. Semua komponen tersebut pada dasarnya harus mendapatkan arahan insentif dan disinsentif.
Ketentuan insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang. Ketentuan insentif berfungsi sebagai:
-
1. Ketentuan untuk menyusun perangkat dalam rangka mendorong kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.
-
2. Katalisator perwujudan pemanfaatan ruang.
-
3. Stimulan dalam mempercepat perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten.
Ketentuan insentif tersebut disusun berdasarkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten, ketentuan umum peraturan zonasi wilayah kabupaten, dan peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. Ketentuan insentif diberikan dalam bentuk:
-
1. Ketentuan insentif fiskal berupa arahan untuk pemberian keringanan atau pembebasan pajak atau retribusi daerah.
-
2. Ketentuan insentif non fiskal berupa arahan untuk penambahan dana alokasi khusus, pemberian kompensasi, subsidi silang, kemudahan prosedur perizinan, imbalan, sewa ruang, pembangunan dan pengadaan infrastruktur, pengurangan retribusi, prasarana dan sarana, penghargaan dari pemerintah kepada masyarakat, swasta, dan pemerintah daerah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kajian teoritis dinamika konversi lahan pertanian dapat dianalisis dengan menggunakan metode evaluasi lahan melalui pendekatan empirik (statistik) dan model dinamik, dan melalui penggunaan metode Sistem Informasi Geografis (dalam bentuk peta atau dalam bentuk data spasial). Metode analisis tersebut merupakan suatu pendekatan perencanaan penggunaan lahan pertanian di masa mendatang agar konversi lahan pertanian dapat terkendali.
Arahan kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian secara deskriptif dapat didekati melalui instrumen yuridis, instrumen RTRW dan perizinan lokasi serta pemberian insentif bagi petani yang mempertahankan lahan pertaniannya dan pemberian disinsentif bagi petani atau pihak-pihak yang melakukan konversi lahan pertanian.
Saran
Kajian teoritik dinamika konversi lahan pertanian akan terlihat secara implementatif jika diterapkan metode-metode analisis tersebut di lapangan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan integrasi dari kedua metode tersebut sehingga terlihat dengan jelas jumlah lahan pertanian yang
harus dilindungi dan yang dapat digunakan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 5(2):167-182.
Irawan B. dan Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Universitas Udayana, SOCA. 2(2):79–95.
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(1):1-18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Kerski, Joseph J. 2008. The role of GIS in Digital Earth education. International Journal of Digital Earth, Vol. 1, No. 4, December 2008.
Nasoetion L. 2006. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan Implementasinya. Dalam Kurnia dkk. (eds). Makalah Seminar Nasional “Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Nasution, Z dan Sumono. 2000. Karakteristik dan Kebutuhan Konservasi Lahan Gambut Dataran Tinggi Lintong Nihuta. Kongres Nasional IV dan Seminar Nasional MKTI, Medan.
Purwoko. 2015. Peraturan-Peraturan yang Terkait dengan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Studi Ekonomi, Bogor.
Sihaloho M, Arya HD, dan Said R. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Studi Kasus di Kelurahan Mulyaharaja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 1(2):253-270.
Simatupang P, Bambang I. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian : Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Makalah Seminar Nasional “Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian”, 25 Oktober 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Sutawan N. 2009. Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Suwarno PS. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah Penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 121 - 134. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
Wiguna. 2007. Transformasi Inovasi Teknologi Pertanian dengan Pendekatan Ecofarming pada Ekosistem Subak di Bali. Laporan Akhir Pengkajian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Widhianthini, et al., Kajian..|61
Discussion and feedback