Jurnal Manajemen Agribisnis

Vol.5, No.2, Oktober 2017

ISSN: 2355-0759

RANTAI NILAI PEMASARAN AKAR WANGI INDONESIA

Marketing Value Chain of Indonesia Vetiver

V. Rostwentivaivi, I. Tustiyani

Fakultas Pertanian, Universitas Garut, Jawa Barat, Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRACT

Vetiver has a high economic value because it can be processed into processed products, such as essential oil and handicraft products. Demand and price of essential oil has increased for last three years. The price of essential oil in 2017 reach on 4,000,000,- IDR per kg. This condition drives farmers to re-cultivate vetiver on their farm. The highest vetiver production area of Indonesia is located on Garut regency. This regency accounts for 90 percent of Indonesia's vetiver production. There are six districts in Garut regency which is the center of the production of vetiver. This research was conducted on four districts, it is Cilawu, Samarang, Bayongbong, and Leles. The purpose of this study is to analyze the value chain of vetiver marketing and to see the structure and behavior of the market. The research method uses the Porter value chain. The market structure examine market concentration and entry barriers, whereas market behavior sees the activity of marketing agencies on three marketing functions. The results showed that the market structure of vetiver was concentrated weakly with a value of 0.05 and no barriers to entry with a value of 5 percent. Vetiver marketing agencies perform marketing functions (exchange, physical, and facility) and there are six marketing channels from farmers to consumers. There is no training and development of business actor, except in the vetiver industry sector.

Keywords: Value Chain, Marketing, Vetiver

ABSTRAK

Akar wangi memiliki nilai ekonomis tinggi karena dapat diproses menjadi produk olahan, seperti minyak atsiri dan produk kerajinan. Permintaan dan harga minyak atsiri meningkat sejak tiga tahun terakhir. Harga minyak atsiri tahun 2017 mencapai Rp. 4.000.000,- per kg. Kondisi ini mendorong petani untuk kembali melakukan budidaya akar wangi di lahan mereka. Area produksi akar wangi terbesar Indonesia berada di Kabupaten Garut. Kabupaten ini menyumbang 90 persen produksi akar wangi Indonesia. Terdapat enam kecamatan di Kabupaten Garut yang merupakan sentra produksi akar wangi. Penelitian ini dilaksanakan di empat kecamatan, yaitu Cilawu, Samarang, Bayongbong, dan Leles. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis rantai nilai pemasaran akar wangi dan melihat struktur serta perilaku pasar. Metode penelitian menggunakan rantai nilai Porter. Struktur pasar membahas konsentrasi pasar dan hambatan masuk, sedangkan perilaku pasar melihat aktivitas lembaga pemasaran pada tiga fungsi pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan struktur pasar akar wangi terkonsentrasi lemah dengan nilai 0,05 dan tidak ada hambatan masuk dengan nilai 5 persen. Lembaga pemasaran akar wangi melakukan fungsi-fungsi pemasaran (pertukaran, fisik, dan fasilitas) dan terdapat enam saluran pemasaran dari petani hingga konsumen. Tidak ada pelatihan dan pengembangan yang didapatkan pelaku usaha, kecuali pada sektor industri

kerajinan akar wangi.

Keywords : Rantai Nilai, Pemasaran, Akar Wangi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah produsen akar wangi kedua terbesar setelah negara Haiti. Akar wangi (Vetiveria zizanoides L.) merupakan tanaman yang tumbuh baik di Kabupaten Garut dengan iklim tropis pada ketinggian 500-1.500 mdpl, curah hujan 1.5002.500 mm per tahun, suhu 17-27°C, derajat keasaman tanah (pH) 6-7 dan curah hujan cukup mencapai 140 hari per tahun. Akar wangi dipanen pada usia di atas 8 bulan. Kabupaten Garut menyumbang 90 persen dari total produksi minyak

atsiri akar wangi di Indonesia, yaitu 50-75 ton per tahun. Tidak semua kecamatan di Kabupaten Garut yang cocok ditanam akar wangi, hanya terdapat 6 kecamatan yang merupakan area penanaman akar wangi yaitu Cilawu, Samarang, Bayongbong, Leles, Tarogong Kaler, dan Pasirwangi. Selain minyak atsiri, akar wangi dapat diolah menjadi produk kerajinan yang memiliki nilai tambah tinggi. Lebih dari 100 produk kerajinan sudah terjual di pasar domestik maupun pasar luar negeri.

Produksi akar wangi segar di Kabupaten Garut mengalami penurunan dari tahun 2012-2016 (Dinas

Pertanian Kabupaten Garut, 2017). Penurunan produksi disebabkan beralihnya petani melakukan budidaya tanaman hortikultura sebagai usaha utama mereka. Budidaya akar wangi hanya menjadi pekerjaan sampingan sebagian besar petani di Kabupaten Garut karena akar wangi dapat dipanen hanya satu kali dalam satu tahun. Petani membudidayakan komoditas hortikultura untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Harga minyak atsiri terlihat mengalami peningkatan dari tahun 2015 dengan harga rata-rata Rp. 1.250.000,- per kg hingga mencapai sekitar Rp. 4.000.000,- per kg pada tahun 2017.

Permintaan minyak atsiri akar wangi diperkiran mencapai 300 ton per tahun, sedangkan pemenuhan pasar minyak atsiri Indonesia sekitar 50 ton per tahun. Kondisi ini mengindikasikan terbukanya peluang untuk memenuhi permintaan pasar dunia. Pemasaran minyak atsiri seluruhnya didistribusikan ke perusahaan ekspor yang berada di wilayah Jakarta dan Bogor. Industri pengolahan minyak atsiri melakukan kerjasama dengan perusahaan ekspor. Di sisi lain, industri kerajinan mengalami kesulitan dalam pemenuhan pasokan bahan baku untuk kebutuhan pasar domestik maupun luar negeri.

KAJIAN PUSTAKA

Penurunan produksi akar wangi terjadi beberapa tahun belakangan ini. Rochdiani (2008) menjelaskan penurunan produksi mencapai 50-60 persen akibat penurunan harga minyak akar wangi internasional. Sebesar 87 persen petani akar wangi melakukan sistem budidaya polikultur dengan komoditas hortikultura dalam satu lahan dan 13 persen menanam dengan sistem monokultur akar vwangi. Penanaman secara polikultur dinilai dapat meningkatkan pendapatan petani dibandingkan dengan monokultur. Rendemen dan kualitas minyak atsiri saat ini dinilai masih rendah. Hal ini disebabkan dari rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya sederhana, proses pascapanen belum tepat (Adiwijaya dan Malika, 2016). Penelitian tersebut sesuai dengan kondisi di lapangan yang menunjukkan sebesar 1.500-2.200 kg akar wangi segar hanya menghasilkan 3-5 kg minyak atsiri.

Pemasaran memiliki peranan penting di dalam rantai nilai. Kegiatan ini dapat mempengaruhi hubungan antara perusahaan dengan pelanggan dalam proses dan pasca pengembangan (Prajogo et al., 2008). Chopra dan Meindl (2007) mengungkapkan bahwa strategi rantai pasok harus dengan rantai nilai dari pengembangan produk baru, pemasaran dan penjualan, operasi, distribusi dan pelayanan. Hal senada diungkapkan Porter (1993) dimana rantai nilai dibagi dua aktivitas, yaitu aktivitas primer dan pendukung. Kedua aktivitas memiliki peranan yang berbeda-beda. Rantai nilai memiliki keuntungan (Sinaga, 2014), yaitu a)

perubahan fokus dari dorongan penawaran kepada penarikan permintaan dari konsumen akhir, b) menambahkan aktivitas pendukung dalam aktivitas primer, c) penerapan teknologi, sumberdaya manusia, infrastruktur, dan pembelian mendukung aktivitas menambah nilai guna produk, d) menemukan aktivitas yang potensial (menambah guna produk dari awal hingga ke konsumen). Selain itu, Kaplinsky (2000) menjelaskan dampak ekonomi juga dapat dianalisis dengan menggunakan rantai nilai.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan pada empat kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu Cilawu, Samarang, Bayongbong, dan Leles. Penentuan lokasi penelitian merupakan area produksi tertinggi akar wangi sehingga dapat merepresentasikan total produksi akar wangi Kabupaten Garut. Responden yang diwawancarai terdiri dari 90 orang petani akar wangi, 12 orang pedagang, 6 orang industri pengolahan minyak atsiri, dan 1 pelaku industri pengolahan kerajinan akar wangi. Teknik pengambilan data dengan snowball sampling, yaitu mengikuti alur pemasaran dari petani hingga konsumen. Penentuan responden dengan cara purposive (sengaja). Metode dalam penelitian ini adalah rantai nilai porter yang membagi 2 aktivitas, yaitu aktivitas primer dan aktivitas pendukung, serta struktur dan perilaku pasar akar wangi.

Konsentrasi Pasar

Konsentrasi pasar dapat dihitung dengan metode Eight Firm Concentration Ratio (CR 8). Metode ini ingin melihat output delapan pedagang akar wangi di Kabupaten Garut. Adapun perhitungan CR 8 adalah sebagai berikut:

S1+S2+S3+S4++S8

Keterangan :

CR 8    = Konsentrasi Rasio

  • S1      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 1 (ton/tahun)

  • S2      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 2 (ton/tahun)

  • S3      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 3 (ton/tahun)

  • S4      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 4 (ton/tahun)

  • S5      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 5 (ton/tahun)

  • S6      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 6 (ton/tahun)

  • S7      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 7 (ton/tahun)

  • S8      = Volume penjualan akar wangi oleh

pedagang 8 (ton/tahun)

ST      =  Total Penjualan  Akar  Wangi di

Kabupaten Garut (ton/tahun)

Hambatan Keluar Masuk Pasar

Hambatan keluar masuk pasar dihitung dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Jika nilai lebih dari 10 persen maka terdapat hambatan masuk (Jaya, 2001). Perhitungan MES adalah sebagai berikut :

Mgs penjualan akar wangi olepedagang total akar wangi di Kabupaten Garut

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Struktur Pasar

Penelitian ini menganalisis struktur pasar akar wangi di Kabupaten Garut dengan perhitungan konsentrasi pasar (Eight Firm Concentration Ratio) dan hambatan keluar masuk pasar. Eight Firm Concentration Ratio (CR 8) digunakan untuk menganalisis apakah pasar berada pada konsentrasi kuat ataupun lemah. Baye (2010) menjelaskan jika CR 8 mendekati satu (1) maka indikasi pasar pada konsentrasi kuat, artinya semakin sedikit produsen yang berada dalam pasar dan menguasai hampir sebagian besar pasar. Jika CR 8 mendekat nol (0) maka pasar terkonsentrasi lemah, artinya semakin kuat dan ketat persaingan karena tidak ada produsen yang menguasai pasar secara signifikan.

Hasil penelitian menunjukkan nilai CR 8 sebesar 0,05. Nilai ini didapatkan dari perhitungan penjualan akar wangi oleh 8 pedagang di Kabupaten Garut. Nilai konsentrasi mendekati nol (0) menunjukkan bahwa pasar akar wangi berada pada konsentrasi lemah yang berarti pedagang tidak memberikan peningkatan persaingan antara produsen untuk menjual kepada konsumen. Munculnya beberapa pedagang baru disebabkan oleh peningkatan harga akar wangi tiga tahun terakhir, sehingga penjualan akar wangi dari petani terbagi kepada pedagang baru yang bermunculan. Selain itu, pedagang baru juga didukung dengan pemberian modal dari industri pengolahan yang memiliki kepentingan agar pasokan bahan baku industri semakin meningkat.

Kajian struktur pasar menganalisis hambatan keluar masuk pasar yang dihitung dengan Minimum Efficiency Scale (MES). Jaya (2001) menjelaskan jika nilai MES lebih dari 10 persen maka terdapat hambatan masuk dalam pemasaran akar wangi. Kajian pada pemasaran akar wangi menunjukkan nilai MES yang terjadi sebesar 5 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tidak ada hambatan masuk pada sistem pemasaran akar wangi. Pernyataan ini dapat dijelaskan dengan fenomena semakin banyak pedagang baru yang bermunculan untuk merebut pangsa pasar pedagang lama dari petani dan menggeliatnya usaha budidaya akar wangi yang kembali dilakukan oleh petani sebagai pemasok

bahan baku karena melihat bahwa permintaan dan harga jual yang tinggi.

Perilaku Pasar

Perilaku pasar terbagi menjadi 3 fungsi pemasaran, yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan, dan pemrosesan), dan fungsi fasilitas (sortasi, grading, informasi harga, penyediaan dana, dan risiko). Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi pemasaran yang berbeda-beda. Perilaku pasar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Fungsi-fungsi Pemasaran

I.P1)

N

Fungsi-Fungsi

Peta

(miny

I.P

o.

Pemasaran

ni

ang

ak atsiri )

(keraji nan)

1.

Pertuka   a. Beli

x

ran        b. Jual

2.

Fisik      a.

Angku t

b.

Simpa n

c.

Proses

x

3.

Fasili       a.

tas         Sortas

i, Gradi ng

x

b.

Infor masi Harga

c.

Dana

d.

Risiko

*

  • 1)        : Industri Pengolahan

Keterangan :

√       = Sering

  • •       = Kadang-kadang

x       = Tidak Pernah

Kegiatan Penjualan dan Pembelian

Kegiatan penjualan dan pembelian dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran. Penjualan akar wangi segar dilakukan saat usia panen mencapai 1 tahun. Pembelian langsung dilakukan oleh pedagang dengan sistem tebas di lahan untuk memanen akar wangi segar. Pedagang mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp. 250.000,- untuk satu kali pengiriman

Pengangkutan, Penyimpanan, dan Pemrosesan

Petani jarang melakukan pengangkutan dan penyimpanan akar wangi. Proses pengolahan tidak dilakukan petani karena tidak memiliki pengetahun dan fasilitas sarana yang memadai. Biaya pengangkutan yang dikeluarkan pedagang adalah Rp. 1.000-1.200,- per kg (borongan). Penyimpanan jarang dilakukan oleh pedagang maupun industri

pengolahan untuk menghindari penurunan kualitas dan bobot akar wangi..

Sumber Modal

Modal merupakan aspek penting dalam budidaya akar wangi. Sumber modal dapat berasal dari modal sendiri, pinjaman keluarga, pinjaman lembaga pemasaran, dll. Sumber modal pada budidaya ada akar wangi menunjukkan sebesar 69 persen (modal sendiri) dan 31 persen (modal dari pinjaman keluarga maupun lembaga pemasaran). Kebutuhan input pertanian untuk lahan seluas 1 ha rata-rata sebesar Rp. 15.000.000,-. Jika sumber modal berasal dari keluarga atau lembaga pemasaran maka akan dipotong saat panen.

Analisis Saluran Pemasaran Akar Wangi

Pemasaran adalah proses distribusi suatu produk dari produsen hingga ke konsumen. Tidak hanya proses menjual produk tetapi lebih pada penekanan kepuasan pelanggan. Kotler dan Amstrong (2008) menjelaskan dua sasaran pemasaran, yaitu menarik pelanggan baru dan menjanjikan keunggulan nilai dan menjaga serta menumbuhkan pelanggan yang ada dengan memberikan kepuasan. Saluran pemasaran akar wangi di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 1.

Saluran 1 : Petani akar wangi – pedagang – industri pengolahan (minyak atsiri) – perusahaan ekspor – konsumen luar negeri.

Saluran 2 : Petani – (petani dan pedagang) – industri pengolahan (minyak atsiri) – perusahaan ekspor – konsumen luar negeri.

Saluran 3 : Petani akar wangi – industri pengolahan (minyak atsiri) – perusahaan ekspor – konsumen luar negeri

Saluran 4 : Petani akar wangi – industri pengolahan (kerajinan) – konsumen

Saluran 5 : Industri pengolahan (kerajinan) – toko kerajinan – konsumen

Saluran 6 : Industri pengolahan (kerajinan) – reseller – konsumen

Keterangan :

Saluran 1 =►

Saluran 2 =^^^^.

Saluran 3 =    ►

Saluran 4 =>

Saluran 5 =            fr

Saluran 6 =   ^_^_^.

Pemasaran secara luas merupakan proses sosial dan manajerial dimana pribadi dan organisasi memperoleh apa yang dibutuhkan dan diinginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain. Seperti yang diungkapkan Kotler dan Amstrong (2008) bahwa tujuan organisasi tergantung pada pengetahuan akan kebutuhan dan keinginan target pasar serta memberikan kepuasan yang diinginkan dengan lebih baik daripada pesaing. Pemasaran akar wangi di Kabupaten Garut menunjukkan bahwa petani menjual akar wangi segar kepada pedagang (16,67 persen), petani sekaligus pedagang (42,86 persen), industri pengolahan minyak atsiri (39,29 persen), dan industri kerajinan (1,18 persen). Industri pengolahan minyak atsiri mendistribukan 100 persen hasil olahannya kepada perusahaan ekspor. Sedangkan industri kerajinan mendistribusikan kepada konsumen akhir (60 persen), reseller (10 persen), dan toko kerajinan (30 persen). Industri kerajinan sangat memperhatikan kualitas produk dan mengutamakan kepuasan pelanggan.

Analisis Rantai Nilai Pemasaran

Porter (1993) membagi 2 aktivitas dalam rantai nilai, diantaranya aktivitas primer (logistik ke dalam, operasi, logistik ke luar, penjualan dan pemasaran, serta pelayanan) dan aktivitas pendukung (pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumberdaya manusia, serta infrastruktur perusahaan). Analisis rantai nilai dilakukan untuk memahami aktivitas lembaga pemasaran akar wangi yang terintegrasi dari produk tersebut dirancang, diproduksi, hingga didistribusikan untuk sampai kepada pelanggan. Rantai nilai pemasaran akar wangi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Saluran Pemasaran Akar Wangi Kabupaten Garut

Pedagang

Infrastruktur Perusahaan

Aktivit as Pendu kung


Manajemen Sumber 1Daya Manusia

M


A

Pengembangan Teknologi Illl


Gambar 2. Rantai Nilai Akar Wangi di Kabupaten Garut

Aktivitas Primer Petani Akar Wangi

Analisis aktivitas primer dilakukan terhadap petani (produsen) akar wangi, menunjukkan hasil bahwa petani yang sudah lama melakukan budidaya akar wangi tidak membutuhkan bonggol (bibit) akar wangi yang baru karena dapat memanfaatkan sisa tebasan akar wangi pada musim sebelumnya. Jika petani memerlukan bonggol, petani dapat membeli dari petani lain dengan harga Rp. 3.000-5.000,- per kg. Sekitar 85 persen petani akar wangi melakukan budidaya dengan cara tumpangsari (polikultur). Cara ini dilakukan untuk meningkatan pendapatan petani karena akar wangi dapat dipanen satu kali dalam satu tahun.

Pemasaran akar wangi dilakukan dengan sistem tebas, yaitu saat akar wangi siap di panen, petani dan pedagang melakukan negosiasi (penetapan harga) hingga mencapai kesepakatan. Setelah itu pedagang dapat mengambil akar wangi di lahan petani dan menyisakan sekitar sepertiga untuk dijadikan bibit kembali. Pembayaran dilakukan secara langsung (cash). Petani melakukan pelayanan dengan penyediaan bahan baku yang dibutuhkan dengan kualitas baik.

Pedagang merupakan lembaga pemasaran yang memiliki peranan penting dalam distribusi bahan baku. Seluruh pedagang mendapatkan akar wangi segar dari petani yang dikenalnya. Pedagang memiliki tenaga kerja panen yang diupah borongan dengan biaya Rp. 1.000-1.200,- per kg. Pedagang juga menyediakan transportasi (kendaraan) untuk mengangkut hasil panen dari lahan ke lokasi industri pengolahan. Biaya transportasi yang dibutuhkan dalam satu kali pengiriman sekitar Rp. 250.000,- (biaya angkut, bahan bakar, supir, dan sewa mobil). Pengiriman dilakukan pada siang dan sore hari. Pedagang mendapatkan modal dari industri pengolahan untuk mencari akar wangi di lapangan. Rata-rata modal yang diberikan bervariasi sekitar Rp 200.000.000-1.000.000.000,- per tahun. Kendala yang dialami oleh pedagang adalah tidak loyalnya petani sebagai pemasok bahan baku. Petani yang telah diberikan modal budidaya menjual hasil panennya kepada pedagang lain.

Industri Pengolahan Minyak Atsiri

Sektor industri pengolahan memiliki peran penting, bukan hanya sebagai sektor yang memberikan nilai tambah namun juga sebagai pembuka saluran pemasaran bagi produk olahan (minyak atsiri). Saat ini harga minyak atsiri mencapai Rp. 4.000.000,- per kg. Peningkatan harga disebabkan tingginya permintaan pasar global dan kurangnya persediaan minyak atsiri. Minimnya pasokan ke pasar global disebabkan oleh penurunan produksi akar wangi dari produsen utama (Haiti) karena terjadinya bencana alam di negara setempat beberapa waktu lalu. Pelaku industri pengolahan yang memiliki alat penyulingan dapat menyewakan alatnya kepada pelaku lain dengan harga sekitar Rp. 200.000-250.000,- untuk satu kali penyulingan. Industri pengolahan minyak atsiri mendapatkan modal awal dari perusahaan ekspor dengan nominal bervariasi. Pemberian modal bertujuan agar industri pengolahan mampu memenuhi kebutuhan ekspor. Volume pengiriman minyak atsiri minimal 25 kg atau tergantung dengan kontrak yang sudah disepakati antara pengusaha dan pelaku industri. Pengiriman dilakukan sebanyak 1-2 kali per minggu.

Industri Pengolahan Kerajinan


Industri Pengolahan Kerajinan


Jumlah pelaku industri pengolahan kerajinan di Kabupaten Garut relatif terbatas karena kriteria akar wangi yang dibutuhkan lebih spesifik dibandingkan dengan industri penyulingan. Kriteria akar wangi segar untuk kerajinan adalah panjang akar sekitar 40 cm, rimbun, dan sehat. Harga beli akar wangi lebih tinggi untuk kerajinan, yaitu Rp. 37.500,- per kg. Pelayanan yang diberikan industri pengolahan kerajinan adalah kualitas produk kerajinan yang sesuai dengan keinginan konsumen.

Aktivitas Pendukung Petani

Pembelian sarana produksi dilakukan petani di toko pertanian kecamatan. Kesulitan mendapatkan pupuk, tingginya harga pupuk, biaya transportasi yang tinggi, jauhnya lokasi pembelian sarana prasarana pertanian menjadi kendala yang dirasakan petani. Ketersediaan tenaga kerja saat panen raya menjadi hambatan sehingga membutuhkan waktu panen yang lebih lama. Tidak ada pelatihan dan pengembangan khusus bagi pekerja maupun petani.

Pedagang

Pedagang memiliki ikatan kontrak dengan industri pengolahan. Tugas utama pedagang adalah menyediakan bahan baku yang dibutuhkan industri pengolahan untuk penyulingan. Pedagang tidak memiliki teknologi dalam menjalankan tugasnya. Pedagang hanya memiliki tenaga kerja saat panen, pengangkutan, dan pengiriman akar wangi. Tidak ada pelatihan dan pengembangan yang didapatkan oleh pedagang.

Industri Pengolahan Minyak Atsiri

Dalam proses penyulingan, industri pengolahan memerlukan bahan baku (akar wangi segar), bahan bakar (oli), serta tenaga kerja. Bahan baku didapatkan dari petnai maupun pedagang. Bahan bakar didapatkan dari penampung di sekitar wilayah Garut. Tenaga kerja industri pengolahan minyak atsiri memiliki keterampilan dan mendapatkan pelatihan dalam pembuatan minyak atsiri. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam satu kali penyulingan adalah 3-4 orang dengan upah Rp. 200.000-300.000,- (sistem borongan).

Industri kerajinan mendapatkan bahan pendukung dari wilayah Garut, seperti kain batik, benang, bambu, cat air, dll. Teknologi industri kerajinan didapagt dari pengembangan produk dan kreativitas pelaku usaha. Industri pengolahan kerajinan memiliki 15 orang tenaga kerja tetap dan pengrajin. Tenaga kerja memiliki keahlian dan keterampilan dalam menciptakan produk kerajinan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah struktur pasar menunjukkan terkonsentrasi lemah dengan nilai 0,05 yang mengindikasikan bahwa munculnya pedagang-pedagang baru mampu meningkatkan persaingan dan pasar akar wangi tidak dikuasai sepenuhnya oleh pedagang yang ada. Tidak ada hambatan masuk pada sistem pemasaran akar wangi sehingga masyarakat yang ingin mengusahakan akar wangi dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pasar. Analisis rantai nilai pemasaran akar wangi mampu memberikan peningkatan nilai dari bahan baku menjadi produk olahan, yaitu minyak atsiri dan produk kerajinan. Peningkatan nilai dirasakan oleh lembaga pemasaran dari produsen, pedagang, industri pengolahan hingga konsumen dengan melakukan aktivitas primer dan pendukung. Pemasaran minyak atsiri dan produk kerajinan dilakukan tanpa adanya peran andil dari pemerintah setempat. Pelaku usaha mencari saluran pemasaran secara mandiri, yaitu dengan kontrak kerjasama antara industri pengolahan minyak atsiri dengan perusahaan ekspor. Industri kerajinan secara mandiri menjalankan usahanya dengan bekerjasama dengan reseller untuk memasarkan produknya. Selain itu, harga minyak atsiri yang tinggi mampu memberikan peningkatan pendapatan pelaku usaha akar wangi di Kabupaten Garut.

Saran

Saran yang diperlukan dan juga menjadi pertimbangan adalah perlu dibentuk kelembagaan akar wangi dari produsen sampai industri pengolahan. Kelembagaan ini berfungsi dalam mengatur produksi, harga, dan pemasaran akar wangi di Kabupaten Garut. Peran pemerintah sangat dibutuhkan

dalam membuka pasar minyak atsiri dan produk kerajinan baik dalam maupun luar negeri agar mekanisme pasar dapat berjalan lebih baik lagi. Peran penyuluh diharapkan bagi petani dalam membudidayakan akar wangi dengan cara yang baik sehingga hasil akar wangi dapat maksimal.

Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti) tentang pelaksanaan Penelitian Dosen Pemula (PDP) program hibah tahun 2017. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi untuk pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwijaya J.C, Malika U.E. 2016. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Atsiri Berdasarkan Aspek Finansial Dan Teknologi. Jurnal Ilmiah Inovasi. Vol 1(3): 187-192.

Baye M. 2010. Manajerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition. Singapore (SG) : McGraw-Hill.

Jaya WK. 2001. Ekonomi Industri. BPFE. Yogyakarta.

Kaplinsky R, Morris M. 2000. A Handbook For Value Chain Research.

Kotler P, Amstrong G. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 12, Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Kotler P, Amstrong G. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 12, Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Porter ME. 1993. Keunggulan Bersaing (Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul). Tim Penerjemah Binarupa Aksara.

Rochdiani D. 2008. Pola Pendapatan Petani Akar Wangi Di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Jurnal Agrikultura Vol 19(3): 201-207.

Sinaga VR. 2014. Analisis Rantai Nilai Pemasaran Kentang Granola Di

Rostwentivaivi dan Tustiyani, Rantai Nilai....| 55