Kepastian Hukum Kewajiban Saksi Instrumenter Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Autentik dan Akibat Hukumnya Terhadap Notaris
on

Vol. 8 No. 01 April 2023
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Kepastian Hukum Kewajiban Saksi Instrumenter Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Autentik dan Akibat Hukumnya Terhadap Notaris
I Dewa Gede Agung Putra Diatmika1, Ayu Putu Laksmi Danyathi2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: pudiatmika12@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: laksmi_danyathi@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk : 7 Februari 2023 Diterima : 4 April 2023 Terbit : 25 April 2023
Keywords :
Instrumental Witness;
Confidentiality of the Authentic Deed; Notary;
Arrangement;
Kata kunci:
Saksi Instrumenter; Kerahasiaan Akta Autentik; Notaris; Pengaturan;
Corresponding Author:
I Dewa Gede Agung Putra Diatmika, E-mail: pudiatmika12@gmail.com
DOI :
Abstract
This research aims to examine the legal consequences of the nonregulation of the obligation of instrumental witnesses to maintain the confidentiality of authentic deeds against a notary and examine the formulation of arrangements for instrumental witness obligations in maintaining the confidentiality of the authentic deeds. This research uses normative legal research methods that use statutory and legal concept analysis approaches based on primary, secondary, and tertiary legal material sources, with the snowball method, as well as using descriptive analysis techniques and argumentative techniques. The results show that legal consequences of non-regulation of the obligation of instrumental witnesses to maintain the secrecy of authentic deeds to notaries is that notaries have the potential to be dragged into and subject to administrative sanctions, civil sanctions, and criminal sanctions due to the actions of instrumental witnesses who disclose secret deeds. Arrangements regarding the obligation of instrumental witnesses to maintain the confidentiality of the authentic deeds are important for legal certainty, provide protection to the parties involved in the deed and provide a sense of security to the notary. It is necessary to add arrangements for the obligations of deed witnesses/instrumental witnesses to maintain the confidentiality of the authentic deeds in the Explanation of Article 16 paragraph (1) letter f UUJN-P, as well as add to the understanding of deed witnesses/instrumental witnesses in the General Provisions Article 1 UUJN-P.
Abstrak
Penelitian ini dibuat dengan tujuan mengkaji akibat hukum tidak diaturnya kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik terhadap notaris dan mengkaji formulasi pengaturan kewajiban saksi instrumenter dalam menjaga kerahasiaan akta autentik. Metode penelitiannya yaitu metode penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum, berdasarkan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan metode bola salju, serta menggunakan teknik analisis deskriptif dan teknik argumentatif. Hasil penelitiannya yaitu akibat hukum tidak diaturnya kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta autentik terhadap notaris adalah notaris
10.24843/AC.2023.v08.i01.p11
berpotensi ikut terseret dan dikenakan sanksi administrasi, sanksi perdata, serta sanksi pidana akibat perbuatan saksi instrumenter yang membuka rahasia akta. Pengaturan tentang kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik penting untuk kepastian hukum, memberikan perlindungan kepada para pihak yang terkait dalam akta dan memberikan rasa aman kepada notaris. Perlu menambahkan pengaturan kewajiban saksi akta/saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P, serta menambah pengertian saksi akta/saksi instrumenter dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UUJN-P.
-
I. Pendahuluan
Eksistensi jabatan notaris telah dikehendaki peraturan perundang-undangan yang mana tujuannya untuk bisa memberi pelayanan kepada kalangan masyarakat umum terkait kebutuhannya untuk memperoleh suatu alat bukti dalam bentuk tertulis yang sifatnya autentik tentang suatu peristiwa ataupun mengenai perbuatan hukum. Pentingnya kepastian dan terjaminnya perlindungan hukum sangat diperlukan serta diharapkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga penting suatu akta autentik untuk memberikan kejelasan terkait penentuan hak maupun kewajiban pihak yang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.1
Keberadaan notaris adalah bentuk usaha dari negara yang tujuannya adalah kepastian serta demi perlindungan hukum untuk kalangan masyarakat yang membutuhkan adanya suatu alat bukti atas perjanjian yang dilakukannya, guna menghindari adanya masalah di kemudian hari. Dalam ranah hukum perdata, negara melalui undang-undang memposisikan notaris ialah sebagai pejabat umum dengan kewenangan membuat akta-akta autentik berdasarkan kehendak dari pihak-pihak yang berkeinginan untuk menuangkan keinginannya ke dalam akta autentik notaris, sehingga bisa dikatakan notaris diberikan kewenangan menjalankan sebagian dari tugas negara dalam ranah hukum privat yang dapat dibuktikan melalui kewenangan notaris dalam menggunakan cap/stempel dengan lambang negara Indonesia.
Payung hukum jabatan notaris yakni “Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya ditulis UUJN) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya ditulis UUJN-P).” Kedua peraturan tersebut menjadi pedoman untuk notaris ketika melaksanakan kewenangan tugas jabatannya, disamping juga ada peraturan-peraturan lainnya yang wajib pula notaris perhatikan.
Notaris ialah pejabat umum, yang artinya pejabat yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan kepentingan umum. Notaris berwenang dalam pembuatan akta-akta autentik yang ditentukan dalam Pasal 15 UUJN-P. Pengaturan akta autentik bisa dilihat
dalam pengaturan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis KUHPerdata). Adapun syarat sebagai akta autentik sebagaimana berdasarkan pasal tersebut yaitu “akta dibuat menurut undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang membuatnya.”
Dalam konteks “akta autentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang”, artinya merupakan dasar dari kedudukan notaris yang merupakan pejabat umum yang kemudian diterjemahkan Pasal 1 angka 1 UUJN-P yang menentukan : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”
Ada perbedaan kharakteristik tentang akta notaris sebagai akta autentik dengan pejabat umum lain yang memiliki produk akta autentik. Keautentikan akta notaris terletak pada tanggung jawab notaris terhadap kebenaran peristiwa terjadinya perbuatan/peristiwa hukum dalam akta, selain kebenaran mengenai hal-hal yang disepakati dalam akta yang dituangkan ke dalam akta notaris. Akta catatan sipil tidak menjamin kebenaran peristiwa hukum, tetapi hanya sebagai catatan administratif belaka, artinya sama-sama merupakan alat bukti namun bersifat administratif.
Kekuatan hukum akta autentik yaitu akta autentik dalam pembuktian di pengadilan merupakan alat bukti yang sempurna, namun dikatakan sempurna sepanjang proses pembuatannya berdasarkan aturan yang ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata, serta bentuk dan persyaratan berdasarkan aturan dalam UUJN/UUJN-P. Maksud memiliki kekuatan hukum yang sempurna yaitu dalam pembuktian tidak membutuhkan lagi tambahan alat bukti lain. Kekuatan hukum yang sempurna tersebut melekat dalam akta itu sendiri, oleh karenanya tidak lagi perlu dibuktikan. Namun suatu akta autentik tidak selalu memiliki kekuatan hukum sempurna sepanjang dapat dibuktikan bahwa akta tersebut palsu atau terdapat cacat secara formil maupun materiil. Oleh karenanya, akta autentik memiliki kekuatan pembuktian lahiriah (dari lahirnya/melihat saja sudah kelihatan merupakan akta autentik), pembuktian formil (telah dibuat berdasarkan aturan hukum yang berlaku) dan pembuktian materiil (berdasarkan kebenaran yang diperlihatkan oleh para penghadap kepada notaris).2
Pembuatan akta autentik oleh pejabat umum notaris wajib mengacu pada pengaturan Pasal 38 UUJN-P terkait anatomi akta yang wajib dipatuhi dan dipenuhi sebagai syarat formal suatu akta, dimana pada pasal tersebut terdapat tiga poin penting dalam pembuatan akta yakni adanya kepala akta, badan akta dan penutup akta.3 Notaris dalam membuat akta autentik mesti mengkonstatir fakta-fakta empiris yang disampaikan para pihak yang menghadap secara langsung ke kantor notaris untuk kemudian fakta-fakta yang disampaikan itu dapat dikonstatir menjadi suatu fakta
yuridis, kemudian dilanjutkan dengan menentukan jenis akta yang akan dibuat berdasarkan fakta-fakta itu, menuangkan kehendak-kehendak para pihak ke dalam akta, melakukan pembacaan akta dan terakhir dilanjutkan dengan menandatangani akta yang dilakukan para pihak, para saksi serta notaris.
Mengenai akta autentik yang oleh notaris sudah dibuat berdasarkan keinginan-keinginan atau sudah berdasarkan kehendak yang diinginkan para pihak yang berkepentingan tersebut, maka wajib bagi notaris menjaga kerahasiaan akta itu sesuai dengan aturan yang sudah diamanatkan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Mengacu pada pembacaan akta yang ditentukan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P menentukan :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”
Persyaratan yang sudah ditentukan dalam pasal di atas, bilamana tidak bisa dipenuhi, akta autentik notaris tersebut yang dibuat oleh para pihak hanya akan memiliki kekuatan sebagai akta di bawah tangan saja. Disamping adanya kehadiran dari para pihak terkait yang berkepentingan dalam akta, diharuskan pula oleh undang-undang untuk dihadiri minimal dengan dua orang saksi. Saksi yang dimaksud ini, pada prakteknya dalam dunia kenotariatan disebut dengan saksi akta atau disebut juga sebagai saksi instrumenter.
Penting untuk disampaikan bahwa definisi saksi akta/saksi instrumenter, apabila ditelaah baik dari UUJN ataupun UUJN-P, ketentuan yang mengatur mengenai pengertian saksi akta/saksi instrumenter ini, termasuk penyebutannya dalam undang-undang tidak ditemukan, akan tetapi pada praktik notaris/dalam dunia kenotariatan, saksi sebagaimana yang disebut/ditentukan pada Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P merupakan saksi akta/saksi intrumenter.
Ada dua jenis saksi yang dikenal dalam dunia kenotariatan, yakni saksi pengenal dan saksi instrumenter. Adapun yang dimaksud sebagai saksi pengenal ialah seorang saksi yang mengajak/mendatangkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk membuat akta kepada notaris, dengan syarat seseorang tersebut berusia minimal 18 tahun atau orang tersebut harus sudah kawin, serta harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum.4 Sementara saksi intrumenter yaitu saksi akta yang harus ada, umumnya merupakan pegawai kantor notaris. Tidak ada pengaturan bahwa harus pegawai notaris yang menjadi saksi instrumenter, mahasiswa magang yang sedang melakukan magang di kantor notaris juga bisa sebagai saksi instrumenter, namun
kembali kepada notaris itu sendiri yang umumnya memilih seseorang yang notaris tersebut kenal dan percayai untuk menjadi seorang saksi dalam akta, sehingga berbeda dengan saksi pengenal yang bersifat aksesoir, yakni boleh ada dan boleh tidak. Oleh karenanya, akta notaris sebagai akta autentik wajib ada saksi akta/saksi instrumenternya.
Tujuan dari adanya saksi instrumenter dalam pembacaan akta juga sebagai bentuk perlindungan hukum kepada notaris bilamana terhadap salah satu pihak mengingkari kesepakatan yang sudah disepakati dalam akta tersebut di kemudian hari. Saat pembacaan akta sesuai yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P tersebut, saksi instrumenter hadir, sehingga menyaksikan, mendengar dan mengetahui isi akta yang dibacakan notaris. Akan tetapi dalam payung hukum jabatan notaris, baik UUJN maupun UUJN-P hanya mengatur kewajiban notaris untuk menjaga keharasiaan akta, sedangkan terhadap saksi instrumenter tidak ada pengaturannya. Hal ini menandakan adanya kekosongan norma tentang kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta. Apabila dikaitkan dengan notaris, dengan tidak ada pengaturan mengenai kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta, maka saksi instrumenter berpotensi membuka rahasia akta dan berpotensi pula membahayakan notaris. Padahal melihat dari aspek filosofinya, pengaturan tersebut penting demi untuk kepastian hukum dan perlindungan terhadap pihak-pihak terkait, terhadap saksi instrumenter serta notaris.
Terkait orisinalitas penelitian yang dibuat, dengan mengaitkan pada penelitian sebelumnya yang dibuat oleh “Ida Ayu Kadek Kusumaningrum, I Gusti Ngurah Wairocana dan I Dewa Made Suartha pada tahun 2017 tentang Kewajiban Saksi Instrumenter Merahasiakan Isi Akta Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, yang membahas kewajiban saksi instrumenter untuk merahasiakan isi akta terkait kedudukannya dalam pembuatan akta dan tanggung jawab saksi instrumenter terhadap kerahasian akta autentik.”5
Pada penelitian ini ada arah bahasan yang baru, yakni dengan mengaitkan akibat hukum dari tidak adanya pengaturan tentang kewajiban menjaga rahasia akta oleh saksi instrumenter terhadap notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik, serta menganalisis formulasi pengaturan baik pengaturan saat ini (ius constitutum) maupun pengaturan untuk di masa yang akan datang (ius constituendum), maka rumusan masalah yang hendak dibahas yaitu bagaimana akibat hukum tidak diaturnya kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik terhadap notaris dan bagaimana formulasi pengaturan kewajiban saksi instrumenter dalam menjaga kerahasiaan akta autentik. Tujuan penelitian yang dibuat yakni untuk mengkaji dan menganalisis akibat hukum tidak diaturnya kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerhasiaan akta autentik terhadap notaris dan untuk mengkaji dan menganalisis formulasi pengaturan kewajiban saksi instrumenter dalam menjaga kerahasiaan akta autentik, sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para pihak, para saksi akta/saksi instrumenter dan notaris. Dengan demikian, menjadi menarik untuk menelaah lebih dalam tentang “Kepastian Hukum Kewajiban Saksi Instrumenter
Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Autentik dan Akibat Hukumnya Terhadap Notaris”.
Penelitian hukum berkaitan dengan proses dalam mendapatkan pengaturan hukum, tentang prinsip hukum maupun pendapat-pendapat ahli hukum yang dapat sebagai dasar pemikiran dalam menjawab rumusan masalah yang akan dikaji. Penelitian yang dibuat termasuk jenis penelitian hukum normatif, karena fokus kajiannya didasarkan atas adanya kekosongan norma tentang kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta autentik yang dipandang sangat penting/perlu. Adapun pendekatannya berdasarkan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Disamping itu, juga menggunakan sumber bahan hukum primer yakni didapat dari perundang-undangan seperti “Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Sumber bahan hukum sekunder didapat dari buku-buku tentang hukum dan sumber bahan hukum tersier diperoleh dari jurnal-jurnal hukum yang didapat dari internet. Sementara teknik pengumpulan bahan hukumnya menggunakan metode bola salju (snow ball method) untuk menunjang pembahasan pada penelitian yang dibuat. Teknik analisis bahan hukum dengan teknik analisis deskriptif, yang menguraikan apa adanya mengenai keadaan hukum yang terjadi mengenai kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta yang dikaitkan dengan perundang-undangan yang terkait, buku-buku maupun jurnal-jurnal tentang hukum yang terkait, dan menggunakan teknik argumentatif dengan memberikan argumentasi hukum.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Notaris mempunyai kewajiban yang ditentukan payung hukum jabatannya untuk menjaga kerahasiaan akta autentik. Kewajiban menjaga rahasia akta termasuk keterangan-keterangan yang disampaikan para pihak yang menghadap, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan/keinginan para pihak tersebut yang mana perbuatan hukumnya dikonstatir oleh notaris dan dituangkan ke dalam akta autentik. Disamping itu notaris mempunyai hak ingkar, yakni merupakan hak untuk menolak memberikan komentar/kesaksian tentang hal yang berkaitan dengan isi akta di dalam proses peradilan di pengadilan, karena merupakan rahasia jabatan, sehingga dalam hal terjadinya sengketa dan telah masuk ke ranah pengadilan, penyidik akan melakukan pemanggilan kepada notaris yang bersangkutan sebagai saksi dalam rangka penegakan hukum, maka notaris dapat menolak memberikan keterangan terhadap akta yang dibuatnya atas dasar hak ingkar yang dimilikinya.6
Kewajiban menjaga kerahasiaan akta yang dimiliki oleh notaris tidak dimiliki oleh saksi instrumenter. Tidak ada ketentuan dalam payung hukum jabatan notaris yaitu UUJN/UUJN-P yang mewajibkan saksi instrumenter untuk menjaga rahasia akta, termasuk juga tidak memiliki hak ingkar terhadap akta sebagaimana yang dimiliki notaris. Jika dicermati, tentu keberadaan saksi instrumenter sangat penting, dimana dapat dilihat dari kehadirannya yang diharuskan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.
Pada dasarnya saksi instrumenter ini merupakan bagian dari aspek formal pembuatan akta autentik. Dengan tidak hadirnya saksi instrumenter, suatu akta autentik notaris hanya akan diakui menjadi akta dibawah tangan. Bahwa saksi instrumenter hadir menyaksikan, mendengar dan mengetahui isi akta ketika dilakukan pembacaan akta oleh notaris kepada para pihak yang menghadap dan saksi instrumenter. Kemudian para pihak, saksi instrumenter dan notaris ikut melakukan penandatanganan akta. Dengan demikian, seharusnya kewajiban yang saat ini ditentukan kepada notaris untuk merahasiakan isi akta juga menjadi kewajiban bagi saksi instrumenter. Apabila dilihat dalam kedudukannya, saksi instrumenter tidaklah sama dengan saksi pada umumnya. Saksi pada umumnya adalah orang yang dihadirkan untuk memberikan kesaksian terhadap suatu perbuatan hukum, sedangkan saksi instrumenter diharuskan untuk hadir demi memenuhi persyaratan formal dalam pembuatan akta, yang mana kehadirannya tersebut untuk memberikan kesaksian mengenai kebenaran dari sudah terlaksananya atau terpenuhinya persyaratan formal sesuai dengan yang ditentukan dalam payung hukum jabatannya.7
Pasal 40 UUJN-P telah menentukan syarat sebagai saksi instrumenter yang menentukan harus sudah dewasa, berumur sekurang-kurangnya 18 tahun atau seseorang tersebut sudah kawin, telah cakap bertindak menurut hukum, bisa memahami dan mengerti bahasa dalam akta, tidak memiliki ikatan darah/keluarga dengan notaris maupun para penghadap dalam hubungan garis ke atas maupun ke bawah tanpa batas tingkatan atau garis menyamping sampai dengan tingkatan ketiga. Tujuan dari eksistensi saksi instrumenter pada dasarnya untuk alat bukti dalam memberikan kesaksian dan sebagai bentuk perlindungan kepada notaris bilamana para pihak atau terhadap pihak ketiga memperkarakan akta yang yang sudah dibuat oleh notaris tersebut.8
Saksi instrumenter diwajibkan oleh undang-undang untuk menyaksikan formalitas peresmian akta, yang maksudnya bahwa, peresmian tersebut telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditentukan oleh aturan dalam UUJN maupun UUJN-P sebagai syarat suatu akta agar bisa mempunyai kekuatan pembuktian menjadi alat bukti yang sempurna. Saksi instrumenter sebagai saksi akta hadir pada saat pembacaan dan penandatanganan akta. Dengan demikian, hanya berdasarkan kehadiran dari saksi instrumenter pada pembacaan dan penandatanganan akta tersebut bisa memberikan kesaksian, jika memang benar telah terpenuhinya formalitas sebagaimana diamanatkan
payung hukum jabatan notaris, yaitu sebelum dilakukan penandatanganan akta oleh para pihak yang terkait, sebelum itu akta itu harus dibacakan notaris lebih dahulu kepada para pihak yang terkait tersebut dan para saksi akta, baru segera oleh para pihak, para saksi dan notaris melakukan penandatanganan akta.9 Apabila terjadi sengketa dan pemanggilan terhadap saksi instrumenter oleh penyidik kepolisian maupun oleh hakim ke pengadilan, saksi instrumenter hanya memberikan penjelasan tentang hal-hal yang saksi itu ketahui terkait formalitas akta. Notaris dalam akta bertanggung jawab atas bagian awal akta dan penutup akta, untuk isi akta adalah tanggung jawab dari para pihak, karena para pihak yang telah sepakat mengenai isi dari perjanjian yang dilakukannya dan notaris hanya menuangkan keinginan dari para pihak itu ke dalam akta autentik berdasarkan hal-hal yang mereka telah sepakati.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa saksi instrumenter umumnya merupakan pegawai kantor notaris yang notaris kenal. Bahkan frasa ini tertulis di akta yang dibuat oleh notaris pada bagian penutup akta. Dengan adanya kekosongan norma mengenai kewajiban saksi instrumenter menjaga rahasia akta, maka saksi instrumenter akan berpotensi membuka isi akta. Akan berdampak buruk jika notaris dan pegawainya tersebut memiliki hubungan yang kurang baik atau pegawai notaris yang merupakan saksi instrumenter telah berhenti bekerja di kantor notaris tersebut, sehingga ia merasa tidak memiliki tanggung jawab lagi untuk menjaga rahasia isi akta.
Hal ini dapat berdampak buruk bilamana di kemudian hari perbuatan dari saksi instrumenter dengan membuka rahasia akta yang berisi identitas dari para pihak menyebabkan kerugain terhadap pihak yang ada dalam akta tersebut. Bagi saksi instrumenter yang karena tindakan atau perbuatannya dengan membuka rahasia akta, sampai kemudian membahayakan atau menyebabkan kerugian bagi para pihak dalam akta, terhadap saksi instrumenter tersebut dapat dikatakan sudah melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Adapun untuk pihak yang mengalami kerugian yang disebabkan perbuatan saksi instrumenter, bisa melakukan gugatan secara perdata untuk meminta ganti rugi kepada notaris, namun harus bisa dibuktikan kerugian yang dialaminya tersebut adalah akibat langsung dari akta notaris yang notaris buat. Sehingga akibat perbuatan saksi instrumenter yang membuka isi akta tersebut, selain menyebabkan masalah pada dirinya juga akan menyeret notaris ke dalam masalah.
Berdasarkan teori pertanggungjawaban menurut Hans Kelsen, seorang dapat dikatakan berdasarkan hukum, bertanggung jawab terhadap perbuatan tertentu, sehingga ia bisa dikenai sanksi pada kasus perbuatan yang bertentangan dengan norma/kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Umumnya, ia dikenakan sanksi karena memang perbuatannya sendiri yang mengakibatkan ia harus bertanggung jawab.10 Tanggung jawab itu ialah suatu kewajiban terhadap seseorang dalam melaksanakan segala hal yang sudah diwajibkan kepadanya. Tanggung jawab ialah keadaan wajib menerima sesuatu, sehingga bertanggung jawab itu berkewajiban memikul, menanggung segala sesuatu
dan menerima akibatnya.11 Jika dikaitkan dengan saksi instrumenter yang membuka rahasia akta, maka berdasarkan teori ini, saksi instrumenter tetap harus bertanggung jawab secara pribadi, karena perbuatannya sendiri yang membuka rahasia akta sehingga menyebabkan kerugian kepada pihak dalam akta.
Dalam kaitannya dengan notaris, bahwa notaris ikut bertanggung jawab terhadap perbuatan saksi instrumenter yang membuka isi akta, yang mengakibatkan pihak dalam akta mengalami kerugian. Apabila memperhatikan pengaturan perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam KUHPerdata, maka dapat dilihat terdapat 2 bentuk tanggung jawab yakni tanggung jawab langsung dan tanggung jawab tidak langsung. Tentang tanggung jawab langsung tersirat dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Aturan pada pasal di atas, ialah dasar pertanggungjawaban perdata bagi saksi instrumenter yang telah membuka rahasia akta. Selanjutnya tanggung jawab tidak langsung dalam kaitannya dengan notaris dan pegawainya (saksi instrumenter) tersirat dalam ketentuan Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUHPerdata, yang menentukan :
“Ayat (1), Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”
“Ayat (3), majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”
Mencermati ketentuan tersebut terkait tanggung jawab tidak langsung dalam Pasal 1367 KUHPerdata, maka notaris bertanggung jawab secara perdata terhadap perbuatan melawan hukum saksi instrumenter yang dalam kedudukannya merupakan pegawai kantor notaris. Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya dibantu oleh pegawai kantor notaris, seperti mengadministrasikan protokol kantor notaris.12 Notaris memiliki tanggung jawab terhadap pegawainya, karena bekerja membantu notaris melaksanakan tugas jabatannya. Oleh karenanya, meskipun pelanggaran membuka rahasia akta dilakukan oleh saksi instrumenter yang merupakan pegawai kantor notaris, akan tetapi Notaris yang mempekerjakannya pun akan ikut bertanggungjawab karena pegawai kantor notaris di bawah pengawasan dan kewenangan dari notaris. Dengan kata lain notaris telah lalai dalam mengawasi dan mengontrol pegawainya tersebut untuk menjaga rahasia akta, sehingga ia harus bertanggung jawab terhadap pegawainya atas dasar hubungan pekerja dan atasan.
Memperhatikan pengaturan dalam UUJN/UUJN-P, pemberian/penjatuhan sanksi terhadap notaris hanya berupa sanksi administratif dan sanksi perdata. Terkait dengan sanksi pidana, pada UUJN/UUJN-P tidak terdapat ketentuannya, sehingga penerapan sanksi pidana terhadap notaris dapat dengan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP).
Akibat hukum dari perbuatan saksi instrumenter yang membuka rahasia akta yang menyebabkan tuntutan dari para pihak dalam akta, yaitu terhadap perbuatan itu bisa dikenakan sanksi secara administrasi, secara perdata dan pidana. Akibat hukum secara administrasi terhadap saksi instrumenter/pegawai kantor notaris dapat berupa teguran, sanksi dan pemberhentian oleh Notaris. Notaris memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif kepada saksi instrumenter/pegawainya tersebut karena kedudukan notaris sebagai atasan yang wajib dan berwenang untuk mengawasi dan mengontrol pegawainya tersebut, apalagi karena akibat perbuatan pegawai kantor notaris membuka rahasia akta yang kemudian menyebabkan notaris dituntut oleh pihak yang dirugikan.
Disamping terhadap saksi instrumenter, notaris juga dalam hal ini akan mendapat teguran atau peringatan dari Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya ditulis MPD), yaitu badan yang berwenang dan memiliki tugas untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada notaris, melakukan pemeriksaan serta memberikan sanksi kepada notaris yang sudah melanggar payung hukum jabatannya di daerah atau wilayah kabupaten atau kota.13 Kewenangan MPD sebagai pengawas notaris ditentukan dalam Pasal 69 UUJN-P dan Pasal 70 UUJN. MPD terdiri dari 3 orang yang berasal dari pemerintahan, 3 orang yang berasal dari organisasi notaris dan 3 orang yang berasal dari akademisi.
Mengacu pada akibat hukum secara perdata bagi saksi instrumenter yang membuka rahasia akta, yaitu dengan berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga saksi instrumenter/pegawai kantor notaris itu harus mengganti rugi dengan membayar ganti kerugian terhadap para pihak yang mengalami kerugian. Sementara terhadap notaris, dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan melawan hukum secara tidak langsung dengan mengacu pada Pasal 1367 KUHPerdata, sehingga notaris ikut dikenakan sanksi secara perdata atas perbuatan dari saksi instrumenter yang membuka rahasia akta.
Terkait dengan sanksi pidananya, terhadap perbuatan membuka rahasia akta umumnya bisa dikenakan Pasal 322 KUHP yang menentukan :
“Ayat (1), Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjaaanya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak Rp.9000,-.”
“Ayat (2), Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.”
Perbuatan membuka rahasia tersebut harus memenuhi unsur dengan sengaja. Seseorang dapat dikatakan memenuhi unsur dengan sengaja/dikatakan berbuat dengan sengaja, ketika seseorang tersebut menghendaki sesuatu hal yang diperbuatnya dan ia mengetahui tentang sesuatu yang diperbuatnya itu, sehingga memang ada kesadaran untuk melakukan sesuatu. Berbeda halnya dengan perbuatan yang tidak dengan sengaja, dimana seseorang tersebut tidak sengaja artinya tidak mengetahui/tidak memiliki kesadaran maupun niatan untuk melakukan suatu hal itu.14
Unsur dengan sengaja dalam kaitannya dengan rahasia akta, artinya memang memiliki niat untuk membuka rahasia akta. Terhadap saksi instrumenter ataupun notaris tersebut harus mengetahui bahwa isi akta tersebut harus dirahasiakan dan kewajiban menjaga rahasia itu merupakan akibat dari jabatan yang diemban. Dalam menentukan sanksi secara pidana harus memenuhi setiap unsur-unsur yang ditentukan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP. Apabila memperhatikan unsur-unsurnya, jika notaris sendiri dengan sengaja membuka rahasia akta yang sebagaimana berdasarkan payung hukum jabatannya mewajibkan ia harus merahasiakannya, maka notaris dapat dikenakan sanksi secara pidana. Namun jika saksi instrumenter yang membuka rahasia akta, untuk notaris juga bisa dikenakan sanksi pidana dengan syarat harus tetap memenuhi unsur-unsur Pasal 322 ayat (1) KUHP atau apabila kejahatan itu dilakukan kepada orang tertentu, maka harus berdasarkan aduan dari pihak tersebut sesuai dengan pengaturan pada Pasal 322 ayat (2) KUHP. Berkaitan dengan ini, terhadap notaris bisa atau tidaknya dikenai sanksi secara pidana, akan ditentukan oleh hakim dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana dengan memperhatikan unsur-unsur Pasal 322 KUHP, mempertimbangkan pandangan-pandangan dari para ahli, termasuk pandangan dari hakim sendiri. Saksi instrumenter merupakan pegawai notaris, sehingga merupakan tanggung jawab notaris sendiri terhadap perbuatan bawahannya itu.
Tentang menjaga kerahasiaan akta ini, seharusnya notaris memberikan pemahaman kepada saksi instrumenter/para pegawainya bahwa isi akta termasuk komparan identitas dari para pihak wajib dijaga kerahasiaannya. Undang-Undang Jabatan Notaris untuk saat ini belum ada memberikan pengaturan bahwa menjaga rahasia akta juga diwajibkan kepada saksi instrumenter/saksi akta. Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik semestinya wajib menyampaikan hal tersebut, sehingga dapat meminimalisir/tidak mengakibatkan terjadinya perbuatan membuka isi akta oleh saksi instrumenter. Mencermati hal tersebut, dengan akibat hukum yang dapat terjadi terhadap saksi instrumenter dan juga notaris, maka penting untuk memberikan pengaturan menjaga rahasia akta oleh saksi instrumenter dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
Menjaga kerahasiaan akta merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada para pihak yang berkepentingan khususnya mengenai identitasnya, apalagi dalam akta notaris secara lengkap pada komparisi akta menerangkan nama, alamat sampai Nomor
Induk Kependudukan dari para penghadap. Payung hukum jabatan notaris sudah memberikan perlindungan terhadap kerahasiaan akta autentik notaris dan menjadi salah satu kewajiban bagi notaris untuk melindungi rahasia akta, termasuk semua hal yang diketahuinya ketika membuat akta autentik tersebut.15 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan notaris bisa memberitahukan atau memperlihatkan isi akta hanya untuk pihak-pihak yang mempunyai kepentingan secara langsung terhadap akta, untuk ahli warisnya maupun yang mempunyai hak untuk itu. Notaris yang tidak mematuhi ketentuan yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas jabatannya bisa dikenakan sanksi seperti peringatan secara tertulis, dapat diberhentikan sementara, diberhentikan dengan hormat sampai dengan diberhentikan secara tidak hormat. Adapun pengaturan ini secara tegas ditentukan pada Pasal 54 UUJN-P.
Notaris disamping memiliki hak untuk tidak memberikan kesaksian dalam proses peradilan, juga memiliki sumpah jabatan yang mana salah satu sumpah jabatan notaris ialah sumpah untuk mejaga rahasia akta yang dibuat notaris yang bersangkutan termasuk semua keterangan-keterangan yang notaris itu peroleh selama proses pembuatan akta dari para pihak, sebagaimana dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 4 ayat (2) UUJN. Pengaturan ini kemudian memperlihatkan adanya upaya dari pemerintah melalui undang-undang untuk memberikan perlindungan kepada para pihak, karena dalam akta autentik terdapat hal-hal yang penting dan wajib untuk dijaga, karena berisi identitas maupun kesepakatan-kesepakatan yang bersifat privat.
Konsep suatu akta notaris dikatakan sebagai akta autentik berangkat dari aturan Pasal 1866 KUHPerdata yang menentukan tentang “jenis-jenis alat bukti terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.” Apabila diperhatikan, alasan dibuatnya akta autentik di hadapan notaris adalah untuk memperoleh alat bukti dan akta autentik notaris termasuk alat bukti tulisan. Dalam akta autentik notaris, wajib ada saksi instrumenter sebagai saksi dalam akta yang mutlak harus terpenuhi.
Saksi ialah salah satu jenis alat bukti yang diakui hukum positif indonesia, yang umumnya sebagai alat bukti baik itu dalam ranah hukum acara pidana maupun perdata. Saksi sebagaimana dimaksud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa, orang yang diminta hadir dalam suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu saat jika diperlukan dapat memberi keterangan terhadap suatu peristiwa itu benar-benar terjadi, orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa, orang yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan dalam suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.”16
Kehadiran saksi instrumenter pada akta diharuskan oleh undang-undang, supaya akta autentik notaris bisa mempunyai kekuatan menjadi alat bukti yang sempurna,
disamping ada persyaratan lain yang wajib dipenuhi misalnya seperti persyaratan formal akta. Persyaratan formal akta sebagaimana dimaksud tersebut adalah mengenai kebenaran dan kepastian mengenai pembuatan akta autentik. Pembuatan akta autentik notaris sudah memperhatikan dan mengacu pada payung hukum jabatannya atau belum. Pada payung hukum jabatannya sudah ditentukan mengenai persyaratan formal pembuatan akta seperti yang ditentukan dalam pengaturan Pasal 38 UUJN-P. Adapun terhadap persyaratan formal ini, apabila para pihak bisa membuktikan ketidakbenaran yang sudah dituangkan notaris dalam akta autentik yang dibuat para pihak di hadapan notaris tersebut, sehingga konsekuensinya akta itu tidak menjadi alat bukti sempurna.
Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang dan pembahasan sebelumnya, bahwa kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta autentik belum memiliki pengaturan dan akibatnya dapat membuat notaris ikut bertanggung jawab serta dapat dikenakan sanksi secara administrasi, secara perdata dan pidana akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan saksi intrumenter dengan membuka rahasia akta tersebut. Saat ini kewajiban menjaga kerahasiaan akta autentik secara eksplisit baik dalam UUJN/UUJN-P hanya terhadap Notaris yang ditentukan pada pengaturan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P yang menentukan :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Pengaturan tentang kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta tersebut sangatlah perlu, karena tujuan dari kewajiban menjaga kerahasiaan akta demi memberikan perlindungan terhadap kepentingan para pihak dalam akta, disamping juga melindungi identitas para pihak serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada saksi instrumenter dan notaris.17 Mencermati pengaturan mengenai saksi instrumenter baik ditelusuri dari UUJN ataupun UUJN-P, tidak ada memberikan penjelasan mengenai apa itu saksi instrumenter. Keberadaan saksi instrumenter dapat dilihat pada Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P yang menentukan :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”.
Ditentukan bahwa saksi instrumenter/saksi akta wajib ada dan hadir saat pembacaan akta yang dibacakan notaris kepada para pihak yang berkepentingan. Saksi instrumenter adalah bagian dari akta, sehingga apabila saksi instrumenter tidak hadir/tidak ada, akta autentik notaris tidak mempunyai kekuatan hukum yang sempurna untuk menjadi alat bukti, melainkan menjadi akta di bawah tangan saja. Untuk bisa dikatakan akta autentik menjadi alat bukti yang sempurna, maka pembuatannya harus dibuat berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, serta bentuk dan persyaratan dibuat sesuai pengaturan dalam payung hukum jabatan notaris yakni UUJN/UUJN-P. Berikutnya, pada Pasal 44 ayat (1) UUJN-P menentukan :
“Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.”
Memperhatikan kedua ketentuan tersebut di atas, terkait keberadaan saksi instrumenter dalam UUJN-P, bahwa saksi instrumenter harus hadir ketika dilakukan pembacaan akta autentik serta harus ikut menandatangani akta tersebut. Mencermati ketentuan UUJN dan UUJN-P, belum ada pengaturan mengenai kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta autentik, padahal saksi instrumenter terlibat saat pembacaan akta sampai ikut menandatangani akta, yang artinya saksi instrumenter menyaksikan, mendengar dan mengetahui isi akta yang dibacakan oleh notaris.
Penting untuk memberikan kepastian hukum mengenai pengaturan kewajiban saksi instrumenter dalam menjaga kerahasiaan akta, sehingga bisa memberikan perlindungan untuk para pihak yang terkait dalam akta, sekaligus memberikan rasa aman kepada notaris. Hal ini karena dengan adanya aturan tersebut yang memberikan kepastian hukum, maka pegawai kantor notaris yang menjadi saksi instrumenter dapat menjadi lebih waspada serta memiliki/meningkatkan kesadaran diri untuk lebih merahasiakan isi akta karena merupakan suatu kewajiban yang diamanatkan oleh undang-undang terhadap dirinya yang sebagai saksi instrumenter.
Mengacu pada tujuan hukum sebagaimana menurut Gustav Redbruch yang merupakan ahli hukum dari Jerman, membagi tujuan hukum menjadi tiga, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian tidak bisa dipisahkan dari hukum, karena apabila hukum tidak ada kepastian, maka tidak dapat memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat. Oleh karenanya kepastian hukum memang merupakan tujuan dari hukum.18
Dengan berdasarkan pada teori kepastian hukum, maka pengaturan tentang kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta perlu diatur untuk memberikan kepastian dan supaya memberikan perlindungan untuk para pihak yang terkait dalam akta, terhadap saksi instrumenter dan juga terhadap notaris.19 Negara yang berdasarkan hukum, maka penting adanya perlindungan hukum. Perlindungan hukum menjadi salah satu aspek yang utama. Negara dalam konteks ini dapat memberi perlindungan kepada warga negaranya dengan memberikan perlindungan hukum terhadap setiap warga negaranya.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, sehingga menjadi perlu untuk menformulasikan pengaturan yang memberikan kepastian hukum. Perlu untuk melakukan rekontruksi terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris dalam hal memberikan pengaturan terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan akta autentik untuk saksi instrumenter. Umumnya teori konstruksi hukum digunakan terhadap adanya kekosongan norma dalam hukum positif
di Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan Rudolp von Jhering, ada tiga syarat yang harus dilakukan untuk melakukan rekonstruksi hukum yaitu :
-
1. Harus dapat mencakup semua bidang hukum positif.
-
2. Tidak ada pertentangan di dalamnya
-
3. Konstruksi hukum itu supaya bisa menggambarkan dengan jelas terhadap suatu hal yang diatur itu.20
Disamping itu, juga harus memperhatikan pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya ditulis UU P3). Bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan yang baik, wajib didasarkan dengan penggunaan bahasa yang kalimatnya jelas, dapat secara mudah dimengerti khususnya untuk masyarakat yang mempunyai kecerdasan yang rata-rata, tidak menimbulkan penafsiran yang ganda di kalangan masyarakat serta materinya wajib berdasarkan asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan.21
Undang-Undang Jabatan Notaris untuk saat ini belum bisa memberikan kepastian hukum, sehingga perlu dilakukan perubahan. Sebaiknya, dalam hal ini perlu menambahkan pengaturan tentang kewajiban saksi akta/saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik, yang seharusnya dapat ditambahkan dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P yang saat ini menentukan :
“Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan Akta tersebut.”
Terhadap ketentuan tersebut perlu ditambahkan kewajiban saksi akta/saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta, sehingga usulan terhadap Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P supaya bisa memberikan kepastian hukum menjadi : “Kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta berlaku juga untuk saksi akta, sehingga Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan Akta tersebut.”
Pengertian saksi akta/saksi instrumenter ini juga perlu ditambah dalam “Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris”, yang saat ini masih blum banyak orang yang mengetahui istilah atau pengertian saksi akta/saksi instrumenter tersebut. Dengan demikian, berorientasi pada urgensi dan rekontruksi gagasan ke depannya sebagai ius constituendum, maka pengaturan kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik bisa memberikan kepastian hukum dan perlindungan untuk para pihak, saksi instrumenter dan juga kepada notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik.
Akibat hukum tidak diaturnya kewajiban saksi instrumenter menjaga kerahasiaan akta autentik terhadap notaris adalah notaris berpotensi ikut terseret dan dikenakan sanksi administrasi berupa teguran dari MPD, sanksi perdata berupa ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab secara tidak langsung Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUHPerdata, serta sanksi pidana berdasarkan Pasal 322 KUHP akibat perbuatan saksi instrumenter yang membuka rahasia akta. Pengaturan tentang kewajiban saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik penting untuk kepastian hukum, memberikan perlindungan kepada para pihak yang terkait dalam akta dan memberikan rasa aman kepada notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris saat ini belum bisa memberikan kepastian hukum, sehingga perlu dilakukan perubahan dengan menambahkan pengaturan kewajiban saksi akta/saksi instrumenter untuk menjaga kerahasiaan akta autentik, yang dapat ditambahkan pada Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P serta menambah pengertian saksi akta/saksi instrumenter dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UUJN-P.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Adjie, H. (2021). Penerapan Pasal 38 UUN-P dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris. Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani.
Chandra, M. J. A., Wahanisa, R., Kosasih, A., & Barid, V. B. (2022). Teori dan Konsep Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia. Bengkulu: CV. Zigie Utama.
Darus, U. H. (2017). Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Fauzan, M. (2014). Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata, Jakarta: Kencana.
Jurnal
Adonara, F. F. (2016). Implementasi Prinsip Negara Hukum dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Notaris. Perspektif, 21(1), 48-59. DOI:
https://doi.org/10.30742/perspektif.v21i1.181.
Andony, F., Afriana, A., & Prayitno, I. (2021). Kedudukan Pegawai Notaris Sebagai Saksi Dalam Akta Autentik Pada Proses Penyidikan Dan Peradilan Ditinjau Undang-Undang Jabatan Notaris. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 6(2), 81-99. DOI: https://doi.org/10.36913/jhaper.v6i2.133.
Anggelina, N. P. (2018). Kedudukan Hukum Saksi Instrumentair Terkait Keautentikan Akta Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3). DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i03.p10.
Chandra, M. J. A., Wahanisa, R., & Kosasih, A. (2022). Tinjauan Yuridis Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Sistematis, Harmonis dan Terpadu di
Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 19(1), 1-11. DOI:
https://doi.org/10.54629/jli.v19i1.790.
Dewi, N. L. P. S. P., Atmadja, I. D. G., & Yusa, I. G. (2018). Hak Ingkar Notaris Sebagai Wujud Perlindungan Hukum. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017, 145. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p11.
Hetharie, Y., Tjoanda, M., & Uktolseja, N. (2022). Fungsi Pengawasan Majelis Pengawas Daerah Terhadap Penegakan Kode Etik Notaris. PAMALI: Pattimura Magister Law Review, 2(2), 161-171. DOI: https://doi.org/10.47268/pamali.v2i2.849.
Kusumaningrum, I. A. K., Wairocana, I. G. N., Suartha, M., & Dewa, I. (2018). Kewajiban Saksi Instrumenter Merahasiakan Isi Akta Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (Doctoral dissertation, Udayana University). DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i02.p08.
Muslih, M. (2017). Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum). Legalitas: Jurnal Hukum, 4(1), 130-152. DOI: http://dx.doi.org/10.33087/legalitas.v4i1.117.
Poae, F. C. (2020). Pertanggung Jawaban Hukum Terhadap Notaris Dalam Kesalahan Pembuatan Akta. Lex Et Societatis, 8(4). DOI:
https://doi.org/10.35796/les.v8i4.30916.
Prabawa, B. G. A. (2017). Analisis Yuridis Tentang Hak Ingkar Notaris Dalam Hal Pemeriksaan Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Kode Etik Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 2(1), 98-110. DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p09.
Prasstumi, D. A. (2022). Kewajiban Notaris Menjaga Kerahasiaan Akta DalamKeterlibatannya Di Peradilan. Jurnal Education And Development, 10(2), 211216. DOI: https://doi.org/10.37081/ed.v10i2.3586.
Primudyastutie, M., & Sulistyono, A. (2021). Peran Profesi Notaris dalam Menjaga Kewibawaan Negara Hukum Indonesia. Jurnal Hukum dan Kenotariatan, 5(2), 252269. DOI: https://doi.org/10.33474/hukeno.v5i2.10801.
Sujanayasa, I. K., Ibrahim, R., & Ariawan, I. G. K. (2016). Kedudukan Saksi Instrumentair Akta Notaris Dalam Kaitannya Dengan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Doctoral dissertation, Udayana University). DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p14.
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Nyoman, A. M., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I. P. R. A., & Tribuana, P. A. R. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata. Acta Comitas, 2, 180-188. DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p05.
Utomo, H. I. W., & Safi'i, I. (2019). Tanggung Jawab Mantan Karyawan Notaris Sebagai Saksi Akta Terhadap Kerahasian Akta. Res Judicata, 2(1), 213-226. DOI:
http://dx.doi.org/10.29406/rj.v2i1.1444.
Utoyo, M., Afriani, K., Rusmini, R., & Husnaini, H. (2020). Sengaja Dan Tidak Sengaja Dalam Hukum Pidana Indonesia. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 75-85. DOI: http://dx.doi.org/10.46839/lljih.v0i0.298.
Wijaya, T. (2019). Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Terhadap Hukum Ketenagakerjaan. Jurnal Education and development, 7(4), 70-70. DOI:
https://doi.org/10.37081/ed.v7i4.1357.
Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tanpa Tahun. Saksi. Kamus Versi Online. Retrieved from https://kbbi.web.id/saksi
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2001, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.
151
Discussion and feedback