Vol. 8 No. 01 April 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Penerapan Asas Keseimbangan Pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Sebagai Perlindungan Hukum Pembeli Atas Wanprestasi Developer

Naufal Afrian Noormansyah1, Taupiqqurrahman Taupiqqurrahman 2

1Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 28 Januari 2023 Diterima : 4 April 2023

Terbit : 25 April 2023


Keywords :

Balance Principle; Legal protection; Sale and Purchase;

Default


Kata kunci:

Asas Keseimbangan: Perlindungan hukum; Jual Beli;

Wanprestasi

Corresponding Author:

Naufal Afrian Noormansyah, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i01.p4


Abstract

The purpose of this paper is to find out the concept of applying the principle of balance in the sale and purchase binding agreement with the developer and also to examine the principle of balance to protect buyers from the developer's default. This study uses normative legal research methods with statutory approaches and legal concept approaches. The conclusion obtained from this study is PPJB which is standard in nature often creates an imbalance between buyers and developers, with the potential for developers to dominate and benefit from unequal agreements. To avoid this and ensure fair and balanced agreements, it is necessary to apply the principle of balance in preparing the PPJB. The principle of balance that is well implemented in the agreement can be seen in the actions of the parties, the contents of the agreement, and its implementation. PPJB is very important in house buying and selling transactions, especially in the preproject selling sales system, because it functions as a preventive legal protection for the buyer in the event that the developer does not fulfill the agreement. Therefore, PPJB must be prepared with the principle of balance including including provisions that guarantee the protection of buyers from potential default developers.

Abstrak

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui konsepsi penerapan asas keseimbangan dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah dengan developer dan juga mengkaji asas keseimbangan dapat melindungi pembeli atas perbuatan wanprestasi developer. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah PPJB yang bersifat baku seringkali menciptakan ketidakseimbangan antara pembeli dan developer, dengan potensi developer akan mendominasi dan mengambil manfaat dari perjanjian yang tidak seimbang. Untuk menghindari hal tersebut dan memastikan perjanjian yang adil dan seimbang, maka diperlukan penerapan asas keseimbangan dalam menyusun PPJB. Asas keseimbangan yang diterapkan dengan baik dalam perjanjian dapat terlihat dalam perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaannya. PPJB sangat penting dalam

transaksi jual beli rumah, terutama dalam sistem penjualan pre project selling, karena berfungsi sebagai perlindungan hukum preventif bagi pembeli dalam hal developer tidak memenuhi perjanjian. Oleh karena itu, PPJB harus disusun dengan asas keseimbangan termasuk mencakup ketentuan yang menjamin perlindungan pembeli dari potensi developer wanprestasi.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia memiliki tujuan negara yaitu memajukan kesejahteraan umum. Salah satu bentuk mewujudkan kesejahteraan tersebut yaitu terwujudnya setiap kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia yang disebut juga kebutuhan pokok merupakan kebutuhan yang terdiri dari sandang, pangan serta papan. Salah satu kebutuhan pokok, yaitu papan merupakan kebutuhan pokok yang berhubungan dengan tempat tinggal. Demi menunjang kehidupannya, manusia memiliki keinginan untuk bertempat tinggal pada lingkungan yang sehat serta bersih agar mempunyai kehidupan yang pantas.1 Hal tersebut sebagaimana pula diatur oleh Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 pada pokoknya menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Dalam mewujudkan perumahan/hunian yang layak, nyaman dan sehat hingga memenuhi mutu kehidupan, pemerintah melalui Perum Perumnas tentu belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan perumahan di Indonesia, sehingga eksistensi perusahaan developer swasta di Indonesia kian menjamur. Hal tersebut dapat terlihat pula pada salah satu organisasi perusahaan developer di Indonesia yaitu Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) yang telah memiliki jumlah anggota 6.000 perusahaan.2 Menjamurnya perusahaan developer ini tidak lepas dari keinginan masyarakat yang ingin memiliki hunian dengan fasilitas yang nyaman sebagaimana yang dijanjikan oleh para developer melalui promosi-promosinya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik sebagian besar masyarakat menempati hunian milik sendiri yang memperolehnya dengan cara membangun secara mandiri sebesar (79,67%), sedangkan yang membeli dari pengembang dan bukan dari pengembang sebesar (11,20%) dan sisanya diperoleh dari hibah dan warisan. Menurut data tersebut, proporsi masyarakat yang memiliki hunian dengan cara membangun mandiri di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan, artinya di perkotaan dalam memperoleh rumah tinggal cenderung membeli dari pengembang atau bukan pengembang, sebagai akibat lahan yang terbatas serta harga tanah yang mahal.3 Adanya kondisi yang demikian tentu akan berimplikasi pada munculnya peluang usaha yang menarik yaitu bisnis properti di daerah perkotaan. Jika berbicara properti akan berkaitan dengan tanah

beserta segala yang dibangun di atas tanah tersebut berupa rumah, apartemen, rumah toko (ruko), gedung perkantoran, dan lain sebagainya.

Secara umum memang properti hanya didefinisikan sebagai harta berupa tanah dan bangunan, namun lebih dari itu properti sebenarnya bukan hanya harta berupa tanah dan bangunan saja, tetapi di dalamnya terdapat aspek legal, hak dan manfaat yang muncul atas kepemilikan terhadap tanah dan bangunan tersebut.4 Bangsa Indonesia secara tegas dalam konstitusinya menyatakan sebagai negara hukum, yang artinya setiap aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat telah memiliki aturan yang berlaku dan akan berpijak kepadanya. Kondisi pertumbuhan bisnis properti yang kian pesat tentu tidak terlepas dari tantangan serta risiko yang ada, sehingga hukum diharapkan dapat menjawab tantangan dan risiko tersebut.

Dewasa ini dalam bisnis properti marak digunakan sistem pemasaran yang berorientasi pada kepraktisan dan kecepatan, sehingga suatu perusahaan developer dapat melakukan penjualan sampai memenuhi targetnya dan sistem tersebut dikenal dengan “Pre Project Selling”. Sistem tersebut memiliki konsep dapat dilakukannya penjualan oleh developer atau pembeli/konsumen sudah dapat melakukan pemesanan, meskipun properti tersebut belum selesai dibangun atau properti masih berada dalam tahap pembangunan.5 Artinya, ketika jual beli rumah menggunakan sistem pre project selling pembeli tidak seketika itu akan mendapatkan rumahnya meskipun telah membayarkan sejumlah uang kepada developer baik hanya menyerahkan uang muka sebagai tanda jadi, mencicil, atau lunas seketika karena pada sistem tersebut penyerahan (levering) kepemilikan rumah baru akan dilaksanakan setelah pembangunan selesai.

Guna menjamin kepastian hubungan hukum antara developer dan pembeli ketika jual beli rumah meggunakan sistem pre project selling dan menjaga komitmen diantara keduanya, maka hal tersebut harus dibingkai dalam suatu perikatan, yang dalam hal ini berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Untuk lebih mendukung kepraktisan dan kecepatan dalam melakukan jual beli, PPJB acap kali dibuat dengan syarat-syarat baku pada format perjanjian standar atau perjanjian baku. Syarat-syarat baku merupakan konsep tertulis yang terdapat dalam beberapa perjanjian yang akan dibuat, jumlahnya tidak menentu serta tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu yang pada hakikatnya isi dalam perjanjian baku tidak dibicarakan dengan pihak lainnya dan hanya diminta untuk menerima atau menolak isi perjanjian tersebut.6 Hubungan jual beli developer dengan pembeli tidak terlepas dari permasalahan yang dapat menimbulkan sengketa hukum diantara keduanya. Atas timbulnya sengketa hukum tersebut seringkali

pembeli/konsumen kecewa karena upaya hukum yang dilakukannya tidak mampu memberikan perlindungan, karena developer berada pada posisi yang kuat.7

Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan suatu perjanjian harus memenuhi: “adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya objek perjanjian dan suatu sebab yang tidak terlarang.” Disamping syarat-syarat tersebut perjanjian juga harus didasari oleh asas-asas perjanjian, yaitu: kepercayaan, keseimbangan, persamaan, kepastian, kepatutan, moral, kebiasaan, dan perlindungan.8 Asas hukum dapat dikatakan sebagai fondasinya hukum positif, dengan alasan asas hukum hakikatnya merupakan abstraksi suatu kaidah yang penerapannya lebih umum dan luas daripada ketentuan norma hukum positif, hal yang demikian karena asas hukum bersumber dari akal budi dan nurani manusia untuk dapat membedakan mana yang baik atau buruk, adil dan tidak adil, serta manusiawi atau tidak.9

Keseimbangan menjadi salah satu asas dalam hukum perjanjian yang berperan dalam menyepadankan pranata hukum dengan hukum dasar perjanjian pada hukum perdata.10 Dalam hukum perjanjian asas keseimbangan dapat mewujudkan keadilan, karena akan menempatkan pihak yang dirugikan mendapatkan perlindungan dan siapa yang ingkar janji harus menanggung akibatnya atau konsekuensinya secara yuridis.11 Berdasarkan hal tersebut, asas keseimbangan menjadi sangat penting dalam setiap proses pembuatan perjanjian karena pihak yang dirugikan harus mendapatkan perlindungan hukum yang wajar.

Melihat jumlah perusahaan developer yang tidak sedikit dan kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal yang terus meningkat, menjadikan asas keseimbangan sebagai isu penting yang perlu dilakukan suatu kajian tersendiri. Dengan berlandaskan asas tersebut diharapkan dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah melalui developer dapat terwujud suatu keseimbangan diantara para pihak, terutama bagi pembeli untuk mendapat perlindungan hukum atas developer yang tidak melaksanakan prestasinya. Atas latar belakang yang telah diterangkan, maka dapat teridentifikasi permasalahan yakni bagaimana konsepsi penerapan asas keseimbangan dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah dengan developer? Dan bagaimana asas keseimbangan dapat melindungi pembeli atas perbuatan wanprestasi developer? Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui konsepsi penerapan asas keseimbangan dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah dengan developer dan juga mengkaji asas keseimbangan dapat melindungi pembeli atas perbuatan wanprestasi developer.

Berdasarkan penelusuran telah ditemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, seperti penelitian dengan judul “Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah/Rumah Susun Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Penjual Dan Pembeli” oleh Safira Riza Rahmani dan Nynda Fatmawati Octarina dengan kesimpulan bahwa PPJB Rumah/Sarusun dibuat oleh notaris berdasarkan Permen PUPR untuk mencerminkan asas kepastian hukum yang bertujuan melindungi hak pembeli atau pelaku pembangunan rumah/sarusun. PPJB juga berfungsi sebagai alat bukti kuat jika terjadi sengketa, dan notaris dalam membuat akta PPJB harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Permen PUPR. Selain itu, dalam pembuatan akta PPJB, notaris juga harus merujuk pada Pasal 38 UU Jabatan Notaris.12 Penelitian tersebut berfokus pada perlindungan hukum para pihak dalam PPJB yang didasarkan oleh PUPR tentang sistem PPJB, sedangkan penelitian ini berfokus pada penerapan asas keseimbangan dalam pembuatan PPJB sehingga dapat memberikan perlindungan bagi pembeli ketika menghadapi developer yang wanprestasi.

Terdapat pula penelitian dengan judul “Penyalahgunaan Keadaan di Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Developer” oleh Michael Imgran Hetarie yang memiliki kesimpulan pengawasan oleh organisasi REI terhadap developer yang tergabung di organisasinya sangat penting untuk memastikan konsumen dapat terlindungi secara hukum dan developer dalam menjalankan usahanya sesuai dengan kode etik organisasi dan peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi kerugian pada konsumen akibat tindakan developer, konsumen dapat melapor ke Organisasi REI sesuai peraturan organisasi, atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib dan meminta putusan pembatalan atas PPJB dari Pengadilan.13 Penelitian tersebut berfokus pada perlunya pengawasan dari REI terhadap developer agar konsumen mendapat perlindungan hukum serta upaya-upaya hukum jika konsumen mengalami kerugian atas perbuatan developer, sedangkan penelitian ini berfokus pada tercapainya keseimbangan para pihak dalam PPJB (tidak adanya dominasi developer) sehingga klausula-klausula yang dituangkan pada PPJB dapat dijadikan sarana perlindungan hukum oleh pembeli.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum dari suatu norma, aturan, asas dan prinsip hukum, pendapat ahli hukum, teori, serta sumber literatur lainnya yang ditujukan untuk memberi jawaban atas permasalahan hukum yang ada.14 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dalam melakukan pengumpulan data digunakan studi kepustakaan (library research), yaitu suatu cara mengumpulkan data yang mendukung penulisan penelitian berwujud teori, asas, doktrin, dan kaidah hukum yang diperoleh melalui bahan hukum primer sekunder, dan

tersier.15 Selanjutnya, data-data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dimana data tersebut akan diuraikan dan saling dihubungkan satu sama lain guna memperoleh suatu kegamblangan terhadap kebenaran, yang pada akhirnya mendapat gambaran baru atau menguatkan gambaran yang telah ada.16

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Konsepsi Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah

Pasal 1457 KUHPerdata mendefinisikan jual beli sebagai “suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan.” Salah satu mekanisme dalam pengalihan hak kebendaan adalah melalui jual beli, begitu juga dalam kepemilikan rumah melalui developer, antara pembeli (konsumen) dan penjual (developer) nantinya akan melalui tahapan jual beli. Mengingat jual beli tersebut berupa tanah dan bangunan, maka jual beli harus dengan suatu perjanjian secara tertulis, dimana para pihak dapat mendahuluinya dengan membuat suatu perjanjian.17 Perjanjian pendahuluan tersebut secara umum berupa PPJB yang berdasar pada Pasal 1 angka 11 PP Nomor 12 Tahun 2021, diartikan sebagai “kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dilakukan sebelum pembangunan atau dalam proses pembangunan yang dibuat di hadapan notaris.”

Alasan utama dibuatnya PPJB adalah tidak mungkin dilakukannya jual beli secara sah melalui PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah karena beberapa hal, seperti belum lunasnya pembayaran, sertipikat sedang dalam agunan bank, dalam proses pemecahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau masih dalam proses balik nama, dan pajak terkait lainnya belum dibayarkan.18 Sehingga, dapat diartikan bahwa PPJB berperan dalam menjamin pemenuhan hak dan kewajiban antar para pihak dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan selama unsur-unsur yang menghalangi untuk dilakukannya jual beli sesungguhnya tersebut belum selesai. Jika dikaitkan dengan developer, maka PPJB akan dijumpai ketika rumah yang akan dibeli oleh calon pembeli/konsumen masih tahap pembangunan dan bahkan saat melakukan pemasaran hanya berupa konsep atau gambar saja yang diistilahkan sebagai sistem pre project selling.

Apabila ditinjau dari sudut pandang developer maka metode pre project selling sangat menguntungkan, karena developer tetap dimungkinkan melakukan penjualan serta pemasaran meskipun terdapat beberapa kondisi yang membuat developer dan pembeli belum bisa melakukan jual beli yang sebenarnya yaitu membuat Akta Jual Beli (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 22 ayat (3) PP No. 12 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa “Rumah tunggal, Rumah

deret, dan/atau Rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dilakukan Pemasaran oleh pelaku pembangunan melalui Sistem PPJB.”

Pembuatan PPJB dapat dilakukan dibawah tangan atau dengan akta notaris.19 Namun, pada praktiknya developer dan pembeli acapkali mengadakan PPJB tidak melibatkan notaris, yang artinya para pihak tersebut melakukan perjanjian dibawah tangan. Perjanjian dibawah tangan diartikan sebagai perjanjian yang dibuat tidak dihadapan Notaris, PPAT, atau pejabat lain yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut.20 Oleh karena PPJB yang dibuat tidak dihadapan pejabat yang berwenang, maka sangat rentan PPJB ini disusun sepihak oleh developer tanpa melibatkan pembeli, yang artinya menutup kemungkinan dari pembeli untuk melakukan negosisasi terhadap klausula perjanjian. Hal yang demikian, dapat diartikan PPJB tersebut dikategorikan sebagai perjanjian baku.

Perjanjian baku marak digunakan dalam pelbagai jenis perjanjian di dunia bisnis tak terkecuali pada bidang usaha properti. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang memiliki bentuk formulir dan baku, dimana peningkatan penggunaan perjanjian ini tidak terlepas dari perkembangan ekonomi yang mengarah pada kecepatan dan kepraktisan.21 Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang bersifat baku, akan bertalian dengan kedudukan antara pembeli dan developer. Jika dalam suatu perjanjian para pihak dalam kedudukan tidak seimbang, dan memunculkan dominasi salah satu pihak khususnya developer terhadap pembeli hingga pembeli berada pada posisi lemah, maka dalam hal ini, pihak yang kuat berpotensi melakukan penekanan pada pihak yang lain berupa menentukan isi perjanjian sepihak, dan hanya menguntungkan mereka.22 Pada kenyataannya dalam hubungan perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen sebagian besar memiliki kedudukan yang tidak seimbang, yang dalam hal ini pelaku usaha cenderung berpotensi menyalahgunakan posisinya untuk mengatur hak-haknya tanpa mengatur kewajibannya.23

Hakikatnya perjanjian diadakan guna menjadi sarana untuk para pihak mempertemukan kepentingannya dan pertukaran itu didasari oleh keadilan, maka apabila perjanjian dibuat dilatarbelakangi oleh ketidakseimbangan dapat dianggap bertentangan dengan keadilan yang menjadi bagian dari tujuan hukum. Dalam perjanjian baku kedudukan para pihak tidaklah seimbang yaitu pelaku usaha yang

memiliki ekonomi kuat dan konsumen sebagai pihak ekonomi lemah sehingga mereka yang kuatlah berperan sebagai pembuat aturan-aturan pada perjanjian baku yang terkadang berat sebelah.24 Perjanjian semacam itu dapat disamakan dengan adanya dua kekuatan yang tidak setara dan saling berhadapan, yaitu pihak-pihak yang memiliki posisi tawar yang kuat karena memiliki modal/dana, teknologi, serta pengetahuan, berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki daya tawar yang lebih lemah.25 Dengan demikian terhadap pembeli yang memiliki pengetahuan terbatas perihal jual beli rumah khususnya mengenai proses legalitas akan memposisikan pembeli pada dua kemungkinan, yaitu menyetujui atau menolak perjanjian yang dihadapkan kepadanya (take it or leave it).

Menanggapi hal tersebut tentu penerapan asas keseimbangan dalam pembuatan PPJB menjadi hal yang utama guna mengatur hak dan kewajiban tiap-tiap pihak serta untuk menghindari adanya keadaan yang tidak seimbang antar para pihak khusunya dominasi oleh pihak developer. Sesuai dengan pendapat Herlien Budiono, konsep asas keseimbangan memiliki dua makna yaitu asas etikal dan asas yuridikal. Sebagai asas yuridikal, dimaknai bahwa asas keseimbangan merupakan asas yang adil dan diakui dalam hukum perjanjian Indonesia. Sebagai asas etikal, yaitu suatu keadaan dimana pembagian beban pada kedua belah pihak dilakukan secara seimbang.26 Asas keseimbangan dapat diartikan pula sebagai keadaan hening atau keselarasan, karena tidak ada satupun mendominasi yang lain, dan tidak ada satupun yang menguasai lainnya, maka asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian.27 Asas keseimbangan yang disebut pula sebagai asas proporsionalitas dijadikan dasar dari pertukaran hak serta kewajiban dari setiap pihak sesuai bagiannya, yang diwujudkan dalam setiap proses hubungan kontraktual.28

Guna menguji suatu perjanjian telah mengimplementasikan asas keseimbangan dengan baik dapat dilihat dari sejumlah aspek yang terkandung di dalam perjanjian, yakni terdiri dari perbuatan, isi, dan pelaksanaannya. Ketiga aspek-aspek tersebut saling berkaitan dan dapat dimunculkan untuk menguji daya kerja dari asas keseimbangan. Lebih lanjut, aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:29

  • 1)    Perbuatan Para Pihak/Tahap pra-kontrak

  • 2)    Untuk melihat perbuatan para pihak bisa menimbulkan akibat hukum, dapat dilihat dengan kategori perbuatannya yaitu pernyataan kehendak dan orang

yang bertindak melakukan perbuatan hukum serta kewenangan hukum dan kecakapan dalam bertindak (handelings bevoegdheid en handelingsbekwaamheid).

  • 3)    Perjanjian/Tahap kontrak

  • 4)    Merupakan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak baik dengan tegas atau diam-diam yang selanjutnya diartikan sebagai prestasi/objek perjanjian.

  • 5)    Pelaksanaan Perjanjian

  • 6)    Perjanjian yang sudah disepakati harus dipenuhi oleh kedua belah pihak dengan didasari oleh itikad baik. Apabila tiap-tiap pihak melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, maka tujuan perjanjian untuk mendapatkan keuntungan secara timbal balik dapat terwujud.

Sesuai dengan komponen daya kerja asas keseimbangan yang telah diuraikan, jika suatu Perjanjian Jual Beli tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka PPJB yang sudah disepakati oleh developer dan pembeli dapat dikatakan belum memenuhi asas keseimbangan sehingga dapat berpotensi merugikan pihak yang berada pada posisi yang lebih lemah. Sehingga, ketidakseimbangan dalam perjanjian dipengaruhi oleh perilaku para pihak itu sendiri atau akibat dari isi perjanjian dan cara pelaksanaannya.

Untuk dapat menganalisis bagaimana penerapan asas keseimbangan dalam PPJB, maka perlu ditinjau pula bagaimana karakteristik PPJB itu sendiri. PPJB adalah suatu perjanjian obligatoir yang mendasarkan hak dan kewajiban pembeli dan penjual secara timbal balik. Pembeli diharuskan membayar harga yang telah diperjanjikan karena ia berhak meminta penyerahan hak milik atas benda yang sudah dibelinya, begitu juga dengan penjual wajib menyerahkan benda yang dijualnya dan berhak meminta pembayaran harga yang telah diperjanjikan.30 PPJB dapat dikategorikan sebagai perjanjian innominaat atau perjanjian yang muncul karena kebiasaan masyarakat sehingga pengaturannya diluar KUHPerdata, namun PPJB masih berada dalam ruang lingkup Buku ke-3 KUHPerdata, karena Buku ke-3 KUHPerdata yang memiliki sistem terbuka, maka dimungkinkan para pihak untuk membuat perjanjian berdasarkan keinginan masing-masing.31

Sistem terbuka dalam hukum perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” menghendaki kebebasan secara luas untuk para pihak membuat perjanjian bagaimanapun jenisnya, mengatur apa saja dan dalam bentuk apapun, sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak melanggar ketertiban umum serta kesusilaan.32 Maka, dapat dikemukakan bahwa perjanjian menurut Buku ke-3 KUHPerdata didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Namun, kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak tidaklah mutlak, kebebasan berkontrak dimaknai sebagai kebebasan untuk setiap orang membuat kontrak, namun dilarang untuk memuat sesuatu hal yang manipulatif serta

sewenang-wenang dan selain itu kebebasan pada asas kebebasan berkontrak merupakan kebebasan yang didasari oleh tanggung jawab dan sadar bahwa tiap individu mempunyai hak dan kewajibannya secara adil sehingga individu yang lain wajib menghargainya.33

Oleh karena itu, kebebasan berkontrak perlu dibatasi keberlakuannya agar perjanjian tidak sampai menjadi perjanjian yang tidak seimbang/berat sebelah. Dengan demikian sekalipun kebebasan berkontrak melandasi suatu perjanjian, mengenai kebebasan itu tidak dibenarkan sampai menjadikan kewajiban salah satu pihak terlalu besar daripada kewajibannya secara umum, yang artinya kebebasan berkontrak dibatasi oleh aspek keadilan dan kepatutan. Aspek keadilan berkaitan dengan penempatan para pihak dari perjanjian yang sudah disepakati pada posisi yang saling menguntungkan akibat memperoleh kenikmatan dari objek ataupun pengelolaan risiko, sedangkan aspek kepatutan bertalian pada pembebanan kewajiban sesuai kemampuan faktual para pihak secara wajar.34

Batasan-batasan tersebut secara normatif diatur oleh KUHPerdata, yaitu Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4), Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3). Pasal 1320 ayat (1), (2), dan (4) jo Pasal 1337 menunjukkan bahwa kebebasan pihak yang satu dibatasi oleh sepakatnya pihak lain, kecakapan seseorang dalam mengadakan perjanjian, dan dilarang mengadakan perjanjian yang berkaitan dengan hal yang dilarang undang-undang serta bertentangan terhadap ketertiban umum dan kesusilaan; Menurut Pasal 1332 terdapat batasan dalam objek perjanjian, yaitu hanya barang yang bisa diperdagangkan atau dalam hal ini barang yang menjadi objek perjanjian adalah barang bernilai ekonomis; Sedangkan Pasal 1338 ayat (3) menegaskan bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus berlandaskan itikad baik, artinya kebebasan yang dimiliki para pihak tidak diartikan kebebasan yang semau-maunya karena telah dibatasi oleh itikad baik.35

Maka, keseimbangan didalam PPJB antara developer dengan pembeli akan bergantung pada para pihak itu sendiri atau dapat dikatakan bahwa oleh karena PPJB diadakan berdasarkan kehendak para pihak, maka kondisi keseimbangan diciptakan pula oleh para pihak. Hal tersebut terjadi karena penerapan asas keseimbangan dalam pembentukan perjanjian bergantung oleh itikad baik dari para pihaknya, khususnya bagi pihak-pihak yang sadar memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk dapat

mewujudkan asas keseimbangan dalam perjanjian dan menegakkan keadilan dalam menentukan isinya.36

  • 3.2    Asas Keseimbangan dalam Perjanjian dihubungkan dengan Perlindungan Hukum Pihak Pembeli atas Perbuatan Wanprestasi Developer

Asas hukum diartikan sebagai ekstraksi dari setiap peraturan yang berlaku di masyarakat, mencakup peraturan yang dibuat oleh lembaga berwenang atau peraturan yang hidup dan berkembang di masyarakat, atau dalam hal ini asas hukum merupakan abstraksi yang terkandung dalam tiap peraturan yang bersifat konkret.37 Hemat penulis, asas hukum berwujud nilai-nilai dasar yang membentuk suatu peraturan dan didalamnya terkandung jiwa serta tujuan dari dibentuknya suatu peraturan tersebut sehingga dianggap mampu menjawab suatu sengketa hukum. Jika dikaitkan antara asas-asas hukum dengan perjanjian, maka asas hukum ialah dasar hukum perjanjian. Dapat dikatakan demikian karena sokoguru dari hukum perjanjian adalah prinsip dan asas hukum tersebut, karena mampu memberikan gambaran bagaimana latar belakang cara berpikir dari dasar hukum perjanjian.38

Berbicara pembeli tentu identik dengan istilah konsumen, sedangkan penjual (developer) diistilahkan sebagai pelaku usaha, sehingga sengketa yang berhubungan diantara keduanya disebut sebagai sengketa konsumen. Sengketa konsumen umumnya terjadi karena dua sebab, yaitu adanya pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai undang-undang (perbuatan melawan hukum) dan karena pelaku usaha atau konsumen yang tidak memenuhi isi perjanjian (wanprestasi). Dengan ditandatanganinya PPJB baik dibawah tangan atau secara notariil akan tercipta hubungan perikatan diantara developer dengan pembeli. Namun, hubungan tersebut tentu tidak selamanya berjalan dengan baik, karena pada tahap pelaksanaan perjanjian tidak jarang terjadi sengketa yang diakibatkan adanya perbedaan persepsi atau interpretasi klausul perjanjian maupun adanya tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai wanprestasi.39

Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal, seperti yang ditegaskan oleh Pasal 1 angka 7 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan “cerminan harkat dan martabat dari penghuninya serta difungsikan sebagai aset bagi pemiliknya.” Terhadap aset (rumah) tersebut, tidak jarang masyarakat mengeluarkan segala daya upaya agar dapat memilikinya, hal mana secara umum kepemilikan rumah dilakukan melalui jual beli. Berbanding lurus pula jika terdapat suatu permasalahan terhadap aset tersebut, pemilik tentu akan melakukan segala daya upaya untuk melindunginya dan salah satunya yaitu melalui sarana hukum. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum akan dikaitkan dengan kekuasaan yang

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Ketika berbicara tentang kekuasaan pemerintah, persoalannya adalah bagaimana memberikan perlindungan hukum bagi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya, dan ketika berbicara tentang kekuasaan ekonomi, persoalannya adalah bagaimana melindungi yang lemah secara ekonomi dari yang kuat secara ekonomi.40

Perlindungan hukum merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk melindungi kepentingannya melalui sarana hukum guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Perlindungan hukum menurut Muchsin ada dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum represif merupakan bentuk perlindungan terakhir berupa sanksi yang dapat berupa denda, kurungan, dan hukuman tambahan setelah terjadi perselisihan atau pelanggaran. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran, atau dalam hal ini ada peraturan yang bermaksud untuk mencegah terjadinya pelanggaran dengan memberikan rambu-rambu dan batasan-batasan dalam menjalankan suatu kewajiban.41 Berdasarkan hal tersebut, jika ditinjau dari perspektif pihak pembeli, maka dapat dikatakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli diadakan guna memberikan jaminan perlindungan kepadanya dari developer yang ingkar janji (wanprestasi) terhadap kewajiban-kewajibannya yang telah diatur di dalam perjanjian tersebut atau dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perlindungan hukum secara preventif.

Penerapan perlindungan hukum preventif berdasar pada undang-undang atau peraturan yang mengakomodir perlindungan hukum, sehingga dapat berperan sebagai pembatas dalam melakukan kegiatan serta mampu meminimalisir pelanggaran.42 Oleh karenanya sebagai bentuk upaya preventif dari ketidakseimbangan para pihak dalam PPJB, pemerintah telah memberikan pedoman perihal pembuatan PPJB yang diatur dalam Pasal 22 J PP No. 12 Tahun 2021, bahwa “Suatu PPJB paling sedikit memuat perihal identitas para pihak, uraian objek PPJB, harga rumah dan tata cara pembayaran, jaminan pelaku pembangunan, hak dan kewajiban para pihak, waktu serah terima bangunan, pemeliharaan bangunan, penggunaan bangunan, pengalihan hak, pembatalan dan berakhirnya PPJB, serta penyelesaian sengketa. ” Sehingga, hemat penulis sebagai bentuk perlindungan hukum secara preventif dari ketidakseimbangan kedudukan para pihak di dalam PPJB, pembeli dapat memperhatikan muatan apa saja yang harus terkandung di dalam PPJB tersebut.

PP No. 12 Tahun 2021 juga memberikan pedoman lebih lanjut dalam membuat PPJB yang terdapat pada bagian lampiran mengenai Petunjuk Materi Muatan PPJB. Pada petunjuk materi muatan PPJB tersebut berisi penjelasan lebih khusus mengenai substansi dari tiap-tiap muatan yang harus ada dalam PPJB sebagaimana diatur dalam Pasal 22 J PP No. 12 Tahun 2021, meskipun substansi dari tiap muatan diatur dalam suatu peraturan, pembuatan suatu perjanjian juga tetap didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang dalam hal ini tercermin dari penentuan hak dan kewajiban bagi pembeli dapat ditentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau sesuai kesepakatan. Artinya, pihak developer dan pembeli ketika membuat PPJB selain harus mengandung muatan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan para pihak juga dapat membuat PPJB yang disesuaikan oleh keinginan para pihak sepanjang telah disepakati oleh keduanya.

Meskipun terdapat pedoman materi muatan PPJB, dalam pembuatan PPJB juga tetap akan mengedepankan asas kebebasan berkontrak. Tetapi pada praktiknya, meskipun asas kebebasan berkontrak diutamakan untuk mencapai kesepakatan dalam perjanjian, masih banyak timbul persoalan hukum khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian yang belum mengakomodir keseimbangan serta perlindungan di antara para pihak sehingga berakibat belum terjaminnya keadilan dalam pelaksanaan perjanjian.43

Agar perjanjian dapat terlaksana dengan baik, sepatutnya dalam pembuatannya perlu memperhatikan asas hukum yang menjiwainya, yang salah satunya adalah asas keseimbangan. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar perjanjian yang dibuat dapat berperan secara optimal untuk memberikan perlindungan hukum. Suatu PPJB yang dibuat dengan mengejawantahkan asas keseimbangan mulai dari fase pra-kontrak yaitu pembeli dapat menuangkan kehendak-kehendaknya dengan bebas dan tidak berada pada tekanan dari siapapun dan/atau karena faktor apapun sehingga pada fase kontrak dapat tercipta klausula-klausula yang tidak memberatkan, adil, dan wajar serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka ketika memasuki fase pasca-kontrak yang merupakan tahap pelaksanaan perjanjian dan penyelesaian sengketa jika memang terjadi sengketa hukum, pembeli dapat terlindungi hak-haknya melalui PPJB itu sendiri. Dari hal tersebut keberadaan PPJB dapat dikatakan berfungsi sebagai sarana bagi pembeli untuk menuntut hak-haknya dan/atau pemenuhan perjanjian kepada developer ketika developer melakukan wanprestasi.

Berbicara PPJB sebagai instrumen perlindungan hukum secara preventif yang dapat berperan untuk menghadapi developer yang wanprestasi, pembeli dapat memasukkan beberapa materi muatan berupa jaminan terhadap hal-hal yang berpotensi developer melakukan wanprestasi. Salah satu materi muatan yang dapat dimasukkan berkenaan dengan keterlambatan penyerahan bangunan adalah ketika pembeli memiliki kewajiban membayar harga beli yang disepakati atas rumah yang biasanya terdiri dari tahap pembayaran booking fee dan tahap pelunasan, developer akan menetapkan tenggat waktu pembayaran dan apabila pembeli lalai akan terdapat konsekuensi bagi pembeli seperti batalnya perjanjian, hingga hangusnya uang booking fee, maka sebagai timbal balik, developer berkewajiban menyerahkan objek PPJB/rumah tersebut, maka dalam hal penyerahan rumah harus ditentukan pula tenggat waktu penyerahannya dan bila perlu dikenakan denda pada setiap hari keterlambatannya.

Ketentuan tersebut memang seharusnya diberlakukan untuk memenuhi keseimbangan mengingat pembeli menghendaki melakukan pembayaran sejumlah harga kepada developer meskipun rumah yang dibelinya belum terbangun atau masih berupa konsep. Kondisi yang demikian dapat diartikan dalam PPJB penting pula untuk diatur perjanjian dengan ancaman hukuman (strafbeding), yang berperan dalam menjamin pelaksanaan perjanjian oleh para pihak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1304 jo 1307 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian hukuman adalah suatu perjanjian yang menempatkan seseorang sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang mewajibkannya melakukan sesuatu, jika dia tidak melaksanakan hal itu, dan penetapan hukuman itu dimaksudkan sebagai penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang diderita kreditur karena tidak dipenuhi perikatan pokok.”

Artinya, pada saat PPJB telah dibuat dan didalamnya mengandung keseimbangan atau pembagian beban di kedua sisi telah seimbang, PPJB tersebut dapat menjadi bagian dari upaya perlindungan hukum, yang dalam hal ini bersifat preventif bagi pembeli apabila developer melakukan wanprestasi dikemudian hari, hal tersebut juga mengacu pada hakikat dari perjanjian itu sendiri yang berperan penting dalam hubungan keperdataan karena sebagai bukti telah terjadi kesepakatan dan hubungan hukum. Peranan penting dari perjanjian sebagai bagian dari upaya perlindungan hukum dapat terlihat ketika dalam pelaksanaan diantara para pihak terjadi sengketa maka perjanjian yang sudah dibuat dapat menjadi alat bukti untuk mengetahui bagaimana yang seharusnya, tentang siapa yang melaksanakan, dan siapa yang melanggar apabila terjadi kesalahpahaman/sengketa, karena perjanjian merupakan suatu fakta hukum.44 Mengingat pentingnya PPJB dalam perbuatan jual beli rumah dengan sistem pre project selling, untuk menghindari keadaan tidak seimbang calon pembeli sepatutnya dapat mempelajari PPJB yang dihadapkan kepadanya sebelum menandatanganinya karena Pasal 22 K ayat (2) PP No. 12 Tahun 2021 telah memberikan waktu selama 7 (tujuh) hari bagi calon pembeli untuk mempelajari PPJB tersebut.

Namun, membuat PPJB yang dapat berperan sebagai aturan yang mencakup perlindungan hukum dan memberikan batasan dalam melakukan perbuatan serta meminimalisir pelanggaran tentu bukan hal yang mudah. Menurut Kartini Muljadi faktor yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan dalam perjanjian adalah cara terbentuknya perjanjian yang melibatkan pihak-pihak dengan kedudukan tidak seimbang dan/atau ketidaksetaraan prestasi-prestasi dalam perjanjian.45 Berdasarkan pendapat Kartini Muljadi tersebut, penulis berpendapat bahwa faktor cara terbentuknya perjanjian yang melibatkan pihak-pihak dengan kedudukan tidak seimbang berbanding lurus dengan faktor ketidaksetaraan prestasi-prestasi dalam perjanjian. Ketika terjadi ketidakseimbangan dari kedudukan para pihak maka akan menciptakan prestasi yang tidak setara, begitu pula jika dalam perjanjian para pihak menerapkan asas keseimbangan yang didasari dengan itikad baik, maka akan tercipta pula prestasi-prestasi yang setara. Apabila pada tahap pra-kontrak, suatu PPJB sudah menerapkan keseimbangan maka akan berpengaruh pada terbentuknya prestasi-prestasi yang setara pula dengan kondisi telah mengakomodir kehendak serta

kepentingan dari pembeli terlebih dapat memuat klausula yang menjamin perlindungan hukum ketika developer wanprestasi di kemudian hari.

  • 4.    Kesimpulan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang bersifat baku seringkali menciptakan ketidakseimbangan antara pembeli dan developer. Hal ini dapat memunculkan dominasi salah satu pihak, terutama developer, dan membuat pembeli berada pada posisi yang lemah. Sebagai pihak yang kuat, developer berpotensi menentukan isi perjanjian secara sepihak dan menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan asas keseimbangan dalam pembuatan PPJB untuk menghindari adanya dominasi salah satu pihak guna menghindari adanya keadaan yang tidak seimbang antar para pihak. Asas keseimbangan adalah asas yang adil dan diakui dalam hukum perjanjian Indonesia. Perjanjian yang telah mengimplementasikan asas keseimbangan dengan baik dapat dilihat dari sejumlah aspek, yakni perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaannya, sehingga keseimbangan dalam PPJB ditentukan oleh para pihak sendiri tergantung pada itikad baik dari para pihak. PPJB dalam perjanjian jual beli rumah dengan sistem pre project selling sangat penting karena dapat memberikan perlindungan hukum preventif bagi pembeli apabila terjadi wanprestasi dari developer, yang berperan sebagai bukti kesepakatan dan hubungan hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa antara para pihak. Sehingga, untuk memastikan PPJB dapat berperan secara optimal dalam memberikan perlindungan hukum, dalam pembuatannya perlu memperhatikan asas keseimbangan termasuk adanya pengaturan perjanjian dengan ancaman hukuman yang mengatur jaminan perlindungan dari potensi developer wanprestasi.

Saran yang penulis dapat usulkan adalah sebelum menandatangani PPJB, pembeli/konsumen sepatutnya membaca serta memahami setiap klausula pada PPJB yang disiapkan oleh developer dan meninjau kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap klausula tersebut serta akibat hukumnya di masa yang akan datang, dan apabila dirasa PPJB berat sebelah dan tidak memberikan perlindungan hukum, pembeli harus lebih berani mengusulkan perubahan, penambahan, serta penghapusan klausula tersebut kepada developer.

Daftar Pustaka

Buku

Atmadjaja, D. I. (2016). Hukum Dagang Indonesia: Sejarah, Pengertian, dan Prinsip-Prinsip Hukum Dagang. Malang: Setara Press.

Badan Pusat Statistik. (2019). Statistik Perumahan Dan Permukiman 2019. Katalog 3302001. Jakarta: BPS.

Budiono, H. (2014). Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya Dibidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harjono, D. (2016). Hukum Properti. Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis

Indonesia.

Hernoko, A. Y. (2021). Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana.

Ishaq. (2017). Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi. Bandung: Alfabeta.

Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum Mataram: Mataram University Press.

Muljadi, K., & Widjaja. G. (2014). Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: Rajawali Pers.

Salim, H. S. (2020). Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Shidarta & Rijal. J. (2014). Pendulum Antinomi Hukum: Antologi 70 Tahun Valerine J.L. Kriekhoff. Yogyakarta: Genta Publishing.

Widijowati, D. (2018). Pengantar Ilmu Hukum (1st ed.). Yogyakarta: Andi.

Jurnal

Abbas, M. N. M., Miru, A., & Said, N. (2020). Penyalahgunaan Keadaan Dalam Kontrak Baku Perjanjian Kredit Bank. Gorontalo Law Review,  3(2),  188–204. doi:

http://dx.doi.org/10.35973/sh.v17i2.1662.

Anis, M., & Anwar, N. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Pemilikan Rumah Dari Developer Di Kota Makassar. Laa Maisyir Jurnal Ekonomi Islam, 4(1), 57–74. doi: https://doi.org/10.24252/lamaisyir.v4i1.5090.

Dalimunthe, S. N. I. S. (2021). Penyalahgunaan Keadaan Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Sebagai Pembatas Pemenuhan Azas Keseimbangan. Jurnal Yuridis, 8(2), 298–311. doi: http://dx.doi.org/10.35586/jyur.v8i2.3720.

Dalimunthe, S. N. I. S., & Rizkianti, W. (2020). Jual Beli Apartemen Kepada Pihak Ketiga Atas Dasar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Adil: Jurnal Hukum, 11(1), 68–86. doi: https://doi.org/10.33476/ajl.v11i1.1445.

Djidar, H., & Amrullah, M. S. (2022). Tinjauan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Di Bawah Tangan Sebagai Jaminan Kepemilikan Rumah (Studi Penelitian Pada PT. Imbara Permai Sejahtera). Sawerigading Law  Journal,  1(1).

http://ojs.unsamakassar.ac.id/slj/article/view/127.

Gegen. G., & Santoso. A. P. A. (2021). Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan Di Masa Pandemi Covid-19. QISTIE Jurnal Ilmu Hukum 14(2),  28-42.  doi:

http://dx.doi.org/10.31942/jqi.v14i2.5589.

Halim, A. (2022). Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( PPJB ) yang Dibuat Pengembang dalam Pre Project Selling. Justice  Voice,  1(2),  53–69. doi:

https://doi.org/10.37893/jv.v1i2.192.

Hetarie, M. I. (2022). Penyalahgunaan Keadaan di Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Developer.  Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari  Jambi,  22(1), 468–476. doi:

http://dx.doi.org/10.33087/jiubj.v22i1.1972.

Irayadi, M. (2021). Asas Keseimbangan Dalam Hukum Perjanjian. HERMENEUTIKA: Jurnal         Ilmu          Hukum,         5(1),          98–107.          doi:

https://doi.org/10.33603/hermeneutika.v5i1.4910.

Lestari, N. M. M. D., Budhiarta, I. N. P., & Ketut, N. G. (2022). Upaya Perlindungan Hukum terhadap Kreditur atas Debitur Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Interpretasi Hukum,  3(1),  176–181. doi:

https://doi.org/10.22225/juinhum.3.1.4740.176-181.

Moertiono, R. J. (2021). Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah dalam Perspektif Teori

Perlindungan Hukum.   AFoSJ-LAS,   1(3),   252–262. https://www.j-

las.lemkomindo.org/index.php/AFoSJ-LAS/article/view/109.

Pahlefi, Raffles, & Manik. H. (2019). Klausula Pembatalan Sepihak Dalam Perjanjian Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Gorontalo Law Review (2)2, 72–80. doi: https://doi.org`/10.32662/golrev.v2i2.702.

Puspitasari, Y. (2020). Penyimpangan Klausula Baku Yang Terdapat Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah. Notaire, 3(2),   291-304. doi:

https://doi.org/10.20473/ntr.v3i2.20555.

Rahmani, S. R., & Octarina, N. F. (2020). Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Rumah/Rumah Susun Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Penjual Dan Pembeli. Jurnal Supremasi, 10(1), 36–46. doi: https://doi.org/10.35457/supremasi.v10i1.895.

Sarbini, Roesli. M., & Nugroho. B. (2019). Kedudukan Perjanjian Baku Dalam Kaitannya Dengan Asas Kebebasan Berkontrak. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 15(1), 1–8. doi: https://doi.org/10.30996/dih.v15i1.2260.

Sinaga, N. A. (2018). Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian.       Binamulia       Hukum,       7(2),       107–120.       doi:

https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.20.

Sinaga, N. A., & Zaluchu, T. (2017). Peranan Asas Keseimbangan Dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian. Jurnal  Ilmiah Hukum Dirgantara,  8(1),  38–56. doi:

https://doi.org/10.35968/jh.v8i1.137.

Zerlina, Z., & Taupiqqurrahman, T. (2021). Perlindungan Hukum Pemilik Apartemen atas Dasar PPJB terhadap Penerbitan SHMSRS. JUSTITIA:Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 8(4), 565–577. doi: https://doi.org/10.31604/justitia.v8i4. 565-577

Tesis atau Disertasi

Soraya, L. F. (2020). Penetapan Klausula Sanksi Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Properti Dengan Sistem Pre Project Selling (Analisis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2019). Universitas Airlangga.

Sumber Online

Asnawi. N., & Hudiata. E. (2017). Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Dan Fungsi Korektif Hakim Menilai Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian. Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.  Diambil  dari

https://badilag.mahkamahagung.go.id/, (diakses 19 Maret 2023).

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia. Profil REI. Diambil dari http://rei.or.id/newrei/berita-profil-rei.html (diakses 13 Maret 2023).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6624).

61