Analisis Yuridis Implementasi Artificial Intelligent Dalam Praktek Kenotariatan
on

Vol. 8 No. 02 Agustus 2023
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Analisis Yuridis Implementasi Artificial Intelligent Dalam Praktek Kenotariatan
Dessy Susilo1, Nyoman Satyayudha Dananjaya2
1Agung Hardware, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 10 Desember 2022
Diterima : 09 Agustus 2023
Terbit : 28 Agustus 2023
Keywords :
Artificial Intelligent, cyber notary, notary authority, authentic deed
Kata kunci:
Artificial Intelligent, cyber notary, kewenangan notaris, akta otentik
Corresponding Author:
Dessy Susilo, E-mail:
DOI :
10.24843/
AC.2023.v08.i02.p10
Abstract
The purpose of this study is to analyze how the application of cyber notary in the form of Artificial Intelligence in notary practices is contrary to the principles of the Tabellions Officium Fideliter Exercebo and the authenticity of the deed shifts when an electronic deed takes place. The normative juridical method is carried out using a statutory approach and a conceptual approach with primary legal sources, namely the Law on Notary Offices, secondary legal sources from scientific papers and journals and tertiary legal sources from books and seminars. The results od this study found that the application of artificial intelligence in the concept od cyber notary has not provided legal certainty for the users of notary services, this is because the legal umbrella that covers them is in conflict with one another and when applied in notary practice the products produced by notaries become inauthentic or under hand.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana penerapan cyber notary dalam bentuk Artificial Intelligent dalam praktek kenotariatan yang bertentangan dengan asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo serta bergesernya keotentikan akta apabila terjadi bentuk akta secara elektronik. Metode yuridis normatif dilakukan dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual dengan sumber hukum primer yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris, sumber hukum sekunder dari karya ilmiah dan jurnal-jurnal dan sumber hukum tersier dari buku dan seminar. Hasil penelitian ini menemukan bahwa penerapan artificial intelligent dalam konsep cyber notary belum memberikan kepastian hukum bagi para pihak pengguna jasa notaris, hal ini dikarenakan payung hukum yang menaunginya saling bertentangan satu dengan yang lainnya dan apabila diterapkan dalam praktek notaris produk yang dihasilkan oleh notaris menjadi tidak otentik atau di bawah tangan.
Era globalisasi menyebabkan perubahan gaya hidup manusia dimana segala aktivitas manusia terhubung dengan dunia digital dampaknya menyebabkan dunia tanpa sekat, tanpa batas (borderless). Hal ini menandakan bahwa dunia sudah memasuki tahap generasi revolusi industri yang dikenal dengan era evolusi 4.0 menuju 5.0 dimana segala aktivitas manusia tertuang dan dituangkan melalui sebuah perangkat dalam bentuk Artificial Intelligent selanjutnya disebut (AI). Mengutip dari pendapat Ahmad Rifaldi dan Habib Adjie tentang Artificial Intelligence, yaitu kecerdasan buatan yang tersistem.1
Dalam tulisan Aditya Kurniawijaya dkk, mengenai konsep dasar AI yang pertama kali dicetuskan oleh Warren McCulloch dan Water Pitts “A Logical Calculus of Ideas Immanent in Nervous Activity” tahun 1943,2 dilanjutkan oleh Alan Turing pada tahun 1950, dalam tulisannya “Computing Machinery and Intelligence” yang menganalisis mengenai persyaratan sebuah mesin yang dianggap memiliki kapasitas kecerdasan manusia.3 Penelitian tersebut menunjukkan konsep dasar AI sudah lama dilakukan dan dikembangkan namun belum menunjukkan dampak positif terhadap manusia hanya terbentuk sebatas perkembangan pengetahuan baru.
Pada tahun 2011 di Jerman, pertama kalinya diciptakan istilah dengan Industri 4.0 dengan ditandai sebagai revolusi digital melalui proses industri teknologi 3D printing hingga robotik yang mampu meningkatkan produktifitas.4 Kecerdasan buatan (artificial intelligent) dalam Industry 4.0 memiliki kemampuan mengakses dan membagikan informasi secara digital berbeda dengan society 5.0 teknologi yang terletak dan menjadi bagian pada komponen manusianya.5 Istilah Artificial Intelligent muncul pada tahun 1950 an, dalam Penyelenggaraan Darmount Summer Research Project on Artificial Inteligent pada tahun 1956, 6 yang menjadi awal mula perubahan gaya hidup manusia ditunjang dengan kehadiran teknologi tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi lahirnya perbuatan-perbuatan hukum baru dalam suatu peristiwa hukum. Hal ini memiliki dampak yang signifikan dalam dunia hukum sendiri. Perubahan dalam dunia hukum sendiri tujuannya untuk mengimbangi perilaku kegiatan manusia, dimana sejak manusia dalam kandungan, lahir hingga meninggalnya manusia tidak lepas dari masalah hukum itu sendiri salah satunya dibidang hukum kenotariatan.
Dalam bidang hukum, AI muncul dan dikembangkan manfaatnya, khususnya dalam perancangan kontrak yang diselesaikan melalui kontrak elektronik sebagai bukti berkembangnya kecerdasan buatan dan manfaat efisiensi dalam pekerjaan.7
Untuk merespon perubahan tersebut upaya pemerintah dibidang hukum kenotariatan dengan menambahkan cyber notary pada Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UUJN) yang tertuang dalam Pasal 15 ayat (3) melalui kewenangan notaris yang lain yaitu mensertifikasi transaksi elektronik (cyber notary) sedangkan mengenai teknology itu sendiri, pemerintah memberikan payung hukum tersendiri yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).
Istilah cyber notary dan/atau electronic notary ditandai dengan berkembangnya notaris konvensional yang menganut prinsip dasar Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo menjadi notaris modern dimulai dengan berkembangnya fungsi dan peran notaris dalam bentuk digital dalam melaksanakan pekerjaannya yang dilakukan secara digital sehingga bukan hanya penggunaan komputerisasi dan internet pada administrasi kantor notaris saja namun hampir seluruh kegiatan praktek notaris. 8 Layanan Notaris yang bersifat konvensional dengan prinsip dasar Tabellionis Officium Fideliter Exercebo sejalan dengan perkembangannya di era globalisai sudah sewajarnya untuk dapat mengintregasikan pelayanan konvensional menjadi pelayanan modern yang digital melalui pranata cyber notary.9
Sinergi antara jabatan notaris dengan tehnology yang berkembang saat ini mulai digalakkan dalam sistem penyelenggaraan jasa dibidang kenotariatan secara elektronik sehingga menjadi peluang dan tantangan notaris dalam memanfaatkan tehnologi tersebut. Konsep cyber notary menjadi luas dimulai dari sertifikasi digital hingga digitalisasi pekerjaan termasuk kewenangan yang dilakukan notaris.10 Bentuk AI yang sudah mulai dilakukan dalam peristiwa hukum dibidang kenotariatan adalah bentuk akta digital, meeting virtual atau teleconference hingga protokol notaris yang dilakukan menggunakan sistem media elektronik.
Konsep Cyber Notary saat ini sudah mulai diterapkan dinegara lain, berbeda dengan di Indonesia konsep cyber notary belum serentak diterapkan banyak notaris padahal melalui Pasal 15 ayat (3), pemerintah sudah membuka jalan untuk mengikuti perkembangan globalisasi sehingga melalui pasal tersebut merupakan angin segar bagi notaris untuk melakukan terobosan baru dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya sebagai seorang pejabat negara.
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, konsep cyber notary yang dimanfaatkan oleh notaris seperti: digitalisasi dokumen, penandatanganan akta secara elektronik, telekonferensi dalam rapat pemegang saham (telekonferensi merupakan bentuk percakapan langsung jarak jauh dengan media seperti televisi atau telepon.)11, dan lain-lain.
Berdasarkan problematika yang telah diuraikan diatas, penting untuk dikaji bagaimana implementasi AI dalam konsep Cyber notary pada praktek kenotariatan sehingga dapat diterapkan pelaksanaannya sebagai pejabat umum negara yang berwenang membuat akta otentik menurut ketentuan UUJN dan bagaimana kekuatan pembuktian akta notaris elektronik dalam praktek kenotariatan.
State of art untuk permasalahan sejenis yang diangkat penulis terdapat dalam beberapa referensi yaitu seperti yang diangkat oleh Tjokorda Istri Agung Aditya Devi dengan judul “Pengaturan Peran Notaris dan Metode Penyimpanan Minuta Akta Notariil Digital di Era Industri 4.0”, dalam penelitian ini membahas mengenai protokol notaris dalam menjaga data para pihak pada digitalisasi akta.12 Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ngurah Justia Dharmadyawan R. dengan judul “Cyber Notary di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman”, pada penelitian ini membahas mengenai fungsi dan kewenangan notaris di era globalisasi. 13
Dari uraian materi yang dijabarkan pada artikel ilmiah tersebut diatas, terdapat adanya perbedaan muatan kajian materi dari setiap karya ilmiah tersebut diatas. Penelitian analisis yuridis implementasi artificial intelligent dalam praktek kenotariatan diharapkan dapat memberikan pembaharuan bagaimana praktek notaris di era globalisasi dalam hal pembuatan akta elektronik, para penghadap dalam kaitannya wilayah jabatan dan penyimpanan protokol notaris sebagai bagian akhir dari proses kerja yang dilaksanakan notaris agar tidak bertentangan dengan prinsip dasar kenotariatan menurut asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo sehingga akta yang dibuat oleh notaris tidak mengalami pergeseran keotentikan akta.
Artikel ini menggunakan kaidah normatif melalui sistem perundang-undangan dan metode konseptual.14 Tujuan permasalahan dikaji lebih mendalam melalui pendekatan undang-undang adalah untuk mengetahui relevansi peraturan perundangan yang berlaku terkait praktek kenotariatan sedangkan pendekatan konseptual dilakukan untuk memperoleh pemahaman peranan AI dalam praktek kenotariatan. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris, bahan hukum sekunder yaitu buku-buku dan jurnal serta bahan hukum tersier yang diambil dari internet maupun seminar. Bahan hukum tersebut
diteliti dan dikaitkan dengan isu hukum yang sedang berkembang terkait dengan AI dalam praktek kenotariatan.
-
3. Hasil Dan Pembahasan.
-
3.1 Kolaborasi Penerapan Artificial Intelligent secara cyber notary dalam praktek kenotariatan ditinjau dari Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo.
-
Notaris disebut juga “pejabat umum” (openbaar ambtenaar) berkaitan terhadap fungsi dan kewenangan dalam membuat akta otentik sesuai dengan pendapat R. Soegondo Notodisoerjo 15 memiliki persamaan dengan Pasal 1 angka 1 UUJN bahwa sebagai “pejabat umum”, notaris berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang diatur undang-undang. Hal tersebut menunjukkan ciri khas notaris yang menganut civil law berada pada akta otentik. Sebagai pejabat, notaris harus memiliki syarat khusus yang harus dipenuhi sebagai seorang notaris, persyaratan tersebut tertuang di dalam Pasal 2 – Pasal 7 sehingga sebagai profesi yang mulia dimana hanya notaris yang dapat langsung memakai simbol lambang negara, berbeda dengan notaris pada sistem Common Law yang tidak memerlukan keahlian khusus serta tidak ada aturan mengenai akta dalam undang-undang.
Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo menerapkan prinsip notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai suatu kewajiban formil yang berasal dari asas tersebut yaitu notaris melihat dan mendengar langsung dalam pembuatan akta, ditandatangani notaris dan para penghadap ditempat dibacakannya akta.16 Sehingga sesuai fungsinya sebagai pejabat negara melahirkan suatu akta yang sempurna berkekuatan hukum tetap, yang berperan penting didalam hukum dan masyarakat sebagaimana dijelaskan didalam penjelasan umum UUJN.
Unsur yang harus dipenuhi dalam akta otentik mengacu pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yaitu “akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Pasal tersebut terdapat unsur-unsur mutlak yaitu : 1. Bentuknya ditentukan undang-undang, 2. Dibuat pejabat yang berwenang, 3. Dibuat di wilayah akta dibuat. Dalam UUJN Pasal 1 angka 7 juga ditentukan bahwa “Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Jika diterapkan dalam cyber notary sangat berbeda pengertiannya. Dalam cyber notary digambarkan notaris dalam menjalankan jabatannya membuat akta menggunakan digital teknologi. 17
Akta notaris secara elektronik belum ada pengaturannya secara khusus dalam UUJN, namun dalam UU ITE pengertian sertifikat elektronik sudah dicantumkan dalam Pasal 1
angka 9 yang menentukan bahwa “sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik.” Pengertian dari penyelenggara sertifikat elektronik tertuang dalam Pasal 1 angka 10 UU ITE yang menentukan bahwa “Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.”
Ciri khas dalam konsep kenotariatan tertuang dalam peristiwa hukum yang dihadiri oleh penghadap (comparant) dihadapan notaris setempat. Dihadapan notaris para penghadap tersebut menyampaikan maksud dan tujuannya yang dituangkan didalam akta kemudian dibacakan dan ditanda tangani para penghadap, notaris dan saksi. Peristiwa tersebut menjadi suatu rangkaian hukum yang didasari oleh asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo dan proses kegiatannya telah diatur dalam UUJN dari mulai Pasal 39 sampai dengan Pasal 51. Kegiatan tradisional ini jika disisipkan AI secara konsep cyber notary, meeting virtual atau teleconference akan bertentangan dengan ketentuan lain dalam UUJN.
Konsep cyber notary menggambarkan tindakan hukum “menghadap” para pihak berhadapan dengan notaris dalam membuat akta tidak bertemu secara langsung, namun Notaris tetap di tempat kedudukannya (kota/kabupaten) atau wilayah jabatannya (provinsi) sedangkan para penghadap berada tempat berbeda dengan memanfaatkan digital teknologi melalui teleconference. 18
Perbedaan pembuatan akta menurut cyber notary dengan secara manual terletak pada tindakan “menghadap” yang dilakukan sebagai hadir secara fisik berbeda dengan cyber notary dilakukan tanpa kehadiran secara fisik melalui media digital/elektronik dengan menggunakan suatu perantara melalui video conference. 19
AI dalam bentuk virtual meeting atau teleconference tidak bertemu secara fisik melanggar ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN yang mengatur tentang larangan menjalankan jabatan diluar wilayah jabatan notaris. Melanggar wilayah jabatan karena pada virtual meeting para penghadap bisa berada di dalam wilayah jabatan notaris dan sebaliknya notaris berada di wilayah para penghadap, sehingga dapat diartikan bahwa notaris dapat juga keluar dari wilayah jabatannya walaupun jangkaun UU ITE tidak mengenal batas teritorial karena bersifat lintas territorial atau universal seperti pendapat dari Irma Devita Purnamasari yang dikutip kembali oleh Dewa Ayu Widya Sari.20
Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo merupakan suatu kewajiban notaris berupa datang, melihat dan mendengar, ditanda tangani notaris dan para penghadap secara langsung di tempat dibacakan akta dan tanda tangannya harus asli bukan berbentuk
tanda tangan elektronik. 21 Sehingga apabila peristiwa hukum tersebut dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan fasilitas AI menyebabkan akta tersebut mengalami pergeseran dan berstatus menjadi akta dibawah tangan.
Seorang notaris digambarkan sebagai figuur seseorang yang dipercayai, tanda tangan dan stempelnya (capnya) sebagai bukti sempurna dan berkekuatan hukum, ahli dibidang hukum yang independent dan penasihat sempurna yang tidak memiliki cacat (onkreukbaar atau unimpeachable), serta pandai menyimpan rahasia dalam membuat suatu perjanjian untuk melindungi di masa datang. 22 Gambaran seorang notaris tersebut menunjukkan bahwa profesi seorang notaris bukan profesi yang mudah, perlu keahlian khusus dan memiliki tanggung jawab moral serta yuridis terhadap subyek hukum yang menggunakan jasanya. Salah satu tanggung jawab secara yuridis dari notaris adalah dengan melaksanakan protokol notaris sesuai ketentuan undang-undang.
Dokumen yang disimpan dan dirawat notaris merupakan bagian protokol notaris. Konsep ini tertuang didalam UUJN Pasal 1 ayat (13). Protokol notaris ini masuk dalam bagian dari kewenangan yang dituangkan dalam UUJN Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semua itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Ketentuan tersebut menyiratkan kewajiban notaris secara protokol harus dilakukan secara manual atau konvensional dan belum ada pengaturan baru perihal protokol notaris yang harus disimpan secara elektronik atau menggunakan media AI dalam bentuk komputer atau file khusus. Menurut pendapat Desy Rositawati dkk pekerjaan notaris masih membutuhkan kertas sebagai medianya, sehingga memerlukan tempat penyimpanan yang luas dan biaya untuk penyimpanannya berkas-berkasnya cukup mahal.23
Menurut Rab Van Esch, seperti yang dikutip oleh Emma Nurita menyatakan bahwa akta sebagai alat bukti, material yang digunakan haruslah memenuhi persyaratan di antaranya :24
-
1) Daya tahan material yang digunakan dalam membuat akta.
-
2) Syarat materil kertas sebagai syarat ketahanan penyimpanan arsip, berbeda dengan data elektronik yang harus disimpan dalam bentuk disc untuk menyimpan data elektronik dibutuhkan hardware dan software.
-
3) Ketahanan bentuk pemalsuan, diatasi menggunakan cryptografie dengan cara memakai kunci rahasia yang memiliki sandi untuk membukanya.
-
4) Orisinalitas dibuat akta asli, sedangkan jika dibuat digital akan sulit
membedakan keaslian, sehingga perlu memakai fasilitas AI dalam bentuk cryptografie dan nilai hash (haswaarde) untuk membedakan keasliannya.
-
5) Publisitas. Pihak ketiga dapat melihat akta asli atau minuta salinannya setiap waktu sedangkan secara elektronik memiliki kemudahan lebih cepat, dalam hitungan detik untuk melihat aktanya.
-
6) Kecepatan melihat. Untuk melihat akta asli dapat dilihat secara langsung sedangkan secara digital memerlukan akses masuk dan kata sandi.
-
7) Kemudahan memindah tempat. Akta berbahan kertas dapat dipindah dengan mudah, sedangkan secara digital lebih mudah lagi dan menghemat dari segi waktu dan tenaga.
Dari uraian diatas menunjukkan perbedaan yang sangat jelas penerapan protokol secara tradisional yang sesuai undang-undang dengan konsep artificial secara cyber notary. Jika dikaitkan dengan asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, protokol tersebut sudah ada pengaturannya yang jelas namun jika diterapkan secara elektronik memang akan membuat kemudahan dalam cara kerja notaris tetapi belum ada pengaturan yang mendukung kinerja notaris secara artificial dalam cyber notary.
Keberadaan profesi notaris diatur oleh undang-undang yang berlaku memiliki unsur-unsur norma atau kaidah dan objek yang diatur yang terdapat pada UUJN No. 2 Tahun 2014, sedangkan objeknya adalah jabatan notaris itu sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa Jabatan notaris dikonsepkan sebagai kewenangan yang diatur oleh hukum. 25
Kewenangan notaris (bahasa Inggris: notary authority, bahasa Belanda: de notaris autoriteit) adalah kekuasaan dari undang-undang dalam membuat akta autentik dan kewenangan lainnya. Terbagi menjadi dua macam, yaitu 26 kewenangan membuat akta autentik, dan kewenangan lainnya yang ditentukan undang-undang.
Terkait cyber notary, kewenangan membuat akta otentik, seperti tidak ada celah hukum terciptanya digital akta yang kedudukannya disejajarkan dengan akta otentik menurut Emma Nurita, karena sejak lahirnya UU No. 30 Tahun 2004, belum ada peraturan undang-undang diatas tahun tersebut yang bisa menjadi rujukan atau Yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang dapat memberi celah hukum bagi kewenangan notaris dalam pembuatan digital akta yang bernilai otentik. 27
Untuk melengkapi kewenangan tersebut, Pasal 5 UU ITE No. 11 Tahun 2008, menentukan:
-
1) Dokumen atau informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti.
-
2) Pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
-
3) Sahnya alat bukti elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
-
4) Ayat (1) tidak berlaku terhadap dokumen berbentuk tertulis dan bentuk akta notaris yang dibuat pejabat yang berwenang.
Dari ketentuan ayat (4) tersebut menunjukkan bahwa pembuatan akta secara elektronik belum bisa diterapkan dalam prakteknya karena kekuatan pembuktiannya setara akta di bawah tangan, penyebabnya karena belum adanya pengaturan yang jelas perihal adanya akta notaris secara elektronik walaupun ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN memberikan kewenangan notaris dalam transaksi elektronik, namun batasan keotentikan akta jelas sudah diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menentukan “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat” dan kemudian dipertegas kembali melalui Pasal 1867 KUH Perdata sebagai bentuk akta otentik yang menyatakan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan” sehingga jelas bahwa akta otentik berbentuk tulisan. Namun pada pasal 5 UU ITE dan Pasal 15 ayat (3) UUJN tersebut diatas memberikan peluang akan terwujudnya konsep cyber notary bahwa dalam melakukan tindakan hukum dapat menggunakan media elektronik menggantikan dokumen bentuk kertas yang digunakan sampai saat ini.28
Mengutip dari tulisan Liliana Tedjosaputro bahwa Kekuatan pembuktian akta otentik/akta notariil menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :29
-
1. Secara lahiriah yang membuktikan sebagai akta otentik.
-
2. Formil membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, dilihat, dan didengar serta yang dilakukan Notaris dalam menjalankan jabatannya, menjamin
kebenaran tanggal akta, tanda tangan akta, kebenaran identitas para pihak dan kebenaran lokasi pembuatan akta.
-
3. Materiil berkaitan isi akta yang kebenaran isinya tidak dapat diganggu gugat kecuali kekuatan pertimbangan materiil hakim.
Menurut Edmond Makarim, dalam Pasal 1867 KUH Perdata dan Pasal 164 Hukum Acara Perdata (Herziene Indonesisch Reglement/HIR) menegaskan bahwa akta autentik adalah akta notaris yang diakui secara hukum, dibanding informasi elektronik yang diragukan secara hukum.30 Mengutip dari tulisan George Whitecross Patton yang dikutip ulang oleh Komang Dicky Darmawan, mendefinisikan alat bukti adalah dalam bentuk berupa perkataan, dan dokumen.31
Dalam Hukum Acara Perdata, dibedakan antara bukti tulisan sebagai surat dan akta yang ditandatangani baik dibuat dibawah tangan maupun dibuat dihadapan pejabat umum (akta autentik).32 Dalam persidangan, ketentuan dalam Pasal 23 ayat 3 Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 menentukan salinan putusan/penetapan secara digital teknologi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Mengutip pernyataan dari Riki Perdana Raya Waruwu selaku Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA bahwa Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum tersebut wajib mengeluarkan keputusan/penetapan berbentuk cetak sebagai alat bukti. Pernyataan tersebut sama dengan isi Pasal 6 UU ITE. 33
Sehingga semakin mempertegas dalam perspektif legalitasnya status kedudukan akta digital yang dibuat notaris bukan berkekuatan otentik melainkan bergeser menjadi akta dibawah tangan. Pendapat penulis memiliki persamaan dengan pendapat dari Liliani Tedjosaputro bahwa dokumen elektronik tidak dapat disamakan kedudukannya dengan akta otentik karena kekuatan pembuktian akta dibawah tangan tidak sekuat akta otentik.34
Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo merupakan suatu kewajiban formil yang lahir dan menjadi prinsip dasar notaris sistem Civil Law yang menitikberatkan pada keotentikan akta notaris sehingga menjadi jaminan utama daripada para subyek pengguna jasa notaris. Artificial Intelligent dalam bentuk cyber notary jika diimplementasikan dalam praktek kenotariatan tidak hanya menuntut bekerja secara konvensional saja melainkan memanfaatkan tehnologi dalam penerapannya sebagai pejabat negara dalam menjalankan wewenanganya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku terutama jabatan notaris itu sendiri seperti akta elektronik, meeting virtual antara penghadap dengan notaris berikut para saksinya yang dilakukan secara virtual atau online site dan juga protokol notaris secara digital. Dalam prakteknya, penyelenggaraan kewenangan notaris dalam cyber notary belum memiliki kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terutama dalam hal keotentikan akta digital yang dibuat notaris, yang disebabkan belum adanya payung hukum yang menyetarakan akta notaris dengan akta digital. Dalam hal para komparisi menghadap notaris secara virtual atau meeting online melanggar ketentuan mengenai batas wilayah kerja notaris, demikian juga mengenai protokol notaris secara digital melanggar ketentuan kewenangan dan tanggung jawab notaris. Sedangkan dari segi kekuatan pembuktian, menunjukkan bahwa pembuatan akta secara elektronik belum bisa diterapkan dalam prakteknya karena kekuatan pembuktiannya setara dengan akta dibawah tangan.
Referensi
Buku
Diantha, I.M.P. (2017). Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group
Kie, T.T. (2011). Studi Notariat & Serba -Serbi Praktek Notaris. Jakarta: Ichitiar Baru Van Hoeve.
Makarim, E. (2020). Notaris dan Transaksi Elektronik Kajian Hukum Tentang Cybernotary Atau Elektronic Notary. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nurita, R.A.E. (2012). Cyber Notary Pemahaman Awal Dalam Konsep Pemikiran. Bandung: Refika Aditama.
H. S. Salim. (2018). Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Sinar Grafika
Notodisoerjo, R.S. (1982). Hukum Notaris di Indonesia suatu Penjelasan. Jakarta: Grafika Offset
Jurnal dan Karya Ilmiah Lainnya
Chalid, M. R. I. (2020). “Hambatan Dan Prospek Hukum Penyelenggaraan Jasa Notaris Secara Elektronik Di Indonesia Memasuki Era Society 5.0”. Jurnal Hukum Universitas Indonesia,2(4), 393.
Darmawan, K. D. & Dananjaya, N. S. (2022). “Keabsahan Transaksi E-Commerce Dalam Pembuatan Akta Perspektif Cyber Notary Dengan Menggunakan Digital Signature”. Jurnal Acta Comitas Vol. 7 No. 2.
Dharmadyawan R. N. J. (2022). “Cyber Notary di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman”. Jurnal Acta Comitas, 7(01).
Devi, T. I. A. A., Dewi, A. A. I. A. A & Wijaya, I. M. M. (2023). “Pengaturan Peran Notaris dan Metode Penyimpanan Minuta Akta Notariil Digital di Era Industri 4.0”. Jurnal Acta Comitas, 8(01).
Wijaya, A. W. (2018). “Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta dalam Bentuk Elektronik”. Viva Justicia UGM.
Rositawati, D., Utama. I. M. A dan Kasih. D.P.D. (2017). “Penyimpanan Protokol Notaris Secara Elektronik Dalam Kaitannya Cyber Notary”. Jurnal Acta Comitas 2.
Sari, D. A. W., Murni, R. A . R., Udiana, I. M. (2017). “Kewenangan Notaris Di Bidang Cyber Notary Berdasarkan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”. Jurnal Acta Comitas.
Julianto, A. (2021). “Perkembangan dan Tantangan Regulasi Artificial Intelligence di Indonesia, Seminar Tantangan Pengaturan Hukum di Era Digital”.
Kurniawijaya, A., Yudityastri, A., Zuama, A. P. C. (2021). “Pendayagunaan Artificial Intelligence Dalam Perancangan Kontrak Serta Dampaknya Bagi Sektor Hukum Di Indonesia”. Khatulistiwa Law Review, Volume 2 Nomor 1, April 2021.
Nola, L. F. (2011). “Peluang Penerapan Cyber Notary Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”. Jurnal Negara Hukum: Vol. 2, No. 1, Juni 2011.
Raditya, I. B. Y. (2022). ”Kewenangan Notaris Melakukan Penyimpanan Protokol Berbasis Teknologi (Repository)Dalam Perkembangan Konsep Cyber Notary”. Jurnal Kertha Semaya Vol. 10 No. 12.
Rifaldi, A. Dan Adjie, H. (2022). “Minuta Akta Notaris Dalam Bentuk Elektronik”. Jurnal Hukum Bisnis Universitas Narotama Surabaya, Volume 6, Nomor 1, April 2022.
Tedjosaputra, L. (2020). “Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Dibandingkan Akta Notaris”. Jurnal Juristic, Volume 1 Nomor 1 April 2020.
Wahyudi, D.B., & Swardhana, G. M. (2023). ”Urgensi Pembentukan Aturan Cyber Notary Berkaitan Dengan Penggunaan Sidik Jari Elektronik”. Jurnal Acta Comitas Vol. 8 No. 01.
Wijayanti, A.A., Ariawan. I. G. K. (2021). “Upaya Perlindungan Terhadap Identitas Para Pihak Dalam Praktik Cyber Notary”. Jurnal Hukum Kenotariatan Acta Comitas, Vol. 6.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
Lembaran Negara No. 3 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5491
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 185, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6400
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Putusan Pengadilan
Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Nomor
271/DJU/SK/PS01/4/2018 tentang Dokumen Elektronik Di Persidangan Perdata.
Website resmi:
Mahkamah Agung Republik Indonesia Available From
https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-elektronik-di-persidangan-perdata (Diakses 12 Desember 2021).
351
Discussion and feedback