Vol. 7 No. 03 Desember 2022

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas


Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Tukar Menukar

Dewa Gede Jeremy Zefanya1, A. A. Sri Utari2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Abstract

Masuk : 14 Juli 2022

Diterima : 02 Desember 2022

Terbit : 21 Desember 2022

The purpose of this study is to determine the regulation of legal protection against the transfer of ownership rights to land through an exchange agreement and to understand the factors that influence the occurrence of default on the transfer

Keywords :

of property rights to land through an exchange agreement. The

Legal Protection, Exchange, default

writing of this scientific paper uses normative legal research methods. The object of this legal research is based on the existence of an Empty Norm. The approach used in this paper uses a legal approach, a conceptual approach. The application of the principle of light and cash in the exchange agreement where the land object is in two different areas has not been properly accommodated. Government Regulation Number 24 of 2016 has not accommodated technical rules regarding the form of implementing instructions and a form of technical guidance that explicitly regulates the exchange agreement whose land objects are in two different areas or between regions. The factor that causes a default in the transfer of property rights to land through an exchange agreement is based on the absence of clear legal rules that accommodate technical rules regarding the form of implementing instructions and technical instructions that explicitly regulate exchange agreements. the existence of legal certainty and order in the community, the state is very interested in regulating both control and regarding the transfer or transfer of land rights in Indonesia.

Abstrak

Kata kunci:

Perlindungan Hukum, Tukar menukar, wanprestasi

Tujuan penelitian ini guna mengetahui pengaturan atas perlindungan hukum terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar dan untuk memahami faktor yang mempengaruhi terjadinya wanprestasi terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode

Corresponding Author: Dewa Gede Jeremy Zefanya, E-mail:

[email protected]

penelitian hukum normatif. Obyek penelitian hukum ini dilandaskan adanya Norma Kosong. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan asas terang dan tunai pada perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah yang berbeda belum dapat terakomodir dengan baik

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i03. p13


Pada PP 24/2016 tidak mengakomodir aturan teknis perihal bentuk arahan pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah. Faktor yang menjadi penyabab terjadinya suatu wanprestasi pada peralihan hak milik atas tanah melaui perjanjian tukar menukar dilandasi karena belum terdapatnya aturan hukum secara jelas yang mengakomodir aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar. Oleh karena itu Negara mempunyai andil yang sangat penting dalam mewujudkan adanya perlindungan dan kepastian hukum hukum di Indonesia. Dengan terwujudnya hal tersebut maka penguasaan dan regulasi peralihan hak atas tanah dapat terjamin.

  • I.    Pendahuluan

Dalam peradaban manusia saat ini tanah mempunyai peranan penting sebagai salah satu penunjang kelangsungan hidup bermasyarakat. Karena sifatnya yang kekal, tanah merupakan salah satu harta berupa benda berwujud dan tidak bergerak yang dapat dialihkan ataupun di wariskan pada masa yang akan datang. Peran dan fungsi tanah dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sebatas sebagai tempat tinggal, namun lebih dari itu tanah sebagai obyek yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dapat digunakan untuk mencari rejeki sebagai pemenuhan kehidupan manusia. Suatu kepemilikan atas tanah adalah kuasa yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menunjang kehidupan dan kemakmuran Warga Negara Indonesia.

Pemerintah yang sadar akan peran dan pentingnya fungsi tanah tersebut, maka melalui ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku pemerintah berupaya untuk meningkatkan pengolahan, penguasaan, dan pengurusan pertanahan untuk sebesar-besarnya digunakan sebagai sumber kehidupan masyarakat. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) disebutkan “Salah satu tujuan UUPA adalah untuk meletakkan dasar-dasar yang memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Secara umum kepemilikan suatu hak atas bidang-bidang tanah dapat dialihkan kepemilikannya. Beralihnya kepemilikan hak atas bidang-bidang tanah diartikan bahwa“Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat dilakukan dengan beberapa metode peralihan yaitu: jual beli, pewarisan, hibah, lelang, dan peralihan hak karena penggabungan atau peleburan dan pemindahan hak lainnya yaitu tukar menukar.”

Di Indonesia, peralihan hak atas tanah didasarkan pada “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana

yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997).” Dalam ketentuan Pasal 37 (1) PP 24/1997 menentukan “pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali untuk pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”1

Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi terhadap proses pengalihan hak melalui transaksi tukar menukar. Tukar menukar merupakan satu pilihan diantara beberapa pilihan yang cara dianggap paling efisien dan produktif pada masa itu. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat transaksi, masyarakat menjadikan kegiatan tukar menukar ini sebagai alternatif dalam bertransaksi. Hanya saja dalam penerapannya tidak jarang menemukan kendala karena tergolong tidak mudah dalam hal menyatukan kehendak masing-masing pihak. Selain itu, kegiatan tukar menukar ini umumnya hanya dapat dilakukan dengan orang yang dikenal dan dipercayai.

Pada umumnya tukar menukar adalah “Suatu perjanjian yang mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai gantinya atas suatu barang lain.” Ketentuan tukar menukar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPer) termaktub pada bab ke-6 khususnya Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPer yang juga memberikan pengetahuan bahwa “Tukar menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain.”

Dalam ketentuan pasal di KUHPer, menunjukkan tentang obyek-obyek kebendaan apa saja yang dapat dijadikan obyek dalam perjanjian tukar menukar yaitu: “semua barang, baik itu adalah barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Seperti misalnya adalah tanah, yang dapat menjadi objek tukar menukar yang dikategorikan sebagai barang yang tidak bergerak.” Sedangkan yang menjadi subjek dari perjanjian tukar menukar adalah “para penukar barang, yang secara timbal balik saling memberikan sebagai ganti suatu barang.” Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 1546 KUHPer yang menentukan “aturan-aturan tentang persetujuan jual-beli berlaku terhadap persetujuan tukar-menukar.” Perjanjian perihal tukar menukar sebagaimana kita ketahui pada zaman dahulu dikenal dengan istilah “barter”. Secara garis besar antara jual beli dengan tukar menukar terdapat perbedaan yaitu “dimana kalau jual beli adalah mengenai barang lawan uang, maka tukar menukar ini adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang.”

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer, Maka suatu perjanjian tukar menukar dapat dikatakan sah ketika telah memenuhi syarat-syarat yang telah terdapat pada ketentuan Pasal 1320 KUHPer.Perjanjian tukar-menukar merupakan “perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, dimana pada perjanjian tersebut pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang

yang ditukar sedangkan pihak yang lain berhak menerima barang yang ditukar tersebut.” Obyek yang ditukarkan oleh para pihak dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Sebagaimana kita ketahui berdasarkan pada pengertian tukar menukar diatas bahwa “perjanjian tukar merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, dimana perjanjian tersebut sah dan mengikat pada saat telah tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai barang-barang yang menjadi obyek perjanjiannya.” Dengan sifat konsesuil yang dimiliki perjanjian tukar menukar tersebut, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban dan harus dipertanggungjawabkan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, mengingat berlaku sebagai undang-undang terhadap mereka. 2

Hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dibuatnya suatu perjanjian tukar menukar tanah akan melahirkan prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat prjanjian tersebut. Adanya hubungan timbal balik yang terjadi antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua, dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebidang tanah dan sama-sama mempunyai hak untuk menerima sebidang tanah sebagai pemenuhan prestasi akibat perjanjian yang dibuat. Namun pada kenyataan nya sering kali terjadi salah satu pihak tidak memenuhi prstasi yang harus dilakukan, sehingga pihak tersebut telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Wanprestasi sering pula dikatakan sebagai suatu kealpaan, ingkar janji, atau melanggar apa yang telah diperjanjikan.3

Wanprestasi yang mengakibatkan sengketa pada perjanjian tukar menukar timbul akibat dari ingkar janji yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tidak dapat terjadi dengan semestinya. Perjanjian yang semula mengikat dan berlaku sebagai-undang-undang bagi kedua belah pihak (pacta sunt servanda), namun akibat dari adanya wanprestasi mengakibatkan kesesatan dan kerugian yang terjadi.

Perbuatan wanprestasi tersebut akan mengakibatkan masalah karena telah berakibat kerugian terhadap satu pihak, dan pihak tersebut dapat menuntut hak-hak yang seharusnya berada padanya dan harusnya dipenuhi. Melihat pada fenomena tersebut yang kemudian dikaitkan pada kenyataan bahwa kebutuhan akan tanah oleh manusia akan terus meningkat, maka berakibat semakin meningkatnya kepentingan sebagai pelengkap dalam bentuk jaminan dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum

dalam transaksi dibidang pertanahan serta guna meminimalisir terhajadinya sengketa diantara masyarakat.4

Oleh karena itu Negara mempunyai andil yang sangat penting dalam mewujudkan adanya perlindungan dan kepastian hukum di Indonesia. Dengan terwujudnya hal tersebut maka penguasaan dan regulasi peralihan kepemilikan suatu hak atas bidang-bidang tanah dapat terjamin. Dengan dasar pertim melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum terhadap Sengketa Peralihan Hak Milim Atas Tanah Melalui Perjanjian Tukar Menukar. Dengan perumusan masalah Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar? Dan, Apa faktor penyebab terjadinya wanprestasi terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar? Serta, tujuan penelitian ini guna mengetahui pengaturan atas perlindungan hukum terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar dan untuk memahami faktor yang mempengaruhi terjadinya wanprestasi terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar.”

Pada penulisan karya ilmiah ini turut juga termuat karya-karya ilmiah yang telah terbit yang dilaksanakan oleh P. Parluhutan Tahun 2012 yang membahas mengenai “Implementasi Tukar Menukar dalam Perjanjian menurut KUHPerdata” yang memfokuskan penelitiannya pada “definisi tukar menukar, kewajiban tukar menukar, perjanjian tukar menukar, penyerahan dalam tukar menukar, dan hak kebendaan yang dapat di alihkan.”5 Dan karya ilmiah yang dlaksanakan oleh M. Teguh Pulungan Tahun 2017 yang membahas mengenai “Tinjauan Hukum tentang Peralihan Hak Atas Tanah melalui Perjanjian Gadai di Bawah Tangan.” Penulisan karya ilmiah tersebut fokus mengkaji mengenai “peranan pejabat pembuat akta tanah dalam proses peralihan hak milik atas tanah dan proses peralihan hak atas tanah melalui perjanjian gadai dibawah tangan.”6

Ditinjau dari materi penelitian karya ilmiah diatas, dapat dipastikan terdapat perbedaan yang mendasar dan menyeluruh serta adanya pembaharuan baik dari segi judul, objek permasalahan dan isi yang memfokuskan pada “pengaturan perlindungan hukum terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar serta faktor penyebab terjadinya wanprestasi terhadap peralihan hak milik atas tanah melalui perjanjian tukar menukar.”

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian pada karya ilmiah ini mempergunakan jenis penelitian hukum normative yang merupakan “studi dokumen dengan menggunakan bahan hukum yang berupa perundang-undangan, asas dan prinsip hukum, teori hukum dan doktrin atau pendapat para ahli hukum.” Obyek penelitian hukum ini dilandaskan adanya Norma Kosong. Pada penulisan karya ilmiah ini mempergunakan pendekatan undang-undangan dan pendekatan dengan konsep. Selain itu terdapat dua bahan hukum yang menjadi pedoman dalam penulisan karya ilmiah ini yaitu: peraturan perundang-undangan yang menunjang bahan hukum primer dan berbagai publikasi jurnal dan buku kaitannya terhadapisu hukum yang diangkat yang tergolong kedalam bahan hukum sekunder.7

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Tukar Menukar.

Regulasi perihal tukar menukar yang termaktub dalam KUH Perdata telah secara tegas diformulasikan dalam sub bab ke – 6 khususnya pada Pasal 1541 hingga 1546 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut, mengatur secara sistematis mulai dari definisi tukar menukar yang termaktub di Pasal 1541 KUH Perdata yang menentukan “Pengertian Tukar-menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain.” Dengan membaca dan memahami uraian regulasi diatas, dapat ditemukan persepektif secara umum bahwa “tukar menukar adalah suatu perjanjian yang mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai gantinya atas suatu barang lain.” Dalam ketentuan pasal di KUHPer, tidak hanya menguraikan definisi saja, namun pula menjabarkan perihal penggolongan-penggolongan apa saja yang dapat termasuk dalam objek tukar menukar, yang secara tegas tertulis bahwa “semua barang, baik itu adalah barang bergerak maupun barang tidak bergerak.” Seperti misalnya adalah “tanah, yang dapat menjadi objek tukar menukar yang dikategorikan sebagai barang yang tidak bergerak.” Untuk melengkapi adanya objek dari kegiatan tukar menukar tersebut, perlu juga diketahui perihal subjek kaitannya dengan kesepakatan tukar menukar adalah “para penukar barang, yang secara timbal balik saling memberikan sebagai ganti suatu barang.”

Di Indonesia, pemindahtanganan suatu kepemilikan atas sebidang tanah didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997). Beralihnya kepemilikan atas bidang-bidang tanah dengan cara mengadakan kesepakatan tukar menukar secara khusus telah terdapat dalam suatu regulasi dalam Pasal 37 ayat (1) PP/24/1997 menentukan bahwa “Pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali untuk pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pembuatan perjanjian tukar menukar wajib dilaksanakan dengan perantara seorang pejabat umum yakni PPAT, karena berkaitan dengan diwajibkannya memenuhi syarat menggunakan suatu akta autentik, dan regulasi ini telah secara tegas dan jelas termaktub pada Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP 24/2016) pada intinya menentukan “PPAT merupakan pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam pembuatanakta-akta otentik mengenai perbuatan hukum yang menyangkut hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

Pada Pasal 1 (4) PP 24/2016 yakni“Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai butkti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.” Makna telah “dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu” pada isi ketentuan diatas menyimpan suatu arti yakni telah terjadinya perbuatan hukum pemindahtanganan suatu kepemilikan atas bidang tanah dengan perantara jasa seorang PPAT, serta mengandung makna penyerahan “Levering” (yuridische levering). Agar dapat “beralih” hak atas tanah karena suatu perbuatan hukum, dalam hukum agraria Indonesia yang bersendikan hukum adat, melekat asas “terang dan tunai.” Terang dalam hal perjanjian tukar menukar yang dibuat oleh PPAT melalui kehendak para pihak merupakan suatu pemindahan hak berkaitan dengan tukar menukar yang benar-benar terjadi dinyatakan dengan adanya bukti akta tukar menukar yang pembuatannya oleh PPAT atas dasar kesepakatan penghadap sebelumnya dan kemudian kesepakatan yang mulanya hanya diketahui oleh para pihak dan masih bersifat dibawah tangan tersebut diserahkan kepada kantor PPAT agar oleh PPAT menuangkan keseluruhan kesepakatan dalam akta autentik sehingga bersifat sah mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Tunai berarti adanya perbuatan yang dilakukan secara serentak dan bersama-sama antara pihak yang melaksanakan kesepakatan perihal agenda transaksi tukar menukar pemindahantanganan kepemilikan atas sebidang tanah sebagai objek perjanjian yang disertai dengan penyerahan tanah antara para pihak.8

Namun penerapan asas terang dan tunai pada perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah yang berbeda belum dapat terakomodir dengan baik sebagaimana termaktub Pasal 37 (1) PP 24/1997. Hal demikian adalah disebabkan karena terhadap PP 24/2016 belum mengakomodir aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah. Belum dapat terealisasikannya suatu perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah juga dikarenakan atas seorang PPAT dalam menjalankan jabatannya mempunyai suatu tugas pokok, kewenangan, kewajiban dan larangan yang membatasinya. Seperti halnya dalam pembuatan akta autentik perihal pemindahtanganan suatu hak milik atas sebidang tanah dimana PPAT dapat membuatkan suatu akta berkaitan hal itu apabila objeknya dalam hal ini tanah berada dalam satu wilayah kekuasaan daerah kegiatan. Pelaksanaan pekerjaan PPAT terkait yang selaras dengan regulasi yang diuraikan pada Pasal 1 angka 8 PP 24/2016 menentukan bahwa “Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat

akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya.” Dan pada Pasal 12A PP 24/2016 menegaskan yakni “PPAT mempunyai tempat kedudukan di kabupaten/kota di provinsi yang menjadi bagian dari daerah kerja.”9

Atas dasar uraian secara normatif diatas, satu hal penting yang dapat digarisbawahi yakni suatu peristiwa atau perbuatan hukum dalam kaitannya adanya kesepakatan tukar menukar terhadap sebidang objek sebidang tanah yang lokasi antar objek tanahnya berbeda, artinya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah sebagai contoh: sebidang tanah di Kabupaten Buleleng yang akan ditukar dengan sebidang tanah di Kabupaten Tabanan tidak dapat dilaksanakan.

Dengan tidak adanya peraturan lebih lanjut mengenai hal tersebut, sangat diperlukan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap subjek-subjek hukum terkait dalam perjanjian, termasuk pejabat umum yang berwenang dalam menuangkan kesepakatan persepektif yang telah dicapai/dikehendaki oleh seluruh subjek hukum dalam akta autentik. Hal ini patut dan penting dilakukan, mengingat tidak adanya peraturan pelaksana (aturan lanjutan) mengenai pemindahan hak milik melalui perjanjian tukar menukar. Untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap perbutan hukum tersebut dapat menggunakan suatu pondasi berupa teori seorang ahli hukum yakni “Teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yang mengemukakan bahwa (1) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan merupakan perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan kepada masing-masing pihak dalam melakukan kewajibannya. Dan, Perlindungan Hukum Represif merupakan perlindungan akhir yang diberikan kepada salah satu pihak apabila terjadi sengketa atau ditemukan adanya pelanggaran, melalui prosedur peradilan, baik peradilan umum maupun diluar peradilan (penyelesaian sengketa alternatif). Perlindungan hukum ini diberikan apabila telah terjadi sengketa atau salah satu pihak telah terbukti melakukan pelanggaran dengan tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana yang ditentukan pada perjanjian.”

Didasarkan atas teori tersebut pemerintah terlah memberikan bentuk perlindungan hukum yang khas preventif tersebut dapat ditemukan dalam regulasi Pasal 1546 KUHPer yang menentukan bahwa “hal lain-lain yang terkait aturan tentang persetujuan tukar menukar berlaku juga terhadap persetujuan jual beli.” Dari ketentuan yang telah diuraikan diatas bahwa “Tukar menukar merupakan sebuah perjanjian yang disamakan kedudukannya seperti perjanjian jual beli.” Atas ketentuan Pasal 1546 KUHPer tersebut dan belum terakomodirnya aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah, maka Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional atu disingkat BPN merekomendasikan peralihan/pemindahtanganan suatu hak kepemilikan atas sebidang objek tanah yang semula menggunakan perjanjian tukar menukar dialihkan menjadi perjanjian Jual Beli. Dengan upaya preventif yang

dilakukan oleh pemerintah tersebut legalitas dari peralihan hak kepemilikan atas suatu objek tanah bagi semua subjek hukum pihak tetap dapat terlaksana sesuai kesepakatan yang telah dicapai.10

Dalam hal terjadinya tukar menukar, terlebih dahulu para pihak telah mencapai kesepakatan dalam hal melakukan tukar menukar yang berbentuk perjanjian anatara para pihak baik tertulis maupun tidak tertulis. Untuk mendapatkan legalitas secara hukum, kesepakatan antara para pihak yang termuat dalam perjanjian dapat dituangkan secara autentik melalui Notaris/PPAT dengan dibuatkannya Akta Tukar Menukar. Atas dasar perjanjian yang telah dituangkan dalam Akta Tukar Menukar tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu syarat (disamping syarat lainnya) untuk melakukan peralihan tanah dengan cara tukar menukar yang melalui prosedur/tahapan yang telah ditentukan oleh BPN.11

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kesepakatan itu tidak dilakukan di BPN, melainkan terlebih dahulu antara para pihak telah mencapai kesepakatan yang berbentuk perjanjian dan kemudian dituangkan ke dalam Akta Autentik yakni Akta Tukar Menukar yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris/PPAT.

  • 3.2    Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi Terhadap Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Tukar Menukar.

Perjanjian yang berisikan perihal tukar menukar mempunyai karakteristik konsensualisme artinya “perikatan telah terjadi pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang membuat perjanjian dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum atau akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian”. Kesepakatan perihal kegiatan tukar menukar tanah sebagai objek pebuatan yang dibuat oleh para pihak sebagai subjek hukum tersebut hanya sebatas melahirkan dan terwujudnya suatu hak maupun kewajiban diantara subjek hukum dan belum terjadinya peralihan hak milik.

Pemindahtanganan suatu hak kepemilikam terhadap objek sebidang tanah atas dasar kesepakatan tukar menukar baru terjadi ketika kedua belah pihak telah melakukan penyerahan (levering) kepada masing-masing pihak. Pengertian tukar menukar diatur pada Pasal 1541KUHper menentukan bahwa “Pengertian Tukar-menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain.”

Atas dasar uraian diatas, dapat disimpulkan secara umumnya yakni “tukar menukar adalah suatu perjanjian yang mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai gantinya atas suatu barang lain.” Dalam ketentuan pasal di KUHPer, menunjukkan tentang obyek-obyek

kebendaan apa saja yang dapat dijadikan obyek dalam perjanjian tukar menukar yaitu: “semua barang, baik itu adalah barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Seperti misalnya adalah tanah, yang dapat menjadi objek tukar menukar yang dikategorikan sebagai barang yang tidak bergerak.”12

Implementasi dari dibuatnya perjanjian akan memunculkan akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak yang menjalankannya. Pasal 1545 KUHPer mengatur perihal kewajiban yakni subjek hukum dalam hal ini setiap pihak mempunyai suatu tanggung jawab yang diakibatkan atas adanya kesepakatan tukar menukar kedua belah pihak, hal ini selaras dengan Pasal 1545 menentukan bahwa “Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk tukar menukar suatu barang tertentu yang telah disepakati untuk ditukar musnah dengan tidak dikehendaki pemiliknya, perjanjian adalah menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya, dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukarmenukar.”

Pada pelaksanaan kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah subjek hukum tidak jarang terjadi adanya wanprestasi karena suatu sebab seperti kelalaian ataupun niat buruk dari salah satu pihak. Pada perjanjian tukar menukar tanah, kelalaian akibat dari ketidak jujuran salah satu pihak yang tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan kerugian pada salah atu pihak lainnya. Wanprestasi sering disebut pula sebagai ingkar janji, kealpaan atau lalai, dan melanggar hal yang sudah diperjanjikan.13

Wanprestasi yang mengakibatkan sengketa pada perjanjian tukar menukar timbul akibat dari ingkar janji yang dilakukan sepihak sehingga terhadap perwujudan dari perjanjian yang menjadi dasr dibuat tak dapat terjadi seperti seharusnya atau semestinya. Perjanjian yang semula mengikat dan absah/valid dipersamakan atau sejajar sifatnya seperti undang-undang yang mengatur kedua belah pihak, namun akibat dari adanya wanprestasi mengakibatkan kesesatan dan kerugian yang terjadi.

Faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu wanprestasi pada keadaan saat beralihnya suatu hak kepemilikan atas sebidang tanah dengan cara kesepakatan/perjanjian yang berisikan tentang tukar menukar dilandasi karena belum terdapatnya aturan hukum secara jelas yang mengakomodir aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah.14 Atas dasar tersebut akan memberikan peluang terhadap pihak-pihak yang mempunyai niat tidak baik seperti tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan, dan berakibat tidak melaksanakan prestasi yang ada dan dapat merugikan pihak-pihak lainnya.

Tidak terdapatnya aturan hukum tersebut mengakibatkan tidak tercapainya tujuan hukum yang selaras dengan pendapat ahli hukum yakni “Gustav Radbruch bahwa

tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian hukum (certainty).” Dengan berpondasi pada tiga hal diatas, bahwasanya keadilan adalah keseimbangan yang menjadi tujuan utama dalam segala perbuatan hukum bagi kedua belah pihak. Sementara itu, apabila ditinjau dari pandangan para ahli ekonomi bahwa “hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisienlah yang merupakan tujuan hukum.” Berdasarkan atas pandangan perihal tujuan hukum yang telah dipaparkan Gustav Radbruch memberikan makna terhadap ketiga tujuan hukum menurutnya dengan merujuk pada salah satu tujuan hukumnya yaitu adanya kepastian, maka perihal ketika terjadinya sengketa perihal rangkaian proses beralihnya kepemilikan hak atas sebidang tanah dengan cara tukar menukar, yang mana pengaturan perjanjian tukar menukar disini ada indikasi yang menunjukan tidak senadanya antara pelaksanaan perjanjian dengan telah mencapai mufakat oleh seluruh pihak, sehingga berakibat pada risiko ketidakpastian dalam pelaksanaan kesepakatan yang telah dituangkan dalam perjanjian dalam hal pengalihan hak milik atas tanah.15

Walaupun secara preventif pemerintah telah melakukan perlindungan hukum melalui pengalihan perjanjian tukar menukar menjadi perjanjian jual beli guna menjaminnya kepastian hukum bagi para pihak, namun bentuk pengalihan tersebut sangat bertentangan dengan asas terang dan tunai. Tidak tercerminnya asas terang dan tunai tersebut karena perjanjian yang dibuat oleh PPAT tidak sesuai dengan kehendak para pihak yang menginginkan beralihnya suatu kepemilikan hak atas sebidang tanah yang menjadi objek dengan cara pembuatan perjanjian yang berisikan tentang tukar menukar, namun karena belum terdapatnya aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis sehingga dialihkan menjadi perjanjian jual beli.

Oleh karena hal tersebut diatas ada tendensi terjadi wanprestasi yang dilakukan para pihak karena tidak adanya kepastian hukum pada perjanjian tersebut. Wanprestasi terjadi jikalau terdapat salah satu pihak yang berkewajiban untuk menyerahkan tanahnya kepada pihak lainnya dalam agenda melaksanakan hal-hal yang disepakati dan selanjutnya menjadi kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian tukar menukar melakukan ingkar janji ataupun kelalaian sehinnga merugikan pihak lainnya. Hal tersebut dapat ketika tidak dilakukkanya penyerahan (levering) atas obyek hak milik atas tanah yang telah diperjanjian oleh pihak yang satu yang ditujukan kepada pihak kedua.

Atas dasar penjabaran permasalahan diatas yang berkaitan dengan meningkatnya ketergantungan manusia akan tanah, maka harus dibarengi dengan meningkatnya jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tanah untuk menghindari adanya sengketa di masyarakat tentang pertanahan. Negara mempunyai andil yang sangat penting dalam mewujudkan adanya perlindungan dan kepastian hukum hukum di Indonesia. Dengan terwujudnya hal tersebut maka penguasaan dan regulasi peralihan hak atas tanah dapat terjamin.16

  • 4.    Kesimpulan

Penerapan asas terang dan tunai pada perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah yang berbeda belum dapat terakomodir dengan baik sebagaimana pada Pasal 37 (1) PP No. 24/1997. Hal demikian disebabkan karena terhadap regulasi PP/24 2016 belum mengakomodir aturan teknis perihal bentuk arahan pelaksana maupun bentuk arahan teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah. Pemerintah melalui BPN merekomendasikan peralihan hak atas tanah yang semula menggunakan perjanjian tukar menukar dialihkan menjadi perjanjian Jual Beli. Dengan upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah tersebut legalitas dari peralihan hak atas tanah bagi para pihak tetap dapat terlaksana. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu wanprestasi pada beralihnya suatu hak kepemilikan atas sebidang tanah melaui perjanjian tukar menukar dilandasi karena belum terdapatnya aturan hukum secara jelas yang mengakomodir aturan teknis mengenai bentuk petunjuk pelaksana maupun bentuk petunjuk teknis yang secara eksplisit mengatur megenai perjanjian tukar menukar yang objek tanahnya berada di dua wilayah berbeda atau antar wilayah. dengan meningkatnya ketergantungan manusia akan tanah, maka harus dibarengi dengan meningkatnya jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tanah untuk menghindari adanya sengketa di masyarakat tentang pertanahan. Negara mempunyai andil yang sangat penting dalam mewujudkan adanya perlindungan dan kepastian hukum hukum di Indonesia. Dengan terwujudnya hal tersebut maka penguasaan dan regulasi peralihan hak atas tanah dapat terjamin.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Arman, Nawawi. (2011). Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Sempurna. Jakarta: Media Ilmu

Efendi, Jonaedi. (2020). Metode Penelitian Hukum : Normatif dan Empiris. Jakarta : Kencana

N. Kurniiati (2016). Hukum Agraria Sengketa PertanahanPenyelesaian Melalui Arbitrase dalam Teori dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama

Oka Setiawan, Ketut. (2018),. Hukum Perikatan. cet. III. Jakarta Timur: Sinar Grafika

Jurnal

Bara, M. A. A. B., Saragih, Y. M., & Aspan, H. (2022). Kajian Hukum Keabsahan Ganti Rugi Tidak Sesuai Perjanjian Tukar Menukar Tanah dI Atas Tanah Garapan Masyarakat. JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 4(2), 460-469, DOI: http://dx.doi.org/10.46930/jurnalrectum.v4i2.1999.

Dewi, M. S. K. (2018). Pengaturan Kewenangan Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas

Tanah. Jurnal             Hukum             Kenotarian, 3(4),             DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i02.p08

Kurnia, T. S., & Siswanto, A. (2017). Telaah Teoretis dan Yuridis Tukar Menukar Barang Milik Daerah dengan Swasta. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 24(2), 232254, DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss2.art4

Laturette, A. I. (2016). Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat. Sasi, 22(2), 52-66, DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v2212.168

Luthan, S. (2012). Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal    Hukum    Ius    Quia    Iustum, 19(4),    506-523,    DOI:

https://doi.org/10.20885/iustum.vol19.iss4.art2

Parluhutan, P. (2014). Implementasi Tukar Menukar Dalam Perjanjian Menurut KUHPerdata. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 1(2),    184-190,    DOI:

10.31289/jiph.v1i2.1853

Prasminda, G. D., Usfunan, Y., & Udiana, I. M. (2017). Kuasa Menjual Notariil Sebagai Instrumen Pemenuhan Kewajiban Debitur Yang Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang Piutang (Doctoral      dissertation,      Udayana      University),      DOI:

https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p05

Pulungan, M. T., & Muazzul, M. (2017). Tinjauan Hukum tentang Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Perjanjian Gadai di Bawah Tangan. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 4(2), 60-71, DOI: https://doi.org/10.31289/jiph.v4i2.1959

Saraswati, M. P., Utama, I. M. A., & Santika, I. B. A. P. Kedudukan Hukum Akta Ppat Setelah Terbitnya Sertipikat Karena Peralihan Hak Atas Tanah (Doctoral dissertation, Udayana University), DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p03

Satiah, S., & Amalia, R. A. (2021). Kajian Tentang Wanprestasi Dalam Hubungan Perjanjian. Jatiswara, 36(2),                       126-139,                       DOI:

https://doi.org/10.29303/jatiswara.v36i2.280

Wiranegara, I. M. A., Wairocana, I. G. N., & Wiryawan, I. W. (2018). Tukar Menukar Hak Atas Tanah Antar Wilayah Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (Doctoral dissertation, Udayana University), DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i02.p07

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran

Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 6630.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5893.

516