Hak Mewaris Bagi Suami yang Tidak Pernah Menafkahi Istri dan Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam
on
Vol. 7 No. 02 Agustus 2022
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Hak Mewaris Bagi Suami yang Tidak Pernah Menafkahi Istri dan Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam
Gusti Agung Sagung Istri Dianita1, I Wayan Novy Purwanto2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 8 Februari 2022
Diterima : 2 Juli 2022 Terbit : 8 Agustus 2022
Keywords :
Right to Inherit; Husband;
Islamic Law
Abstract
The purpose of this paper was to analyze and identify marital status if the husband leaves his wife without clarity. In addition, this paper also examines the right to inherit for a husband who has left his wife without clear reasons and without ever fulfilling obligations such as providing a living for his wife during marriage based on the prevailing laws and regulations in Indonesia, especially in the perspective of Islamic law. This paper used a normative legal research method using a statutory approach, a concept approach and an analytical approach. The results of the study indicated that the status of a marriage does not break up automatically only because the husband leaves his wife for 2 (two) consecutive years without the permission of the other party and without a valid reason or for other reasons beyond his ability and in the case that the marriage has not been terminated, a man -Men and women are still considered as legal husband and wife, even though there is negligence of the husband in carrying out his obligations, it still provides legitimacy for the man in his position as a widower of the heir hence, he is entitled to the right to inherit.
Kata kunci:
Hak untuk Mewaris; Suami;
Hukum Islam
Corresponding Author: Gusti Agung Sagung Istri Dianita, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/AC.2022.v07.i02.p3
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa dan mengidentifikasi status perkawinan apabila suami meninggalkan istri tanpa kejelasan. Selain itu, tulisan ini juga mengkaji mengenai hak untuk mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dan tanpa pernah melakukan pemenuhan kewajiban seperti memberi nafkah kepada istri selama perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya dalam perspektif hukum Islam. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan analisis. Hasil studi menunjukkan bahwa status suatu perkawinan tidak putus secara otomatis hanya karena pihak suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya dan dalam hal perkawinan belum diputus, seorang laki-laki dan perempuan masih dianggap sebagai suami dan istri yang sah, walaupun terdapat kelalaian
suami dalam menjalankan kewajibannya tetap memberikan legitimasi bagi laki-laki tersebut atas kedudukannya sebagai duda pewaris sehingga berhak atas hak untuk mewaris.
Hukum waris dipahami sebagai hukum yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia.1 Dalam hal pewarisan, hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kekayaan atau harta benda saja yang diwarisi.2 Secara konsep, kewarisan telah memiliki gambaran jelas terkait dengan arah dan tujuannya. Hanya saja dalam perkembangan kehidupan sehari-hari manusia, terdapat berbagai faktor yang menjadi pertimbangan dalam kaitannya dengan kewarisan tersebut. Permasalahan mengenai kewarisan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan peristiwa dan hubungan hukum yang terjadi selama si pewaris masih hidup. Salah satu hubungan hukum yang berkaitan erat dengan kewarisan adalah perkawinan.
Merujuk pada ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya KHI), perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsawan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Secara etimologi, kata “nikah” berasal dari bahasa Arab yaitu “nikaahun” yang merupakan Masdar atau kata asal dari kata kerja “nakaha”, yang memiliki sinonim dengan “tazawwaja”.3 Beranjak dari ketentuan dalam Pasal 2 KHI dapat dipahami bahwa perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang mengikatkan dua individu, yaitu laki-laki dan perempuan secara sah untuk hidup bersama sebagai suami dan istri. Hal ini sesuai dengan tujuan dilakukannya perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga, melanjutkan keturunan, mencegah perbuatan tercela (asusila) serta menjaga ketentraman jiwa dan batin.
Disamping merujuk pada KHI, ketentuan mengenai perkawinan juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya UU Perkawinan) serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UU No. 16 Tahun 2019). Merujuk pada ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan ditentukan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
UU Perkawinan dan UU No. 16 Tahun 2019 telah mengatur mengenai perkawinan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa. Tentu saja pengaturan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan merupakan cita dan gambaran ideal mengenai perkawinan mengingat tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Hanya saja pada praktiknya masih ditemukan berbagai permasalahan dalam hubungan perkawinan tersebut.
Salah satu masalah yang muncul dalam hubungan perkawinan adalah tidak adanya pemenuhan kewajiban oleh salah satu pihak walaupun kewajiban antara suami istri tersebut telah diatur dalam UU Perkawinan. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan ditentukan bahwa “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Ketentuan ini berarti bahwa suami berkewajiban penuh memberikan nafkah bagi keluarganya, yaitu anak dan istri.4
Pada sebagian masyarakat Indonesia terdapat situasi dimana seorang istri tidak pernah dinafkahi oleh suami sejak awal menikah hingga si istri tersebut meninggal dunia. Bahkan, pada beberapa kasus yang terjadi adalah pihak suami meninggalkan istri serta anak-anaknya tanpa alasan yang jelas dan tidak dilakukannya pemenuhan kewajiban suami kepada istri dan anak-anaknya. Kondisi tersebut semakin dipersulit dengan apabila pihak suami yang telah meninggalkan istri dan anak-anaknya tanpa ada alasan yang jelas kemudian datang dan meminta hak warisan bagian suami disaat si istri telah meninggal dunia.
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 80 KHI telah diatur beberapa kewajiban dari suami yang wajib dipenuhi terhadap istri, termasuk juga memberi nafkah kepada istri. Lebih lanjut, hal-hal berkaitan dengan harta juga dapat diatur dalam bentuk perjanjian perkawinan, salah satunya dalam bentuk taklik talak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 45 KHI, sayangnya belum terdapat ketentuan yang jelas mengatur mengenai hal-hal yang diatur terkait dengan taklik talak dalam KHI. Belum adanya aturan yang jelas menimbulkan multi-interpretasi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat, salah satunya adalah permasalahan mengenai hak mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan jelas dan tanpa melakukan pemenuhan kewajiban berupa pemberian nafkah.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana status perkawinan apabila suami meninggalkan istri tanpa kejelasan? Serta apakah pihak suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dan tanpa pernah melakukan pemenuhan kewajiban seperti memberi nafkah memiliki hak untuk mewaris dari istri?
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa dan mengidentifikasi status perkawinan apabila suami meninggalkan istri tanpa kejelasan. Selain itu, tulisan ini juga mengkaji mengenai hak untuk mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dan tanpa pernah melakukan pemenuhan kewajiban seperti memberi nafkah kepada istri selama perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya dalam perspektif hukum Islam.
Studi terdahulu dilakukan oleh Ahda Bina Afianto pada tahun 2013 yang mengkaji mengenai “Status Perkawinan Ketika Suami atau Istri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam”.5 Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan dalam KHI dalam memberikan putusan hukum terhadap murtadnya suami atau istri, serta pengaturan yang diharapkan sebagai cita hukum yang ideal dalam kaitannya dengan pengaturan dalam KHI untuk memberikan putusan terhadap murtadnya suami atau istri. Pada tahun 2021, Annisaa Ningrum Abdillah, Khoirul Asfiyak, Dwi Ari Kurniawati melakukan kajian mengenai “Analisis Terhadap Suami yang Tidak Memberikan Nafkah Kepada Istri Karir (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)”.6 Adapun fokus kajian ini adalah mengenai pengaturan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri karir. Penelitian ini juga melakukan studi perbandingan antara pengaturan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif tentang suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri karir.
Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu terdapat adanya kesamaan dari segi topik yaitu sama-sama membahas mengenai perkawinan, namun fokus kajiannya berbeda. Penelitian ini membahas mengenai status perkawinan apabila suami meninggalkan istri tanpa kejelasan dan hak untuk mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dan tanpa pernah melakukan pemenuhan kewajiban seperti memberi nafkah kepada istri selama perkawinan khususnya dalam perspektif hukum Islam.
Untuk mewujudkan tujuan penulisan, tulisan ini akan membahas substansi yang relevan dengan fokus permasalahan secara sistematis. Pertama, disajikan mengenai status perkawinan apabila suami meninggalkan istri tanpa kejelasan. Kedua, disajikan mengenai hak untuk mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dan tanpa pernah melakukan pemenuhan kewajiban seperti memberi nafkah kepada istri selama perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam perspektif hukum Islam.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut di atas, perlu kiranya untuk melakukan kajian mendalam mengenai isu hukum berkaitan dengan perkawinan dan pewarisan dalam perspektif hukum Islam, termasuk juga hal-hal berkaitan dengan status perkawinan apabila salah satu pihak tidak melakukan pemenuhan atas kewajibannya. Selain itu, penting untuk mengkaji hak suami untuk mewaris dari istri walaupun suami tidak pernah menafkahi istri selama perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam perspektif hukum Islam. Penelitian ini perlu dan menarik untuk diteliti karena belum ditemukannya aturan yang secara eksplisit mengatur mengenai hak mewaris bagi suami yang tidak pernah menafkahi istri semasa hidupnya.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena fokus kajian berangkat dari kekaburan norma, menggunakan pendekatan: statute approach yaitu dengan mengkaji aturan dalam Kompilasi Hukum Islam, conceptual approach, serta analytical approach.7 Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum dalam upaya menjawab permasalahan hukum yang sedang terjadi.8
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Perkawinan merupakan salah satu hubungan hukum yang terjadi di antara pria dan wanita yang bertujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.9 Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 UU Perkawinan ditentukan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Ketentuan senada juga diatur dalam KHI, yaitu dalam ketentuan Pasal 2 KHI. Merujuk pada Pasal 2 KHI ditentukan bahwa:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsawan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.
Ketentuan dalam Pasal 3 KHI kemudian kembali memberikan penegasan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.10 Hal ini berarti perkawinan dilakukan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang tenang atau tentram, dilandasi dengan cinta kasih dan
penuh rahmat.11 Tujuan sebagaimana diatur dalam KHI dan juga UU Perkawinan harus diupayakan oleh kedua pihak, yaitu suami dan istri.
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 80 KHI telah diatur beberapa kewajiban dari suami yang wajib dipenuhi terhadap istri, termasuk juga memberi nafkah kepada istri. Lebih lanjut, hal-hal berkaitan dengan harta juga dapat diatur dalam bentuk perjanjian perkawinan, salah satunya dalam bentuk taklik talak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 45 KHI, sayangnya belum terdapat ketentuan yang jelas mengatur mengenai hal-hal yang diatur terkait dengan taklik talak dalam KHI. Belum adanya aturan yang jelas menimbulkan multi-interpretasi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat, salah satunya adalah permasalahan mengenai hak mewaris bagi suami yang telah meninggalkan istri tanpa alasan jelas dan tanpa melakukan pemenuhan kewajiban berupa pemberian nafkah.
Secara konsep hukum Islam, perkawinan dilakukan untuk selamanya, namun terdapat kondisi dimana perkawinan dapat terputus di tengah jalan yang disebabkan oleh beberapa alasan, seperti kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 113 KHI.12 Selain itu, merujuk pada ketentuan Pasal 114 KHI dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan karena perceraian juga dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.13
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 115 KHI dipahami bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.14 Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian diatur dalam ketentuan Pasal 116 KHI, yaitu:15
-
a. “Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
-
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
-
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
-
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain;
-
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
-
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
-
g. Suami melanggar taklik talak;
-
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”. (cetak tebal oleh penulis)
Dalam kaitannya dengan status perkawinan dalam hal suami meninggalkan istri tanpa adanya alasan yang jelas dalam perspektif Hukum Islam dapat dipahami bahwa merujuk pada ketentuan dalam Pasal 115 KHI suatu perkawinan tetap ada sebelum diajukan permohonan putusnya perkawinan ke Pengadilan Agama. Adapun dasar yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan tersebut adalah alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 KHI, antara lain: Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; dan Suami melanggar taklik talak.
Taklik talak umumnya tercantum dalam buku nikah.16 Merujuk pada ketentuan Pasal 1 hufur e yang dimaksud dengan taklik talak adalah sebagai berikut:
“Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang”.
Adapun bunyi taklik talak dalam fikih Indonesia adalah sebagai berikut:17
“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli istri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
-
1. Meninggalkan istri saya 2 tahun berturut-turut;
-
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 bulan lamanya;
-
3. Menyakiti badan/jasmani istri saya, atau
-
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya 6 bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian istri saya membayar Rp.10.000,- sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh
tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”.
Pada hakikatnya, saat akad nikah, pihak suami membacakan taklik talak. Pembacaan taklik talak memberikan konsekuensi bahwa ketika pihak suami melanggar ketentuan yang tercantum dalam taklik talak, maka pihak istri mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Dalam sighat taklik talak terdapat 2 (dua) syarat, yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif.18 Syarat alternatif harus dilanggar oleh suami.19 Apabila pihak suami melakukan 1 (satu) dari 4 (empat) syarat tersebut, maka suami dapat dikatakan telah melanggar syarat alternatif.20 Adapun syarat alternatif antara lain:
-
a. meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
-
b. tidak memberi nafkah wajib kepada istri 3 (tiga) bulan lamanya;
-
c. menyakiti badan atau jasmani istri; atau
-
d. membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama 6 (enam) bulan atau lebih.
Walaupun pihak suami telah melanggar syarat alternatif, hal ini belum cukup untuk menjatuhkan talak suami. Untuk jatuhnya talak suami, pihak istri harus memenuhi 4 (empat) syarat kumulatif, yaitu:21
-
1. Tidak ridho;
-
2. Mengajukan gugatan pada Pengadilan Agama;
-
3. Gugatannya diterima; dan
-
4. Istri menyerahkan uang iwadh Rp10 ribu.
Dengan dipenuhinya unsur-unsur berkaitan dengan syarat alternatif dan syarat kumulatif tersebut, negara selaku penegak hukum dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran taklik talak. Pemeriksaan pelanggaran taklik talak dilakukan oleh Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.
Taklik talak dalam fikih Indonesia tersebut memberikan ruang bagi istri untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam hal pihak suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tidak memberi nafkah wajib kepada istri 3 (tiga) bulan lamanya; menyakiti badan atau jasmani istri atau membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama 6 (enam) bulan atau lebih.22 Hal ini senada dengan ketentuan dalam Pasal 51 KHI yang menentukan bahwa Pelanggaran atas perjanjian
perkawinan tersebut memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.23
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa status suatu perkawinan tidak putus secara otomatis hanya karena pihak suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Kondisi tersebut hanya dapat diajukan sebagai alasan untuk meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 51 KHI.
-
3.2. Hak Untuk Mewaris Bagi Suami yang Meninggalkan Istri Tanpa Alasan yang Jelas dan Tanpa Pernah Memberi Nafkah Kepada Istri Selama Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam konsep perkawinan dalam hukum Islam, perikatan antara seorang laki-laki dan perempuan telah lahir sejak diucapkannya ijab qabul secara sah.24 Perikatan ini kemudian melahirkan kewajiban bagi suami dan kewajiban bagi istri yang wajib dilaksanakan dalam kaitannya dengan tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 3 KHI.25
Pengaturan mengenai kewajiban dari seorang suami telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 80 KHI.26 Adapun salah satu kewajiban suami yaitu memberi nafkah untuk keluarga telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 80 ayat (4) KHI, yaitu:
“Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
-
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
-
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
-
c. Biaya pendidikan bagi anak.”
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 KHI menjelaskan kewajiban suami untuk memberi nafkah. Ketentuan ini secara jelas memberikan legitimasi bagi istri untuk mendapatkan nafkah dari seorang suami selama masih terikat dalam hubungan perkawinan yang sah.
Secara konsep, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Selama seorang suami dan istri terikat dalam hubungan perkawinan yang sah, maka dalam hal salah satu pasangan meninggal dunia, pasangan yang masih hidup dapat dinyatakan sebagai ahli waris. Menurut Sayid Sabiq, konsep dari ahli waris adalah orang yang berhak menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris dengan syarat dalam keadaan hidup, diketahui posisinya sebagai ahli waris dan tidak ada penghalang mewarisi. 27
Dalam hal perkawinan belum diputus, seorang laki-laki dan perempuan masih dianggap sebagai suami dan istri yang sah, walaupun terdapat kelalaian suami dalam menjalankan kewajibannya. Hal ini tentu berpengaruh pada hak untuk mewaris apabila salah satu pihak meninggal dunia. Tidak adanya gugatan yang diajukan oleh istri walaupun suami telah lalai melakukan kewajibannya membuat laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari istri baik secara agama (hukum Islam) maupun secara hukum agama.
Status hukum yang menunjukkan seorang laki-laki masih merupakan suami sah dari istri memberikan legitimasi bagi laki-laki tersebut atas kedudukannya sebagai duda pewaris. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki yang berstatus suami tersebut tetap berhak atas harta waris dari istri, namun ia tidak berhak atau pembagian harta bersama dari harta perkawinan apabila tidak ada harta yang diberikan kepada istri selama perkawinan berlangsung.
Merujuk pada ketentuan Pasal 174 ayat (1) KHI terdapat kelompok-kelompok waris, yaitu sebagai berikut:28
-
a. “Menurut hubungan darah:
-
1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;
-
2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
-
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda”.
Ketentuan dalam Pasal 174 ayat (2) KHI kemudian menegaskan bahwa jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat harta waris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda (cetak tebal oleh penulis). Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 174 ayat (1) dan (2) tersebut dapat dipahami bahwa duda termasuk ahli waris menurut hubungan perkawinan. Kondisi suami meninggalkan istri dan anaknya serta tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah yang baik tidak serta merta menjadi penghalang baginya sebagai duda pewaris untuk mendapatkan hak warisnya, mengingat bahwa secara de jure, laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari
istri yang meninggal, walaupun secara de facto, ia telah meninggalkan istri dan lalai memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam hal perkawinan belum diputus, seorang laki-laki dan perempuan masih dianggap sebagai suami dan istri yang sah, walaupun terdapat kelalaian suami dalam menjalankan kewajibannya. Tidak adanya gugatan yang diajukan oleh istri walaupun suami telah lalai melakukan kewajibannya membuat laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari istri baik secara agama (hukum Islam) maupun secara hukum agama. Status hukum yang menunjukkan seorang laki-laki masih merupakan suami sah dari istri memberikan legitimasi bagi laki-laki tersebut atas kedudukannya sebagai duda pewaris mengingat bahwa secara de jure, laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari istri yang meninggal, walaupun secara de facto, ia telah meninggalkan istri dan lalai memenuhi kewajibannya.
Status suatu perkawinan tidak putus secara otomatis hanya karena pihak suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Kondisi tersebut hanya dapat diajukan sebagai alasan untuk meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Dalam hal perkawinan belum diputus, seorang laki-laki dan perempuan masih dianggap sebagai suami dan istri yang sah, walaupun terdapat kelalaian suami dalam menjalankan kewajibannya. Tidak adanya gugatan yang diajukan oleh istri walaupun suami telah lalai melakukan kewajibannya membuat laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari istri baik secara agama (hukum Islam) maupun secara hukum agama. Status hukum yang menunjukkan seorang laki-laki masih merupakan suami sah dari istri memberikan legitimasi bagi laki-laki tersebut atas kedudukannya sebagai duda pewaris mengingat bahwa secara de jure, laki-laki tersebut masih merupakan suami sah dari istri yang meninggal, walaupun secara de facto, ia telah meninggalkan istri dan lalai memenuhi kewajibannya.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Diantha, I. M. P. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Prenada Media.
ND, M. F., & Achmad, Y. (2013). Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris, Pustaka Pelajar.
Jurnal Ilmiah
Vela, A. (2015). Pembagian Waris pada Masyarakat Jawa Ditinjau dari Hukum Islam dan Dampaknya. As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, 4(2), 67-91., h. 67. DOI:
https://staidarussalamlampung.ac.id/ejournal/index.php/assalam/artic le/download/74/132
Milayani, O. (2017). Pewarisan Dan Ahli Waris Pengganti “Bij Plaatsvervulling”. Al-Adl: Jurnal Hukum, 9(3), 405-434., h. 405. DOI : http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v9i3.1186
Masykuroh, Y. W. R. (2019). Optimalisasi Fungsi BP4 Dalam Menekan Angka Perceraian (Studi Pada BP4 Provinsi Lampung). ASAS, 11(2), 77-80., h. 78. DOI : https://doi.org/10.24042/asas.v11i2.5598
Mahfudin, A., & Waqi'ah, K. (2016). Pernikahan dini dan pengaruhnya terhadap keluarga di kabupaten Sumenep Jawa Timur. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 1(1), 33-49., h. 34. DOI :
https://www.journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/608/520
Afianto, A. B. (2013). Status Perkawinan Ketika Suami atau Istri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Humanity, 9(1)., h.1 DOI :
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/2510
Abdillah, A. N., Asfiyak, K., & Kurniawati, D. A. (2021). ANALISIS TERHADAP SUAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN NAFKAH KEPADA ISTRI KARIR (PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF). Jurnal Hikmatina, 3(2), 82-88., h. 82., DOI :
http://www.riset.unisma.ac.id/index.php/jh/article/view/11495
Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Soumatera Law Review, 2(2), 297-308., DOI : https://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.4420
Susanti, D. O. (2018). Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif Maqashid Syari’ah). Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 1(2), 1-30., DOI : https://doi.org/10.30659/jua.v1i2.2456
Siregar, R. (2015). Urgensi konseling keluarga dalam menciptkan keluarga sakinah. HIKMAH: Jurnal Ilmu Dakwah Dan Komunikasi Islam, 2(1), 77-91., DOI : http://repo.iain-padangsidimpuan.ac.id/262/1/Risdawati%20Siregar.pdf
Kushidayati, L. (2016). Legal reasoning perempuan dalam perkara gugat cerai di Pengadilan Agama Kudus tahun 2014. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 6(1), 141-159., DOI : http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v6i1.1482
Heniyatun, H., & Anisah, S. (2020). Pemberian Mut’ah Dan Nafkah Iddah Dalam Perkara Cerai Gugat. Profetika: Jurnal Studi Islam, 21(1), 39-59., DOI :
https://doi.org/10.23917/profetika.v21i1.11647
Dahwadin, E. I. S., Sofiawati, E., & Somantri, M. D. (2020). Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam Di Indonesia. Yudisia, 11, 87-104., DOI : https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/index
Azizah, L. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-'Adalah, 10(2), 415-422., DOI : https://doi.org/10.24042/adalah.v10i2.295
Haris, S. (2013). Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau dari Hukum Perjanjian. Arena Hukum, 6(3), 336-359., DOI :
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2013.00603.3
Aisyah, A. (2020). HAK NAFKAH, MASKAN DAN KISWAH SELAMA DALAM IDDAH TERHADAP BEKAS ISTRI YANG TELAH DICERAI TALAQ DALAM KEDUDUKANNYA QOBLA DUKHUL (Study Putusan Pengadilan Agama Rantauprapat No. 1173/Pdt. G/2020/PA. RAP). JURNAL ILMIAH
ADVOKASI, 8(2), 59-71., DOI : https://doi.org/10.36987/jiad.v8i2.1848
Kenedi, J. (2019). Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Dengan Harta Bawaan Ketika Terjadi Perceraian. Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 7(1), 92106., DOI : http://dx.doi.org/10.29300/mjppm.v3i1.2345
Agustina, E. (2010). Perlindungan Hak Mewaris Seorang Anak Hasil Perkawinan Ijab Qabul Tidak Tercatat pada Hukum Negara. Lex Jurnalica, 8(1), DOI :
https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex
Amri, M. S., & Tulab, T. (2018). Tauhid: Prinsip Keluarga Dalam Islam (Problem Keluarga Di Barat). Ulul Albab: Jurnal Studi Dan Penelitian Hukum Islam, 1(2), 95134., DOI : https://doi.org/10.30659/jua.v1i2.2444
Nelli, J. (2017). Analisis tentang kewajiban nafkah keluarga dalam pemberlakuan harta bersama. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 2(1), 29-46., DOI :
http://dx.doi.org/10.29240/jhi.v2i1.195
Elkarimah, M. F., & Asriani, D. (2022). Pandangan Kepala KUA Se-Kota Yogyakarta Terhadap Shighat Taklik Talak. Tasyri': Journal of Islamic Law, 1(1), 131-165., DOI : https://doi.org/10.53038/tsyr.v1i1.5
Songgirin, A. (2020). Kedudukan Anak Durhaka dalam Hak Mendapat Harta Waris (Telaah terhadap Khi Pasal 171 Point C, Pasal 173 dan Pasal 174). Pamulang Law Review, 2(2), 87-100., DOI :
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/palrev/article/viewFile/5431/3804
Tesis/Disertasi
Ridwan, M. (2020). Penguasaan harta sebelum pelaksanaan faraid di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi Kabupaten Mandailing Natal (Doctoral dissertation, IAIN Padangsidimpuan).
Online/World Wide Web:
Nur Mujib. (2018). Ketika Suami Melanggar Taklik Talak. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Retrieved from: https://www.pa-jakartaselatan.go.id/artikel/260-
ketika-suami-melanggar-taklik-talak#:~:text=Taklik%20talak%20menurut%20ketentuan%20pasal,pada%20mas a%20yang%20akan%20datang%E2%80%9D., diakses pada 31 Januari 2022.
Peraturan Perundang-Undangan
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
215
Discussion and feedback