Kepastian Hukum Memorandum Of Understanding (Mou) Pada Kondisi Pandemi Covid-19 Dalam Hukum Perjanjian Indonesia
on
Vol. 7 No. 02 Agustus 2022
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Kepastian Hukum Memorandum Of Understanding (Mou) Pada Kondisi Pandemi Covid-19 Dalam Hukum
Perjanjian Indonesia
Nury Khoiril Jamil1, Achmad Hasan Basri2, Umarwan Sutopo3
1Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, E-mail: [email protected]
2Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, E-mail: [email protected]
3Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 26 Januari 2022 Diterima : 26 April 2022
Terbit : 4 Juli 2022
Keywords :
Memorandum of Understanding; Legal Certaninty; Covid-19 pandemic.
Kata kunci:
Memorandum of
Understanding; Kepastian
Hukum. Pandemi Covid-19.
Corresponding Author:
Nury Khoiril Jamil, E-mail: [email protected]
DOI :
10.24843/AC.2022.v07.i02.p2
Abstract
The objective of this paper is to examine the legal certainty of the Memorandum of Understanding during Covid-19 pandemic in the treaty law which applies in Indonesia. In addition, it is also to find out the resolution of disputes when one of the parties breaks a promise. The study used normative juridical methods with law enforcement approaches, law concept analysis and case aprroach. The results of this study are the position of the MoU during the pandemic requires an observation of the substance contained in the MoU. If a MoU contains an element of material financial loss, if the performance is not fulfilled, it is punishable. If the parties disprove it, the MoU has already been established as a contract agreement based on Articles 1338 and 1320 of the Civil Code. In the other word means while it is not explicitly stated as a contract, but based on the de facto theory (implied in fact) the MoU would be categorized as a contract. While the MoU only regulates the basic provisions that emphasize the moral burden than the current pandemic situation. So, depart from it, when the law is not explicitly set about the MoU, at that time a judge must explore and identify the law. It can be found by investigating legal values that arise in society by adjusting to current circumstances, especially the pandemic situation through interpretation to build legal constructions that can fill legal voids which may later become jurisprudence.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang kepastian hukum Memorandum of Understanding pada kondisi pandemi covid-19 dalam hukum perjanjian yang sah di Indonesia dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa jika salah satu pihak ingkar janji. Penelitian ini mengunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan Undang Undang, analisis konsep hukum serta pendekatan kasus. Hasil penelitian ini adalah kedudukan MoU pada masa pandemi diperlukan suatu pengamatan terhadap substansi yang terkandung dalam MoU tersebut. Jika dalam suatu MoU mengandung unsur kerugian financial secara materiil, apabila tidak terpenuhinya prestasi sehingga dikenakan
sanksi. Jika para pihak menyangkalnya, MoU itu sudah ditetapkan sebagai kontrak perjanjian berdasarkan Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata. Artinya meski tidak disebutkan secara tegas sebagai kontrak, akan tetapi berdasarkan teori de facto (implied in-fact) adanya kesepakatan tersebut menyebabkan MoU bisa dikategorikan sebagai kontrak. Meskipun MoU hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok saja yang lebih menekankan beban moral ditambah dengan keadaan pandemi seperti saat ini. Maka berangkat dari hal tersebut ketika Undang Undang tidak jelas secara spesifik mengatur tentag MoU, ketika itu juga seorang hakim mesti menggali serta mengidentifikasi hukum. Bisa saja ditemukan dengan menyelidiki nilai-nilai hukum yang muncul pada masyarakat dengan menyesuaikan pada keadaan saat ini terutama keadaan pandemi melalui penafsiran untuk membangun kontruksi hukum yang dapat mengisi kekosongan hukum yang boleh jadi nantinya akan menjadi sebuah yurisprudensi.
-
I. Pendahuluan
Pandemi Covid-19 masih belum usai dan tidak dapat diprediksi sampai kapan akan berakhir, mutasi banyak terjadi dalam virus ini sehingga banyak aspek yang terganggu aktivitasnya karena mutasi yang begitu cepat dan berbahaya. Banyak aspek terdampak, termasuk aspek perjanjian bisnis, utang piutang dan sebagainya yang berkaitan dengan bisnis atau bidang ekonomi. Idealnya suatu perjanjian harus dilaksanakan (prestasi) antar pihak sesuai yang diperjanjikan dalam prinsip pacta sunt servanda atau pasal 1338 KUHPerdata yang menganggap klausula janji merupakan undang-undang bagi para pihak.1
Keadaan pandemi Covid-19 membuat pemerintah wajib mengambil keputusan secara cepat. Keadaan yang tidak dapat diprediksi membuat kebijakan dilegalkan secara tiba-tiba. Hal itu tentu mempertimbangkan keselamatan rakyat atau lazimnya dalam adagium hukum sebagai Salus Populi Suprema Lex Esto, penerapan asas ini merupakan sikap kepedulian terhadap keselamatan manusia, dimana bagi suatu negara hukum tertinggi merupakan keselamatan rakyat. Dengan pertimbangan tersebut, tentu keselamatan dalam aspek kesehatan menjadi prioritas pemerintah.
Sebelum lahirnya sebuah perjanjian yang berasal dari suatu kesepakatan antara para pihak atau antar subjek hukum. Lazimnya perumusan kontrak atau perjanjian diawali dengan negosiasi dan kesepahaman antara para pihak, sehingga menimbulkan suatu kesepakatan karena kepentingan yang berbeda antara para pihak. Setelah tercapai kesepakatan, para pihak lazimnya akan mengadakan proses pra-kontraktual dengan menyusun Memorandum of Understanding yang selanjutnya disingkat (MoU) atau yang lebih umum dikenal nota kesepahaman.2
MoU hingga sekarang masih menimbulkan keberagaman pendapat dalam pelaksanaannya. Perbedaan sistem hukum yang digunakan dalam suatu negara menjadi penentu status hukum MoU. Indonesia telah menyerap sistem hukum Eropa kontinental dengan memanfaatkan model dogmatis suatu transaksi dapat segera disusun berdasarkan kehendak para pihak. Kesepakatan yang tidak diatur oleh pembuatnya, dalam sistem hukum perdata akan mengacu pada persyaratan perundang-undangan sebagai peraturan pelengkap dalam perjanjian tersebut.
Berbeda dengan kerangka common law, segala sesuatu dalam suatu kesepakatan mesti dirinci secara rinci, termasuk semua kemungkinan hasil dari penandatanganan perjanjian tersebut. Tuntutan adanya ikrar dalam pemufakatan bersama antara pembuatnya guna menata keinginan atau kesesuaian bersama yang searah dengan maksud kesepakatan masing-masing pihak dapat dikemukakan.3
Sistem hukum di Indonesia didasarkan pada civil law. Karena setiap orang mengacu pada peraturan dan hukum yang lebih tinggi. Posisi aturan dari MoU memerlukan pertimbangan khusus. MoU tidak diatur secara eksplisit dalam KUHPerdata. MoU adalah sebuah konsep sederhana dimana para pihak yang akan menyelenggarakan kesepakatan dengan diawali dari menyusun suatu nota kesepahaman. Jika perjanjian itu mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, maka kesepakatan para pihak mempunyai kekuatan hukum yang sama seolah-olah diatur dalam tatanan hukum Indonesia, khususnya sistem hukum perdata. Pada kenyataannya sebuah kesepakatan terkait MoU telah nyata dilakukan oleh para pembuatnya, hal ini sesuai dengan gagasan kontrak secara de facto.
Pada keadaan pandemi Covid-19 yang serba tidak pasti dan sulit diprediksi. Pengambilan kebijakan secara cepat, tentu memiliki dampak tersendiri bagi pelaksaan MoU. Pembatasan aktivitas membuat roda perekonomian dapat terhambat, maka idealnya MoU dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan itikad baik (good faith) antar para pihak. Dalam MoU juga harus ditambah klausula mengenai penyelesaian sengketa, khususnya jika terdapat kebijakan yang dapat menghalangi perjanjian dalam MoU baik terpengaruh secara langsung atau menghambat suatu hal yang berimplikasi tidak dapat terlaksanakannya perjanjian dalam MoU. Sehingga di tengah krisis yang melanda, para pelaku bisnis yang menggunakan MoU di awal perjanjian tidak merasa dirugikan. Dari hal tersebut di atas, penulis berkonsentrasi kepada isu kepastian hukum MoU pada kondisi pandemi covid-19, serta bagaimana pemecahan isu MoU jika salah satu pihak mengingkarinya.
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang kepastian hukum MoU pada ruang lingkup hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia serta keinginan guna memahami dan menganalisis tentang penyelesaian sengketa jika salah satu pihak ingkar janji.
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Putu Wahyu Ning Egarini dan I Made Sarjana dengan judul permasalahan MoU dalam hukum perjanjian Indonesia. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa meskipun Notaris telah mengesahkan suatu
MoU, namun tidak dapat dikatakan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, karena keterbatasan tanggung jawab Notaris untuk menunjukkan keotentikan serta realitas sebuah MoU yang telah ditandatangani oleh pembuatnya.4 Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Zayanti Mandasari, dengan judul posisi MoU serta dokumen keputusan bersama ditelaah berdasarkan gagasan perundang-undangan, yang berfokus pada posisi MoU dari aspek Peraturan Perundang Undangan, dan salah satu kesimpulan yang berkaitan dengan MoU disini adalah MoU mempunyai daya ikat berdasarkan apa yang telah disepakati dalam kesepahaman yang tertuang dalam subtansi MoU tersebut, karena mereka diberikan kebebasan oleh pasal 1338 KUHPerdata sejauh merealisasikan tuntutan sahnya perjanjian yang digariskan oleh ketentuan 1320 KUHPerdata.5 Berdasarkan penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan oleh Putu Wahyu Ning Egarini dan I Made Sarjana serta Zayanti Mandasari, maka para penulis disini akan mengembangkan dan memadukan keduanya, yaitu akan berfokus pada kepastian tentang MoU dimasa pandemi covid-19 serta bagaimana penyelesaian MoU jika terjadi ingkar janji.
-
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian pilihan penulis untuk menyusun artikel ini merupakan penelitian hukum normatif. Bermaksud menyelidiki kesulitan-kesulitan hukum dan juga menelaah isu hukum yang relevan.6 Penelitian ini memanfaatkan pendekatan perundang undangan, yang mengkaji suatu peraturan hukum, serta pendekatan konseptual, yang berkaitan dengan konsep-konsep hukum yang diutarakan oleh para ahli atau doktrin-doktrin hukum.7 Berikutnya dengan adanya fenomena dalam praktek penyelesaian sengketa MoU penulis juga menggunakan pendekatan kasus dengan cara beberapa putusan pengadilan dikaji sebagai rujukan bagi persoalan hukum. Penelitian ini memanfaatkan dua tipe sumber bahan hukum yang dimanfaatkan: 1) Bahan hukum primer merupakan bahan yang mengikat, artinya merupakan aturan hukum, seperti Pasal 1244, 1245, 1444, 1445, 1320, dan 1338 KUHPerdata, yang mengatur tentang keadaan yang mengakibatkan keadaan kahar dan syarat sahnya perjanjian. Serta beberapa putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum. 2) Bahan hukum sekunder berbentuk terbitan hukum berupa buku, kamus hukum, dan artikel hukum.8 3) Teknik pengumpulan bahan hukum, hal ini dapat dicapai dengan beraneka cara, dinataranya: a) Kajian kepustakaan terkait dengan peraturan melalui proses menganalisis dan memahami aturan dan regulasi yang mengendalikan pembentukan masalah penelitian serta pengumpulan data yang meliputi membaca, mengutip, dan mencatat pada dokumen hukum tercetak berupa buku, karya ilmiah, dan literatur lainnya. b) Studi dokumentasi dilakukan untuk mencari ide, teori, dan pandangan yang berkaitan dengan rumusan masalah untuk penelitian ini. 4) Teknik analisis yang dipakai merupakan analisis deskriptif yang dilaksanakan secara sistematik.
Komunitas dunia yang membidangi kesehatan (WHO) sudah mengutarakan virus Covid-19 sebagai pandemi karena meluas secara internasional. Keluarnya Kebijakan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 di Indonesia yang menentukan Covid-19 sebagai insiden nasional, semakin menambah hal tersebut. Penetapan pandemi Covid-19 sebagai insiden nasional bisa dikategorikan dengan kondisi kahar dalam skenario ini (keadaan memaksa). Jika tidak ada niat buruk, kondisi kahar atau sesuatu yang tidak terduga dapat memungkinkan pembuat perjanjian untuk memenuhi janji mereka tanpa harus membayar kompensasi. Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata membahas masalah ini.
Dampak pandemi Covid-19 berkontribusi besar dalam berbagai lini, khususnya dalam hal perjanjian. Perjanjian yang semula menimbulkan harapan baik dengan terlaksananya hak dan kewajiban bagi pembuatnya, dapat berimplikasi pada batalnya perjanjian dalam MoU karena timbulnya keadaan tak terduga (force majeur). Maka penting adanya kepastian hukum bagi MoU sebagai salah satu solusi dari permasalahan dalam perjanjian dimasa pendemi. Karena penerapan Nota Kesepahaman dalam praktiknya dapat menyederhanakan proses kontrak dan memastikan tingkat jaminan yang diinginkan para pihak.9
Salah satu tujuan dalam perjanjian adalah adanya kejelasan hukum bagi para pihak yang terikat guna menghindari adanya penyalahgunaan atau wanprestasi terhadap janji yang telah disepakati.10 Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata mengatur terkait kepastian hukum dalam perjanjian, menunjukkan bahwa suatu perjanjian dibentuk secara sah, dan bahwa orang-orang yang membuatnya terikat olehnya sebagai hukum. Artinya, seseorang yang masuk ke dalam perjanjian wajib menepati janji-janji yang dibuat di dalamnya, dan perjanjian-perjanjian itu mengikatnya seolah-olah itu adalah Undang Undang.11
Tercapainya kesepakatan antara para pihak diawali oleh promosi dan kerelaan untuk menerima yang akhirnya mengikat kepada para pihak dilaksanakan dengan iktikad baik.12 Menurut Desak Putu Dewi Kasih dan Putu Devi Yustisia Utami, dalam kesepakatan para pihak tidak dapat dikesampingkan.13
Untuk menetapkan kejelasan hukum dalam pemberlakuan MoU, posisi MoU adalah kesepakatan. MoU bukanlah hal baru dalam bisnis, khususnya dalam konteks
kesepakatan. MoU adalah frasa dua kata yang menggabungkan frasa Memorandum dan Understanding. MoU didefinisikan sebagai nota kesepahaman dari sudut pandang tata bahasa. Sebuah memorandum, menurut Black's Law Dictionary, merupakan titik awal untuk mempersiapkan kontrak formal di kemudian hari. Sedangkan understanding mempunyai arti sebagai suatu deklarasi kesepakatan dengan tidak langsung, baik secara lisan maupun tertulis, sehubungan dengan interaksinya dengan perjanjian-perjanjian lain. MoU, menurut definisi, adalah kesepakatan antara dua pihak.14
MoU, menurut Munir Fuady, merupakan kesepakatan awal atau awalan perjanjian, dengan arti selanjutnya akan dipertegas dalam sebuah kesepakatan lanjutan yang tentunya akan lebih rinci serta lebih berbicara substansi perjanjian yang akan disepakati bersama. Karena itu, MoU mengandung hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dilakukan oleh pembuatnya.15
MoU menurut Erman Raja gukguk sebagai dokumen yang bermuatan saling pengertian dan kesepahaman diantara pembuatnya yang hendak melakuan perikatan pra kontrak. Isi MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak agar mengikat secara hukum. Sementara itu, MoU menurut H. Salim adalah kesepahaman antara dua subyek hukum dengan skala nasional maupun internasional, untuk bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan dengan ketentuan waktu tertentu.16
Secara umum, manusia tidak dapat memenuhi keinginannya sendiri. Perlu orang lain sebagai mitra untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama merupakan langkah efektif dalam pemenuhan keinginan subjek hukum. Dengan memiliki perbedaan kepentingan, namun saling bisa mendapatkan kepentingan dari subjek hukum terbentuklah MoU sebagai langkah awal memulai kontrak.17
Setiap MoU yang ditandatangani oleh para pihak memiliki tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan masing-masing. Adapun tujuan dari MoU tersebut, menurut Munir Fuady, adalah sebagai berikut:18:
-
1. Untuk menghindari sulitnya pembatalan perjanjian apabila terjadi ketidakpastian prospek usaha, seperti tidak jelas apakah perjanjian kerjasama akan ditindaklanjuti, maka dibuatlah MoU kemudian dibatalkan;
-
2. Karena pembicaraan sulit yang sedang berlangsung, penandatanganan kontrak masih memakan waktu lama. Hal ini dijadikan dasar pijakan, sebagai tanda jadi awal meskipun tidak ada ikatan di antara pembuatnya;
-
3. Karena pembuatnya tidak yakin dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan penandatanganan kontrak, MoU disiapkan untuk sementara;
-
4. Sebuah MoU disusun dan diteken oleh pimpinan senior perseroan, yang membutuhkan kesepakatan yang lebih formal untuk dirancang dan
dinegosiasikan oleh pekerja tingkat bawah tetapi lebih terampil secara teknis.
MoU sejatinya hanya sebagai langkah awal untuk melakukan perjanjian yang akan diikatkan para pihak pada kemudian waktu. Sarana negosiasi dan pertimbangan menjadi pokok utama MoU dibuat. MoU dapat dinilai sebagai penguat untuk meyakinkan para pihak untuk melakukan perikatan sesuai kepentingan masing-masing pihak.
Hikmahanto Juwana melihat MoU secara lebih luas, membedakan antara makna teoritis dan praktis dari kata Nota Kesepahaman. Dokumen MoU, secara teori, tidak mengikat secara hukum kecuali jika ditindaklanjuti dengan kesepakatan.19 Sementara itu, meskipun Pasal 1338 KUHPerdata menjelaskan tentang mengikatnya suatu perjanjian sebagai Undang-Undang terhadap pembuatnya, tidak terpenuhinya Pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat mutlak sahnya perjanjian dapat batal berdasarkan hukum serta tidak memiliki kekuatan hukum memaksa.20 Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para ahli terkait MoU,akan tetapi berdasarkan kenyataan MoU itu telah nyata terjadi. Hal ini relevan dengan teori de facto dalam sebuah kontrak yang menyatakan bahwa kesepakatan yang belum pernah dirincikan secara spesifik namun nyatanya ada, secara prinsip bisa diterima sebagai perjanjian yang sempurna.21
Untuk kondisi pandemi dimana dalam MoU diatur mengenai hal-hal yang harus dilaksanakan secara bertemu langsung dengan kontak fisik antara mereka menjalin MoU, tentu hal ini dapat dipertimbangkan kembali, mengingat wabah covid-19 yang akhir-akhir ini rentan sekali untuk menular kepada orang lain. Oleh sebab itu maka bagi para pihak tentunya akan lebih memperhatikan kesehatannya masing-masing, dengan tidak melakukan segala aktivitas yang dapat menyebabkan semakin rentannya penularan covid 19.
Pelaksanaan MoU dipengaruhi oleh pandemi covid-19 dalam hal kemampuan seseorang berkurang atau telah terjadi akibat lain yang mempengaruhi pelaksanaan MoU bagi individu tersebut. Pandemi covid dapat dikecualikan dalam melakukan MoU oleh sebab keadaan memaksa, namun bukan semua MoU yang tidak bisa dilakukan karena pandemi memanfaatkan sebab kondisi memaksa, karena pandemi Covid 19 tidak dapat digeneralisasikan sebagai kondisi memaksa untuk semua orang
dan harus dievaluasi berdasarkan kasus per kasus. Setiap kasus ditangani secara berbeda tergantung pada skenario dan fakta.22
Dengan demikian MoU pada dasarnya mengikat bagi para pihak karena kebebasan seseorang untuk menyelenggarakan kesepakatan dengan siapapun dalam hal apapun yang berpedoman pada syarat sahnya perjanjian, namun demikian dalam keadaan pandemi yang terjadi di Indonesia bahkan juga meluas dibeberapa negara, hal ini sangat berpengaruh terhadap keberadaan MoU untuk memenuhi prestasinya. Secara teknis mereka yang menyelenggarakan MoU harus dilandasi dengan iktikad baik meskipun pertanggungjawabannya hanya secara moral. Jika keberadaan pandemi tidak tercantum dalam MoU, maka hal itu dapat menjadi pengecualian bagi pembuatnya dengan saling memaafkan karena situasi dan kondisi yang tidak dapat diprediksi. Hal ini juga diperkuat oleh adanya Kebijakan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 terkait penentuan insiden nonalam perluasan Covid-19 menjadi insiden secara nasional.
Kejelasan terkait MoU dapat dikategorikan berdasarkan beberapa kategori. Pertama berdasarkan keadaan lahirnya sebuah MoU. Jika MoU lahir sebelum pandemi melanda Indonesia maka, ketentuan yang berkaitan dengan tatap fisik secara langsung dapat dikecualikan sebagai kedaan memaksa sesuai dengan pasal 1245 KUHPerdata. Karena keselamatan rakyat menjadi utama sebagai hukum tertinggi. Kedua jika MoU lahir pada saat pandemi, maka dengan segala pertimbangan oleh pembuatnya kesepakatan dalam kesepaham MoU mesti dilaksanakan, karena diantara pembuat MoU sudah menyadari keadaan pandemi sehingga tidak dapat menghalangi mereka untuk menyusun MoU. Ketiga berdasarkan nilai kerugian yang mengakibatkan kerugian financial secara materiil, berdasarkan kenyataan adanya kesepakatan tersebut menyebabkan MoU bisa dikategorikan sebagai kontrak.23
Pada hakikatnya regulasi khusus yang mengatur mengenai MoU di Indonesia bisa jadi secara spesifik belum diintruksikan dalam peraturan perundang-undangan. MoU merupakan produk hukum yang berhulu dari common law. Dilain sisi Indonesia mengadopsi sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam sistem Common Law sebelum terjadinya perjanjian diantara kedua belah pihak, segala sesuatu dan akibat dari ditanda tanganinya kesepakatan harus dibuat dengan cermat. Berbeda dengan sistem Civil Law yang mana terdapat hal-hal yang tidak tercakup dalam kontrak maka harus berpedoman pada kaidah peraturan perundungan-undangan. Namun dalam praktiknya MoU juga digunakan diberbagai negara yang mengadopsi sistem Civil Law, tidak terkecuali Indonesia.24
MoU dibuat berdasarkan kesepakatan dengan diawali dari adanya sikap saling memahami antar pembuatnya yang berkenan melaksanakan perjanjian. Pengaturan yang berkaitan dengan perjanjian termaktub dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkait
syarat sahnya sebuah janji. Akan tetapi dalam Pasal 1320 tidak dijelaskan aturan khusus mengenai MoU. Sebagai bentuk kerjasama, hukum perjanjian melalui asas kebebasan berkontrak (Hurriyah at-Ta’aqud/freedom of making contract) memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan awal dalam bentuk MoU. Hal ini menunjukkan bahwa hanya pihak yang berkepentingan yang dapat mencapai kesepakatan melalui MoU, sepanjang tidak bertentangan dengan rukun dan syarat kesepakatan.25
Disamping itu dasar hukum bagi MoU dapat mengacu pada Semua perjanjian yang mengikat secara hukum bagi orang-orang yang membentuknya, bertolak pada pasal 1338 KUHPerdata.26 Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan jika pembuatnya setuju atau jika alasan-alasannya dianggap sesuai oleh hukum. Suatu kontrak mesti dilakukan berdasarkan niat baik.
Maka suatu perjanjian dikatakan sah apabila semua rukun dan syaratnya terpenuhi. Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan harus mengetahui pilar dan kriteria yang mengatur keabsahan perjanjian merupakan hal yang fundamental sebelum menyusun draf MoU.27 Pasal 1338 juga menegaskan kesepakatan yang dilahirkan berdasarkan niat baik serta tidak melanggar hukum yang berlaku adalah sah. Demikian halnya dengan MoU harus merealisasikan kategori yang berlaku bagi suatu perjanjian.28 Sehingga jelas terdapat hubungan antara MoU sebagai nota kesepahaman dengan perjanjian itu sendiri.
MoU bukan merupakan syarat formal yang menentukan keabsahan suatu perjanjian. Karena dari aspek yuridis formal MoU tidak memiliki kedudukan khusus dalam perjanjian. Sering kali MoU hanya dianggap sebagai alternatif untuk melakukan kerja sama yang kedudukannya terpisah dengan perjanjian itu sendiri. MoU sebagai altenatif memiliki karakteristik tertentu yang dianggap berbeda dengan perjanjian sehingga mampu memberikan terobosan untuk membina kerja sama tanpa harus berisiko29. MoU hanya memuat hal-hal yang bersifat pokok dan umum sebagai langkah awal terjadinya suatu kesepahaman antar pembuatnya yang akan melaksanakan perjanjian.
Secara garis besar dalam mengetahui kedudukan MoU diketahui terdapat dua ragam pandangan, diantaranya:30
-
a. Gentlement Agreement
Walaupun disusun menggunakan akta notariil, tetapi suatu MoU mempunyai kekuatan mengikat yang tidak sama dengan suatu perjanjian biasa (namun
dalam praktek jarang sekali suatu MoU dibuat notaris). Menurut pandangan ini, MoU hanya dapat ditegakkan secara hukum karena didasarkan pada pengakuan moral. Meskipun Notaris telah mengesahkan MoU, namun tidak dapat diklaim memiliki kekuatan hukum mengikat, menurut Putu Wahyu Ning Egarini dan I Made Sarjana, karena tugas Notaris sebatas menunjukkan sah atau tidaknya akta tersebut. MoU yang ditandatangani oleh para pihak.31
-
b. Agreement is Agreement
Posisi MoU, secara teori, merupakan kegiatan pra-kontrak yang tidak memiliki unsur "niat untuk membentuk ikatan hukum". Hak dan kewajiban pembuatnya biasanya tidak disebutkan, artinya hanya kepercayaan masing-masing pihak yang dimodali dalam pelaksanaannya.
Selain dua hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat bahwa untuk megetahui kedudukan MoU diperlukan suatu pengamatan terhadap substansi yang terkandung dalam MoU tersebut. Jika dalam suatu MoU mengandung unsur kerugian finansial apabila tidak terpenuhinya prestasi sehingga dikenakan sanksi, jika para pihak menyangkalnya, MoU itu sudah ditetapkan sebagai kontrak perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya meski tidak disebutkan secara tegas sebagai kontrak, akan tetapi berdasarkan teori de facto (implied in-fact) adanya kesepakatan tersebut menyebabkan MoU bisa dikategorikan sebagai kontrak. Tetapi apabila hanya memuat mengenai hal yang bersifat sementara serta masih memerlukan perjanjian lanjutan sebagai pendukungnya, maka dalam hal ini kedudukan MoU belum memiliki akibat terhadap kekuatan hukum sebuah perjanjian.32
Berdasarkan berbagai pendapat diatas tentang pengaturan dan kekuatan dari MoU dapat disimpulkan bahwa baik pengaturan dan kekuatannya belum mendapatkan kejelasan sehingga belum merujuk pada kepastian hukum. Akan tetapi bukan berarti persoalan yang timbul dengan adanya MoU tersebut tidak dapat diselesaikan, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melalui penyelesaian non litigasi seperti negosiasi, mediasi, konsolidasi dan lain sebagainya, berikutnya yaitu penyelesaian melalui upaya litigasi (pengadilan), hal ini didasarkan kepada ungkapan Ius Curia Novit yang beranggapan seorang hakim disangka mengetahui dan mengerti terhadap segala aturan hukum, serta didasari oleh ketetapan pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 terkait Kekuasaan Kehakiman dimana pokoknya hakim tidak boleh membiarkan persoalan yang datang kepadanya oleh sebab ketidak jelasan dan ketidak adaan aturan hukum yang mengaturnya. Maka dari itu ketika Undang-Undang tidak jelas secara spesifik mengatur tentang MoU, ketika itu juga seorang hakim mesti menggali serta mengidentifikasi hukum. Boleh jadi hukum dapat ditemukan melalui menyelidiki nilai-nilai hukum yang muncul dalam masyarakat melalui penafsiran untuk membangun kontruksi hukum yang dapat mengisi kekosongan hukum yang boleh jadi nantinya akan menjadi sebuah yurisprudensi.
Ada beberapa putusan pengadilan yang dapat penulis sampaikan sebagai acuan tentang penyelesaian tentang MoU di Indonesia, melalui putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor: 104/PDT.G/2016/PN Pdg, dimana pada putusan tersebut intinya
diantara kedua belah pihak tidak menyangkal tentang kesepakatan MoU yang berarti kesepakatan telah terjadi serta mengikat bagi pembuatnya, diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi Padang Nomor: 20/PDT/2018/PT.PDG, yang mendukung putusan tingkat pertama. Begitu juga dengan putusan pengadilan Jakarta Selatan pada tahun 2017 dengan nomor: 871/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel, serta dikuatkan oleh putusan pengadilan tinggi DKI nomor 15/PDT/2018/PT.DKI, pada pokoknya kesepakatan dalam MoU mengikat terhadap pembuatnya sepanjang merealisasikan syarat sahnya sebuah janji yaitu pasal 1320 KUHPerdata, akan tetapi dalam perkara tersebut telah terang benderang dinyatakan bahwa untuk melakukan tindakan hukum lain harus dilakukan melalui perjanjian secara khusus sebelum berakhirnya MoU, jadi menurut hemat penulis meskipun MoU hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok saja yang lebih menekankan beban moral, bukan berarti kita menganggap remeh MoU tersebut dengan tidak mengindahkan iktikad baik dalam melaksanakan MoU, karena beban moral dan iktikad baik merupakan landasan yang paling mendasar dalam melakukan sebuah kesepahaman maupun kesepakatan.
Penyelesaian terkait tidak dilaksanakannya MoU pada masa pandemi tidak begitu saja dapat digeneralkan terhadap semua MoU. Seperti uraian penulis diatas, dalam menyelesaian persoalan MoU harus secara detail perlu mempertimbangkan berbagai aspek. Keselamatan pembuat atau masyarakat umum merupakan aspek yang utama, jika dalam MoU mengharuskan kontak fisik secara langsung sangat membahayakan sehingga menjadi alasan untuk tidak memenuhi prestasinya. Berikutnya aspek kapan MoU itu lahir, sebelum atau pada saat pandemi menjadi penentu untuk melaksanakan prestasi karena berkaitan dengan kesadaran para pihak dalam keadaan yang membahayakan keselamatan pembuatnya dan masyarakat secara luas.
Dengan demikian berbagai putusan pengadilan dapat dijadikan sebagai rujukan jika terjadi kasus yang serupa terkait kepastian hukum terkait MoU, akan tetapi kita juga harus menyesuaikan dengan keadaan pada masa pandemi dengan mengedepankan kemaslahatan para pihak serta masyarakat.
-
4. Kesimpulan
Kedudukan MoU pada masa pandemi diperlukan suatu pengamatan terhadap substansi yang terkandung dalam MoU tersebut. Jika dalam suatu MoU mengandung unsur kerugian financial secara materiil, apabila tidak terpenuhinya prestasi sehingga dikenakan sanksi. Jika para pihak menyangkalnya, MoU itu sudah ditetapkan sebagai kontrak perjanjian berdasarkan Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata. Artinya meski tidak disebutkan secara tegas sebagai kontrak, akan tetapi berdasarkan teori de facto (implied in-fact) adanya kesepakatan tersebut menyebabkan MoU bisa dikategorikan sebagai kontrak. Meskipun MoU hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok saja yang lebih menekankan beban moral ditambah dengan keadaan pandemi seperti saat ini. Maka berangkat dari hal tersebut ketika Undang Undang tidak jelas secara spesifik mengatur tentang MoU, ketika itu juga seorang hakim mesti menggali serta mengidentifikasi hukum. Bisa saja ditemukan dengan menyelidiki nilai-nilai hukum yang muncul pada masyarakat dengan menyesuaikan pada keadaan saat ini terutama keadaan pandemi melalui penafsiran untuk membangun kontruksi hukum yang dapat mengisi kekosongan hukum yang boleh jadi nantinya akan menjadi sebuah yurisprudensi. Seperti putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 104/PDT.G/2016/PN Pdg,
20/PDT/2018/PT.PDG Nomor: 871/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel, putusan pengadilan tinggi DKI Nomor 15/PDT/2018/PT.DKI, yang pada intinya kesepakatan dalam MoU mengikat terhadap pembuatnya sepanjang merealisasikan syarat sahnya sebuah janji yaitu pasal 1320 KUHPerdata.
Daftar Pustaka
Buku
Djulaeka., (2019). Buku Ajar Perancangan Kontrak, Surabaya: Scopindo Media Pustaka.
Munir F., (1997). Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Ke Empat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
HS. Salim., (2011). Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding. Cet. 5
Jakarta: Sinar Grafika.
HS. Salim., (2019). Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Juwana H., (2002). Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati.
Mahmud, M. P., (2009). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Susamto B., (2013). Pedoman Penyusunan Memorandum of Understanding. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Miru A., (2016). Hukum Kontrak & Perancangan Kontra. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Subekti, R., & Tjitrosudibio R., (2004). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Jurnal
Aminah., (2020). Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Diponegoro Private Law Review. 7 (1).
Basri, A. H. & Rumawi., (2021). Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem Angsuran dan Eksekusi Jaminan Fidusia setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum. 9 (10), doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i10.p09.
Dien R. J., (2016). Kedudukan dan Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Menurut Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum. Vol. 4, (4).
Egarini P. W. N. & Sarjan I. M., (2020). Problematika Memorandum of Understanding (MoU) Dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Jurnal Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum. 8 (4).
Jamil, N. K. & Rumawi., (2020). Implikasi Asas Pacta Sunt Servanda Pada Keadaan Memaksa (Force Majeure) dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum. 8 (7).
Kasih D. P. D. & Utami P. D. Y. (2021). Standard Contract on Banking Sector: Regulation and Description in Internal Banking Regulations. Jurnal Magister Hukum Udayana. 10 (2). DOI:10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p05.
Darma K. S., Sarjana I. M. & A.A. Darmadi A. A. S. W., (2016). Status Hukum Memorandum Of Understanding (MoU) Dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum. 4 (3).
Fuad L., (2017). Implemenetasi Yuridis tentang Kedudukan Memorandum of
Understanding (MoU) dalam Sistem Hukum Perjanjian Indonesia, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. 17 (2).
Mandasari, Z., (2013). Kedudukan Memorandum of Understanding dan Surat
Keputusan Bersama Ditinjau dari Teori Perundang Undangan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. 2 (20).
Pratama, G. N., (2016). Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding (MoU) dalam Hukum Perjanjian di Indonesia, Jurnal Veritas et Justitia. 2 (2). doi.org/10.25123/vej.v2i2.2274.
Skripsi
Alattas M. I., (2017). Kedudukan Memorandum of Understanding (MoU) Dalam
Berperkara di Persidangan. UIN Syarif Hidayatullah.
Peraturan Perundang Undangan
Staatsblaad Nomor 23 tahun 1847, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor: 104/PDT.G/2016/PN Pdg.
Putusan pengadilan tinggi Padang Nomor: 20/PDT/2018/PT.PDG.
Putusan pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 871/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel.
Putusan pengadilan tinggi DKI Nomor 15/PDT/2018/PT.DKI.
201
Discussion and feedback