Vol. 7 No. 1 April 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Cyber Notary di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan Ataukah Ancaman

Ngurah Justia Dharmadyawan R.1, Ni Ketut Supasti Dharmawan2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]d

Info Artikel

Masuk : 24 Januari 2022

Diterima : 01 April 2022

Terbit : 11 April 2022

Keywords :

Cyber Notary, Akta Notaris, Teknologi Informasi.


Kata kunci:

Cyber Notary, Akta Notaris, Teknologi Informasi.

Corresponding Author:

Ngurah Justia Dharmadyawan

R., E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i01.p01


Abstract

This study aims to acknowledge and to analyze the capacity and the juridical power of the concept of cyber notary, in terms of Notary Public to carry out their duties, functions and authorities as Public Officials in the era of globalization 4.0. Furthermore, aims to perceive the opportunities that cyber notary can be applied into Indonesian’s legal system. This study uses normative legal research with the statue approach and conceptual approach, with primary and secondary legal materials. The result of this study indicates that UUJN-P (The Law on The Position of Notary Public) has presented the concept of cyber noatary, but it’s implementation still needs the necessary update of the laws and regulations, specifically that relates to the process of making the electronic-based deeds. For Notary to apply the concept of cyber notary in carrying out their duties, functions, and authorities not limited to participate the development of technology in this era of globalization.

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kapasitas dan kekuatan yuridis dari konsep pranata cyber notary dalam hal Notaris menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai pejabat umum di era globalisasi 4.0. Selanjutnya untuk dapat melihat peluang dari penerapan konsep pranata cyber notary dalam sistem hukum di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dengan bersumber pada bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa UUJN-P telah menghadirkan konsep cyber notary, namun dalam hal penerapannya masih diperlukan adanya pembaharuan akan peraturan perundang-undangannya, khususnya terkait pada proses pembuatan akta berbasis elektronik. Sehingga Notaris dapat menerapkan konsep cyber notary dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya tidaklah bersifat limitatif, demi turut serta menjadi bagian dari perkembangan teknologi di era globalisasi ini.

  • I.    Pendahuluan

Saat ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan imbas yang positif di banyak sektor kehidupan manusia. Selain mempersembahkan pelayanan yang lebih efektif dan efisien dalam berkomunikasi, dengan perkembangan komunikasi melalui dunia maya atau yang sering disebut sebagai cyberspace, memberikan ketiadaan batasan-batasan dimensi. Dunia yang tak mengenal batas, “borderless world” adalah penamaan yang sering digunakan untuk menggambarkan betapa pesat dan kencangnya laju perkembangan teknologi yang memiliki kontribusi signifikan terutama pada teknologi komunikasi, seperti: sebagai perantara antar individu, kelompok komunitas juga korporasi secara gesit tanpa mengenal waktu dan tanpa harus menghadirkan pihak-pihak untuk dapat komunikasi dan hadir berhadapan secara face to face.1 Pesatnya perkembangan ini pun berdampak dalam bidang hukum kenotariatan, yang menjadikannya sebuah gagasan yang dikenal saat ini sebagai cyber notary.

Cyber notary telah menjadi sebuah diskursus di dunia kenotariatan, sehingga perlu ada suatu payung hukum yang dapat menaungi, agar dapat diterapkan dengan efektif dan efisien. Menyikapi urgensi akan konsep cyber notary yang tertuang Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN-P), maka Notaris sudah sewajarnya untuk mengikuti arah dari perkembangan tekhnologi. Penjelasan pada Pasal ini menyebutkan bahwa Notaris memiliki kewenangan lain, yaitu dapat melakukan transaksi secara elektronik (cyber notary) dalam mensertifikasi akta ikrar wakaf dan hipotek pesawat terbang. Apabila dikaitkan lewat proses pembuatan suatu akta otentik Notaris, tentunya akan memudahkan Notaris dalam mengimplementasikan pada tugas dan kewenangannya. Dalam hal mencetak sebuah alat bukti yang sah untuk segala perbuatan hukum baik perjanjian, maupun ketetapan yang memang sudah seharusnya dilaksanakan menurut Undang-Undang dan untuk peristiwa yang dimaksudkan oleh para pihak yang memiliki kepentingan pada akta otentik tersebut. Namun, konsep ini masih menjadi suatu perdebatan yang dikarenakan adanya ketidakpasrian hukum yang mengatur kewenangan Notaris dalam hal cyber notary, baik secara eksplisit maupun secara spesifik. Maka dengan ini terjadilah apa yang kita ketahui sebagai norma kabur.

Pranata cyber notary ialah suatu inovasi hukum yang diyakini dapat memberikan pemenuhan kebutuhan hukum, terutama praktik kenotariatan dalam era globalisasi, akan tetapi yang disayangkan adalah bahwa pranata tersebut kurang dianggap baik dalam hal pemaknaan sampai dalam hal konseptualiasi pada pembuatan akta Notaris. Demikian pula dengan pengaturannya yang menganggap bahwa konsep ini belum dapat direalisasikan secara efektif dan efisien yang disebabkan adanya kaburnya norma antara makna dan peraturan pelaksanaannya oleh sebab itu mengakibatkan kesulitan akan dilangsungkannya salah satu kewenangan Notaris tersebut.

Norma kabur ini mengakibatkan Notaris ragu untuk dapat mengimplementasikan kewenangan mereka dalam hal cyber notary sesuai yang diatur dalam UUJN-P.

Sehingga, penting untuk mengetahui dan memahami terlebih dahulu apa itu sertifikasi, transaksi elektronik, dan cyber notary yang temakhtum dalam UUJN-P.

Di dalam buku karya Emma Nurita yang berjudul Cyber Notary : Pemahaman Awal Dalam Konsep Pemikiran, dijelaskan bahwa cyber notary adalah “sebuah konsep yang menggunakan dan memanfaatkan perkembangan adanya kemajuan akan teknologi dalam hal para Notaris dalam membuat sebuah akta autentik dan menjalankan tugasnya sehari-hari. Misalnya dalam proses penandatangan akta yang dilakukan secara elektronik dan rapat umum pemegang saham yang dilakukan secara teleconference” . Dijelaskan kemudian olehnya bahwa saat ini probabilitas dan tantangan bagi Notaris ialah adanya keharusan Notaris untuk dapat bekerja tidak saja berdasar pada cara konvensional namun sanggup memanfaatkan informasi yang berbasis teknologi. 2

Dilihat secara teoritikal, Pasal 1 ayat (1) UUJN-P mengatur “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Indonesia menganut sistem hukum perdata, yang artinya akan mempengaruhi kekuatan suatu akta autentik, yang pada hakekatnya haruslah di buat oleh dan di hadapan Notaris.

Seiring pertumbuhan ekonomi keperluan masyarakat mengenai akta autentik semakin meningkat. Apabila mengacu pada aspek perbuatan hukum yang mana segala perbuatan hukum sudah seharusnya dituangkan kedalam suatu akta autentik. Pertumbuhan informasi dan teknologi selaras dengan bidang hukum yang cenderung selalu berkembang secara dinamis. Sehingga sudah sepatutnya ikut serta berkembang mengikuti progres masyarakat, bukan menjadikannya halangan dalam progres masyarakat. Perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam tatanan masyarakat dunia, menuntun suatu masyarakat yang mengarah pada berkembangnya teknologi informasi.3

Mengacu kepada hubungan pembuatan akta Notaris dengan implementasi pranata cyber notary ini, maka dapat dikatakan dengan adanya konsep cyber notary, Notaris dapat bekerja dengan efisien baik dalam hal waktu maupun dalam penerapan asas kekuatan mengikat pada akta yang dibuatnya. Penerapan konsep pranata cyber notary bukanlah tidak mungkin, mengingat akan pesatnya perkembangan teknologi yang menjadi metode akan dunia digital di era globalisasi saat ini. Pergeseran peran Notaris terkait dengan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat publik Negara untuk menuju era cyber notary bukanlah hal yang mudah, karena pemerintah dan perancang hukum di Indonesia juga turut berperan dalam memberikan payung hukum terhadap implementasi pranata cyber notary, sehingga praktek cyber notary dapat dijalankan secara baik. Penerapan teknologi informasi dalam peresmian akta notaris berdasarkan dengan cyber notary merupakan “sebuah konsep dimana notaris dapat bekerja dengan perkembangan yang ada berbasis teknologi yaitu cyber notary yang merupakan notary

public dengan melakukan sebuah pelayanan dengan jasa-jasa notaris, dan dokumen secara elektronik”.4

Pranata cyber notary ialah suatu inovasi hukum yang dapat diimplementasikan dengan fungsi pemenuhan terhadap kebutuhan hukum masyarakat, terutama kepada Notaris dalam era globalisasi. Walaupun pranata tersebut terdapat kekurangan seperti halnya dalam artian konseptualisasi beserta probabilitas dalam penyusunan akta Notaris melalui pranata cyber notary ini.

Berlandaskan latar belakang tersebut dan dengan adanya pandemic Covid-19 yang memberikan ruang sempit akan kehadiran dan pelaksanaan penandatangan akta autentik yang dibuat dan dilakukan oleh Notaris, maka menarik untuk Penulis untuk mengangkat sebuah karya ilmiah yang diberikan judul “Cyber Notary di Era Globalisasi 4.0: Suatu Kebutuhan ataukah Ancaman”

Bertolak dari judul di atas, dapat ditarik adanya dua permasalahan yang penting untuk dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini, yakni: (1) bagaimanakah kajian pemaknaan konsep pranata cyber notary berdasarkan kepada sistem hukum di Indonesia?; dan (2) bagaimanakah urgensi dari implementasi praktek dari pranata cyber notary dalam sistem hukum di Indonesia? Selanjutnya bertolak akan tujuan dari penelitian ini, ialah: (1) untuk mengetahui dan menganalisis pemaknaan dari konsep pranata cyber notary dalam sistem hukum di Indonesia; dan (2) untuk mengetahui urgensi terhadap implementasi praktek dari pranata cyber notary dan peluang penerapannya.

Berkaitan dengan state of the art, maka dalam penulisan karya ilmiah ini, turut memuat artikel-artikel ilmiah yang telah ter-published yang memiliki ragam kesamaan dalam hal topik maupun pembahasan yang penulis teliti dalam menulis karya ilmiah ini, yaitu sebagai berikut:

Karya Ilmiah yang ditulis oleh I Dewa Gede Cahaya Dita Darmaanga dan I Dewa Ayu Dwi Mayasari, yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar. Berjudul “Legalitas Peresmian Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Melalui Media Konferensi Zoom”. Dengan permasalahan hukum yang diangkat yaitu: bagaimana legalitas peresmian akta Notaris berbasis cyber notary melalui media konferensi Zoom, dan akibat hukum peresmian akta Notaris berbasis cyber notary melalui media konferensi Zoom.5 Dan karya ilmiah yang ditulis oleh Kadek Setia Dewi dan I Made Hendra Wijaya, yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Berjudul “Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik”. Adapun permasalahan hukum yang diangkat yaitu: apakah sertifikasi transaksi yang dilakukan berbasis cyber notary sah sebagai akta otentik?.6

Memperhatikan materi pembahasan yang ditulis di dalam artikel ilmiah tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa karya ilmiah ini memiliki unsur pembaharuan, baik jika

ditinjau dari segi judul, permasalahan dimana penulis menganalisa kajian pemaknaan konsep pranata cyber notary berdasarkan kepada sistem hukum di Indonesia serta seberapa pentingnya urgensi terhadap implementasi praktek dari pranata cyber notary dalam sistem hukum di Indonesia, dan juga kesimpulan yang penulis dapat dari penulisan artikel ilmiah ini.

  • 2.    metode penelitian

Tulisan karya ilmiah ini adalah sebuat penelitian normatif dengan menerapkan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dimana penggunaan penelitian hukum normatif dipilih karena pada dasarnya dilakukan dengan melakukan analisa suatu peraturan dengan peraturan lainnya yang dilakukan secara regular atau terstruktur. 7 Dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yaitu UUJN-P, dan menggunakan pendekatan perundang-undangan ini bertujuan mengkaji beragam peraturan perundang-undangan yang relevansi dengan cyber notary, dimana adanya norma kabur, sebagaimana pada Pasal 15 ayat (1) beserta (3) UUJN-P dimana mengandung makna limitatif terhadap wewenangan Notaris perihal sertifikasi transaksi yang dilangsungkan secara elektronik beserta terhadap frasa “kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Sementara itu, pendekatan konseptual dipergunakan untuk dapat menganalis dan mengkaji secara menyeluruh mengenai konsep pranata cyber notary yang dapat menjadikan suatu kebutuhan sehingga dibutuhkan suatu urgensi dalam hal pengaturannya di dalam sistem hukum di Indonesia. Bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri dari berbagai buku, literatur, artikel, maupun bahan tertulis lainnya untuk menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer. Sedangkan teknis analisis bahan hukum dalam tulisan ini menggunakan teknis analisis deskriftif kualitatif.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Konseptualisasi Pranata Cyber Notary dalam Sistem Hukum di Indonesia

Dilihat dari histori perkembangan cyber notary, maka tidak akan lepas dari awal mula diprakarsainya suatu frasa berupa “electronic notary” oleh perwakilan dari Perancis pada Trade Electronics Data Interchange System Legal Workshop di Uni Eropa pada tahun 1989. Electronic notary yang dimaksud, mempunyai artian: “ Various industry associations and related peak bodies could act as an electronic notary to provide an independent record of electronic transactions between parties, i.e., when company A electronically transmits trade documents to company B, and vice versa.8

Frasa tersebut berkembang maknanya dengan dikemukakannya suatu frasa yaitu “cyber notary” di Amerika Serikat oleh Information Security Committee of The American Bar Assosiation pada tahun 1994, menjelaskan: “The Committee envisaged that this proposed new

legal professional would be similar to that of a notary public but in the case of the cyber notary his/her function would involve electronic documents as opposed to physical documents as opposed to physical documents. This would be an office, which be readily identifiable and recognized in every country throughout the world: i.e., as a legal professional who has been placed in a position of heightened level of trust. They would have the responsibility to undertake certain types of legal transactions than that of the public officer generally referred to in United State as a Notary.9

Kedua definisi tersebut, makna baik electronic notary maupun cyber notary memiliki persamaan, yakni memiliki pemaknaan bahwa media yang digunakan dalam suatu perbuatan hukum dilakukan dengan media tak berwujud yang sifatnya elektronik sebagai pengganti dari dokumen konvensional yang berwujud kertas yang selama ini dipergunakan. Namun, gagasan cyber notary, memiliki ruang lingkup yang lebih spesifik kepada profesi hukum yang serupa oleh Notaris publik pada umumnya, dengan cakupan pekerjaan yang sama hanya saja memakai media yang berbeda, yakni dokumen elektronik.10

Law Wrence Leff, menerangkan cyber notary sebagai “seseorang yang dengan mempunyai kemampuan bidang spesialis dalam hal bidang hukum dan computer dimana cyber notary tersebut merupakan sebuah konsep yang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada dalam hal menjalankan tugas dan kewenangan Notaris”.11 Transaksi yang akan dilaksanakan tidak lagi dengan suatu pertemuan tatap muka oleh para pihak, namun dengan dilaksanakannya secara elektronik melalui pranata cyber notary, penggunaan telecommunication platform dalam terciptanya transaksi dikatakan akan menimbulkan suatu efisiensi dan efektifitas tanpa mengenal hambatan ruang dan waktu untuk pihak-pihak yang melangsungkan transaksinya sewajarnya dengan transaksi yang terjadi dengan cara biasa atau konvensional. 12

Notaris sebagai pejabat umum di Indonesia adalah pejabat pelayanan non-pemerintah yang memberikan penyelenggaraan pelayanan publik yang memiliki tugas dan fungsi yang diatur oleh Undang-Undang. Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUJN-P, disebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya”.

Layanan Notaris selama ini yang dikenal di masyarakat adalah layanan yang sifatnya konvensional. Seiring perkembangan dunia teknologi dan informasi, di era globalisasi 4.0 sekarang ini, sudah sewajarnya untuk dapat mengintregasikan pelayanan yang dahulu dengan sistem konvensional menuju kepada sistem elektronik, yaitu melalui pranata cyber notary. Dengan berkembangnya fungsi dan peran Notaris dalam suatu transaksi elektronik yang dimaksud, Notaris dituntut secara sigap dan siap dalam

mengaplikasikan konsep cyber notary sehingga memberikan suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat, dan efisien, sehingga mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. 13

Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Edmon Makarim, bahwa “konsep cyber notary di Indonesia masih dalam perdebatan, meskipun teknologi memungkinkan peranan Notaris secara online dan remote, namun secara hukum hal tersebut seakan tidak dapat dilakukan”.14 Menurutnya cyber notary, melihat pemikiran para ahli maka dapat ditarik kesimpulan yang sama, yakni bahwa persamaan dalam metode bagi Notaris dalam hal menggunakan media cyberspace atau elektronik, untuk dapat menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menjalankan jabatannya.

Apabila dipertimbangkan dari struktur tatanan bahasa, cyber notary mengacu kepada perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh Notaris sebagai kewenangan Notaris. Dalam cyber notary, kewenangan tersebut dimiliki Notaris dengan metode pelaksanaan secara elektronik. Merujuk pada arti kata cyber notary dalam penafsiran peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yakni UUJN-P, dapat ditarik makna bahwa wewenangan sertifikasi transaksi yang dijalankan secara elektronik berlangsung terbatas artinya hanya kepada satu kewenangan saja yaitu yang berkaitan akan sertifikasi transaksi elektronik.

Secara tegas Notaris memiliki wewenang dalam segi cyber notary pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN-P “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang”. Sertifikasi yang berasal dari Bahasa Inggris memiliki arti keterangan atau pengesahan, juga memiliki makna sebagai sebuah prosedur dari pihak ketiga yang memberikan suatu jaminan tertulis baik dalam proses, produk maupun jasa yang telah memenuhi syarat dan standar dan juga disepakati bersama. Kewenangan Notaris dalam mensertifikasi secara elektronik memiliki tujuan untuk jaminan adanya ketertiban, kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat dengan perkembangan teknologi yang semakin kencang, maka kepentingan akan suatu alat bukti yang sah, yang juga berkarakter autentik terhadap perbuatan hukum, penetapan, perjanjian dan peristiwa hukum yang dibentuk oleh pejabat yang memiliki kewenangan tersebut. 15

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka (7) UUJN-P “Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”. Selanjutnya, Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P “Notaris harus membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta Wasiat dibawah tangan dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”. Pasal 16 ini mengacu kepada bagian-bagian keotentikan sebuah akta yang diterangkan oleh Pasal 1868 KUHPerdata “Suatu

akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Karena dijelaskan berikutnya bahwa “kekuatan pada akta Notaris itu sendiri sebagai alat bukti terletak pada kekhasan karakter pembuatnya dimana dalam hal seorang Notaris yang ditunjuk langsung oleh Undang-Undang sebagai pejabat umum yang diberikan sebuah wewenang untuk membuat sebuah akta”. 16

Apabila dianalisa mengenai kedua ketentuan tersebut, yaitu pada Pasal 15 ayat (3) dan kepada Pasal 16 ayat (1) dengan mengacu kepada Pasal 1868 KUHPerdata, maka dengan jelas menimbulkan adanya kekaburan pada norma. Dimana pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) memberikan Notaris wewenang dalam hal melaksankan sertifikasi transaksi secara elektronik atau dengan pranata cyber notary, namun tidak dijelaskan mekanisme lanjut pada eksekusi dari transaksi tersebut. Apakah dalam cyber notary ini para penghadap harus hadir berhadapan (face to face) secara fisik di depan Notaris selaku pejabat umum yang merealisasikan akta tersebut, ataukah dapat dilaksanakan secara virtual berhadapan melalui suatu media eletronik yang diperbolehkan. Karena pemaknaan cyber notary yang dijelaskan penulis di atas, bahwa dengan adanya media elektronik memungkinkan terjadinya transaksi tanpa harus bertemu secara fisik, atau dapat secara virtual berhadapan.

Menyikapi adanya norma kabur tersebut, untuk memperoleh makna cyber notary tersebut, penulis mempergunakan metode interpretasi yang dipergunakan saat adanya suatu keadaan konkrit yang tidak secara gamblang dan turut tunduk dalam peraturan perundang-undangan. Dengan metode interpretasi adalah yaitu dengan mengetahui pendapat-pendapat baik dari para sarjana maupun dari para ahli. Konsep mengenai cyber notary sesungguhnya menyiratkan bahwa pertemuan fisik tidaklah mutlak, namun tetap sesuai akan peraturan payung hukumnya. Dapat ditegaskan bahwa sebaiknya pada perubahan UUJN-P nantinya dapat dicantumkan lebih jelas bahwa selain dengan cara konvensional, pengesahan terhadap akta autentik yang dibuat oleh Notaris, dapat juga dilakukan dengan cara elektronik melalui pranata cyber notary. Edmon Makarim menyebutkan “kata dihadapan dalam Pasal 1868 KUHPerdata apabila dikaitkan dengan konsep cyber notary membahas pengidentikan pembuatan akta akan selalu dilakukan dengan media teleconference”, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya cyber notary memiliki kesamaan inti untuk Notaris dalam melakukan pekerjaannya secara konvensional bahwa para penghadap dapat hadir ke kantor Notaris dan selanjutnya membacakan akta pada masing-masing penghadap hanya saja metode yang digunakan adalah metode elektonik. Dan setelah adanya sepakat antara para penghadap, maka para penghadap menandatanganinya secara elektronik.17

Pengesahan akta oleh Notaris yang dilakukan dengan media elektronik dengan metode pranata cyber notary, menurut pembahasan yang dirangkum penulis di atas, belum dapat dibenarkan kekuatan hukumnya, maupun dari keabsahannya oleh Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang dijelaskan oleh Pasal 1 angka (7) UUJN-P menegaskan bahwa “akta autentik tersebut haruslah dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Juga dipertegas selanjutnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P

yang menegaskan untuk Notaris harus membacakan akta dihadapan penghadap. Dan, apabila dikaitkan akan kekaburan norma pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) mengenai pranata cyber notary, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaiamanakah tata cara pengesahan akta tersebut, apakah para penghadap harus hadir secara fisik di kantor Notaris, ataukah dengan dapat dibenarkan dengan penggunaan media konferensi secara virtual atau secara elektronik mengacu pada konsep cyber notary yang dijelaskan oleh Edmon Makarim.

  • 3.2.    Urgensi dan Peluang Pranata Cyber Notary dalam Sistem Hukum di Indonesia

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa pada Pasal 1 angka 7 UUJN-P yang mengatur mengenai Notaris dalam membuat akta autentik dengan pemenuhan prasyarat sinkron dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P yang juga mengacu kepada Pasal 1868 KUHPerdata tentang syarat akta auntentik yang disusun oleh Notaris. Namun, seiring dengan perkembangan serta kemajuan teknologi, guna menyongsong era globalisasi 4.0, kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik dalam era digital pun memiliki kemungkinan untuk tetap melengkapi syarat sesuai dengan peraturan yang absah dengan metode digital melalui pranata cyber notary.

Peluang mengenai cyber notary, dapat ditinjau dalam hal penyimpanan protokol Notaris. Dimana kemungkinan pelaksanaan retensi protokol Notaris dalam format elektronik, mengingat saat ini Notaris sudah mempergunakan operasi elektronik sesuai yang diklasifikasikan pada beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya mengenai prosedur permintaan pembuktian badan hukum dan izin perubahan anggaran dasar data perseroan. Maka sebenarnya pengalihan penyimpanan data yang dimaksudkan ialah penyimpanan secara elektronik yang hanya sanggup berdaya guna sebagai back-up bukan ibarat salinan yang memegang daya hukum yang mengikat.

Namun kembali akan persoalan konsep cyber notary itu sendiri, terdapat kewajiban seorang Notaris dalam membuat aktanya, yaitu pada Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P yang pada akhirnya membatasi kinerja Notaris dalam hal memenuhi konsep pranata cyber notary itu sendiri. Selanjutnya pada Pasal 16 ayat 7 “pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta todak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”

Frasa “secara fisik” termaktum pada Pasal 16 ayat (1) UUJN-P mencetuskan konsepsi cyber notary atau penyusunan akta dengan kemajuan teknologi ini tersendat. Adanya kekaburan norma yang tersirat pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN-P sebelumnya, dan dengan mengaitkannya kepada pertanggungjawaban Notaris yang tersirat pada Pasal 16 ayat (1) UUJN-P inipun memberikan skema benturan terhadap kedua norma tersebut. Tidaklah mengizinkan untuk implementasi penyusunan akta yang dalam konsepnya dilaksanakan secara remote dan praktis, maka lantas dianjurkan keharusan yaitu untuk para penghadap menghadap “secara fisik” bertatap muka dengan Notaris. Disinilah sejatinya unsur esensial konsep pranata cyber notary menjadi hilang.

G.H.S Lumban Tobing memaparkan “seorang Notaris apabila dalam melaksanakan pembacaan akta, para pihak/penghadap dirasakan pada satu pihak dapat memiliki sebuah jaminan apabila suatu hal mereka telah menandatangani mengenai hal-hal apa-apa saja yang telah dengan sebelumnya (pada saat pembacaan dilakukan oleh Notaris) dan apabila dilihat dari dipihak lain dimana para penghadap dan Notaris itu sendiri dapat memperoleh suatu keyakinan bahwasanya jika akta tersebut memang benar-benar pada isinya berisikan mengenai apa yang telah diketahui dan dikehendaki oleh para penghadap itu sendiri”. 18

Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (9) UUJN-P “menyatakan bahwa jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, maka dikatakan bahwa akta tersebut tidak akan memiliki kekuatan pembuktian yang sah dan akan menjadi suatu akta dibawah tangan”. Ketentuan pasal inilah membatasi kinerja Notaris untuk dapat turut serta mengefisiensikan dan memberikan ruang efektif dalam penerapan konsep pranata cyber notary, padahal Notaris juga seharusnya dapat mengikuti dan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada sehingga dapat mempermudah tugas dan fungsinya dalam menjalankan jabatannya yang pada akhirnya akan menciptakan pelayanan jasa yang lebih efesien dan efektif kepada masyarakat.

Pengesahan akta dengan menggunakan pranata konsep cyber notary perlu mendapatkan kepastian hukum dalam pengaturannya. Ketentuan dan syarat-syarat pengesahan akta autentik oleh Notars yang dilakukan secara digital maupun virtual dengan menggunakan metode elektrionik. Maka dari itu, urgensi terhadap pembaharuan UUJN-P khususnya yang berkaitan akan pengesahan akta yang disahkan dan dibuat, baik pemaknaan frasa “berhadapan” para penghadap dengan Notaris, hingga terhadap metode dalam penandatangan akta tersebut yang dilakukan dengan metode elektronik, perlu untuk dilakukan. Dengan demikian, dalam menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya sebagai Notaris, Notaris tidak lagi tertinggal dan dapat menjadi bagian yang utuh dalam perkembangan teknologi di era globalisasi 4.0. Notaris sebagai pejabat umum yang memegang sebagian dari kewenangan Negara, dapat menciptakan pelayan jasa yang lebih efisien dan efektif kepada masyarakat tanpa melanggar Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

  • 4.    Kesimpulan

UUJN-P telah menghadirkan konsep pranata cyber notary dalam hal wewenangan Notaris guna mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, namun dalam hal penerapan konsep pranata cyber notary ini, masih ditemukan baik adanya kekaburan pada norma yang berlaku, dan juga benturan pada norma yang berlaku. Perkembangan teknologi di bidang informasi elektronik maupun digital yang sekarang dikenal dengan era globalisasi 4.0, kewenangan Notaris yang diberikan pada UUJN-P tersebut dirasa belum cukup mendapatkan peluang, demi ikut turut serta mengembangkan efektifitas dan efisiensi dari era globalisasi digital saat ini. Konseptualisasi pranata cyber notary yang adalah salah satu metode bagi Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya, untuk turut menjadi bagian dalam perkembangan teknologi di era globalisasi digital

menjadi limitatif oleh peraturan yang ada saat ini. Peluang untuk konsep pranata cyber notary di Indonesia bukanlah tidak mungkin, sehingga dirasa perlu adanya urgensi pembaharuan dalam peraturan perundang-undangannya, khususnya dalam UUJN-P yang terkait pada proses pembuatan akta berbasis elektronik, maka tidak menimbulkan kekaburan dan dapat memberikan kepastian hukum dalam hal praktik konsep pranata cyber notary oleh Notaris sebagai pejabat umum Negara.

References

Buku

Budhijanto, D. (2019). Hukum Telekomunikasi, Penyiaran dan Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi. Bandung: Refika Aditama.

Efendi, J., & Ibrahim, J. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenadamedia Group.

Nurita, E., & Ayu, R. (2012). Cyber notary: pemahaman awal dalam konsep pemkiran. Bandung: Refika Aditama.

Sjaifurrachman, & Adjie, H. (2011). Aspek pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta. Mandar Maju.

Jurnal

Bahri, S., Yahanan, A., & Trisaka, A. (2019). Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik Dalam Rangka Cyber Notary. Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 142-157. DOI: http://dx.doi.org/10.28946/rpt.v0i0.356

Darmaangga, I. D. G. C. D., & Mayasari, I. D. A. D. (2021). Legalitas Peresmian Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Melalui Media Konferensi Zoom. Acta Comitas: Jurnal              Hukum              Kenotariatan, 6(01).              DOI:

http://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i01.p.16

Dharmawan, N. K. S. (2015). Keberadaan Pemegang Saham Dalam Rups Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah Dalam Perspektif Cyber Law. Jurnal Magister Hukum Udayana, 4(1), 44188. DOI: 10.24843/JMHU.2015.V04.i01.p15

Putri, C. C., & Budiono, A. R. (2019). Konseptualisasi dan Peluang Cyber Notary dalam Hukum. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 4(1), 29-36. DOI: http://dx.doi.org/10.17977/um019v4ip29-36

Rositawati, D., Utama, A., Made, I., & Dewi Kasih, D. P. (2017). Penyimpanan Protokol Notaris secara Elektronik dalam Kaitan Cyber Notary (Doctoral dissertation, Udayana University).

Setiadewi, K., & Wijaya, I. M. H. (2020). Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 6(1), 126-134. DOI:

http://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23446

Tesis/Disertasi

Gunawan, B. M. (2021). Kewenangan notaris dalam sertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (Doctoral dissertation, Universitas Pelita Harapan).

Rositawati, D., Utama, A., Made, I., & Dewi Kasih, D. P. (2017). Penyimpanan Protokol Notaris secara Elektronik dalam Kaitan Cyber Notary (Doctoral dissertation, Udayana University).

Smith, Smith, L. G. (2006). The role of the notary in secure electronic commerce (Doctoral dissertation, Queensland University of Technology).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Soedharyo Soimin, 2014, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Online/World Wide Web:

Makarim, E. (2011). Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cyber Notary di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 Nomor, 3. DOI: http://dx.doi.org/10.201143/jhp.vol.41.no3.287.

12