Vol. 06 No. 03 Desember 2021

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Peran dan Tanggungjawab Notaris/PPAT dalam Meminimalisasi Tindakan Pemalsuan Bukti Setoran

Perpajakan Peralihan Hak Atas Tanah

Mustofa Abdul Basir1, Jilly Febrian Muhadi2, Rini Irianti Sundary3

1Magister Kenotariatan Universitas Islam Bandung, E-mail: [email protected]

  • 2Magister Kenotariatan Universitas Islam Bandung, E-mail: [email protected]

  • 3Dosen Magister Kenotariatan Universitas Islam Bandung, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 28 Juli 2021

    Diterima : 21 November 2021

    Terbit : 1 Desember 2021

    Keywords :

    Roles and Responsibilities, Tax Payment, Deed of Transfer of Rights to Land.


Abstract

The purpose of this research is to find out the important role and obligations of a Notary/PPAT in minimizing falsification of tax payments on the deed of transfer of ownership rights to the land he made. This analysis is a juridical normative study with a library research method with a legal approach. From this analysis and study, it is found that the role of the Notary/PPAT is to provide counseling regarding tax obligations that must be completed by the parties in terms of making a deed of transfer of ownership rights to land made before him. The legal counseling can be in the form of services to help pay or validate the payment of taxes owed by the parties. Meanwhile, the responsibility of the Notary/PPAT in minimizing the falsification of tax payments on the deed of transfer of ownership rights to the land he made is to sign the deed of transfer of ownership rights to the land by the Notary/PPAT after the parties actually pay the tax owed and verify beforehand so that the Notary/PPAT PPAT completely avoids problems that may occur in the future.

Kata kunci:

Peran dan Tanggung Jawab, Setoran Perpajakan, Akta Peralihan Hak Atas Tanah.


Corresponding Author:

Mustofa Abdul Basir, E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2021.v06.i03.p11


Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka mengetahui peran penting dan kewajiban Notaris/PPAT dalam meminimalisasi pemalsuan setoran perpajakan atas akta peralihan hak pemilikan atas tanah yang dibuatnya. Analisis ini merupakan telaah normatif yuridis dengan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan hukum. Dari analisis dan telaah ini diperoleh bahwa peran Notaris/PPAT adalah memberikan penyuluhan mengenai kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan oleh para pihak dalam hal pembuatan akta atas peralihan hak pemilikan atas tanah yang dibuat di hadapannya. Penyuluhan hukum tersebut dapat berupa pelayanan untuk membantu membayarkan atau memvalidasi pembayaran pajak terutang para pihak. Sedangkan, tanggung jawab Notaris/PPAT dalam meminimalisasi pemalsuan setoran perpajakan atas akta peralihan hak pemilikan atas tanah yang dibuatnya adalah melakukan penandatanganan akta peralihan hak pemilikan atas tanah oleh Notaris/PPAT setelah benar-benar para pihak membayar pajak terutangnya dan memverifikasi terlebih dahulu agar Notaris/PPAT benar-benar terhindar dari permasalahan


yang mungkin terjadi di kemudian hari.

  • 1.    Pendahuluan

Pajak dalam struktur belanja dan pendapatan negara merupakan komponen utama sebagai sumber pembiayaan dalam sistem penganggaran pemerintah Indonesia. Pajak merupakan unsur yang tidak dapat dilepasakan dengan serta merta dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) karena perpajakan adalah kontributor terbesar dalam APBN di setiap tahun.1 Dengan kata lain, pajak memiliki peran besar dan penting dalam sistem penganggaran pemerintah sebagai sumber pembiayaan (budgeter) untuk setiap rencana pembangunan dan pengeluaran yang akan dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut sudah merupakan hal yang umum di seluruh negara-negara di dunia terutama di negara dunia ketiga. Negara Indonesia sendiri yang merupakan negara dalam kategori sebagai negara dunia ketiga dalam setiap rencana pembangunan dan pengeluaran yang akan dilakukan di berbagai sektor, pajak merupakan instrumen pokok sebagai sumber pembiayan dan permodalan pembangunan tersebut. Setiap perkembangan atau laju pertumbuhan perekonomian secara tidak langsung mengkonstraksi kebijakan pengetatan dengan menaikkan target dalam penerimaan pajak agar dapat memenuhi pembangunan. Hal tersebut menjadi dasar pentingnya peran serta masyarakat baik secara direct maupun indirect terhadap peningkatan penerimaan pajak sehingga target penerimaan pajak menjadi optimal.2

Peran serta masyarakat dalam peningkatan penerimaan pajak menjadi bagian penting terutama peran serta masyarakat yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik seperti yang dilakukan oleh Notaris/PPAT yang bersinggungan langsung dengan para penghadap yang baik langsung atupun tidak langsung yang berkewajiban dalam pemenuhan kewajiban pembayaran pajak terutama atas aktivitas yang dilakukannya di hadapan Notaris/PPAT. Seperti pembuatan akta yang berhubungan dengan bukti peralihan hak pemilikan atau penguasaan atas tanah atau akta yang berkaitan dengan pembebanan yang menjadi satu kesatuan bukti formil atas transaksi yang dilakukan. Pada dasarnya hal tersebut merupakan bagian dari kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan yang harus dipenuhinya sebagai bagian dari kontribusi terhadap pembangunan, sehingga sangat penting peran serta masyarakat dalam mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Notaris/PPAT memiliki tanggung jawab hukum dan moral atas kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan di antaranya berkaitan dengan pemenuhan kewajiban atas perpajakan yang berkaitan langsung dengan proses pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai pejabat umum seperti kewajiban bea meterai dan kewajiban penyetoran atau pembayaran perpajakan lainnya yang wajib

dibayarkan yang terkait dengan pembuatan akta yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT seperti mengenai kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban dari para pihak untuk melakukan pembayarannya.3 Selain itu, Notaris/PPAT memiliki peran yang penting dalam penyetoran perpajakan yang menjadi kewajiban kliennya melalui surat setoran pajak atau surat setoran bea (SSB). Surat setoran BPHTB adalah salah satu bentuk formulir yang digunakan oleh para pihak yang berhutang pajak (wajib pajak) sebagai sarana dalam melakukan pelunasan penyetoran pembayaran perpajakan yang menjadi hutang (terhutang) untuk dibayarkan ke kas negara pada lokasi atau tempat yang ditentukan juk oleh instansi terkait yang menjadi mitra atau persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dan wajib pajak memiliki kewajiban untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.4 BPHTB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat dari diperolehnya hak kepemilikan atas tanah dan bangunan yang seperti hak pemilikan atau penguasaan atas tanah berupa hak milik (HM), HGB, HGU, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun), dan/atau hak pengelolaan. Pemungutan bea ini dilakukan ketika terjadi pembelian bangunan dan/ataupun tanah yang dilakukan umumnya secara langsung oleh pengembang dan pembebanan biayanya disatukan dalam biaya penjualan.5

Peran tersebut juga melekat pada Notaris/PPAT yang berperan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak terutang yang wajib dibayarkan oleh wajib pajak yang sangkutan. Maka, tidak heran jika para Notaris/PPAT menjadi pihak yang paling sering berhadapan dengan klien yang memiliki kewajiban untuk melunasi pajak atas transaksi yang dilakukannya yang korelasinya dengan pembuatan akta yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT. Akan tetapi, hal tersebut tidak jarang menjadi sebuah permasalahan yang menyebabkan Notaris/PPAT dilaporkan atau dipidanakan atas tuduhan turut serta atas pemalsuan bukti pelunasan pajak oleh kliennya karena ternyata buktinya palsu atau fiktif. Notaris/PPAT sebagai pejabat umum yang berperan penting dalam penerimaan pajak seharusnya perlu adanya jaminan perlindungan hukum agar tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh kliennya tidak terjadi. Secara tidak langsung Notaris/PPAT setidaknya memiliki keterampilan yang memadukan prosedur antisipatif antara kemungkinan tindakan kriminal dan psikologi yang dapat melakukan deteksi tindakan penipuan yang mungkin dilakukan oleh kliennya.6 Fakta menunjukan bahwa terjadi permasalahan mengenai hal tersebut, seperti, ditemukannya surat setor bea (SSB) atau surat

setoran pajak (SSP) asli tapi palsu (fiktif), yang itu berasal dari uang pemenuhan BPHTB. Biasanya uang pajak terutang yang menjadi kewajiban klien tidak ditransfer ke rekening kas negara, melainkan klien membuat bukti setoran tidak asli dengan memalsukan stempel pelunasan atas setoran BPHTB.7 Hal tersebut jelas dapat merugikan dan bahkan bisa menyeret Notaris/PPAT yang bersangkutan ke ranah pidana.

Tindakan pemalsuan SSB atau SSP atas pembayaran atau pelunasan BPHTB pada dasarnya adalah salah satu tindakan kriminal atau tindak pidana yang diperbuat oleh wajib pajak dan/atau klien Notaris/PPAT, tetapi hal tersebut tidak diketahui oleh Notaris/PPAT sehingga mengira bahwa kliennya tersebut telah memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan yang seharusnya karena Notaris/PPAT beranggapan bahwa pajak terutang klien sudah dibayarkan oleh klien tersebut secara benar. Tentunya atas dasar bukti SSB atau SSP fiktif tersebut Notaris/PPAT percaya terhadap pemenuhan persyaratan formil yang diperlihatkan dan diserahkan kepada Notaris/PPAT tersebut sehingga Notaris/PPAT melanjutkan proses penyelesaian akta yang dibuat klien di hadapannya tersebut dengan melakukan penandatanganan dan pendaftaran ke instansi yang menjadi tujuan. Tetapi kemudian ternyata di kemudian hari diketahui bahwa bukti-bukti atas pemenuhan perpajakan yang dilakukan oleh klien Notaris/PPAT tersebut ternyata fiktif sehingga Notaris/PPAT dilaporkan karena dituduh ikut turut serta dalam tindakan kriminal yang dilakukan oleh kliennya tersebut atas bukti pembayaran pajak fiktif dalam akta yang dibuatnya.

Maka, penting adanya kepastian hukum sebagai perlindungan yang diberikan kepada Notaris/PPAT dalam hal terjadi kasus seperti, alih-alih Notaris/PPAT hanya bertanggung jawab sebatas bukti formil yang terima ternyata ketika terjadi adanya tindakan kriminal atau kejahatan yang dilakukan oleh kliennya, namun ternyata Notaris/PPAT ikut dinyatakan sebagai pihak yang terlibat atau turut serta sperti Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor:220/Pid.B/2019/PN. Gin dan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor:158/PID.SUS/2019/PN.CBI.8 Kedua putusan tersebut merupakan beberapa bukti bahwa tindakan pemalsuan bukti setoran pajak dapat dilakukan oleh klien ataupun pihak yang bermufakat untuk melakukan hal tersebut yang menyeret tanggung jawab dari Notaris/PPAT. Oleh sebab itu, penting adanya tindakan yang dapat memitigasi perbuatan kriminal dalam perpajakan melalui peran yang dapat dilakukan oleh Notaris/PPAT sehingga hal tersebut tidak terjadi dan tidak menjadi masalah yang dapat menyeret Notaris/PPAT dalam jerat hukum. Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan agar Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya mampu meminimalisasi terjadinya kerugian ataupun masalah yang dapat menyeretnya pada tindak pidana yang sebenarnya bukan tindak pidana yang dilakukannya serta sangat

urgent untuk diteliti karena dapat memberikan kontribusi kepada negara dalam meminimalisasi hilangnya sumber pendapatan pajak. Selain itu, penelitian ini sangat menarik untuk dikaji karena pada satu sisi dalam melaksanakan jabatannya Notaris/PPAT umumnya telah menerapkan kehati-hatian yang tinggi dengan berpatokan pada ketentuan yang berlaku, tetapi pada kenyataanya kejahatan selalu memiliki cara dan modus tersendiri yang tidak diduga sebelumnya.

Permasalahan yang akan ditelaah atau dianalisa dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana tinjauan perundang-undangan mengenai pemalsuan bukti pembayaran pajak? (2) bagaimana peran Notaris/PPAT dalam meminimalisasi tindakan pemalsuan atas bukti perpajakan atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuat olehnya? (3) bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT atas tindakan pemalsuan atas bukti perpajakan atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuat olehnya? Tujuan analisis dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peran Notaris/PPAT dalam meminimalisasi tindakan pemalsuan atas bukti setoran pembayaran perpajakan atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT. Kemudian, tujuan selanjutnya adalah untuk menelaah tanggung jawab Notaris/PPAT atas tindakan pemalsuan bukti setoran perpajakan atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuat di hadapannya.

Penelitian-penelitain sebelumnya lebih menitikberatkan kepada tanggung jawab Notaris/PPAT jika PPhTB dan BPHTB peralihan hak atas tanah belum dibayar dan tangguang jawab Notaris/PPAT terhadap setoran PPhTB dan BPHTB. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Utami (2019) yang berjudul mengenai pertanggungjawaban seorang Notaris/PPAT dalam hal pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan ketika pajak BPHTB-nya belum belum dilakukan pembayaran dengan rumusan penelitian mengenai pertanggungjawaban Notaris/PPAT ketika pajak BPHT-nya belum dibayar yang dimuat di Jurnal Wawasan Yuridika. Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa bentuk pertanggungjawaban Notaris/PPAT atas akta yang BPHT-nya belum dibayar adalah berupa sanksi administratif sesuai undang-undang mengenai perpajakan di daerah dan pungutan retribusi yang dilakukan daerah.9 Atas dasar itu, dalam penelitiannya menyarakan agar Notaris/PPAT melakukan dan melaksanakan dengan ketat prinsip kehati-hatian sebagaimana ketentuan jabatannya. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Yogahastama (2019) dengan judul mengenai peran Notaris yang berkaitan dengan pemungutan BPHTB atas pembuatan akta jual beli tanah dengan objek penelitian terhadap jual beli tanah yang ada di Kabupaten Pamekasan yang dimuat dalam Simposium Hukum Indonesia. Rumusan penelitian ini adalah berkaitan dengan peran serta dan tanggung jawab atau kewajiban tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh Notaris/PPAT dalam pembayaran BPHTB yang ada di Kabupaten Pamekasan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Notaris/PPAT memiliki peran penting dan secara tidak langsung bertanggung jawab dalam melakukan pemungutan BPHTB sebagai bukti peralihan hak atas tanah.10

Penelitian-penelitian sebelumnya tersebut fokus terhadap kajian mengenai tanggungjawab Notaris/PPAT jika BPHTB peralihan hak atas tanah belum dibayar dan peran Notaris/PPAT dalam proses pemungutan BPHTB. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini fokus mengkaji peran dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam memitigasi atau meminimalisasi terjadinya pemalsuan bukti setoran pelunasan PPhTB dan BPHTB.

  • 2.    Metode Penelitian

Kajian telaah ini dilakukan melalui metode yuridis normatif yaitu metode analisis dengan pendekatan legal approach (pendekatan hukum) yang merupakan pendekatan melalui penelaahan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pemecahan identifikasi permasalahan yang dianalisis dalam telaah yuridis ini dan melalui conseptual approach (pendekatan konseptual) yang merupakan pendekatan yang dilakukan atas pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dari para sarjana atau ahli hukum yang terkait dengan permasalahan dalam analisa penelitian ini.11 Sumber telaah penelitian ini adalah sumber hukum primer, sekunder, dan tersier.12 Sumber dan data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber baik sumber secara fisik (offline) maupun sumber secara nonfisik (online) yang ada di perpustakaan atau di jurnal-jurnal ilmiah. Kemudian, sumber dan data tersebut ditelaah dan dianalisis yang hasilnya dituangkan secara kualitatif deskriptif dalam penelitian ini. 13

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Tinjauan Perundang-undangan dan Kasus Pemalsuan Bukti Pembayaran Pajak

Pajak dikenal sebagai pungutan resmi dari Negara yang tata caranya dapat dipaksakan yang timbal baliknya (prestatie) tidak secara langsung diterima, oleh karena itu dalam pemungutannya harus berdasarkan perundang-undangan baik dalam mekanisme dan/atau dalam prosedur pengenaan, pemungutan, dan dalam pembagiannya atas beban pajak yang harus dipenuhi oleh pihak yang memiliki hutang pajak yang bersangkutan.14 Pajak pada intinya merupakan pungutan wajib

yang dilakukan oleh pemerintah untuk tujuan pengeluaran publik dengan imbalan jasa atau timbal balik jasa atas pembayarannya tidak secara langsung.15 Bukti pembayaran pelunasan pajak dikenal dengan sebutan surat setoran pajak (SSP) dan untuk pajak terkait perolehan hak pemilikan atas tanah disebut dengan surat setoran bea (SSB). SSP merupakan formulir sebagai bukti pembayaran kewajiban pajak yang telah dilakukan dengan mentransfer sejumlah nilai uang sebagaimana terutang ke kas negara melalui lokasi pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan.16 Ketentuan tersebut dipertegas bahwa wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayarkan atau menyetorkan pajak yang menjadi utangnya dengan menggunakan SPP melalui kas negara ke lokasi atau tempat pembayaran yang telah ditentukan sebgaimana Peraturan Menteri Keuangan; SPP tersebut memeiliki fungsi sebagai bukti pelunasan pajak jika hal tersebut telah disahkan oleh pihak yang berwenang dengan mendapatkan bukti berupa validasi atas SPP yang dimaksud.17 Berdasarkan hal tersebut maka SSP ataupun SSB merupakan bukti pembayaran pelunasan pajak.

Jika mengacu pada kata “bukti”, maka SSP dan/atau SSB adalah suatu bukti dalam suatu perbuatan tertentu ketika dipalsukan atau difiktifkan, maka pihak yang membuatnya tersebut dapat dijerat pidana dengan pidana materiil berupa “pemalsuan surat”. Hal tersebut diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa seseorang atau siapapun yang melakukan pembuatan surat palsu atau melakukan pemalsuan atas surat yang dapat menyebabkan sesuatu hak, perikatan atas pembebasan hutang, atau yang untuk dipergunakan dalam pembuktian atas tindakan atas suatu perbuatan atau tindakan dengan tujuan untuk menggunakan atau memerintahkan orang lain memakai hal tersebut yang seakan-akan substansinya benar dan sesuai sebagaimana mestinya, dan hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagai seseorang atau siapapun karena perbuatan pemalsuan surat tersebut, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Kemudian, Pasal 264 KUHP bahwa tindakan pemalsuan surat yang dilakukan oleh siapapun diancam dengan pengenaan pidana berupa penjara yang lamanya paling lama delapan tahun. Kemudian, dalam Pasal 39A Huruf (a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU No. 28 Tahun 2007) yang menyebutkan bahwa siapapun yang melakukan penertiban dan/atau mempergunakan faktur pajak, bukti pungutan pajak, bukti potongan pajak, dan/atau bukti pelunasan pembayaran pajak yang palsu dikenakan ancaman berupa pidana penjara setidaknya serendah-rendahnya dua tahun dan selama-lamanya enam tahun serta secara akumulatif serta dikenakan denda setidaknya dua kali lipat dari nominal pajak sebagaimana yang ada dalam faktur pajak, bukti pungutan pajak, bukti potongan pajak, dan/atau bukti

pembayaran pajak dimaksud dan setinggi-tingginya enam kali lipat dari jumlah pajak yang terdapat dalam faktur pajak, bukti pengutan pajak, bukti potongan pajak, dan/atau bukti pembayaran pajak dimaksud.18 Dengan demikian, sangat jelas bahwa pemalsuan terhadap bukti pembayaran pajak merupakan bentuk tindak pidana yang masuk dalam ketegori tindak pidana umum dan juga masuk dalam kategori tindak pidana khusus bidang perpajakan.

Salah satu contoh kasus yang terjadi adalah kasus tindak pidana perpajakan berupa tindakan memalsukan surat setoran PPhTB dan BPHTB sebagaimana Putusan Nomor 158/PID.SUS/2019/PN.Cbi yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Cibinong bahwa salah satu karyawan kantor Notaris/PPAT divonis bersalah karena terbukti turut serta melakukan tindakan yang melanggar ketentuan pidana dalam bidang perpajakan dengan membuat serta mempergunakannya sebagi bukti setoran pembayaran perpajakan seperti faktur pajak, bukti potongan pajak, bukti pungutan pajak, dan/atau bukti pembayaran pajak yang seolah-olah sesuai dengan jumlah atau kejadian transaksi yang sebenarnya.19 Perbuatan karyawan Notaris/PPAT tersebut dilakukan bersama-sama dengan pelaku lain dengan membuat dan memproduksi bukti SSP palsu dengan meniru bukti setor pajak seperti aslinya. Penerbitan bukti SSP tersebut dilakukan agar yang bersangkutan dapat mengambil uang pembayaran yang harusnya disetor sebagai pajak terhutang atas perbuatan hukum yang dilakukan berkaitan dengan peralihan hak kepemilikan atas tanah dimaksud. Kasus ini menunjukkan bahwa Notaris/PPAT harus berbuat dan bertindak dalam menjalankan jabatannya harus benar-benar hati-hati atau dengan sunguh-sungguh melakukan tindakan preventif dengan segala upayanya agar segala perbuatan dan tindakan karyawan dan pegawainya benar-benar tidak merugikan atau dapat menyebabkan terseretnya yang bersangkutan terhadap kasus pidana yang tidak diinginkannya di kemudian hari terutama akibat adanya tindakan pemalsuan atau turut serta dalam melakukan perbuatan yang sebenarnya bukan perbuatannya.

  • 3.2.    Peran Notaris/PPAT Terhadap Klien dalam Pembayaran Perpajakan

Peran Notaris/PPAT dalam pemungutan pajak wajib memberikan penyuluhan hukum sehingga kliennya tersebut benar-benar mengerti dan sadar terhadap kewajibannya tersebut.20 Meskipun, pada dasarnya tanggung jawab Notaris/PPAT adalah membuat akta autentik sebagaimana undang-undang jabatan notaris (UUJN), dalam Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa seorang notaris merupakan pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam membuat akta autentik dan mempunyai kewenangan yang lainnya sebagaimana dimaksud atau diamanatkan dalam UUJN atau berdasarkan undang-undang lainnya yang berkaitan dengan

jabatannya. Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 (PP PPAT) menyebutkan bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk membuat akta autentik dalam hal perbuatan-perbuatan hukum di bidang peralihan hak atas tanah dan/atau hak pemilikan atas satuan rumah susun (sarusun). Menurut Salim H. S., PPAT, berasal dari bahasa Inggris yaitu land deed officials, sedangkan menurut Bahasa Belanda dikenal dengan istilah land titles registrar, eksistensinya berkedudukan dan memiliki peranan yang sangat penting di dalam masyarakat karena PPAT memiliki dan diamanahi kewenangan oleh negara dalam melakukan pembuatan akta yang berhubungan proses pengalihan atau perubahan hak pemilikan tanah dan/atau akta-akta yang lainnya.21 Maka, pada dasarnya Notaris/PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta autentik sebagaimana ketentuan mengenai jabatan Notaris/PPAT dan tidak memiliki kewenangan khusus dan langsung dalam pemungutan pajak.

Jabatan Notaris/PPAT keberadaanya dikehendaki ketentuan atau aturan yang berlaku dengan tujuan dalam memberikan bantuan dan layanan kepada masyarakat yang memanh membutuhkannya sebagai salah satu alat bukti yang bersifat autentik tertulis mengenai keadaan, peristiwa, dan/atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang pihak yang menghadap kepadanya.22 Dengan demikian, setiap orang yang diangkat menjadi Notaris/PPAT seharusnya memiliki semangat dengan sepenuh hatinya untuk melayani secara ikhlas kepada masyarakat, dan atas pemberian jasanya tersebut masyarakat merasa puas dan nyaman serta merasakan manfaat pentingnya jasa layanan yang diberikan oleh Notaris/PPAT. Notaris/PPAT seharusnya tidak hanya cermat, cakap, dan cepat yang semata-mata berlandaskan pada sikap pandang atas pemenuhan formil saja, melainkan harus juga dilandasi sikap dan sudut pandang yang memegang penuh profesionalitas yang dampaknya dapat mendorong peningkatan kualitas jasa pelayanan Notaris/PPAT yang benar-benar memberikan manfaat yang konstruktif untuk masyarakat.23 Artinya, Notaris/PPAT dalam menjalakankan jabatannya harus benar-benar bertindak dan bersikap dengan penuh kehati-hatian dengan berpedoman kepada semua ketentuan yang berlaku yang berkaitan dengan jabatannya, khususnya dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh klien dalam melakukan peralihan pemilikan dan/atau penguasaan hak atas tanah.

Proses peralihan pemilikan dan/atau penguasaan hak atas tanah yang dilakukan oleh para penghadap harus dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang dalam pembuatan akta yang dimaksud. Atas dasar dilakukannya proses pembuatan peralihan hak pemilikan dan/atau penguasaan atas tanah melalui akta yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang, maka telah dipenuhi syarat jelas dan

tegas.24 Syarat peralihan hak atas tanah pada dasarnya ada dua, yaitu: (1) syarat materil, syarat ini menjadi determinan terhadap sahnya peralihan hak kepemilikan atas tanah dimaksud, antara lain: (i) hak atas tanah yang dibelinya apa jenis haknya misalnya termasuk hak milik, HGB, HGB atau hak pakai. Misalnya, untuk jenis hak milik,25 yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah khusus untuk warga negara Indonesia dan badan hukum yang diatur sebagaimana hukum Indonesia serta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau ketentuan yang berlaku. Jika pihak yang membeli berkewarganegaraan asing, maka perbuatan penjualan dan pembelian tersebut batal demi hukum (menjadi dianggap tidak pernah ada) dan secara hukum berpindah ke Negara hak penguasaannya26; (ii) yang melakukan penjualan memiliki hak dan memiliki wewenang untuk melakukan pengalihan hak kepemilikan atas tanahnya kepada pihak lain, yang berhak mengalihkan atas sebidang tanah, maka tentu saja pihak pemilik atau penguasa yang sah dari hak kepemilikan atas tanah tersebut. Jika pemilik atas sebidang tanah merupakan perseorangan tunggal, maka ia memilik hak dalam melakukan pengalihan hak pemilikan atas tanah dimaksud. Akan tetapi, apabila yang memiliki tanah tersebut adalah lebih atau sama dengan dua orang, maka yang berhak untuk melakukan pengalihan hak atas tanah dimaksud ialah perseroangan jamak (lebih dari dua orang), maka tidak dibolehkan yang melakukan perbuatan pengalihan hak atas tanah dimaksud hanya satu orang saja; (iii) status pemilikan atau penguasaan hak atas tanah yang dimaksud tidak sedang menjadi sengketa atau penguasaan pihak lain seperti diberikan pembebanan berupa hak tanggungan. (2) Syarat formil, setelah apa yang dipersyarakan dari segi materiil telah dipenuhi, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah membuat akta peralihan hak atas tanah. Akta yang berkaitan dengan peralihan hak pemilikan atas tanah harus dibuat oleh PPAT.27 Dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak akta tersebut dibuat dan ditandatangani, maka PPAT melakukan penyerahan akta tersebut bersamaan dengan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada Kantor Pertanahan (Kantah) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota setempat untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanya dimaksud. Pada praktiknya, sebelum dilakukan peralihan hak pemilikan atas tanah dimaksud, dalam hal syarat-syarat formal tidak atau belum terpenuhi seperti belum dilakukannya pembayaran pelunasan berupa BPHTB) dan PPhTB yang merupakan kewajiban para pihak, maka secara hukum peralihan hak atas tanah belum terjadi.28 Dengan demikian, dalam tahapan peralihan dan/atau

penguasaan hak atas tanah semua persyaratan formil dan materil harus dipenuhi, seperti pelunasan atas PPh dan BPHTB, jika tidak dipenuhi maka perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dimaksud secara hukum dikatakan belum terjadi.

Bukti pelunasan atas PPh dan BPHTB dalam pemindahan hak pemilikan atas tanah merupakan sayarat mandatori yang harus dipenuhi dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. PPAT berkewajiban menyampaikan akta peralihan hak dimaksud beserta dokumen-dokumen yang terkait dengan pembuatan akta tersebut untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak tersebut ke Kantor Pertanahan (Kantah) BPN setempat yang dituju. Salah satu dokumen yang dimaksud tersebut adalah bukti pelunasan dan/atau pembayaran BPHTB dan bukti pelunasan dan/atau pembayaran pajak final atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa pajak penghasilan (PPhTB).29 PPhTB menjadi hutang pada saat sahnya bukti peralihan hak atas tanah dimaksud.30 Kemudian, hutang bea perolehan hak atas pemilikan tanah dan/atau bangunan dikatakan telah terjadi pada saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta peralihan haknya oleh PPAT yang berwenang di tempat lokasi objek peralihan hak atas tanah dilakukan.31 Dengan demikian pelunasan atas PPhTB dan BPHTB tentunya harus untuk dilakukan sebelum dan/atau pada saat akta peralihan akan ditandatangan hak atas tanahnya dibuat di hadapan PPAT yang berwenang di tempat objek peralihan hak pemilikan atas tanah dimaksud. Sebelum melakukan hal tersebut Notaris/PPAT harus melakukan pengecekan secara saksama terkait objek tanah yang akan dilakukan peralihan atau pun dilakukan perbuatan hukum yang akan dituangkan dalam akta.32 Dengan demikian, peran Notaris/PPAT adalah

memastikan dan meyakinkan bahwa semua persyaratan pembayaran atau pelunasan pajak baik PPh maupun BPHTB telah dipenuhi oleh klien.

Informasi yang diperoleh dari Kantor Pertanahan BPN setempat, sebagai langkah kehati-hatian dan memberikan kepastian yang kuat terhadap diri Notaris/PPAT dan para pihak mengenai hak tanah yang akan dilakukan peralihan, menjadi dasar langkah selanjutnya untuk melakukan pembuatan perjanjian atau perikatan peralihan hak atas tanah dimaksud oleh para pihak di hadapan seorang pejabat Notaris/PPAT. Sebelum dilakukan peralihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan PPAT yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut, maka penjual wajib terlebih dahulu melunasi PPhTB dan pembeli wajib terlebih dahulu melunasi BPHTB sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam perpajakan yang terkait perpajakan atas tanah dan bangunan. Adanya tanggung jawab dalam pelunasan PPhTB dan BPHTB oleh para pihak menjadi sebab terjadinya tenggang waktu antara perikatan dengan proses pengalihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan Notaris/PPAT dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanahnya menjadi lebih lama dan umumnya para pihak yang terkait dengan perbuatan tersebut melakukan transaksi peralihan dan/atau penguasaan pemilikan hak atas tanah tersebut dengan menitipkan atas dasar kepercayaan berupa sejumlah uang untuk pembayaran PPhTB dan BPHTB melalui tindakan penyerahan kepada pejabat Notaris/PPAT sebagai pembuat akta peralihan hak atas tanah para pihak. Jangka waktu yang relatif lama tersebut berpotensi terhadap terjadinya penyelewengan dana pembayaran atau pelunasan PPhTB dan BPHTB yang diamanatkan kepada Notaris/PPAT, baik oleh karyawannya dan atau oleh Notaris/PPAT yang bersangkutan langsung.33 Dengan demikian, pemenuhan atas pelunasan pembayaran perpajakan bisa menjadi faktor penghambat dilaksanakannya peralihan hak atas tanah, sehingga tidak jarang klien menyerahkan proses tersebut kepada Notaris/PPAT serta menitipkan uang untuk pembayaran pajak yang dimaksud. Padahal, hal tersebut bisa berpotensi untuk terjadinya penyelewenangan oleh Notaris/PPAT atas dana atau uang yang dititipkan untuk pembayaran pajak dimaksud. Tindakan penyelewengan yang dilakukan tentunya bisa berakibat terhadap tindak pidana penggelapan. Oleh sebab itu, peran Notaris/PPAT dalam hal ini adalah memberikan penyuluhan dengan memberitahukan kepada klien untuk membayar pajak terhutang tersebut sendiri, dan jika memang dititipkan kepada Notaris/PPAT yang bersangkutan maka harus dengan segera dibayarkan agar tidak terjadi masalah serta memastikan bahwa pembayaran tersebut benar telah dilakukan dengan mengecek bukti pembayaran dan bukti validasi pembayaran dalam rangka memastikan keaslian bukti pembayaran sehingga terhindar dari potensi terjadinya tindak pidana sebagaimana Pasal 263 dan 264 KUHP dan Pasal 39A Huruf (a) UU No. 28 Tahun 2007.

  • 3.3.    Tanggung Jawab Notaris/PPAT Terhadap Klien dalam Pembayaran Perpajakan

Notaris/PPAT dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selalu mengedepankan pembantuan pelayanan yang maksimal kepada para pihak dengan melakukan pembantuan pembayaran atas PPhTB dan BPHTB atas perbuatan peralihan hak kepemilikan atas tanah yang dilakukan oleh para penghadap, namun di lain pihak hal tersebut memberikan peluang, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terhadap terjadinya penyalahgunaan uang pembayaran PPhTB dan BPHTB tersebut. Maka, penting untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan menyetorkan PPhTB dan BPHTB oleh Notaris/PPAT dengan segera pada saat itu juga sehingga kemungkinan untuk terjadi penyelewenagan oleh Notaris/PPAT menjadi terminimalisasi, selain itu hal tersebut juga memberikan manfaat langsung kepda para pihak dan sekaligus Notaris/PPAT karena menjadi tidak terbebani dengan amanat titipan pajak yang harus dibayarkan, sehingga menghindarkan Notaris/PPAT dan meminimalisasi dari potensi perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan klien dan atau Notaris/PPAT itu sendiri atau bahkan yang dapat mencoreng nama baik Notaris/PPAT itu sendiri. Pemberian penyuluhan dan penjelasan mengenai kewajiban pelunasan PPhTB dan BPHTB peralihan pemilikan hak atas tanah dan bangunan kepada para pihak penghadap menjadi sebuah peranan penting serta keharusan yang dilakukan oleh pejabat Notaris/PPAT atau merupakan salah satu tindakan yang sangat penting untuk dilakukan oleh Notaris/PPAT, sehingga Notaris/PPAT tersebut dapat memberikan keyakinan dan kepastian bahwa PPhTB dan BPHTB atas peralihan hak tersebut dengan telah benar-benar dibayarkan ke negara dan/atau ke kas pemerintah pusat atau daerah sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian, potensi terjadinya tindak pidana sebagaimana Pasal 263 dan 264 KUHP dan/atau Pasal 39A Huruf (a) UU No. 28 Tahun 2007 yang dilakukan oleh karyawan dan/atau oleh Notaris/PPAT yang bersangkutan menjadi terminimalisasi, sebagaimana kasus yang terjadi pada Putusan Nomor 158/PID.SUS/2019/PN.Cbi yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Cibinong.

Masih maraknya perbuatan pemalsuan atas bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB yang dilakukan oleh para pihak menjadikan Notaris/PPAT harus berhati-hati dan cermat, perbuatan pemalsuan tersebut dilakukan dengan cara memalsukan bukti pembayaran, memalsukan bukti validasi atas pembayaran PPhTB maupun BPHTB. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan kriminal yang hal tersebut akan merugikan dan membahayakan terhadap orang lain seperti menyebabkan kerugian.34 Sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan Notaris/PPAT sering dituduh terlibat dalam melakukan pemalsuan berupa sangkaan turut serta dengan oknum-oknum tertentu dalam melakukan pemalsuan dan/atau penggelapan pajak yang itu bisa menjadi delik atas Pasal 263, Pasal 264, Pasal 372 KUHP, serta menjadi delik tindak pidana khusus perpajakan

sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Huruf (a) UU No. 28 Tahun 2007. Implikasinya, kewajiban yang sebenarnya harus dilakukan oleh klien, akhirnya menjadi beban bagi Notaris/PPAT yang bersangkutan. Selain itu, Notaris/PPAT harus bertindak dengan penuh hati-hati, cermat, dan teliti dalam hal menerima bukti pembayaran pajak yang telah dibayarkan oleh klien. Salah satu yang sering dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi pemalsuan bukti pembayaran pajak oleh klien adalah dengan menawarkan pembayaran pajak dibantu oleh Notaris/PPAT, dan jika tetap dibayarkan oleh klien, Notaris/PPAT harus melakukan pengecekan keabsahan validasi. Namun demikian, dalam hal pembayaran pajak PPhTB dan BPHTB oleh Notaris/PPAT, Notaris/PPAT harus benar-benar melakukan pembayaran secepatnya dan memastikan hal tersebut dilakukan secara benar karena jika tidak begitu risiko terjadinya penyelewengan atau tindakan kejahatan penggelapan pajak oleh Notaris/PPAT dimungkinkan terjadi.35 Dengan demikian, tanggung jawab Notaris/PPAT adalah memastikan bahwa pembayaran pajak terhutang atas peralihan hak atas tanah telah benar-benar dilakukan oleh klien dan bukti pembayarannya harus dilakukan pengecekatan kepada instansi yang berwenang.

Orang pribadi dan badan hukum merupakan dua subjek hukum atas PPhTB dan BPHTB atas pelepasan dan perolehan hak pemilikan atas tanah dan bangunan yang menyebabkan beralihnya hak pemilikan atas tanah dan atau bangunan. Tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pertukaran atau permidahan serta peralihan hak pemilikan atas tanah dan bangunan secara tidak langsung adalah melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pemenuhan pembayaran pelunasan perpajakan yang terutang pada peralihan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi kewajiban para pihak melalui tindakan preventif dengan cara penandatanganan akta peralihan hak pemilikan atas tanah hanya dilakukan setelah pajak atas peralihan hak tersebut sungguh-sungguh telah dibayar oleh para pihak. Penandatanganan sebuah akta oleh Notaris/PPAT mengharuskan kepada para pihak sebagai wajib pajak untuk menunjukan dan menyerahkan bukti pelunasan pembayaran perpajakan terkait BPHTB terutang melalui formulir Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB dan bukti tersebut harus sudah divalidasi oleh petugas berwenang Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) serta PPhTB atas peralihan hak pemilikan atas tanah dan bangunan tersebut pun telah divalidasi. Proses tersebut menjadi syarat pokok dalam hal pendaftaran tanah di Kantor BPN.36 Dengan kata lain, Notaris/PPAT bertanggungjawab atas pemenuhan kelengkapan persyaratan bukti pembayaran pajak PPh dan BPHTB peralihan hak

atas tanah sehingga akta peralihan hak atas tanah yang dibuat di hadapannya dapat ditandatangani oleh para pihak dan Notaris/PPAT yang bersangkutan.

Tugas dan wewenang PPAT adalah berwenang membuat akta sebagai bukti tertulis peralihan hak atas tanah sebagai alat bukti valid bahwa telah terjadinya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun (sarusun).37 Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata akta autentik merupakan akta yang dibuat dengan susunan yang telah ditentukan atau ditetapkan melalui undang-undang yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk melakukan hal tersebut dan di tempat akta tersebut dibuat. PPAT memiliki peran yang sangat besar karena memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan atas pembayaran PPhTB dan BPHTB sebelum membuat akta. Selain itu, PPAT dapat dikatakan berperan sebagai pihak yang membantu pemerintah dalam melakukan pembantuan penerimaan perpajakan kepada pemerintah dari masyarakat khususnya dari yang menjual dan yang membeli yang datang sebagai penghadap kepada PPAT.38 Penandatanganan hanya boleh dilakukan oleh Notaris/PPAT ketika para penghadap telah melakukan pembayaran perpajakan dan menyerahkan buktinya kepada Notaris/PPAT.39 Jika hal tersebut tidak dilakukan makan Notaris/PPAT dikenakan sanksi berupa sanksi yang bersifat administrasi yaitu berupa penganaan denda sebesar tujuh koma lima juta rupiah untuk setiap pelanggaran yang dilakukan jika Notaris/PPAT melanggar kewajiban untuk melakukan penandatanganan akta peralihan padahal kewajiban perpajakannya belum dibayar dan buktinya belum diserahkan kepada Notaris/PPAT.40 Maka, tanggung jawab Notaris/PPAT dalam hal ini adalah memeriksa dengan hati-hati dan teliti atas semua kelengkapan yang diberikan oleh para penghadap khususnya kelengkapan atas bukti pembayaran pajak yang menjadi syarat mandatori dalam proses peralihan hak atas tanah.

Maka, Notaris/PPAT dalam hal ini harus benar-benar melakukan prinsip kehati-hatian atas bukti pelunasan pajak peralihan hak atas tanah yang sering dilakukan olehnya. Hal tersebut tentunya dapat dilakukan melalui penelitian dan verifikasi atas bukti yang diberikan oleh klien. Kewajiban verifikasi perpajakan penghasilan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) Nomor PER-26/PJ/2010 mengenai suatu mekanisme penelitian SSP yang berkaitan dengan pajak penghasilan yang berasal dari proses pengalihan hak kepemilikan atau penguasaan atas tanah dan bangunan dalam Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa seorang pejabat yang memiliki wewenang hanya dapat melakukan penandatanganan akta peralihan pemilikan hak atas tanah jika bukti pembayaran PPh yang menjadi kewajiban penjual atau pembeli telah benar-benar dengan bukti yang valid dibayarkan ke kas negara. Kemudian pada Pasal 1 Ayat (2) Perdirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 menyebutkan bahwa dalam hal melakukan pembuktian atas pembayaran pelunasan pajak penghasilan yang dimaksud ke rekening negara kepada pejabat yang berwenang perlu atau wajib melakukan penyerahan salinan surat setoran pajak dan menunjukkan aslinya yang akan dicek untuk divalidasi oleh petugas pajak.

Pasal 1 Ayat (3) Perdirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 menegaskan bahwa yang dimaksud Pejabat yang memiliki wewenang dimaksud dalam ayat sebelumnya yaitu Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam tahap membuat akta jual beli yang dilakukan melalui pejabat yang berwenang yaitu PPAT, salah satu syarat pokok yang harus mutlak terlebih dipenuhi yaitu para penjual dan pembeli harus nyata-nata telah menunaikan segala kewajiban perpajakan yang terhutangnya yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud oleh mereka, kewajiban perpajakan bagi penjual adalah harus benar-benar menyerahkan bukti valid pelunasan Pajak Penghasilan (final) atas tanah dan/atau bangunan (PPhTB) dan memberikan bukti setor SSP dimaksud dengan bukti yang sah dan benar, sedangkan untuk pembeli diharuskan telah melakukan pelunasan BPHTB dan menyerahkan bukti setor pelunasan atau pembayaran SSB BPHTB yang telah secara nyata divalidasi oleh petugas bank tempat melakukan pembayaran untuk diperlihatkan dan diserahkan kepada PPAT yang ditunjuk oleh para pihak.41 Artinya, Notaris/PPAT diberikan kewenangan untuk menuntut kepada klien atau para penghadap atas kebenaran dan keaslian bukti pembayaran pelunasan atas pajak PPhTB dan BPHTB terhutang untuk divalidasi dan sebagai syarat proses penandatanganan akta peralihan hak atas tanah dapat dilakukan.

Kemudian, dalam hal tindakan verifikasi atas bea perolehan hak pemilikan atas tanah dan bangunan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) Nomor PER-16/PJ/2008 mengenai mengenai cara-cara penelitian SSB BPHTB sebagaimana Pasal 3 Ayat (1) bahwa tindakan verifikasi atau pencocokan harus benar-benar dilakukan dengan melakukan pencocokan Nomor Objek Pajak sebagaimana yang terdapat dalam SSB dengan pembayaran yang terdapat dalam

Salinan SPPT atau Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/bukti pembayaran PBB lainnya; kesesuaian luas NJOP bumi per meter persegi sebagaimana yang ada dalam SSB dengan luas NJOP bumi per meter persegi pada Basis Data PBB; kesesuaian NJOP luas bangunan per meter persegi sebagaimana yang ada dalam SSB dengan luas NJOP bangunan per meter persegi pada Basis Data PBB; penelaahan terhadap kebenaran atas perhitungan BPHTB yang meliputi atas nilai perolehan objek pajak, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, nilai besaran BPHTB yang menjadi hutang dalam perbuatan hukum dimaksud, serta BPHTB yang harus dibayar; tindakan verifikasi terhadap kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya nilai eliminasi yang harus dihitung oleh dirinya. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh Notaris/PPAT sehingga terminimalisasi dari tindakan kriminal bidang perpajakan yang dilakukan oleh para pihak atau klien.

Pada dasarnya hukum memiliki fungsi pengaturan untuk memberikan ketertiban dan juga membatasi pergaulan yang benar-benar terkendali dalam kehidupan masyarakat serta dapat menyelesaikan konflik yang terjadi.42 Kemudian, sering kali dalam praktik ditemui kendala dalam pembuatan akta peralihan hak pemilikan atau penguasaan atas tanah yang belum dapat ditandatangani akibat SSB PPhTB dan BPHTB belum selesai divalidasi. Maka, bukti validasi terhadap bukti pembayaran pajak PPhTB dan BPHTB berperan penting dalam peralihan hak atas tanah dalam meminimalisasi terjadinya tindakan pemalsuan perpajakan. Artinya bukti validasi pajak yang sah dan sesuai dengan bukti yang ada di instansi berwenang dalam perpajakan PPhTB dan BPHTB menjadi kunci utama karena setelah semua bukti yang ada tersebut dipenuhi oleh para pihak, setelah itu terpenuhi dengan lengkap, yaitu syarat formil dan materilnya terpenuhi, maka PPAT dapat melakukan penandatanganan akta peralihan hak atas tanah yang dimaksud oleh para pihak yang menghadap. Selanjutnya setelah akta peralihan hak pemilikan atas tanah selesai dilakukan proses pendaftaran tanah sebagaimana ketentuan yang berlaku.43 Dengan demikian, jika pemenuhan pembayaran pajak PPhTB dan BPHTB telah dipenuhi dengan lengkap dan benar, maka tanggung jawab dan pertanggungjawaban Notaris/PPAT dalam hal perpajakan atas peralihan hak atas tanah menjadi telah ditunaikan dengan baik dan benar.

Oleh sebab itu, sejatinya dalam melaksanakan tugas jabatannya Notaris/PPAT sudah seharusnya memberikan penyuluhan yang jelas dan benar terutama tekait kewajiban perpajakan para pihak atas perbuatan hukum peralihan hak pemilikan atau penguasaan atas tanah tidak hanya menjalankan kewajiban saja tapi juga seharusnya memberikan layanan yang optimal dalam mendukung pekerjaan yang sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku atau tidak bertentangan dengan

ketentuan lainnya yang berkaitan. Seorang Notaris/PPAT harus memberikan penjelasan sejelas-jelasnya mengenai hak dan kewajiban para penghadap yang menghadap kepadanya seperti kewajiban dalam membayar pajak sehingga hak-haknya dapat ditunaikan dan Notaris/PPAT bisa memproses akta yang dibuatnya tersebut secara yakin. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meminta para pihak untuk melakukan pembayaran perpajakan yang terhutangnya sebesar nilai yang menjadi kewajiban para pihak atas perbuatan hukum peralihan hak kepemilikan atas tanah tersebut. Penyuluhan dan penjelasan yang dapat diberikan oleh Notaris/PPAT di antaranya adalah mengenai pembayaran PPhTB dan BPHTB dalam hal transaksi yang berkaitan hak atas tanah yang sering dihadapi oleh Notaris/PPAT.

  • 4.    Kesimpulan

Pemalsuan atas bukti pembayaran pajak atas peralihan dan/atau penguasaan hak atas tanah masuk ke dalam ketegori delik pidana umum dan juga pidana khusus. Delik pidana umum sebagaimana dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP, sedangkan delik pidana khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Huruf (a) UU No. 28 Tahun 2007. Peran Notaris/PPAT dalam perpajakan atas peralihan dan/atau penguasaan hak atas tanah adalah memberikan penyuluhan sebagaimana UUJN Pasal 15 Ayat (2) huruf (e) untuk memberikan penjelasan mengenai kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh klien. Tanggung jawab Notaris/PPAT dalam hal meminimalisasi terjadinya pemalsuan bukti pembayaran PPhTB dan BPHTB adalah dengan tidak melakukan penandatanganan akta peralihan hak atas tanah sebelum bukti pembayaran pajak PPhTB dan BPHTB tersebut telah benar-benar tervalidasi dan terverifikasi dengan benar dan sesuai. Jika hal tersebut dilanggar maka Notaris/PPAT akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Kemudian, kewajiban lainnya adalah melakukan validasi dan verifikasi atas bukti pembayaran PPhTB dan BPHTB klien atas peralihan dan/atau penguasaan hak atas tanah. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi yang memadai dan menyeluruh terkait peranan Notaris/PPAT kepada seluruh masyarakat dalam hal perannya dalam membantu masyarakat dalam membayar pajak. Kemudian, Notaris/PPAT harus dengan sungguh-sungguh lebih teliti dan berhati-hati serta memahami secara komprehensif mengenai perpajakan sehingga dapat memberikan penyuluhan yang mudah dimengerti oleh klien. Selain itu, pemerintah sebaiknya menyediakan flatform verifikasi bukti perpajakan secara realtime khusus Notaris/PPAT dan diberikan akun tersendiri untuk mengaksesnya.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Ali, Z. (2016). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Eddy, R. (2010). Aspek Legal Properti Teori, Contoh, dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset.

Faisal, G. S. M. (2009). How To Be A Smarter Taxpaper: Bagaimana Menjadi Wajib Pajak yang Lebih Cerdas. Jakarta: PT. Grasindo.

Hartono, S. (1994). Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni.

Muhammad, A. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Salim, H. S. (2016). Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, S. (2014). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Univesitas Indonesia.

Jurnal

Arifuddin., Widhiyanti, H. N., dan Susilo, H. (2017). Implikasi Yuridis Terhadap

Pejabat Pembuat Akta Tanah Penerima Kuasa Menyetor Uang Pajak Penghasilan/Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dari Wajib Pajak. JIPPK.  2(1),  18-25. ISSN: 2528-0767(p) dan 2527-8495(e). Retrieved form

http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk/article/download/2510/1533.

Asmara, A. F. (2019). Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Terhadap Notaris Yang Melakukan Penggelapan Uang Pajak Bea Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI Jakarta Nomor 03/PTS/MJ.PWN.PROV.DKIJAKARTA/VI/2015. Jurnal Universitas Indonesia, 1(001), 1-24. ISSN: 2684-7310. Retrieved from

http://notary.ui.ac.id/index.php/home/article/view/35/34.

Damajanti, A., & Karim, A. (2017). Effect of tax knowledge on individual taxpayers compliance. Economics & Business Solutions Journal, 1(1), 1-19. P-ISSN: 2580-6084; E-ISSN:               2580-8079,               Retrieved               from

http://journals.usm.ac.id/index.php/ebsj/article/download/477/420.

Fadilah, S., Maemunah, M., Nurrahmawati., Lim, T. N., and Sundary, R. I. (2019). Forensic accounting: Fraud detection skills for external auditors. Polish Journal of Management Studies, 20(1), 168-180. DOI:10.17512/pjms.2019.20.1.15.

Kumangki, M. T. (2020). Problematika Validasi Pajak Oleh Kantor Pajak Pratama Terhadap Akta  PPAT. LEX  Renaissance,  1(5),  220-234. Retrieved  from

https://journal.uii.ac.id/Lex-Renaissance/article/view/16805.

Rachmawati, A. R. & Sariono, J. N. (2011). Upaya hukum wajib pajak atas surat ketetapan pajak kurang bayar yang ditetapkan oleh fiskus dalam pemenuhan hak wajib pajak. Perspektif. XVI(4),  196-213. Retrieved from http://jurnal-

perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/83.

Rochaeti, Etty. (2012). Perlindungan hukum bagi wajib pajak dalam penyelesaian

sengketa     pajak.     Jurnal     Wawasan     Hukum.     26(1),     497-510,

http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v26i1.31,            Retrieved            from

https://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/view/31/31.

Saranaung, F. M. (2017). Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Lex Crimen, VI(1), 13-21. Retrieved from https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/15081.

Sundary, R. I. (2010). Internalisasi Prinsip - Prinsip Islam Tentang Etika Kerja dalam Perlindungan Hak Pekerja dan Pelaksanaan Hak Atas Pekerjaan. FH. UNISBA. XII(2),                 178-188.                 Retrieved                 from

https://media.neliti.com/media/publications/25255-ID-internalisasi-prinsip-prinsip-islam-tentang-etika-kerja-dalam-perlindungan-hak-p.pdf.

Sundary, R. I. (2017). Pengaturan Pembatasan Pemanfaatan Teknologi Informasi

Dihubungkan dengan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Indonesia. Prosiding 2th Celscitech-UMRI, 2(2), 1-9. ISSN: 2541-3023. Retreieved from

https://ejurnal.umri.ac.id/index.php/PCST/article/view/341/220.

Sundary, R. I. (2018). Pengalihan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Aktualita, 1(1), 279-294. ISSN: 2620-9098. Retrieved from https://elearning2.unisba.ac.id/index.php/aktualita/article/view/3723/pdf_1.

Tjandra, K. T. dan Toly, A. A. (2014). Upaya konsultan pajak dalam memenangkan kasus banding dan gugatan dalam perpajakan. Tax & Accounting Review, 4(2), 111. Retrieved from http://publication.petra.ac.id/index.php/akuntansi-pajak/article/view/3933/3592.

Utami, P. S. (2019). Pertanggungjawaban Notaris/PPAT terhadap Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang BPHTB-nya Belum Dibayar. Jurnal Wawasan Yuridika, 3(2), 235-250. DOI:10.25072/jwy.v3i2.282. Retrieved form

https://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/view/282/174.

Yogahastama, Riesta. (2019). Peran serta notaris memungut pajak BPHTB pembuatan akta jual beli di Kabupaten Pamekasan. Simposium Hukum Indonesia, 1(1), 385-393 ISSN (Cetak):  2686-150X, ISSN (Online):  2686–3553. Retrieved from.

https://journal.trunojoyo.ac.id/shi/article/view/6352/4015.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988).

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740).

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2016, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5916).

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 722 Tahun 2019).

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2008 tentang Tata Cara

Penelitian Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara

Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Internet:

Mahkamah Agung. (2019). Direktori Putusan Mahamah Agung Republik Indonesia.

Available                                                              from

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/profil/pengadilan/pn-gianyar.html. (Diakses tanggal 29 Maret 2021).

Maulida, Rani. (2018, Oktober 15). Apa fungsi APBN & peran pajak di dalamnya? Available from  https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/fungsi-apbn.

(Diakses tanggal 05 April 2021).

Pistone, P., Roeleveld, J., Hattingh, J., Nogueira, J. F. P., & West, C. (2019). Fundamentals of taxation: An introduction to tax policy, tax law and tax administration. Amsterdam: IBFD,              p.              4.              Retrieved              from

https://ocw.ui.ac.id/mod/resource/view.php?id=1753. (Diakses 28 Maret 2021).

Pramesti, T. J. A. (2016, Januari 26). Jerat pidana jika memalsukan surat setoran pajak.

Retrieved                                                              from

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54bb81153693a/jerat-pidana-jika-memalsukan-surat-setoran-pajak/. (Diakses 29 Maret 2021).

Lainnya:

Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor 220/Pid.B/2019/PN_Gin.

Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 158/PID.SUS/2019/PN.CBI.

627