Vol. 7 No. 01 April 2022

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas


Penggelapan terhadap Uang Titipan oleh Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama


Melyana

Magister Kenotariatan Universitas Tarumanagara, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Masuk : 3 Mei 2021 Diterima : 9 Juni 2021

Terbit : 18 April 2022


Keywords :

Notary, Embezzlement, Entrusted Money


Kata kunci:

Notaris, Penggelapan, Uang Titipan


Corresponding Author:

Melyana, E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2022.v07.i01.p06


Abstract

This article aims to examine the responsibility of the Notary who embezzled money deposited by the appearer in the District Court Decision No. 29/PID.B/2020/PN PWK. In this article, author uses normative research method. The Notary who receives the deposited money has violated Article 52 Paragraph (1) of the UUJN, because the Notary is indirectly a party to the deposit agreement. This resulted in based on Article 52 Paragraph (3) UUJN, the authentic deed was degraded its evidentiary strength into an underhand deed and the Notary could be sued to reimburse fees, interest and losses. In addition, Court Decision No. 29/PID.B/2020/PN.Pwk made a mistake in passing the verdict, where the Notary should have been punished based on Article 374 of the Criminal Code regarding embezzlement by weighting. Given that, the Notary has received the money because he holds the position of a Notary who is highly trusted and is considered a neutral party by the appearers. Besides, based on Article 13 jo. Article 374 KUHP, the Notary who commits embezzlement can be given office sanctions ranging from a written warning to dishonorable discharge.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tanggung jawab Notaris yang melakukan penggelapan terhadap uang titipan penghadap pada Putusan Pengadilan Negeri No. 29/PID.B/2020/PN PWK. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Penelitian Normatif. Notaris yang menerima uang titipan telah melanggar Pasal 52 Ayat (1) UUJN, karena Notaris secara tidak langsung menjadi pihak dalam perjanjian penitipan. Hal ini mengakibatkan berdasarkan Pasal 52 Ayat (3) UUJN , akta autentik terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan serta Notaris dapat digugat untuk mengganti biaya, bunga dan kerugian. Selain itu, Putusan Pengadilan No. 29/PID.B/2020/PN.Pwk telah keliru dalam menjatuhkan amar putusan, dimana seharusnya Notaris tersebut dihukum berdasarkan Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dengan pemberatan. Mengingat bahwa, Notaris tersebut telah menerima uang tersebut karena ia menyandang jabatan Notaris yang sangat dipercayai dan dianggap sebagai pihak yang netral oleh penghadap. Selain itu, berdasarkan Pasal 13 jo. Pasal 374 KUHP, maka Notaris yang melakukan penggelapan dapat diberikan sanksi jabatan mulai dari peringatan tertulis sampai dengan pemberhentian tidak hormat.


  • I.    Pendahuluan

Pada era modern ini, masyarakat saling mengadakan kerja sama untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingannya masing-masing. Kerja sama ini sering kali diwujudkan dengan dibentuknya perjanjian oleh para pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya, perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang kemudian melahirkan suatu perikatan dan jika kesepakatan tersebut tidak dijalani maka akan menimbulkan sanksi.1 Apabila melihat pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan kesesuaian kehendak yang pada akhirnya akan melahirkan suatu akibat hukum. Perjanjian dapat dibuat secara di bawah tangan atau dalam arti dibuat oleh pihak perjanjian itu sendiri, atau dapat juga dibantu agar dibuatkan oleh atau di hadapan Notaris. Pembuatan perjanjian ini merupakan tugas utama sekaligus kewenangan Notaris yang telah diangkat sumpah oleh Negara untuk melayani masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang mengatur bahwa Notaris memiliki wewenang untuk membuat akta autentik terkait segala perbuatan, perjanjian, dan juga penetapan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan juga dikehendaki oleh setiap pihak yang memiliki kepentingan agar perbuatan hukum tersebut dinyatakan dalam akta autentik. Landasan dari lahirnya UUJN itu sendiri adalah untuk menjamin dan mencapai nilai kepastian hukum, ketertiban hukum dalam masyarakat dan juga perlindungan hukum. Hal ini tentu dapat terlaksana jika setiap undang-undang yang dibuat menjunjung tinggi nilai kebenaran, dan keadilan. Selain itu, pada dasarnya perjanjian dibuat untuk melindungi hak-hak dari para pihak yang membuatnya.2 Dengan demikian, terhadap akta yang dibuatnya, Notaris sudah selayaknya memastikan adanya kepastian hukum bagi setiap masyarakat yang menerima pelayanan Notaris selaku pejabat umum. Sebelum membahas lebih dalam terkait dengan kewenangan-kewenangan Notaris, perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari Notaris itu sendiri.

Notaris merupakan pejabat umum memperoleh kewenangannya dari UUJN maupun Undang-Undang lainnya untuk membuat akta autentik (Pasal 1 Angka 1 UUJN). Notaris merupakan jabatan terhormat yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang yang dapat dipercaya dan dianggap mampu untuk itu (Notaris).3 Apabila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris merupakan orang yang memperoleh kuasa dari Negara atau pemerintah melalui penunjukan, yang kemudian terhadapnya diberikan tugas serta wewenang untuk menyaksikan dan mengesahkan berbagai surat perjanjian dan perbuatan/peristiwa lain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.4

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat dan diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melayani masyarakat terkait dengan pembuatan akta, dimana akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris telah ditetapkan bentuk dan tata cara yang ditentukan berdasarkan UUJN. Prof. Subekti mengutarakan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya telah ditentukan oleh Undang-Undang yang dibuat oleh dan atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya di mana akta itu dibuat.5 Selain berwenang untuk membuat akta autentik, berdasarkan Pasal 15 Ayat (2) UUJN, Notaris juga berwenang untuk:

  • a.    mengesahkan tanda tangan dan memastikan tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan perjanjian tersebut dalam suatu buku khusus;

  • b.    membukukan suatu surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus;

  • c.    menyalin surat asli di bawah tangan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

  • d.    mengesahkan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

  • e.    melakukan penyuluhan hukum terkait pembuatan Akta;

  • f.  pembuatan akta pertanahan; atau

  • g.    pembuatan akta risalah lelang.

Menurut Kunni Afifah, Akta yang dibuat oleh Notaris lah yang akan menjadi bukti kuat jika nantinya terjadi perselisihan antara para pihak yang membuatnya.6 Jabatan Notaris merupakan jabatan yang lahir karena adanya suatu kebutuhan masyarakat tentang membuat alat bukti dan bukan merupakan jabatan yang sengaja dibentuk kemudian diperkenalkan kepada masyarakat.7 Tan Thong Kie mengutarakan bahwa kedudukan Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat masih tetap disegani hingga saat ini. Pada umumnya, Notaris dianggap sebagai seorang pejabat pemerintah dimana masyarakat dapat memperoleh nasihat yang dapat dipercaya. Segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkan oleh Notaris (konstantir) adalah benar, ia merupakan pembuat dokumen yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat ketika dihadapkan dalam suatu proses hukum.8 Hal ini mengingat, Notaris bukan saja seorang yang dianggap benar, tetapi ketika menjalankan profesinya, Notaris terikat dengan etika, dimana etika yang paling dekat dengan diri manusia adalah hati nurani (soul).9

Sehingga dalam menjalankan kewenangannya Notaris juga dibatasi dengan aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Notaris dapat menjalankan profesinya dengan baik sesuai dengan amanat dari Undang-Undang. Dengan adanya aturan-aturan hukum tersebut, Notaris juga menjadi paham hal-hal mana saja yang

ada dalam lingkup kewenangannya dan hal-hal mana yang berada di luar kewenangannya atau bahkan dilarang menurut Undang-Undang.

Salah satu hal yang menarik dan sekaligus menjadi fokus dari penelitian ini adalah terkait dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, ketika Notaris menjalankan jabatannya, ia dilarang untuk berperilaku yang tidak jujur, tidak mandiri, tidak saksama, bersikap berpihak, dan tidak menjaga kepentingan para penghadap. Notaris selaku penegak hukum adalah penegak keadilan dan juga kebenaran, oleh karena sudah selayaknya ia harus menjalankan jabatan yang diembannya dengan ketulusan, itikad baik dan ikhlas, mengingat jabatan Notaris merupakan profesi yang terhormat dan luhur (officium nobile) di mata masyarakat.

Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, terdapat 5 nilai moral yang wajib untuk dimiliki Notaris sebagai jabatan yang professional dan dihormati, yakni:

  • a.    Sikap jujur sebagai dasar utama. Apabila Notaris bersikap tidak jujur, maka ia sebagai profesional hukum telah mengingkari tujuan profesinya. Karakter yang demikian akan membentuk pribadi Notaris menjadi penuh tipu muslihat. Terdapat dua sikap manusia yang menggambarkan suatu nilai kejujuran, yakni sikap terbuka dan sikap wajar. Sikap terbuka ini berkaitan dengan pelayanan terhadap klien, baik pelayanan dengan menerima upah maupun secara probono. Sedangkan bersikap wajar berkaitan dengan sikap yang tidak berlebihan dan melebihi kewenangannya/ berlebihan daripada yang seharusnya (over service).

  • b.    Autentik/Asli, yang mana Notaris wajib untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang profesional hukum, sebagai contoh ia tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal diluar kewenangannya, merendahkan martabat maupun mementingkan kepentingan lainnya dibandingkan kepentingan kliennya atau penerima jasa Notaris.

  • c.    Bertanggung Jawab, yang berarti Notaris wajib untuk bertanggungjawab atas semua hal yang ditelah dipercayakan kepadanya, ia wajib untuk memberikan usaha yang terbaik tanpa memilah-milah kasus berdasarkan agama, ras maupun status sosial.

  • d.    Kemandirian moral, dimana Notaris harus dapat membatasi dirinya dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat mempengaruhi dan membuatnya menyeleweng dari kewenangannya.

  • e.    Keberanian moral, yang berarti sikap kesetiaan Notaris sesuai dengan hati nuraninya, serta sikap Notaris yang bersedia untuk menanggung resiko konflik. Keberanian yang dimaksud adalah mampu dan tegas untuk menolak segala bentuk korupsi, kolusi, atau bahkan penggelapan.

Lebih lanjut, nilai kejujuran yang wajib dimiliki oleh Notaris juga tercantum jelas dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia pada tahun 2015, yang mengatur pada intinya bahwa :

Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan profesi Notaris) wajib :

  • 1.    Mempunyai akhlak, moral, serta pribadi yang baik;

  • 2.    Menjunjung tinggi serta menghormati harkat dan martabat yang dimiliki oleh Jabatan Notaris;

  • 3.    Membela dan menjaga kehormatan perkumpulan Notaris;

  • 4.    Bersikap jujur, tidak memihak, sesuai amanah, mandiri, seksama, penuh rasa tanggung jawab, sesuai dengan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang dan juga isi sumpah ketika pengangkatan Jabatan Notaris

  • 5. …………”

Terlebih lagi, dapat diketahui bahwa nilai kejujuran termasuk dalam unsur penting dalam sumpah Notaris dalam mengemban jabatannya. Sumpah Notaris tersebut berbunyi :

“Saya bersumpah/berjanji :

Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak.

Bahwa saya menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

Dengan demikian semakin jelas bahwa kejujuran merupakan landasan moral yang wajib dimiliki setiap Notaris dalam melaksanakan jabatannya. C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil menegaskan bahwa jabatan Notaris merupakan pejabat umum yang dituntut secara profesional untuk menjalankan tugasnya, ia harus menyadari bahwa kewajiban profesinya adalah mandiri, jujur, tidak memihak dan penuh rasa tanggung jawab.10 Dengan adanya moral yang baik, sikap yang jujur dan dapat menegakkan integritas selaku penegak hukum, maka seyogyanya Notaris tidak akan mudah masuk ke dalam permasalahan-permasalahan profesi, salah satunya adalah penggelapan. Penggelapan merupakan sebuah tindakan yang telah menyalahi moral dan tentunya melanggar hukum, khususnya hukum pidana.

Apabila melihat pada praktisnya, penggelapan ini juga dilakukan oleh salah satu Notaris di Purwakarta yang bernama Nazarudin, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan. Pada kasus ini, JPU telah menuntutnya berdasarkan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan biasa. Kemudian, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 29/PID.B/2020/PN Pwk yang telah terkekuatan hukum tetap, ia selaku Terdakwa I dalam putusan tersebut dinyatakan bersalah atas tindak pidana Penggelapan dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan. Dalam kasus ini, Nazarudin selaku Notaris yang dipercayakan untuk membuat perjanjian kerjasama pembebasan lahan, atas permintaan penghadap menerima uang yang wajib untuk diteruskan oleh Notaris kepada pihak pertama dalam perjanjian (Yaya), yang mana jika Yaya telah melaksanakan kewajibannya sebagian, maka Notaris akan memberikan uang titipan tersebut juga secara bertahap. Selain itu, selain sebagai penerima titipan uang, ia tentu juga bertindak selaku Notaris untuk melakukan pengurusan Surat Pelepasan Tanah. Namun pada kenyataannya, Nazarudin selaku

penerima uang (perantara), telah menggunakan uang titipan dari penghadap untuk kepentingannya sendiri. Yang mana, uang titipan tersebut seharusnya diberikan kepada salah satu pihak apabila pihak yang bersangkutan telah melaksanakan kewajibannya, yakni mengurus pembebasan lahan dan perijinannya.

Apabila bercermin pada UUJN maupun Undang-Undang manapun, tidak ada satu pun peraturan hukum yang memberikan Notaris kewenangan untuk menerima uang titipan dari para penghadap. Hal ini berarti Notaris telah melakukan hal diluar kewenangannya11 atau telah bersikap tidak wajar (over service). Perbuatan-perbuatan di luar kewenangan ini yang sangat rentan untuk berujung pada pelanggaran kode etik notaris, salah satunya penggelapan. UUJN belum mengatur secara eksplisit sanksi yang akan diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana penggelapan. Melainkan, UUJN hanya mengatur bahwa Notaris yang bersikap tidak jujur akan dikenakan sanksi administratif. Menurut Penulis, sikap tidak jujur tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan tindak pidana penggelapan. Permasalahan lebih lanjut adalah apakah Notaris dapat atau berwenang menerima uang titipan dari Penghadap sehubungan dengan akta yang dibuatnya. Permasalahan ini muncul apabila kita melihat pada Pasal 52 Ayat (1) UUJN, yang pada intinya mengatur bahwa Notaris dilarang untuk membuat akta bagi untuk dirinya sendiri, istrinya atau suaminya, maupun orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena adanya suatu perkawinan maupun karena hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas tanpa pembatasan derajat, dan juga dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk dirinya sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun berdasarkan perantaraan kuasa.

Dengan demikian, diatur secara jelas bahwa Notaris tidak diperkenankan untuk membuatkan akta yang di dalamnya terdapat kepentingan bagi dirinya sendiri. Tak jarang, ketika Penulis sedang dalam meneliti topik terkait uang titipan, Penulis menemukan bahwa masih banyak Notaris yang tidak mengetahui bahwa Notaris tidak diperkenankan untuk menerima uang titipan dari para penghadap apapun alasannya. Oleh karenanya, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang jelas bagi para Notaris. Pengawasan yang disertai dengan sanksi akan memberikan efek sadar dan efek jera yang sangat penting bagi para Notaris.12

Penelitian ini dengan objek serupa pernah dilakukan oleh Aprilia Lusiana Wijaya dengan judul Penggelapan dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris pada tahun 2020 yang dipublikasikan pada Jurnal Notary Universitas Indonesia, yang membahas mengenai tanggung jawab bagi Notaris yang melanggar UUJN.13 Selain itu, Fristy Ayu Yannisa juga pernah melakukan penelitian terkait dengan penggelapan sertifikat Hak Guna Bangunan oleh Notaris melalui Skripsinya pada tahun 2020 yang berjudul Tinjauan

Hukum terhadap Putusan Bebas Notaris yang melakukan Penggelapan Sertifikat Hak Guna Bangunan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 53/PID.B/2017/PN/BKT) yang dipublikasikan oleh Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.14 Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji lebih dalam batas-batas kewenangan notaris, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh Notaris dan hal-hal apa saja yang termasuk dalam over service terhadap klien. Bertitik tolak pada pemikiran-pemikiran di atas, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan komprehensif terkait beberapa permasalahan sebagai berikut :

  • a.    Bagaimana akibat hukum dan tanggung jawab Notaris yang menerima uang titipan dalam pembuatan perjanjian kerjasama?

  • b.    Bagaimana pertanggungjawaban Notaris yang melakukan penggelapan dengan pemberatan dalam pembuatan perjanjian kerja sama?

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Yuridis Normatif, yang berarti suatu metode penelitian yang dilakukan dengan menggunakan dan menganalisa bahan-bahan kepustakaan.15 Sehubungan dengan penulisan ini, penulis hendak mengkaji pertanggungjawaban notaris yang melakukan penggelapan dengan pemberatan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengan pertanggungjawaban Notaris, kode etik jabatan Notaris, Putusan Pengadilan terkait dan juga pendapat para ahli (doktrin). Pada umumnya, analisis data dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yakni kualitatif atau kuantitatif.16 Teknik analisis data yang dijadikan acuan oleh Penulis adalah teknik analisis kualitatif, yang kemudian berakhir dengan pengambilan kesimpulan. Kualitatif berarti mengolah bahan yang telah diperoleh berdasarkan kualitasnya dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak memperdulikan banyaknya data tersebut, tetapi berdasarkan kualitas dan keabsahan bahan yang penulis dapatkan.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

UUJN memberikan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki wewenang dalam hal pembuatan akta otentik dan kewenangan-kewenangan lainnya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh UUJN maupun undang-undang lainnya. Sedangkan menurut C.S.T Kansil, Jabatan Notaris bukan hanya sebuah jabatan profesi, namun merupakan jabatan luhur yang merupakan suatu jabatan yang pada hakekatnya melayani masyarakat, dimana ia juga mendapatkan upah/nafkah dari pekerjaannya/jabatan tersebut, namun upah tersebut bukan merupakan motivasi utamanya menjalankan jabatan tersebut. Adapun hal utama yang memotivasi dirinya adalah kesediaannya untuk melayani sesame (masyarakat).

Notaris memiliki kewenangan umum untuk membuat akta autentik mengenai perjanjian, perbuatan dan ketetapan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik. Notaris juga memiliki wewenang untuk menjamin kepastian tanggal dibuatnya suatu akta, untuk menyimpan akta yang dibuat olehnya, memberi grosse dan kutipan akta, semuanya itu dapat dilakukan apabila seluruh akta tersebut juga tidak ditugaskan kepada pejabat lain atau orang lain menurut undang-undang. Wewenang Notaris telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 15 Ayat (1) dan (2) UUJN.

Walaupun memiliki banyak kewenangan, Notaris juga memiliki batasan-batasan dalam penggunaan kewenangannya. Batasan-batasan tersebut yang akan dijadikan acuan untuk mengetahui apakah Notaris telah melakukan hal-hal di luar kewenangannya atau bahkan jauh sampai telah menyalahgunakan kewenangannya. Philipus M. Hadjon memberikan indikator untuk mengukur terjadi tidaknya suatu penyalahgunaan wewenang jabatan Notaris, maka perlu diketahui 4 (empat) kewenangan sehubungan dengan pembuatan akta, yakni:

  • a.    Notaris harus berwenang terhadap akta yang akan dibuatnya, yang mana wewenang untuk membuat akta tersebut tidak diberikan kepada pejabat lainnya dan menurut undang-undang Notaris lah yang berwenang untuk membuat akta tersebut.

  • b.    Notaris harus berwenang terkait untuk siapa saja dan untuk kepentingan siapa saja akta tersebut dibuat. Seorang Notaris tidak berwenang untuk membuat akta bagi dirinya sendiri, istrinya atau suaminya, maupun orang lain yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Notaris, atau bahkan karena perantaraan kuasa.

  • c. Notaris tidak memiliki kewenangan sehubungan dengan tempat dimana akta

tersebut dibuat.

  • d.    Notaris tidak memiliki kewenangan sehubungan dengan waktu dibuatnya akta tersebut.

Terkait dengan permasalahan kewenangan ini, terdapat permasalahan menarik bagi Penulis untuk dibahas dalam penelitian ini, dimana :

  • 1.    Kasus Posisi

PT Hellem Griya Indonesia (PT HGI), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha perumahan / pengembang yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 197 tertanggal 19 Mei 2016 dihadapan Notaris Anna Frida Nurhayati, S.H.. PT HGI ingin mengadakan pembangunan perumahan di Desa Pasawahan dan Desa Pasawahan Kidul, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta. Oleh karenanya, Legal dari PT HGI bertemu dengan Yaya S. Hidayat (Terdakwa 2/ Pihak Pertama Perjanjian). Yaya sepakat dengan PT HGI untuk membantu pengurusan penyediaan dan pembebasan lahan tanah kepada pemilik tanah sekaligus mengurus perijinan perubahan zona hijau menjadi zona kuning dengan luas +- 504.000 m2.

Dengan demikian, terjadi kesepakatan antara Yaya dan PT HGI terkait dengan pembebasan lahan tersebut. Pada tanggal 16 Februari 2017, PT HGI dan Yaya

membuat Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 03 di hadapan Nazarudin, S.H., M.Kn., Notaris di Kabupaten Purwakarta, yang mana disepakati :

  • a. Pengadaan tanah oleh Pihak Pertama (Yaya) seluas 100.000 m2, dengan cara

pembayaran sebagai berikut :

Angsuran

Jumlah Pembayaran

Tanggal Pembayaran

Angsuran Ke-1

Rp. 1.825.000.000,-

23 Februari 2017

Angsuran Ke-2

Rp. 912.500.000,-

23 Juli 2017

Angsuran Ke-3

Rp. 912.500.000,-

23 September 2017

Angsuran Ke-4

Rp. 3.650.000.000,-

23 April 2018

Total

Rp. 7.300.000.000,-

b. Pengadaan tanah oleh Pihak Pertama (Yaya) seluas 404.000 m2, dengan cara pembayaran sebagai berikut :

Angsuran

Jumlah Pembayaran

Angsuran Ke-1

Rp. 1.001.000.000,-

Angsuran Ke-2

Rp. 9.009.000.000,-

Angsuran Ke-3

Rp. 10.010.000.000,- yang akan dibayarkan melalui 2 (dua) kali cicilan sebagai berikut :

  • 1.  Rp. 5.005.000.000,

  • 2.  Rp. 5.005.000.000,-

Total

Rp. 20.020.000.000,-

  • 3.    Uang pembayaran oleh Pihak Kedua (PT HGI) kepada Pihak Pertama (Yaya) akan dititipkan kepada Nazarudin selaku Notaris pembuat akta dan selanjutnya uang tersebut akan diserahkan secara bertahap kepada Yaya untuk dibayarkan kepada para pemilik tanah yang tanahnya akan dilepaskan haknya.

  • 4.    Notaris akan melakukan pengurusan Surat Pelepasan Hak Tanah dan persetujuan perubahan zona hijau menjadi zona kuning, yang mana diperjanjian pengurusan tersebut akan selesai pada bulan September 2017, yang mana terhadap biaya pengurusan Surat Pelepasan Hak (SPH) Tanah telah dibayarkan oleh PT HGI kepada Notaris sebesar Rp. 200.000.000,-

Bahwa, PT HGI telah menyerahkan cek untuk pembelian tanah kepada

Nazarudin dengan rincian sebagai berikut :

Tanggal Pembayaran

Jumlah Uang

Bukti Pembayaran

23 Februari 2017

Rp. 2.525.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. CL. 277723

28 Februari 2017

Rp. 300.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. CL. 277723

07 April 2017

Rp. 250.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. GZ.248884

27 April 2017

Rp. 100.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. GZ.248697

22 Juni 2017

Rp. 50.000.000,-

Kwitansi

22 Juni 2017

Rp. 100.000.000,-

Kwitansi

28 Juli 2017

Rp. 145.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. GZ.250472

4 Agustus 2017

Rp. 862.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. HD. 388076

12 Oktober 2017

Rp. 912.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. HD. 388092

Total

Rp. 5.244.500.000,-

Yang mana, pada tanggal 17 Maret 2017, Nazarudin telah mengirim Surat Penawaran Biaya Proses Pengurusan Perubahan Zona Lokasi ke PT HGI sebesar Rp. 1.269.500.000,- yang kemudian disepakati oleh PT HGI berdasarkan Surat Jawaban tertanggal 06 April 2017 pada nilai Rp. 1.267.000.000,-. Kemudian, PT HGI telah membayar biaya pegurusan perizinan perubahan zonasi Rencana Tata Ruang Wilayah (zona hijau ke zona kuning) sebesar Rp. 900.000.000,- dan uang tersebut telah diterima langsung oleh Saksi Saeful Muluk selaku staff kantor Notaris Nazarudin, yang mana dari uang Rp. 900.000.000,- setelah dikurangi pengeluaran untuk pembebasan lahan oleh Yaya, masih terdapat uang sebesar Rp. 91.000.000,-yang masih dikuasai oleh Notaris, yang mana dapat dirincikan sebagai berikut :

Tanggal

Jumlah

Keterangan

09 April 2017

Rp. 334.000.000,-

Diambil oleh Asep dan Lili secara bertahap untuk biaya pengukuran

29 Agustus 2017

Rp. 70.000.000,-

Perubahan Surat Pelepasan dan Kwitansi (Ke Indra dan Bagus HGI)

25 Oktober 2017

Rp. 30.000.000,-

Perubahan Kwitansi (Ke Bagus HGI)

01 November 2017

Rp. 100.000.000,-

Pengukuran 10 Ha, Kewajiban PT HGI (Ke Wiwin, Kwitansi)

16 Januari 2018

Rp. 305.000.000,-

Dikembalikan ke PT HGI

Total

Rp. 809.000.000,-

Sisa Rp. 91.000.000,-

Bahwa sebagaimana telah disepakati di atas, Nazarudin dan Yaya berjanji kepada PT HGI bahwa Surat Pelepasan Hak Tanah dan perijinan perubahan zona hijau menjadi zona kuning akan selesai pada bulan September 2017. Namun, pada kenyataannya, hingga bulan November 2017, pengurusan tersebut tidak kunjung selesai. Hingga tanggal 30 Januari 2018 PT HGI mengirimkan surat kepada Nazarudin untuk menagih janji progress pengurusan pelepasan hak tanah dan perizinan. Kemudian, melalui Surat Nomor 198/NOT-KET/KNN/I/2018 tertanggal 09 Februari 2018, Nazarudin berjanji bahwa proses pelepasan hak dan perizinan akan selesai selambat-lambatnya 21 Februari 2018.

Bahwa hingga tanggal 21 Februari 2018, proses pelepasan hak dan perizinan tidak kunjung selesai dan kemudian PT HGI mengetahui bahwa uang yang diserahkan Nazarudin kepada Yaya adalah sebesar Rp. 4.599.500.000,-, dan bukan Rp. 5.244.500.000,-, yang mana dapat dirincikan sebagai berikut :

Tanggal Pembayaran

Jumlah Uang

Bukti Pembayaran

23 Februari 2017

Rp. 2.525.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. CL. 277723

28 Februari 2017

Rp. 300.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. CL. 277723

4 Agustus 2017

Rp. 862.000.000,-

Cek Bank Mandiri No. HD. 388076

12 Oktober 2017

Rp. 912.500.000,-

Cek Bank Mandiri No. HD. 388092

Total

Rp. 4.599.500.000,-

Yang mana, pada tanggal 17 Maret 2017, Nazarudin telah mengirim Surat Penawan Biaya Proses Pengurusan Perubahan Zona Lokasi ke PT HGI sebesar Rp. 1.269.500.000,- yang kemudian disepakati oleh PT HGI berdasarkan Surat Jawaban tertanggal 06 April 2017 pada nilai Rp. 1.267.000.000,-. Kemudian, PT HGI telah membayar biaya pegurusan perizinan perubahan zonasi Rencana Tata Ruang Wilayah (zona hijau ke zona kuning) sebesar Rp. 900.000.000,- dan uang tersebut telah diterima langsung oleh Saksi Saeful Muluk selaku staff kantor Notaris Nazarudin.

  • 2.    Proses Persidangan

Pada tanggal 20 Januari 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penahanan terhadap Nazarudin selaku Terdakwa I dan Yaya selaku Terdakwa II. Kemudian, dilaksanakanlah proses persidangan di Pengadilan Negeri Purwakarta. JPU kemudian menuntut kedua terdakwa dengan 2 (dua) tuntutan, yakni :

  • 1.    Dakwaan pertama berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan; dan/atau 2. Dakwaan alternatif berdasarkan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

Yang mana JPU memohon kepada Pengadilan Negeri untuk menjatuhkan amar putusan sebagai berikut :

  • 1.    Menyatakan Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn dan Terdakwa II H. Yaya S. Hidayat tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 372 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

  • 2.    Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn selama 1 (satu) tahun dan Terdakwa II H. Yaya S. Hidayat selama 4 (empat) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dengan perintah agar para terdakwa tetap ditahan.

Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 29/PID.B/2020/PN PWK, Majelis Hakim kemudian menjatuhkan amar putusan sebagai berikut :

“M E N G A D I L I

  • a.    Menyatakan Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn dan Terdakwa II H. Yaya S. Hidayat tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan penggelapan” sebagaimana dalam dakwaan alternatif.kedua;

  • b.    Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (Sembilan) bulan dan kepada Terdakwa II H. Yaya S. Hidayat oleh karena itu dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun;

  • c.    ………………..”

Amar putusan tersebut dijatuhkan berdasarkan beberapa pertimbangan yang pada intinya adalah sebagai berikut :

  • a.    Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn. tidak pernah menyelesaikan tanggungjawabnya untuk mengurus izin perubahan zona lokasi ke pihak Bappeda Kabupaten Purwakarta sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana dibuktikan melalui Surat tertanggal 12 Juni 2017, 10 Oktober 2017, dan 09 Februari 2018, yang ditandatangani oleh Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn. dengan tujuan untuk menjamin penyerahan pembebasan tanah dan pelaksanaan surat pelepasan hak untuk tahap awal seluas 10 Ha. Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa PT HGI telah dirugikan.

  • b.    Bahwa masih terdapat sisa uang sebesar Rp. 91.000.000,- yang masih dalam kekuasaan Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn. dan belum dikembalikan kepada PT HGI.

  • c.    Bahwa terdapat keadaan yang meringankan Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn., yaitu terdakwa bersikap sopan dan tidak berbelit-belit, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa masih memiliki tanggung jawab profesi selaku Notaris/PPAT, terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.

  • d.    Bahwa terdapat keadaan yang memberatkan Terdakwa I Nazarudin, S.H., M.Kn., yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian bagi PT HGI dan terdakwa belum mengembalikan sisa uang yang masih berada pada kuasa terdakwa.

  • 3.    Hasil Wawancara dengan Bapak Widyo Hapsoro, S.H. M.Kn., Notaris dan PPAT di Kabupaten Purwakarta17

Menurut Bapak Widyo, jika merujuk pada UUJN, maka jelas bahwa Notaris tidak memiliki kewenagan untuk menerima uang titipan dalam rangka apapun. Berdasarkan UUJN, Notaris hanya memiliki kewenangan utama, yakni membuat akta. Namun, pada prakteknya, penerimaan uang titipan ini sudah menjadi kebiasaan dari para penghadap (client) demi efisiensi dan kepraktisan waktu, tanpa mempertimbangkan resiko yang mungkin terjadi, yakni uang titipan tersebut dapat disalahgunakan oleh Notaris tersebut. Bahkan tak jarang ketika Notaris menerima uang titipan, Notaris tidak memberikan tanda terima uang, sehingga uang tersebut dianggap miliknya sendiri dan digunakan untuk kepentingan pribadinya. Pada awalnya, para penghadap yang menitipkan uang kepada Notaris hanya mempertimbangkan kepraktisan dan efisiensi waktu. Namun, ketika terjadi permasalahan, para penghadap akan fait accompli

dengan menyatakan bahwa Notarisnya lah yang meminta biaya terlebih dahulu.

Apabila melihat kasus yang diangkat oleh Penulis, Notaris bersangkutan terlalu percaya kepada Staff Notarisnya dan bahkan persetujuan dan penerimaan uang dilakukan semua oleh Staff Notaris. Sehingga, setiap pertemuan dengan kliennya, Notaris tersebut tidak pernah hadir, yang hadir selalu staff Notaris tersebut.

Seharusnya, Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Notaris, yang telah mengatur semua larangan, semua yang diperbolehkan dan semua pengecualian. Notaris juga harus memiliki kepribadian, moral dan akhlak yang baik sebagaimana telah diatur pada Kode Etik Notaris. Menurut Bapak Widyo, niscaya jika berpegang teguh pada hal-hal tersebut, maka Notaris harus berani untuk menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak terpengaruh dengan iming-iming biaya Notaris. Selain itu, Notaris juga harus dapat mengukur sejauh apa dampak hukum atas hal tersebut beberapa tahun ke depan.

Terkait dengan penggelapan, memang UUJN sama sekali belum mengatur penggelapan oleh Notaris. Sehingga, pada prakteknya ketika Notaris melakukan penggelapan, maka ia akan dituntut berdasarkan Pasal 372 KUHP, dimana Notaris tersebut akan bertanggungjawab secara pribadi dalam menjalankan jabatannya. Pada praktiknya, ketika Notaris tersangkut dengan permasalahan di Pengadilan, maka biasanya Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang akan mendampingi Notaris dalam beracara di Pengadilan Negeri, yang bahkan teman-teman sejawat dapat hadir dan memberikan support dan dukungan (bukan mendukung perbuatan penggelapan). Kemudian, jika Notaris tersebut berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan benar telah melakukan tindak pidana penggelapan, maka Notaris akan menjalankan tanggung jawab pidananya. Setelah Notaris telah menjalankan sanksi pidananya, maka Majelis Pengawas Daerah akan mengadakan pertemuan dengan Notaris tersebut untuk mengetahui duduk perkara, sehingga Majelis Pengawas Daerah dapat mengetahui sanksi jabatan apa yang akan diberikan kepada Notaris bersangkutan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana yang telah dilakukan oleh Notaris tersebut.

Berdasarkan kasus di atas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dikaji, yakni :

  • 3.1.    Tanggung Jawab Notaris dan Akibat Hukum Terhadap Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Yang Menerima Uang Titipan Dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama

Berdasarkan Pasal 52 Ayat (1) UUJN, Notaris dilarang untuk membuat akta-akta yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Ketika Notaris menerima uang titipan dari penghadap atas dasar kepercayaan penghadap terhadap Notaris, maka secara tidak langsung telah terjadi suatu perjanjian penitipan antara Notaris dengan para penghadap.

Pada umumnya, dasar hukum perjanjian penitipan dapat mengacu pada Bab XI KUHPer tentang Penitipan Barang, yakni pada Pasal 1694 - 1734 KUHPer.

Perjanjian penitipan merupakan kondisi dimana ketika seseorang menerima barang dari seseorang yang lain agar barang tersebut disimpan dan akan dikembalikan dalam keadaan asalnya pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1694 KUHPer). Penerima titipan bertanggungjawab untuk menjaga benda yang telah dititipkan padanya selayaknya ia menjaga benda milik dirinya sendiri (Pasal 1706 KUHPer). Hal ini akan diberlakukan dengan tegas jika (Pasal 1707 KUHPer) : a. Penerima titipan yang pertama kali menawarkan diri terlebih dahulu untuk dititipkan benda tersebut;

  • b.    Penerima titipan meminta/menerima upah atas penitipan itu;

  • c.    Penitipan tersebut terjadi juga karena adanya suatu kepentingan penerima titipan; dan

  • d.    Diperjanjikan secara tegas bahwa penerima titipan akan bertanggungjawab untuk penyimpanan barang tersebut.

Perjanjian penitipan barang antara Notaris dan para penghadap termasuk dalam jenis perjanjian penitipan sekestrasi, yang berarti penitipan barang yang terjadi karena suatu perjanjian atau karena putusan hakim. Sehingga, kewenangan dan kewajiban Notaris selaku penerima barang titipan bersumber dari suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1734 sampai dengan Pasal 1736 KUHPer, perjanjian penitipan sekestrasi muncul ketika barang titipan tersebut dititipkan kepada penerima titipan secara suka rela, tanpa adanya suatu pemaksaan. Dengan demikian, timbul lah perjanjian penitipan sekestrasi. Dampaknya, perjanjian sekestrasi tunduk pada ketentuan-ketentuan perjanjian penitipan murni.

Sebagai akibatnya, ketika Notaris menyebabkan suatu kerugian bagi para penghadap, maka Notaris tentu wajib untuk mengganti kerugian tersebut, mengingat ia telah menjadi pihak yang menerima uang titipan, sehingga dalam hal ini ia bertindak selaku penerima titipan, bukan selaku Notaris. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 52 Ayat (3) UUJN, yang mengatur :

“Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan.”

Dengan demikian, UUJN telah mengatur bahwa bagi Notaris yang telah membuat akta bagi dirinya sendiri (menjadi pihak penerima titipan dalam perjanjian penitipan), maka ia bertanggungjawab untuk membayar biaya dan ganti rugi kepada para penghadap, pembayaran ini dapat dituntut oleh penghadap jika Notaris terbukti telah menimbulkan kerugian bagi para penghadap, baik melalui gugatan wanprestasi maupun gugatan perbuatan melawan hukum. Sebagai akibat lanjutan dari penerimaan titipan tersebut, Akta autentik yang tadinya memiliki kekuatan hukum yang sempurna, akan turun kekuatan pembuktiannya menjadi selayaknya kekuatan pembuktian di bawah tangan, walaupun akta tersebut dibuat secara autentik. Dengan demikian, akta tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum sebagaimana dimiliki oleh akta autentik.

Padahal, seharusnya ketika Notaris membuatkan seseorang sebuah akta, maka akta tersebut dikenal dengan istilah akta autentik. Berdasarkan Pasal 1870 KUHPer, Akta otentik merupakan satu-satunya alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, yang mana artinya bahwa akta autentik ini akan menjadi bukti yang sempurna tentang apa yang dilakukan atau dinyatakan dalam akta. Akta autentik mempunyai kekuatan bukti yang melekat pada akta itu sendiri, yang kemudian terhadap akta tersebut tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Kemudian, di sisi hakim akta autentik merupakan suatu “Bukti wajib” (Verplicht Bewijs). Oleh karena, jika terdapat seseorang yang menyatakan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu, maka ia lah yang harus membuktikan bahwa akta tersebut memang palsu adanya. 18 Sebegitu kuatnya kekuatan pembuktian autentik, namun karena adanya suatu penyalahgunaan kewenangan dari Notaris, akta tersebut tidak lagi menjadi akta yang berkekuatan hukum sempurna, melainkan menjadi akta di bawah tangan.

  • 3.2.    Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Penggelapan Dengan Pemberatan Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Sama

    • 3.2.1    Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Henny Hartati dan Habib Adjie, pertanggungjawaban pada dasarnya ditetapkan berdasarkan sifat dari pelanggaran itu sendiri dan juga akibat hukum yang ditimbulkan.19 Dalam menjalankan jabatannya, Notaris dapat dituntut untuk bertanggung jawab secara administratif, perdata dan pidana.20 Pertanggungjawaban pidana itu sendiri merupakan pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, yang mana pertanggungjawaban tersebut merupakan mekanisme yang dibentuk oleh hukum pidana sebagai reaksi atas kesepakatan untuk menolak suatu perbuatan tertentu (kejahatan dana tau pelanggaran).21 Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri tetap harus mempertanggungjawaban tindak pidana yang telah dilakukannya.

Menurut Abdul Ghofur Anshori, Notaris yang telah terbukti melakukan tindak pidana sudah seharusnya dihukum demi menegakka dan menciptakan keadilan hukum bagi seluruh masyarakat, hal ini tentu sesuai dengan salah satu asas hukum yang menyatakan bahwa hukum tidak boleh memihak dan siapapun diperlakukan sama di muka pengadilan (equity befor the law).22 Terlebih lagi,

Notaris merupakan pejabat umum sudah seharusnya menjadi teladan/contoh dalam ketaatan hukum bagi masyarakat, khususnya pengguna jasa dari Notaris.23 Salah satu tindak pidana yang sering kali dilakukan oleh beberapa Notaris adalah penggelapan. Penggelapan berasal dari kata gelap atau kelam yang berarti tidak terang, menggelapkan artinya menjadikan gelap atau dalam arti mencuri atau memakai barang yang dipercayakan kepadanya.24 Istilah penggelapan merupakan istilah dari Bahasa Belanda yang diterjemahkan dari kata “verduistering”. C.B. Van Haeringen mengartikan kata “verduistering” sebagai “geheel donker maken’ atau yang berarti “membuat segalanya menjadi gelap” atau “menghalangi memancarnya sinar”.25 Banyak unsur penggelapan yang mirip dengan unsur pada tindak pidana pencurian, namun terdapat perbedaan utama yakni dimana, objek dari tindak pidana penggelapan diperoleh pelaku penggelapan bukan dari suatu kejahatan. Berbeda dengan pencurian yang objeknya diperoleh dari tindak kejahatan.

Berdasarkan KUHP, penggelapan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yakni :

  • 1.    Penggelapan Biasa yang diatur dalam Pasal 372 KUHP;

  • 2.    Penggelapan Ringan yang diatur dalam Pasal 373 KUHP;

  • 3.    Penggelapan dengan Pemberatan yang diatur dalam Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP; dan

  • 4.    Penggelapan dalam Keluarga yang diatur dalam Pasal 376 KUHP.

Pasal 374 KUHP mengatur “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Faktor pemberat ini terletak pada titik hubungan kerjanya, jabatannya maupun karena penerimaan upah. Pada prakteknya, Notaris merupakan pihak yang dianggap netral dan dipercayai oleh kliennya, hal tersebut lah yang membuat klien tersebut datng untuk menggunakan jasa Notaris. Rasa kepercayaan tersebut terbentuk mengingat Notaris merupakan salah satu penegak hukum yang dianggap memiliki moral yang baik dan merepresentasikan kehadiran Negara yang adil menurut hukum. Dengan demikian, Notaris yang melakukan penggelapan seharusnya dituntut dengan Pasal 374 KUHP yang merupakan pengkhususan dari Pasal 372 KUHP yang mengatur terkait penggelapan biasa. Hal ini mengingat Notaris bukan lah orang biasa tetapi salah satu penegak hukum yang dipercaya oleh Notaris. Sehingga, ketika Notaris menerima uang titipan penghadap kemudian menggelapkan uang tersebut, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan pasal penggelapan biasa, melainkan penggelapan dengan pemberatan. Hal ini didasarkan rasa kepercayaan penghadap

terhadap Notaris yang seharusnya menjadi pihak yang netral dan percaya dengan jabatan profesi Notaris. Faktor-faktor pemberat yang dimaksud dalam Pasal 374 KUHP pada intinya didasarkan pada besar tidaknya rasa percaya yang diberikan kepada orang yang menerima benda dan kemudian menguasai benda yang digelapkan (Notaris).

Melihat pada pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 29/PID.B/2020/PN Pwk, Majelis Hakim justru menggunakan jabatan Notaris sebagai pertimbangan untuk meringankan tanggung jawab pemidanaan yang dituntut oleh JPU kepada Notaris. Menurut Majelis Hakim, Notaris masih memiliki tanggung jawab profesi, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan Hakim untuk menjatuhkan amar putusan yang sanksi pidananya lebih rendah. Hal ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 374 KUHP yang mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki jabatan kemudian menggunakan jabatan tersebut untuk menggelapkan suatu benda, seharusnya dituntut dengan penggelapan dengan pemberatan. Hal ini mengingat perbuatan Notaris yang demikian akan mengancam kredibilitas profesi dari seorang Notaris dan akan membuat masyarakat tidak lagi segan dan percaya pada profesi seorang Notaris.26

Dalam hal ini Majelis Hakim telah keliru dalam menjatuhkan amar putusan, yang mana seharusnya faktor jabatan Notaris menjadi faktor pemberat dalam penjatuhan putusan, malah menjadi faktor yang meringankan terdakwa. Menurut Penulis tidak sepatutnya alasan “masih terdapatnya tanggung jawab Notaris” dijadikan alasan untuk meringankan hukuman Notaris. Melainkan seharusnya adalah menjadi alasan pemberat, karena para penghadap yang menitipkan benda yang kemudian digelapkan oleh Notaris itu, diberikan karena kepercayaan penghadap kepada jabatan Notaris selaku pembuat akta.

  • 3.2.3 Pertanggungjawaban Notaris Secara Administratif

Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 29/PID.B/2020/PN Pwk yang menjatuhkan amar putusan bahwa Notaris telah terbukti melakukan penggelapan. Apabila mengacu pada UUJN, masih belum terdapat ketentuan-ketentuan terkait tanggung jawab Notaris jika Notaris melakukan suatu tindak pidana. Namun, terkait dengan penggelapan, maka Penulis mengacu pada Pasal 16 Ayat (1) huruf a UUJN yang mengatur bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris dilarang untuk bertindak tidak jujur. Notaris selaku penegak hukum merupakan salah seorang pembela kebenaran dan keadilan, sehingga ia sudah seharusnya menjalankan jabatan tersebut dengan itikad baik dan ikhlas, mengingat profesi Notaris merupakan profesi yang terhormat dan luhur (officium nobile). Nilai kejujuran tidak boleh hanya semata-mata sebagai formalitas saja, melainkan juga

harus berlandaskan rasa profesionalisme yang pada akhirnya akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.27

Dengan demikian Notaris yang melakukan tindak pidana penggelapan bukan hanya bersikap tidak jujur, tapi juga telah menyalahi nilai moral yang dianut dalam Pasal 1866 KUHPer. Kejujuran juga menjadi bagian yang diperhatikan dalam prosesi pengangkatan Notaris, hal ini dibuktikan dalam syair sumpah yang wajib diucapkan Notaris ketika prosesi penyumpahan, yang berbunyi :

“Saya bersumpah/berjanji :

Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak.

Bahwa saya menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

Kemudian, apabila mengacu pada Pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2015, disebutkan bahwa :

Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan profesi Notaris) wajib :

  • 1.    Mempunyai akhlak, moral, serta pribadi yang baik;

  • 2.    Menjunjung tinggi serta menghormati harkat dan martabat yang dimiliki oleh Jabatan Notaris;

  • 3.    Membela dan menjaga kehormatan perkumpulan Notaris;

  • 4.    Berlaku jujur, tidak memihak, sesuai amanah, mandiri, seksama, penuh rasa tanggung jawab, sesuai dengan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang dan juga isi sumpah ketika pengangkatan Jabatan Notaris

  • 5. …………”

Dengan demikian, jelaslah Notaris selaku pengemban profesi yang terhormat dan luhur, harus memiliki nilai moral yang baik dalam dirinya. Ketika Notaris melanggar kode etik Notaris, maka terdapat sanksi yang harus diembannya. Sanksi merupakan sarana pemerintah dalam bentuk paksaan berdasarkan hukum, dalam rangka bentuk penyadaran kepada Notaris yang telah secara nyata dan meyakinkan melanggar larangan-larangan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Selain itu, sejatinya pemberian sanksi kepada Notaris dilakukan adalah untuk menjaga harkat dan martabat dari perkumpulan Notaris yang merupakan suatu lembaga yang terhormat dan dipercayai oleh masyarakat.

Apabila melihat pada UUJN maupun Kode Etik Notaris, belum terdapat pengaturan terkait dengan tanggung jawab Notaris terhadap jabatannya jika ia melakukan penggelapan. UUJN hanya mengatur mengenai sanksi administratif yang dapat dikenakan jika Notaris melanggar ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf a

UUJN, yang mana jika Notaris berperilaku tidak jujur. Ketentuan tersebut dapat ditemukan di Pasal 85 UUJN, yang mengungkapkan:

Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 Ayat (1) huruf a,………………………., dapat dikenai sanksi berupa :

  • a.  Teguran lisan;

  • b.  Teguran tertulis;

  • c.    Pemberhentian sementara;

  • d.  Pemberhentian dengan hormat; atau

  • e.  Pemberhentian dengan tidak hormat

Menurut Penulis, Notaris yang melakukan penggelapan tidak dapat dipersamakan begitu saja sanksinya dengan sanksi apabila Notaris tidak jujur. Karena pada dasarnya, penggelapan tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan ketidakjujuran. Baik UUJN maupun Kode Etik Notaris belum mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan kepada Notaris jika Notaris terbukti telah melakukan tindak pidana penggelapan.

Apabila melihat pendapat dari Dr. Widodo Suryandono, S.H., M.H., bila seseorang Notaris melakukan pelanggaran yang sifatnya diluar tugas Notaris, misalnya seperti penggelapan, maka Majelis Pengawas Notaris akan merekomendasikan untuk dapat ditindaklanjuti oleh Penyidik. Sedangkan apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran yang sifatnya dalam pembuatan akta Notaris, misalnya tidak membacakan akta kepada para penghadap, maka penyidik tidak dapat langsung memeriksa Notaris, melainkan hanya memeriksa akta yang dibuat oleh Majelis Pengawas. Sehingga, timbul lah pertanyaan, bagaimana sanksi Notaris terkait dengan jabatan yang diembannya, bukan hanya secara pidana, tetapi juga secara perdata.

Sebagaimana diketahui, Notaris merupakan pejabat umum yang setiap wewenangnya diperoleh dari undang-undang (atribusi). Sehingga, seharusnya Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak melakukan apa yang tidak menjadi kewenangannya agar tidak terjadi masalah hukum.

Apabila merujuk pada sanksi yang diatur dalam Pasal 85 UUJN, kita dapat berfokus pada 2 (dua) sanksi, yakni pemberhentian sementara dan pemberhentian secara tidak hormat. Pasal 9 Ayat (1) UUJN mengatur bahwa pemberhentian sementara dapat diberikan kepada Notaris jika Notaris :

  • a.    Sedang dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang atau pailit;

  • b.    Ditetapkan berada di bawah pengampuan;

  • c.    Berbuat tercela;

  • d.    Melanggar kewajiban dan larangan-larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau

  • e.    Berada dalam penahanan.

Dengan demikian, Notaris yang melanggar kode etik notaris dan bahkan melakukan perbuatan yang tercela (penggelapan), dimungkinkan untuk dijatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 13 UUJN, Notaris dapat diberhentikan secara tidak hormat ketika Notaris dijatuhkan pidana penjara karena terbukti telah melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Sedangkan apabila dikaitkan dengan Pasal 374 KUHP, telah diatur bahwa pelaku penggelapan dengan pemberatan diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 13 UUJN jo. Pasal 374 KUHP, Notaris yang melakukan penggelapan dengan pemberatan dapat diberikan sanksi berupa peringatan tertulis sampai dengan pemberhentian secara tidak hormat, yang mana keputusan tersebut dapat dimohonkan oleh Majelis Pengawas Pusat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kewenangan ini diatur secara jelas berdasarkan Pasal 77 UUJN. Walaupun demikian, menurut Penulis perlu adanya suatu pembaharuan terhadap UUJN terkait dengan ketentuan ketentuan sanksi terhadap Notaris yang melakukan tindak pidana, hal ini agar tercapai suatu kepastian hukum dan rasa kemanfaatan bagi masyarakat.

  • 4. Kesimpulan

Notaris yang menerima uang titipan dari secara tidak langsung menjadi pihak dalam akta yang dibuatnya sendiri, karena timbul suatu perjanjian penitipan antara Notaris dengan para penghadap. Sebagai akibatnya, merujuk pada Pasal 52 Ayat (3) UUJN, telah diatur bila Notaris melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Ayat (1) tersebut, maka ia dapat digugat untuk mengganti kerugian. Kemudian, akta tersebut yang tadinya merupakan akta autentik yang pada awalnya berkekuatan pembuktian sempurna, terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi selayaknya akta di bawah tangan. Penggelapan yang dilakukan oleh Notaris tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai Penggelapan Biasa melainkan seharusnya dikategorikan sebagai penggelapan dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP. Hal ini karena penggelapan tersebut dapat terjadi karena faktor jabatan yang dimiliki oleh Notaris. Sehingga, Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Purwakarta Nomor 29/PID.B/2020/PN PWK telah keliru dalam menjadikan faktor “masih terdapat tanggung jawab Notaris” sebagai alasan peringan dalam penjatuhan putusan. UUJN dan Kode Etik Notaris belum mengatur secara konkrit terkait dengan sanksi yang dapat dibebankan kepada Notaris yang melakukan penggelapan. Jika merujuk pada Pasal 85 UUJN, terdapat sanksi berupa pemberhentian secara tidak hormat. Berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) UUJN jo. Pasal 374 KUHP, maka Notaris dapat dijatuhkan sanksi jabatan dari peringatan tertulis sampai dengan pemberhentian tidak hormat oleh Menteri. Walaupun demikian, UUJN diharapkan dapat disempurnakan dengan mengatur ketentuan-ketentuan terkait dengan sanksi bagi notaris yang melakukan tindak pidana. Hal ini akan menciptakan kesadaran bagi Notaris, sehingga dalma jabatannya Notaris akan lebih berhati-hati dan berpikir kembali ketika terdapat hal-hal yang dapat membuatnya melakukan hal-hal di luar kewenangannya.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Anshori, A. G, (2016). Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Kie, T. T. (2011). Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT Intermasa.

Soekanto, S. & Mamudji, S. (2011). Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Subekti, R. (2010). Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradaya Paramita.

Jurnal/Skripsi/Tesis

Afifah, Kunni. (2017). Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata terhadap Akta yang Dibuatnya. Jurnal Lex Renaissance. 1(2), 147-161.

Anjasmara, K. D. & Kawuryan, E.S. (2019). Pertanggungjawaban Notaris sebagai Penerima Titipan Sertipikat Hak atas Tanah Milik Klien. Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan. 7(2). doi: http://dx.doi.org/10.29303/ius.v7i2.628

Arif, J. (2014). Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Notaris terhadap Pelanggaran Hukum atas Akta. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. 5(2). 1-10.

Gilalo, J. J. (2015). Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Franchise Menurut Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Jurnal Hukum De’Rechhtsstaat. 1(2). 111-120.

Hartati, H. & Adjie, A. (2018). Penerapan Sanksi Pidana bagi Notaris Pelaku Penggelapan Pajak Jual Beli Tanah (Studi Kasus Putusan Nomor :

300/PID.B/2015/PN.DPS). Jurnak Al-Qanun. 21(1).

Kusumaningrum, A. W. (2017). Pertanggungjawaban Piidana Notaris/PPAT dalam Tindak Pidana Penggelapan Surat Berharga Milik Klien. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 1-136.

Leomuwafiq, G. (2019). Pertanggungjawaban Notaris PPAT dalam Melakukan Pelayanan Pembayaran Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jurnal Media Hukum dan Peradilan, 5(1). 101-117.

Natasurya, I. M. (2019). Jurnal Analisis terhadap Pertanggungjawaban Jabatan Notaris dalam Pembuatan Akta Autentik yang Berindikasi Tindak Pidana. Jurnal Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pasundan. 1-39.

Pajduani, M. A. (2019). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan

Notaris    Berdasarkan    Pasal    374    KUHP    (Putusan    Nomor

54/PID.B/2016/PN.MTR). Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mataram. 1-17.

Rifa’I, A. & Iftitah, A. (2018). Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hukum dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum : Supremasi. 8(2). 38-49.

Rosadi, A. G. (2020). Tanggung Jawab Notaris dalam Sengketa Para Pihak terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuatnya. Jurnal Cendikia Hukum. 5(2). 243-259. doi:10.3376/jch.v5i2.228

Safitri, T. O. (2019). Pemalsuan Alat Bukti atas Penitipan Uang Pajak oleh Notaris/PPAT dalam menjalankan Tugas Jabatan. Jurnal Hukum Kenotariatan : Acta Comitas. 109-118. 4(1). doi:10.24843/AC.2019.v04.i01.p10

Sari, D. N. (2017). Tindak Pidana Penggelapan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dilakukan oleh Notaris (Analisis Putusan

Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 300/PID.B/2015/PN.DPS). Jurnal Repertorium, 4 (2). 16-23.

Sinaga, N. A. (2019). Implementasi Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hukum Perjanjian. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(1). 1-20.

Tjukup, K, dkk. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti dalam Peristiwa Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan : Acta Comitas. 180-188.

Utami, P. S. (2019). Pertanggungjawaban Notaris/PPAT terhadap Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang BPHTB-nya Belum Dibayar. Jurnal Wawasan Yuridika. 3(2).235-250. doi:10.25072/jwy.v3i2.282

Wardana, R. (2020). Pertanggungjawaban Pidana Notaris yang Melakukan Penggelapan atas Titipan Uang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tesis Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin.

Wijaya, A. L. (2020) Penggelapan dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta No. 29/PID.B/2020/PN Pwk). Jurnal Notary. 2(4). 65.82.

Yannisa, F. A. (2020). Penggelapan Sertifikat Hak Guna Bangunan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 53/PID.B/2017/PN/BKT). Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. 1-87.

Yanti, R. (2013). Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Tindak Pidana Penggelapan Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 55/PID.B/2010/PN.PALU). Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. 5(1).

Kamus

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia Tahun 2015.

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 29/PID.B/PN PWK perihal penggelapan perkara PT Hellem Griya Indonesia melawan Notaris dan Yaya.

80