Analisis Peraturan Penggunaan QRIS Sebagai Kanal Pembayaran Pada Praktik UMKM Dalam Rangka Mendorong Perkembangan Ekonomi Digital
on
Vol. 06 No. 03 Desember 2021
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Analisis Peraturan Penggunaan QRIS Sebagai Kanal Pembayaran Pada Praktik UMKM Dalam Rangka Mendorong Perkembangan Ekonomi Digital
Gabriella Junita Tobing1, Lastuti Abubakar2, Tri Handayani3
-
1Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected]
-
3Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 25 Februari 2021 Diterima : 2 November 2021
Terbit : 1 Desember 2021
Keywords :
Digital Economy, MSMEs, QRIS
Kata kunci:
Ekonomi Digital, QRIS, UMKM
Corresponding Author:
Gabriella Junita Tobing,
E-mail:
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i03.p3
Abstract
The purpose of this study is to analyze the Regulation of the Use of QRIS as an innovation of Bank Indonesia in the payment system and to know its Policy Implementation in business development or MSME activities as an effort to accelerate the development of the digital economy. The research method used is normative juridical research method as well as legal history, with descriptive analytical specifications. Data collection from this study is assisted by the method of document study and interview which is then analyzed qualitatively. Based on the results of this study, it was obtained that the implementation of QRIS based on existing regulations through PADG has not been optimal and comprehensive, then further regulations are needed to regulate the problem of digital economic innovation that can reach QRIS users to even the smallest sectors, such as PBI. Thus, MSMEs can help play a role in creating inclusive finance so as to encourage the development of the digital economy in Indonesia.
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Peraturan dari Penggunaan QRIS sebagai inovasi Bank Indonesia dalam sistem pembayaran serta mengetahui Implementasi Kebijakannya dalam pengembangan bisnis atau kegiatan UMKM sebagai upaya percepatan perkembangan ekonomi digital. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif serta sejarah hukum, dengan spesifikasi deskriptif analitis. Pengumpulan data dari penelitian ini dibantu dengan metode studi dokumen serta wawancara yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa Pelaksanaan QRIS berdasarkan peraturan yang ada melalui PADG belum optimal dan komprehensif, maka dibutuhkan peraturan lebih lanjut untuk mengatur permasalahan inovasi ekonomi digital yang dapat menjangkau pengguna QRIS sampai ke sektor yang terkecil sekalipun, layaknya PBI. Dengan demikian UMKM dapat membantu berperan mendorong perkembangan ekonomi digital di Indonesia.
Masa Pandemi 2020 menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dalam pertumbuhan ekonomi digital. Seiring dengan berkembangnya Teknologi Finansial, telah banyak inovasi sistem pembayaran yang bermunculan. Dalam perkembangannya, inovasi tersebut menghadirkan suatu perkembangan ekonomi yang baru, berupa ekonomi digital. Ekonomi digital merupakan suatu perkembangan ekonomi yang canggih berupa sebuah kegiatan yang baru dihadirkan terkait hubungannya dengan komponen virtual bisnis makro serta kegiatan bertransaksi timbal balik dengan inisiatif penggunaan teknologi internet sebagai alat bantu tukar1.Dalam mendukung ekosistem usaha yang kondusif, Bank Indonesia saat ini mulai menata ekosistem ekonomi keuangan digital yang mana telah tertuang dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025. Blueprint tersebut menyatakan visi Sistem Pembayaran Indonesia yaitu; Pertama, Sistem Pembayaran hadir sebagai infrastruktur yang cepat, aman, dan murah, sesuai dengan kemajuan era digital. Kedua, uang dan juga barang mengalir tertata, terstandardisasi, dan terintegrasi end to end. Ketiga, Iklim Regulasi yang fasilitatif untuk perkembangan ekonomi dan keuangan digital2. Dalam perkembangannya kini sistem pembayaran yang muncul adalah server based dan chip based. Belakangan penggunaan jasa sistem pembayaran berdasarkan server based sedang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Wujud server based yang digunakan belakangan ini adalah QR-Code atau disebut juga Quick Response Code. Quick Response Code adalah kode matriks berbentuk gambaran 2 (dua) dimensi yang memiliki komponen atau susunan yang terdiri dari sisi pola persegi pada 3 (tiga) sisi (sisi kanan atas, kiri atas, dan kiri bawah), dan juga modul hitam berpola persegi, piksel, maupun titik yang mampu menyiimpan data berupa karakter, simbol, dan alfanumerik3. Penggunaan QR-Code yang pada saat ini cukup ramai digunakan untuk pembayaran dan mulai mendapatkan daya tarik yang cukup besar di Indonesia. Berbicara masalah pembayaran QR Payment, Bank Indonesia juga melakukan inovasi sistem pembayaran berbasis QR-Code yang dinamakan QRIS (Quick Response Code for Indonesia Standard). Pada dasarnya QRIS telah disahkan di Indonesia dari tahun 2019, tepat di tanggal 17 Agustus 2019. Sesuai dengan Visi SPI, tujuan terbentuknya QRIS ini sesuai dengan perwujudan inisiatif Bank Indonesia yang kedua, yaitu pengembangan infrastruktur dalam pembayaran ritel yang mana dilakukan secara real time, seamless, dan tersedia dalam 24/7 (setiap hari setiap waktu). Dalam pengembangan inisiatif kedua ini key deliverables yang dikembangkan selain QRIS dan lebih dahulu dari QRIS, antara lain berupa, BI- Fast, Interface Pembayaran terintegrasi, dan juga Gerbang Pembayaran Nasional (atau selanjutnya disebut GPN). Penetapan QRIS sejalan juga dengan tatanan GPN yang mana mengarah kepada penyelenggaraan sistem pembayaran yang efisien, aman, lancar, andal, mengutamakan perluasan akses dan perlindungan konsumen, serta mampu dalam memproses segala transaksi yang berhubungan dengan pembayaran digital.
Penggunaan QRIS di tahun 2020, sebagai inovasi baru dalam sistem pembayaran menjadi relevan pada masa kondisi Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Menurut Presiden Joko Widodo dalam sambutan virtual pada ajang Google for Indonesia 2020, menyatakan bahwa ekonomi digital sangat berpotensi dikembangkan dalam UMKM. Dari 64 (enam puluh empat juta) UMKM, baru 13 (tiga belas) persen saja yang terintegrasi ekonomi digital, apabila seluruhnya telah terintegrasi, maka pertumbuhannya ekonomi digital akan semakin besar dan berkembang4. Dalam masa pandemi COVID-19 ini, Bank Indonesia mendorong UMKM untuk menggunakan QRIS ini sebagai kanal pembayaran. Bank Indonesia sendiri tidak membatasi sektor dagang lainnya untuk penggunaan QRIS ini. Namun, karena UMKM adalah sektor dagang yang paling strategis5 di waktu yang bertepatan dengan pandemi ini, maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi secara non-tunai atau cashless dengan QRIS dengan pemenuhan kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh sektor UMKM. Pada peluncuran QRIS ini Bank Indonesia mengharapkan perkembangan QRIS pada para pedagang yang usahanya masih bertaraf UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Alasan Bank Indonesia mengembangkan QRIS pada pedagang UMKM disebabkan oleh banyaknya QR-Code yang harus disediakan pedagang dari berbagai Penyedia Jasa Sistem Pembayaran atau penerbit, selain itu juga Bank Indonesia mengupayakan untuk mempermudah transaksi tanpa uang kembalian di pedagang pasar tradisional yang mana memungkinkan untuk mengurangi penyebaran uang palsu, dan yang paling penting Bank Indonesia ingin mendorong pertumbuhan ekonomi digital pada semua sektor terutama perdagangan seperti UMKM. Maka dari alasanalasan tersebut Bank Indonesia sengaja untuk menerbitkan QRIS untuk mencegah adanya fragmentasi industri serta mengefisiensikan transaksi yang dilakukan di dalam pasar. Dalam mendukung penerapan QRIS, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (yang selanjutnya disebut PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code. Sesuai dengan Pertimbangan PADG Nomor 21/18/PADG/2019 ini dibuat, QRIS ini ada sebab digitalisasi layanan sistem pembayaran perlu dikembangkan untuk mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional, dengan tetap seimbang menjaga inovasi dan bisnis yang sehat demi kepentingan nasional. Khusus untuk instrumen non-tunai dan terlebih yang berbasis pada teknologi, instrumen ini perlu dijaga demi menjaga kepercayaan yang dimiliki masyarakat. Bank Indonesia sebagai regulator memiliki peran untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem Pembayaran yang akan digunakan masyarakat harus dapat menjamin pelaksanaan pemindahan uang secara efektif dan juga efisien serta aman sehingga tercipta kenyamanan dalam kegiatan bertransaksi ekonomi melalui instrumen digital6. Pada kenyataannya penggunaan QRIS sebagai inovasi pembayaran digital pada saat ini belum terlalu dimanfaatkan dalam kegiatan usaha di Indonesia terutama UMKM, padahal sektor usaha dapat membantu mendorong percepatan penggunaan ekonomi digital. Penelitian ini dilakukan dengan
meneliti kebijakan terkait pengaturan QRIS oleh Bank Indonesia dalam rangka mewujudkan Ekonomi Digital.
Berdasarkan uraian yang tertuang dalam latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, bagaimana analisis peraturan penggunaan QRIS sebagai salah satu Inovasi sistem pembayaran dalam rangka mewujudkan ekonomi digital?; kedua, bagaimana implementasi kebijakan penggunaan QRIS terhadap pengembangan bisnis atau kegiatan UMKM sebagai upaya percepatan perkembangan ekonomi digital? Penelitian ini bertujuan untuk: pertama, menganalisis peraturan dari penggunaan QRIS sebagai inovasi Bank Indonesia dalam sistem pembayaran dalam mewujudkan perkembangan ekonomi digital; kedua, mengkaji implementasi kebijakan QRIS terhadap pengembangan bisnis atau kegiatan UMKM sebgai upaya percepatan perkembangan ekonomi digital.
Penelitian yang membahas mengenai kebijakan inovasi sistem pembayaran elektronik sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sesuai dengan penelusuran yang dilakukan peneliti dari beberapa literatur yang tersedia secara daring, ditemukan 2 (dua) literatur yang pembahasannya erat dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: pertama, Nindy Anindya Putri (Universitas Negeri Semarang) dengan judul “Pelaksaan Penggunaan Quick Response Code untuk Sistem Pembayaran Berdasarkan PADG Nomor 21/ 18 /PADG/2019 Tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran di Kota Semarang,” pada tahun 2020 yang membahas mengenai ketidakefektifan penggunaan QRIS di kota Semarang akibat kendala internal, eksternal, dan juga pengawasan Bank Indonesia7 dan kedua, Aprilda Rosita Fujianty Pardede (Universitas Indonesia) dengan judul “Legalitas Pembayaran Menggunakan Uang Elektronik Asing WeChat Pay di Indonesia” pada tahun 2019 yang membahas tentang pengaturan uang elektronik di Indonesia ditinjau dari transaksi pembayaran Uang Elektronik WeChat Pay yang sesuai dengan aturan hukum di Indonesia8.
Dalam penelitian ini diuraikan mengenai analisis PADG Nomor 21/ 18 /PADG/2019 Tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code sebagai peraturan penggunaan QRIS dalam memdorong pertumbuhan ekonomi digital dan kedua, menguraikan implementasi dari kebijakan QRIS yang dilaksanakan pada kegiatan usaha. Berdasarkan isu hukum dalam penelitian ini dan telah dilakukan perbandingan dengan melakukan penelitian terdahulu, sehingga penelitian mempunyai perbedaan dengan dua penelitian sebelumnya. Hal yang membedakan dari penelitian terdahulu yang dibahas Nindy Anindya Putri, menyimpulkan bahwa dibutuhkan pengawasan QRIS yang dilakukan dengan random sampling agar melihat Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (yang selanjutnya disebut PJSP) mana yang belum mengganti atau menggunakan QRIS untuk transaksi pembayaran. Kemudian pihak PJSP akan dihubungi dan dilakukan teguran secara lisan; kemudian penelitian Aprilda Rosita
Fujianty Pardede Transaksi pembayaran menggunakan uang elektronik asing WeChat Pay di Indonesia merupakan transaksi yang tidak sah (illegal), karena belum memenuhi persyaratan yang diatur dalam PBI Uang Elektronik dan PADG QRIS, yang mana memerlukan tindakan tegas dari Bank Indonesia menghentikan kegiatan WeChat Pay, guna mewujudkan kepastian hukum dan penyelenggaraan uang elektronik yang aman, efisien, lancar dan andal.
Dalam Penelitian ini, Metode Penelitian berperan penting dalam mendapatkan data-data yang akurat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif atau dapat disebut juga penelitian hukum doktriner. Pada penelitian Yuridis Normatif digunakan bahan data sekunder berupa bahan hukum primer. Pada Penelitian ini data yang diperoleh berasal dari studi kepustakaan (library research) atau yang berasal dari dominasi bahan primer9 mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek pustaka ini. Sehingga bahan hukum dari penelitian ini terdiri atas peraturan perundangan berupa; Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Kemudian bahan data sekunder berupa artikel dan jurnal, dan bahan data lainnya berupa wawancara dengan pihak terkait yang berhubungan dengan kebutuhan penelitian ini. Spesifikasi analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini menggambarkan situasi yang diteliti berupa analisis objek penelitian dengan menggambarkan situasi permasalahan yang terjadi, berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, dan dikaitkan oleh teori hukum yang terkumpul melalui data dari studi kepustakaan, yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan menghasilkan beberapa kesimpulan10 sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Analisis Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.21/18/PADG/2019 Tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code Untuk Pembayaran
-
Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang mengikat semua lembaga berwenang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
-
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
-
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
-
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
-
4. Peraturan Pemerintah;
-
5. Peraturan Presiden;
-
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
-
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain Peraturan Perundang-undangan yang telah disebutkan, Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen memiliki kewenangan untuk menghadirkan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan,
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Bank Indonesia sebagai lembaga negara dan badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dalam batas kewenangannya. Pembentukan peraturan di Bank Indonesia harus dilakukan sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik. Pembentukan peraturan di Bank Indonesia perlu didukung dengan prosedur dan metode yang baku sebagai pedoman. Dalam hal ini Bank Indonesia mengeluarkan PBI Nomor 18/42/PBI/2016 tentang Pembentukan Peraturan di Bank Indonesia (PBI Pembentukan Peraturan di Bank Indonesia).
Menurut PBI Pembentukan Peraturan Bank Indonesia, terdapat perbedaan makna dan fungsi dari peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia, yaitu berupa: Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh BI dan mengikat setiap orang atau badan serta telah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.; Peraturan Dewan Gubernur (PDG) merupakan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur yang memuat aturan internal Bank Indonesia; Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) merupakan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan PBI dan mengikat setiap orang atau badan; Peraturan Anggota Dewan Gubernur Intern (PADG Intern) merupakan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur yang memuat aturan Internal dari Bank Indonesia dan PADG Intern ini merupakan peraturan pelaksana dari PBI maupun PDG.
Untuk mengatur permasalahan tentang QRIS, Bank Indonesia mengeluarkan PADG Implementasi QRIS sebagai peraturan pelaksana PBI Uang Elektronik, PBI GPN, dan PBI PPTP. Sesuai dengan Pasal 7 PBI tentang Pembentukan Peraturan Bank Indonesia, muatan PADG berisi,
“Pasal 7
-
(1) Materi muatan PADG berisi:
-
a. materi yang didelegasikan oleh PBI;
-
b. materi yang bersifat teknis untuk melaksanakan PBI; dan/atau
-
c. materi penjelasan lebih lanjut dari ketentuan PBI.
-
(2) Materi muatan PADG tidak boleh bertentangan dengan materi muatan PBI dan
PDG.”
Sesuai dengan PBI Pembentukan Peraturan Bank Indonesia, PADG merupakan peraturan pelaksana PBI, yang mana sebelumnya PADG Implementasi QRIS tidak memiliki PBI yang mengatur mengenai QRIS, sebagai contoh, PADG GPN hadir sebagai peraturan pelaksana PBI GPN. Dalam histori peraturan Bank Indonesia pada awalnya PADG merupakan Surat Edaran Eksternal Bank Indonesia yang mengikat secara public, dalam pengertian PADG mengikat setiap orang atau badan adalah keberlakuan PADG ini mengikat kepada bank, pihak penyelenggara atau PJSP yang menggunakan QRIS, juga pengguna QRIS yaitu masyarakat atau user, dan tentunya merchant yang mengaplikasikan QRIS dalam kegiatan usahanya. Mengenai implementasi kebijakan QRIS yang tertuang dalam PADG Implementasi QRIS dibuat sebagai ketentuan hukum penggunaan QRIS yang telah hadir di Indonesia sebagai standar pembayaran yang menggunakan Kode-QR di Indonesia. Peraturan ini telah ditetapkan Bank Indonesia, berguna untuk memfasilitasi segala transaksi pembayaran yang berbasis kode-QR di Indonesia. Munculnya QRIS dan berbagai sistem teknologi pembayaran yang ada merupakan bentuk fasilitas ekonomi yang hadir secara inklusif dan memberikan banyak peluang di era ekonomi sebelumnya, yang tidak mampu menjawab permasalahan yang ada11. Standarisasi QR-Payment ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas dengan maksud untuk memastikan bahwa teknologi yang digunakan oleh setiap perbankan atau pelaku usaha lainnya aman dan tidak akan mengganggu sistem keuangan, PADG Implementasi QRIS tersebut dipercaya dan diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan perekonomian dalam negeri yang belum stabil. Kehadiran QRIS dan berbagai sistem teknologi pembayaran yang ada merupakan bentuk fasilitas ekonomi yang hadir dengan topografi yang landai, inklusif, dan memberikan banyak peluang di era ekonomi sebelumnya, yakni era masyarakat pertanian, era mesin pasca revolusi industri, era perburuan minyak, dan era kapitalisme korporasi multinasional, yang tidak mampu menjawab permasalahan yang ada12.
Kehadiran PADG Implementasi QRIS di Indonesia berawal dari permasalahan kehadiran Alipay dan Wechat yang masuk ke Indonesia. Munculnya Alipay dan WeChat sebagai alat pembayaran kode-QR secara ilegal di Indonesia mengharuskan Alipay dan WeChat tunduk pada PBI Uang Elektronik yang berlaku pada saat itu yang menyatakan bahwa Transaksi Pembayaran menggunakan sumber dana yang ditatausahakan dan/atau instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bekerjasama dengan Bank BUKU IV, yang telah mendapatkan persetujuan oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini materi PBI Uang Elektronik hanya memuat pernyataan kerjasama dan jenis uang elektronik saja, namun dalam permasalahan teknis dan mekanisme uang elektronik berbasis server layaknya pembayaran kode-QR tidak termuat didalamnya. Bank Indonesia merespon permasalahan Alipay dan Wechat dengan menghadirkan inovasi pembayaran QRIS dan juga mengeluarkan peraturan yang memuat mekanisme penggunaan alat pembayaran berbasis kode-QR yang dituang dalam PADG Implementasi QRIS. Dalam penggunaan QRIS pada Bank Umum, ternyata kehadiran PADG Implementasi QRIS ini juga belum efektif dan belum banyak dikenali secara mendalam.
Hal ini sesuai dengan pernyataan wawancara dengan ibu Maria dan Bapak Irvan, bahwa Bank Indonesia pada dasarnya telah melakukan sosialisasi yang mekanismenya melalui surat Deputi Gubernur yang perihalnya mewajibkan penggunaan QRIS pada pembayaran berbasis kode-QR disertakan lampiran mekanisme Bank berupa FAQ khusus. Dalam hal ini terlihat bahwa Bank Indonesia mensosialisasikan QRIS kepada Bank Umum tidak melalui PADG Implementasi QRIS. Dari kedua wawancara yang dilakukan pihak Bank Mandiri dan Bank BNI menyatakan bahwa mereka mengetahui adanya QRIS lewat surat pemberitahuan tersebut saja dan tidak mengetahui lebih lanjut adanya PADG yang mengatur dan mewajibkan penggunaan QRIS ini. Sesuai fakta yang terjadi di lapangan masih banyak yang belum mengenali QRIS apalagi kebijakan seperti PADG yang menanungi QRIS. Kegunaan PADG Implementasi QRIS sebenarnya memuat hal yang memenuhi keperluan pelaksanaan penggunaan uang elektronik berbasis server ini, namun hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Gabriel, Sebagai Merchant Acquirer Trainee, mengatakan bahwa peraturan tersebut masih dinilai sebagai peraturan yang belum mewajibkan untuk setiap merchant yang berfasilitas kode-QR untuk menggunakan QRIS. Hal ini sangatlah tidak tepat, melihat kegunaan PADG sendiri merupakan peraturan yang telah mengikat seluruh lembaga yang melaksanakan ketentuan dari isi kebijakan tersebut. Kehadiran PADG bukan sebagai peraturan yang hanya bersifat voluntary rule (peraturan bersifat sukarela) saja, melainkan telah ditegaskan bahwa PADG merupakan peraturan pelaksana yang mengikat setiap lembaga untuk mematuhi kebijakan yang ada di dalamnya. Dapat disimpulkan dari hasil wawancara, PADG telah hadir namun tidak dilihat sebagai peraturan yang mengikat. Dari hal ini terlihat bahwa PADG menjadi kurang efisien sebagai peraturan pelaksana PBI, terlebih dari hasil wawancara Bank Umum yang mengacu pada Surat Pemberitahuan Deputi Gubernur dan masih jarang mengenali PADG Implementasi QRIS. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Implementasi QRIS yang merupakan peraturan pelaksana dari 3 (tiga) PBI, hal ini juga yang membuat kehadiran PADG tidak efektif. Salah satu contoh, termuat di dalam Pasal 24 PADG Implementasi QRIS, “Tata cara pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: GPN(NPG); penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; dan uang elektronik. ”
Dari pasal 24 diatas terlihat keberlakuan dari PADG Implementasi QRIS ini tidaklah efektif apabila muatannya peraturan yang didalamnya saja tidak lengkap dan harus mengacu peraturan lain untuk melihat kelengkapan isinya. Kemudian dalam fenomena pembayaran Alipay dan WeChat yang wajib tunduk pada ketentuan menurut pasal 39 ayat (1) PBI Uang Elektronik yang menyatakan setiap uang elektronik yang diterbitkan di luar wilayah NKRI dapat digunakan di Indonesia melalui kanal pembayaran yang terhubung dengan GPN, serta ayat (2) menegaskan apabila uang elektronik asing ingin dapat dipergunakan di Indonesia, maka wajib untuk melakukan kerjasama dengan PJSP berijin Bank yang berkategori Bank BUKU (Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha) IV (empat) yang terhubung dengan GPN. Yang mana hal ini juga telah termuat saat regulasi PADG Implementasi QRIS dikeluarkan dalam pasal 18 dan 19. Fungsi kerjasama dengan Bank BUKU IV (empat) ini terkait dengan penarikan atau setoran dana floating uang elektronik sebesar 30% (tiga puluh persen) sesuai pasal 48 ayat (2) huruf a PBI Uang Elektronik, yang berasal dari portofolio uang elektronik. Hal ini menerangkan adanya aturan yang sama pada PADG Implementasi QRIS yang telah ada dalam PBI Uang Elektronik. Tugas PADG Implementasi QRIS yang pada awalnya
sebagai pelengkap dari PBI menjadi tidak komprehensif karena aturan dari PADG tersebut mengacu kepada PBI Uang Elektronik. Dalam hal ini PBI Uang Elektronik yang menjelaskan kelanjutan aturan yang ditetapkan dalam PADG Implementasi QRIS. Maka akan lebih baik apabila dilakukan pembaharuan dari PBI yang mengatur transaksi dan permasalahan elektronik yang dapat mencakup inovasi sistem pembayaran layaknya QRIS. Dengan adanya 3 (tiga) pengaturan yang menyebar ditambah dengan peraturan mekanisme PADG membuat peraturan mengenai QRIS ini menggemuk. Instrumen hukum yang efisien dan efektif tidak harus menjadikan suatu peraturan menjadi banyak dan menggemuk.
Inovasi QRIS yang bertujuan untuk mewujudkan ekonomi digital masih lemah dan belum kuat dalam segi kebijakannya. Kehadiran PADG sebagai peraturan pelaksana ternyata memiliki muatan materi yang tidak berhubungan dengan fungsinya sebagai peraturan pelengkap PBI. Dalam hal ini PADG masih dinilai lemah sebagai peraturan eksternal yang mengikat untuk meregulasi inovasi sistem pembayaran. Secara regulasi memang PADG tidak disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun telah diamanatkan bahwa dalam pasal 8 ayat (1) Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa keberlakuan peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia diakui dan lebih lanjut PADG diamanatkan dalam PBI peraturan Bank Indonesia sebagai aturan yang mengikat secara eksternal. Dalam hal ini seharusnya setiap PADG yang hadir memiliki kekuatan yang tinggi sebagai kebijakan, namun dalam hal ini PADG QRIS belum memiliki kekuatan yang cukup untuk meregulasi inovasi sistem pembayaran, apalagi sebagai pelengkap pelaksana PBI Uang Elektronik dan PBI lainnya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kedudukan PADG dalam tataran praktik perbankan maupun bisnis e-commerce, dengan demikian pengaturan QRIS akan lebih efektif bekerja apabila diatur dalam suatu tatanan aturan yang lebih tinggi, yaitu berupa PBI. Dalam hal ini keoptimalan kebijakan penggunaan QRIS dibutuhkan, dengan cara perampingan peraturan yang ada di Bank Indonesia dalam mengurusi permasalahan yang mengikat secara eksternal agar tercipta satu peraturan sekuat PBI yang didalamnya telah termuat materi yang dapat menjangkau inovasi sistem pembayaran yang telah ada dan inovasi di kemudian hari. Aturan PADG yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia juga fungsinya sebagai aturan mekanisme sebagai pelengkap PBI, maka untuk kedepannya diharapkan adanya pembaharuan PBI yang memuat materi transaksi elektronik yang termuat di PBI GPN, PBI Uang Elektronik, dan PBI PPTP, serta didalamnya juga memuat aturan pelaksana dan mekanismenya.
Jadi pembaharuan PBI tersebut mengatur aturan yang lengkap dan memadai untuk inovasi transaksi elektronik layaknya QRIS, sehingga hadir 1 (satu) aturan PBI yang lebih padat dan juga efektif. Keberlakuan antara PBI Uang Elektronik, PBI GPN, dan PBI PPTP, memiliki hubungan satu dan yang lainnya dan lebih efektif apablia digabungkan, agar tidak terjadi peraturan pelaksana seperti PADG Implementasi QRIS, jadi peraturan tersebut lebih efisien dan tidak menggemuk. Jadi apabila terjadi pembaharuan yang menggabungkan peraturan PBI Uang Elektronik, PBI GPN, dan PBI PPT, dan menjadikan PADG Implementasi QRIS diperbaharui menjadi tingkatan PBI, maka akan menjadi satu aturan PBI baru yang telah menaungi QRIS yang efektif karena telah memuat segala kebijakan didalamnya dan tidak menyebar lagi aturannya. Kekuatan kebijakan hukum dan regulasi menjadi hal yang penting dalam permasalahan ini. Dengan adanya kebijakan yang baik dan memadai, pelaku UMKM di Indonesia dapat
merasakan aman dan nyamannya menggunakan teknologi QRIS dengan peraturan yang efisien namun kokoh yang dapat membantu mereka dalam bertransaksi.
-
3.2 Implementasi Kebijakan Penggunaan QRIS Terhadap Praktik UMKM Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Digital
Bank Indonesia senantiasa berupaya menciptakan QRIS sebagai salah satu sistem pembayaran ritel yang cepat, mudah, murah, aman, dan handal. Sejalan juga dengan tatanan GPN yang mana mengarah kepada penyelenggaraan sistem pembayaran yang efisien, aman, lancar, andal dan juga dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Intormasi danTransaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut UUITE), yang menyatakan Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. Penggunaan QRIS secara umum pada hakikatnya sebagai inovasi pembayaran baru memiliki manfaat bagi masyarakat, yaitu:
-
1. mempercepat sistem pembayaran menjadi praktis, efektif, dan efisien;
-
2. Lebih banyak alternatif pembayaran;
-
3. Mencegah penipuan uang palsu;
-
4. Praktis dipantau dan dianalisis, riwayat transaksi mudah dibaca secara real-time, dan pengaturan keuangan menjadi lebih mudah;
-
5. Alternatif pembayaran beragam.
Transaksi digital yang akan diterapkan dalam sektor UMKM diharapkan akan menghasilkan data yang kedepannya menghadirkan suatu solusi bisnis yang baru bagi UMKM yang akan mendorong tingkat partisipasi ekonomi pelaku unbanked people yang lebih tinggi serta akseptasi pada layanan fintech dan e-commerce yang terbilang kuat. Kehadiran transaksi elektronik kemungkinan dapat menciptakan persaingan yang sehat antara pelaku usaha, terutama basis UMKM13. Program transformasi digital oleh Bank Indonesia yang dihadirkan dalam bentuk QRIS di era industri 4.0 ini, akan diarahkan secara inklusif14 dengan mengikutsertakan pelaku ekonomi kecil dalam arus besar digitalsiasi. Bank Indonesia sedang berusaha mensosialisasikan QRIS demi tujuan untuk mempercepaat keuangan digital di Indonesia melalui sektor UMKM.
Karena QRIS memiliki manfaat yang baik untuk sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia mewajibkan untuk setiap pembayaran berbasis kode-QR untuk tunduk kepada QRIS. Dalam pasal 6 PADG Implementasi QRIS, penggunaan QRIS wajib digunakan untuk setiap transaksi yang telah difasilitasi dengan Kode-QR pembayaran. Pasal ini mengartikan bahwa setiap pelaku usaha atau pelaku bisnis yang sebelumnya telah menggunakan sistem pembayaran server berbasis kode-QR atau yang akan menggunakan kode-QR pada kegiatan usahanya yang diterbitkan oleh PJSP, maka
kode-QR yang mereka gunakan harus di daftarkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan standar QRIS melalui penerbit kode-QR masing-masing. Apabila ketentuan dalam PADG Implementasi QRIS dilanggar, maka sanksi akan diberlakukan. Bank Indonesia memberlakukan sanksi untuk QRIS di dalam Pasal 24 PADG Implementasi QRIS. Dalam pasal 24 ini berisi mengenai pengenaan sanksi yang melanggar ketentuan penggunaan QRIS ini disesuaikan dengan sanksi yang terdapat pada PBI GPN, PBI PPTP, dan PBI Uang Elektronik. Menurut Pasal 42 PBI GPN juncto Pasal 35 PBI PPTP junctis Pasal 74 ayat (1) PBI Uang Elektronik, Sanksi yang akan dikenakan kepada PJSP yang melanggar ketentuan terhadap segala kewajiban yang telah dimaksud pada PADG Implementasi QRIS akan mendapatkan sanksi administratif berupa:
-
a. teguran;
-
b. denda;
-
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
-
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara dan/atau Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya.
Dalam hal ini permasalahan pembayaran Wechat dan Alipay yang masih dalam proses perizinan ini, kedepannya akan hadir dengan logo QRIS, yang menandakan bahwa Alipay dan Wechat sebagai Operator asing telah mendapatkan izin Bank Indonesia serta legal digunakan di Indonesia. Apabila belum beralih pada QRIS, Fenomena tersebut juga dapat melanggar Pasal 6 PADG Implementasi QRIS yang mewajibkan seluruh kode-QR yang dilakukan untuk transaksi pembayaran telah terintegrasi oleh QRIS dan dapat dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia. Pihak PT ADHI dan pihak Bank Mandiri sebagai partner Merchant Acquirer Alipay saja masih menunggu untuk mendapatkan mendapat persetujuan penggunaan kode-QR QRIS. Alipay memiliki masalah yang sama yaitu belum terpenuhinya persyaratan untuk beroperasi di Indonesia. Izin dan pengawasan dari Bank Indonesia merupakan hal yang penting dalam penerbitan uang elektronik.
Berdasarkan regulasi memang terdapat amanat dalam pasal 6 untuk setiap pengguna yang telah menerapkan sistem pembayaran berbasis kode-QR untuk menerapkan QRIS, namun demikian Implementasinya tidak optimal karena masing-masing user terutama UMKM memiliki kendala masing-masing pada kegiatan bisnisnya. Ketidakoptimalan ini terutama berasal dari kurangnya pemanfaatan dari teknologi.
-
3.2.1 . Literasi Keuangan pada Penggunaan QRIS
Sesuai dengan pasal 15 UUITE penyelenggaraan sistem elektronik harus diselenggarakan secara efisien, lancar, aman dan andal, maka hal yang sama seperti dilakukan Bank Indonesia dalam menjaga keamanan sistem pembayaran dalam fenomena Alipay dan Wechat yang terjadi. Keandalan dari sistem QRIS sampai saat ini masih terus diupayakan dan di edukasi oleh Bank Indonesia kepada UMKM.
Kinerja UMKM dengan pihak PJSP dalam menggunakan QRIS dapat meningkatkan keuangan inklusif serta memajukan perekonomian di Indonesia. Dengan adanya QRIS ini diharapkan dapat mempermudah perkembangan UMKM yang pesat dalam melakukan transaksi yang cepat dan mudah bagi para pelanggan maupun
pedagangnya15. Selain itu hal yang paling menguntungkan bagi pelaku UMKM dalam kondisi pandemi COVID-19 saat ini adalah, QRIS telah membantu para pelaku usaha untuk tidak bersentuhan langsung dengan uang tunai saat bertransaksi, dalam rangka mencegah penyebaran virus. Dengan segala kebijakan yang memadai dan mendorong adanya inovasi sitem pembayaran, dan tidak memiliki kendala teknis yang berarti dalam hal ini QRIS sangat membantu dan mendorong pertumbuhan penggunaan ekonomi digital. Namun di dalam penggunaan yang baru, apalagi penerapannya ke lebih dari 60 (enam puluh) juta UMKM, pasti memiliki hambatan dan tantangan yang menghambat pergerakan penggunaan ekonomi digital. Sebagai solusi dari permasalahan sekarang ini Bank Indonesia harus melakukan edukasi kepada UMKM yang belum menggunakan QRIS akibat kekhawatiran risiko teknologi yang tidak dipahami16. Tujuannya agar pelaku UMKM tidak ragu dan tidak takut lagi untuk menggunakan inovasi teknologi pembayaran QRIS. Kehadiran QRIS ini juga sangat memudahkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam memantau peredaran uang.
Kekurangan dan Kendala Penggunaan QRIS Pada Kegiatan Usaha dinyatakan juga oleh Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi DKI Jakarta Hamid Ponco Wibowo, bahwa sejatinya kehadiran QRIS sangat memudahkan baik bagi merchant ataupun bagi konsumen. Kendala yang masih dihadapi adalah pemahaman QRIS oleh masyarakat. Karena segmennya luas tentu Bank Indonesia dan lembaga terkait lainnya harus lebih dalam lagi memberikan edukasi. Kemudian, Tingkat literasi keuangan digital masyarakat Indonesia di daerah terpencil dan kota-kota kecil yang masih rendah. Upaya edukasi penggunaan teknologi ini dimaksudkan agar masyarakat dan para pedagang UMKM dapat memanfaatkan teknologi QRIS dengan bebas dan dengan sebaik-baiknya, hingga memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, yang mana Bank Indonesia ingin UMKM dan sektor dagang lainnya memanfaatkan teknologi QRIS ini dengan mudah karena tidak terfokus hanya pada penggunaan teknologi tertentunya saja namun bebas sehingga di masa mendatang penggunaan teknologinya dapat mengikuti perkembangan. Dengan adanya QRIS ini, memberikan manfaat bagi pelaku UMKM dalam mendukung kegiatan berbisnis dalam kelancaran pencatatan arus kas secara real time. Hasil dari kegiatan penjualan UMKM pun akan langsung diterima oleh pelaku UMKM dan langsung masuk ke dalam rekening masing-masing. Transaksi digital yang akan diterapkan dalam sektor UMKM diharapkan akan menghasilkan data yang kedepannya menghadirkan suatu solusi bisnis yang baru bagi UMKM yang akan mendorong tingkat partisipasi ekonomi pelaku unbanked people yang lebih tinggi serta akseptasi pada layanan fintech dan e-commerce yang terbilang kuat.
Program transformasi digital oleh Bank Indonesia yang dihadirkan dalam bentuk QRIS di era industri 4.0 ini, akan diarahkan secara inklusif dengan mengikutsertakan pelaku ekonomi kecil dalam arus besar digitalsiasi. Bank Indonesia sedang berusaha
mensosialisasikan QRIS demi tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi digital yang tentunya inklusif di Indonesia melalui sektor UMKM. Sesuai dengan wawancara dengan Gabriel Radewa Purba Tanjung, Fakta yang terjadi di lapangan masih banyak yang belum mengenali QRIS, yang mana penggunaan QRIS belum viral bagi masyarakat untuk dipergunakan, juga peran aksesibilitas faktor teknologi, dan ketidaktahuan pemakaian teknologi oleh pelaku usaha, terutama UMKM yang menjadi alasan terhambatnya masyarakat mengenali QRIS untuk mengalami kemajuan bertransaksi dengan ekonomi digital. Kendala yang masih dihadapi adalah pemahaman QRIS oleh masyarakat. Karena segmennya luas tentu Bank Indonesia dan lembaga terkait lainnya harus lebih dalam lagi memberikan edukasi. Kemudian, Tingkat literasi keuangan digital masyarakat Indonesia di daerah terpencil dan kota-kota kecil yang masih rendah. Penggunaan QRIS yang masih masif terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Daerah lainnya belum menggunakan QRIS secara signifikan dan bahkan belum mengenal sistem pembayaran berbasis server dan juga jaringan internet yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Bahkan di pulau Jawa pun masih ada yang belum terjangkau jaringan internet. Kemudian kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan QRIS berupa kepemilikan ponsel pintar yang belum merata untuk seluruh masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia atas penggunaan QRIS dinilai masih kurang. Masih banyak calon operator QRIS yang akan mendaftarkan penggunaan QRIS, namun tidak mengerti dan mengetahui wujud dan penggunaan QRIS, maka seringkali ditemukan pelayanan atau kasir di kegiatan usaha yang tidak mengerti penggunaan QRIS ini.
Sepertiga UMKM di Indonesia (36%) masih offline, sepertiga lainnya (37%) hanya memiliki kemampuan online yang sangat mendasar seperti komputer atau akses broadband. Hanya sebagian kecil (18%) yang memiliki kemampuan online menengah (menggunakan web atau media sosial) dan kurang dari sepersepuluh (9%) adalah bisnis online lanjutan dengan kemampuan e-commerce17. Contohnya, peneliti temui pada pelayan kasir pada Rumah Makan Delapan Padi, Bandung. Ketika peneliti hendak melakukan pembayaran dengan pemindaian kode-QR, pelayan kasir mengatakan kode-QR hanya dapat digunakan degan aplikasi mobile Bank BCA saja, karena penerbitnya BCA. Padahal kode-QR tersebut telah menggunakan logo QRIS. Ketika Peneliti melakukan pembayaran dengan aplikasi GoPay, pelayan kasir tersebut terkejut mengetahui akan hal itu, yang mana pelayan tersebut tidak mengenal mekanisme penggunaan QRIS ini. Fenomena ini harus menjadi suatu perhatian khusus lembaga sektor jasa keuangan dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi dengan cepat demi mendorong pertumbuhan penggunaan ekonomi digital. Hal penggunaan QRIS ini masih banyak ditemui Pulau Jawa dan belum banyak dikenali di daerah lainnya diluar Pulau Jawa yang membutuhkan Bank Indonesia dan pihak PJSP bergerak lebih cepat dan masif lagi dalam mengawasi sitem pembayaran secara inklusif. Fenomena yang ditemukan peneliti dalam kasus Penggunaan QRIS di Delapan Padi merupakan fenomena yang tidak jarang ditemui, karena kurangnya edukasi yang dilakukan Bank Indonesia tentang integrasi sistem pembayaran berbasis server serta edukasi dari PJSP untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital dengan QRIS.
Transaksi digital yang akan diterapkan dalam sektor UMKM diharapkan akan menghasilkan data yang kedepannya menghadirkan suatu solusi bisnis yang baru bagi UMKM yang akan mendorong tingkat partisipasi ekonomi pelaku unbanked people yang lebih tinggi serta akseptasi pada layanan fintech dan e-commerce yang terbilang kuat. Program transformasi digital oleh Bank Indonesia yang dihadirkan dalam bentuk QRIS di era industri 4.0 ini, akan diarahkan secara inklusif dengan mengikutsertakan pelaku ekonomi kecil dalam arus besar digitalsiasi. Bank Indonesia sedang berusaha mensosialisasikan QRIS demi tujuan untuk mencapai inklusi keuangan digital di Indonesia melalui sektor UMKM. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh I Made Sanjaya dan Nursechafia Inklusi keuangan dari sejak tahun 2000 merupakan sistem yang dapat membantu pembangunan dan pertumbuhan negara, terutama dari segi ekonomi terlebih seharusnya dapat membantu dalam pengentasan kemiskinan. Sampai saat ini secara pengamatan, Indonesia masih tergolong di dalam inklusi tahap medium. Yang artinya inklusi keuangan di Indonesia masih belum seluruhnya merata karena inklusi ini dipengaruhi oleh aksesibilitas yang minim, serta kurangnya ketersediaan perangkat. Hal ini yang menyebabkan kelompok masyarakat yang di pelosok daerah, masyarakat kecil, tidak mendapatkan kesempatan dan akses optimal terutama dalam menggunakan jasa keuangan formal18.
Menurut Direktur PT Jasa Nugraha Ekakurir (JNE), Mohammad Feriadi, yang merupakan pemilik program pelatihan UMKM daerah, menjelaskan beberapa alasan lain yang menyebabkan UMKM sulit berkembang, yaitu UMKM tidak memiliki pasar yang luas, kemudian usia usaha UMKM yang baru membuat dana yang tersedia tidak terlalu besar, terlebih lagi penguasaan teknologi para pelaku UMKM pun masih terbatas. Dari 60 (enam puluh) juta UMKM, hanya sekitar 5% (lima persen) saja yang dapat mengoperasikan teknologi19, oleh karena itu dibutuhkan lebih banyak edukasi literasi keuangan kepada pelaku UMKM dalam menguasai teknologi digital. Karena telah banyak juga PJSP yang berminat untuk bermitra dengan UMKM dalam melakukan digitalisasi sistem pembayaran melalui QR-Code, namun terhambat karena pelaku usaha UMKM belum menguasai teknologi dan takut untuk memulai menggunakannya.
-
3.2.2 Penetapan MDR QRIS
Dalam mentargetkan penggunaan QRIS kepada UMKM, tentunya sebagai inovasi pembayaran yang baru, QRIS harus mendukung kemampuan UMKM dalam menggunakannya. Permasalahan mengenai Merchant Discount Rate yang belum dimuat dalam peraturan Bank Indonesia atau PADG manapun menjadi permasalahan UMKM untuk menghindari pemakaian QRIS. Sesuai Wawancara yang dilakukan dengan Ibu Maria, Customer Service Officer Bank Mandiri Priotitas Kelapa Gading, pihak mandiri sendiri mengetahui adanya keberlakuan dari Merchant Discount Rate QRIS juga berasal dari Surat Deputi Gubernur Bank Indonesia, perihal Penyesuaian Tarif Merchant
Discount Rate (MDR) Untuk Pelaku Usaha Mikro, beserta lampiran tabel tarif MDR untuk harga yang disesuaikan pada pelaku usaha. Dari awal Januari 2020, memang keberlakuan MDR QRIS ini menjadi permasalahan karena seringkali berubah, dan pada akhirnya pada pertengahan 2020 saat masa pandemi dan juga dirasa tahap adaptasi transaksi QRIS, Bank Indonesia menerapkan tarif MDR QRIS sampai akhir September 2020 sebagai berikut:
Tabel Skema dan Biaya Pemrosesan Transaksi QRIS Per 1 April 2020
JENIS MERCHANT |
KATEGORI |
% MDR |
Reguler |
Usaha Mikro |
0% |
Usaha Besar, Menengah, dan Kecil |
0,7% | |
Khusus |
Pendidikan |
0,6% |
SPBU |
0,4% | |
Government to People, Bantuan Sosial, People to Government, pajak, donasi sosial nirlaba |
0% |
Sumber: Lampiran Dokumen Bank Mandiri Untuk Penyesuaian MDR Pelaku Usaha Mikro
Pada awalnya Bank Indonesia menerapkan MDR 0,7% (nol koma tujuh persen) bagi pelaku usaha tanpa terkecuali seperti UMKM, namun sesuai dengan pertimbangan dan adanya kemerosotan ekonomi akibat pandemi, maka Bank Indonesia menerapkan tarif regular mikro sesuai dengan skema tabel 4.1. Setelah berakhir pada September 2020, menurut Ibu Maria keberlakuan MDR QRIS masih dipertanyakan karena belum mendapatkan pemberitahuan atau Surat dari Bank Indonesia lebih lanjut mengenai keberlakuan MDR tersebut. Melalui berita dan media diketahui bahwa keberlakuan MDR masih terus berlaku sampai batas waktu yang ditentukan, dan terakhir diketahui hingga Desember 2021, Bank Indonesa akan menerapkan tarif MDR bagi usaha mikro. Ketentuan biaya MDR pada pelaku usaha yang hendak menggunakan QRIS ini menjadi satu kendala yang dihadapi UMKM. Selain mahal, biayanya tidak dicantumkan dalam peraturan mana pun, yang mana membuat beberapa PJSP tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Peneliti menemukan keberlakuan MDR yang difasilitasi oleh InteractiveQRIS tidak seluruhnya tertib pada aturan tarif yang dipublikasi oleh Bank Indonesia. Untuk tarif Interactive QRIS sendiri menetapkan secara rata biaya 0,7% (nol koma tujuh persen) untuk pelaku usaha regular yaitu UMKM. Pelaku usaha Mikro yang mengetahui tarif yang diberlakukan oleh InteractiveQRIS membuat pelaku usaha tidak jadi untuk menggunakan QRIS, dan merasa kebrlakuan QRIS pada usaha mereka malah membutuhkan modal pendapatan yang dipotong banyak. Fenomena ini harus menjadi perhatian Bank Indonesia untuk menetapkan besaran MDR yang pasti agar tidak ada lagi PJSP yang bertindak untuk menerapkan tarif reguler sesuka hati. Setiap tahunnya jumlah pedagang UMKM meningkat pesat, namun UMKM juga tidak dapat bergerak optimal apabila keuangannya tidak bersahabat dengan para pelaku UMKM. Bank Indonesia telah menegaskan sepanjang pandemi ini pemberlakuan MDR bagi Usaha Mikro sebesar
0%(nol persen) sampai Desember 2021, hal ini merupakan standar yang diterapkan Bank Indonesia dan semua PJSP, Merchant Acquirer dan segala pihak yang berhubungan dengan QRIS wajib mematuhi ketentuan tersebut. Fenomena yang diberlakukan oleh InteractiveQRIS ini harus dikaji lebih dalam mengenai maksud pemberlakuan MDR kepada pelaku usaha Mikro. Karena hal seperti ini termasuk melanggar ketentuan Pasal 9 PADG Implementasi QRIS yang menyatakan penetapan skema biaya transaksi QRIS ditentukan oleh Bank Indonesia serta mempertimbangkan rekomendasi lembaga standar. Skema pembiayaan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah MDR. Dalam hal ini butuh gencarnya laporan serta pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia terutama fenomena yang menghambat UMKM untuk menggunakan ekonomi digital. Lebih komprehensif apabila penetapan MDR tersebut tercantum dalam suatu aturan berupa PBI yang mencakup permasalahan mengenai transaksi pembayaran digital, sehingga tidak ada lagi pihak yang sesuka hati menentukan penetapan tarif MDR karena ada kebijakan yang mengaturnya.
Dari fakta lapangan yang disebutkan, dapat tergambarkan bahwa QRIS sebagai inovasi pembayaran digital belum mampu menjadi jawaban dari kendala pelaku usaha terutama UMKM di Indonesia. Sesuai dengan Pasal 6 PADG implementasi QRIS memang diamanatkan untuk menggunakan QRIS dalam kegiatan pembayaran, namun demikian untuk implementasinya tidaklah optimal. Kekuatan mengikat peraturannya yang berupa PADG belum kuat sebagai aturan inovasi sistem pembayaran. Kehadiran PADG sebagai kebijakan inovasi pembayaran belum dapat menjangkau sampai sektor terkecil seperti UMKM. Padahal tujuan dikembangkannya QRIS pada praktik UMKM untuk mengembangkan ekonomi digital sebagai sistem pembayaran yang fleksibel untuk semua kalangan pengguna QRIS. Kegiatan UMKM merupakan salah satu praktik yang sangat strategis untuk mendorong masyarakat menggunakan ekonomi digital, namun hal ini belum dapat terlaksana dengan baik karena masih dibutuhkannya pemanfaatan dan pemahaman teknologi, kemudian dibutuhkan juga regulasi yang dapat menjangkau permasalahan sektor terkecil UMKM, yang mana PADG yang ada harus diperlengkapi bahkan diperbaharui. Tidak sebagai peraturan mekanisme saja, namun berisi kebutuhan sebagai contohnya dari segi ketetapan biaya atau fixed rate yang diperlukan pelaku usaha maupun pengguna lainnya agar lebih banyak lagi pengguna QRIS yang tidak takut menggunakan kecanggihan digitalisasi pembayaran yang mudah juga murah dan akhirnya dapat mewujudkan percepatan ekonomi digital di Indonesia.
4. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan didapatkan kesimpulan antara lain: pertama, Pelaksanaan QRIS yang hanya berlandaskan pada suatu aturan PADG (Implementasi QRIS) tidaklah membuat pemanfaatan QRIS menjadi optimal sebagai salah satu inovasi dalam sistem pembayaran. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kedudukan PADG dalam tataran praktik perbankan maupun bisnis ecommerce, dengan demikian pengaturan QRIS akan lebih efektif bekerja apabila diatur dalam suatu tatanan aturan yang lebih tinggi, yaitu berupa PBI; kedua, Implementasi penggunaan QRIS tidak optimal karena kekuatan mengikat peraturannya yang berupa PADG belum kuat sebagai aturan inovasi sistem pembayaran. Kehadiran PADG sebagai kebijakan inovasi pembayaran belum dapat menjangkau sampai sektor terkecil seperti UMKM, sehingga dalam sektor UMKM masih banyak yang belum mengenali QRIS sebagai inovasi sistem pembayaran,
yang mana hal ini dapat menghambat perkembangan ekonomi digital.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Bank Indonesia. (2012). Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian. Jakarta: Bank Indonesia.
Soekanto, S. (2008). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Suparni, N. (2011). Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi Pengaturannya. Jakarta: Fortun Mandiri Karya.
Carunia, M.F. (2018). Industri Kreatif, Fintech, dan UMKM dalam Era Digital. Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Jurnal
Aini, Q., Raharja, U., & Fatillah, A. (2018). Application of QRCode as Media Services for Attendance on the Website Based PHP Natively. Native Jurnal Ilmiah SISFOTENIKA, 8(1),47-56. doi: 10.30700/jst.v8i1.151.
Andriani, D. & Wiksuana, I. G. B. (2018). Inklusi Keuangan Dalam Hubungannya Dengan Pertumbuhan UMKM dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Di Provinsi Bali. E-Jurnal Manajemen Unud, 7 (12), 6420 – 6444.
doi:10.24843/EJMUNUD.2018.v07.i12.p02.
Manurung, E. A. P. & Lestari, E. A. P. (2020). Kajian Perlindungan E-Payment Berbasis Qr-Code dalam E-Commerce. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains dan Humaniora, 4(1), 28-36. doi: 10.23887/jppsh.v4i1.24323.
Pardede, A. R. F. (2019). Legalitas Menggunakan Uang Elektronik Asing WeChat Pay di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 3(3), 209-222. doi:
Sanjaya, I. M. & Nursechafia. (2016). Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inkusif: Analisis Antar Provinsi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 18(3), 231-356. doi: 10.21098/bemp.v18i3.551.
Setiawan, I. M. & Nursechafia. (2016). QRIS Di Mata UMKM: Eksplorasi Persepsi Dan Intensi UMKM Menggunakan QRIS. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, 9(10), 921-936. doi: 10.24843/EEB.2020.v09.i10.p01.
Sihaloho, J. E., Ramadani, A., & Rahmayanti, S. (2020). Implementasi Sistem
Pembayaran QRIS Bagi Perkembangan UMKM di Medan. Jurnal Manajemen Bisnis, 17(2), 287-297. doi: 10.38043/jmb.v17i2.2384.
Wirabrata, A. (2016). Prospek Ekonomi Digital Bagi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi. Info Singkat Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 8 (17), 13-16.
Makalah/Laporan
Bank Indonesia. (2021). Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Jakarta: Bank Indonesia.
Skripsi/ Tesis/ Disertasi
Putri, N. A., (2020). Pelaksanaan Penggunaan Quick Response Code untuk Sistem
Pembayaran Berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/ 18
/PADG/2019 Tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran di Kota Semarang. [Skripsi Sarjana Hukum, Universitas Negeri Semarang].
Website
Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2020). Presiden: Pandemi Momentum Percepatan Ekonomi Digital. Retrieved from https://setkab.go.id/presiden-pandemi-momentum-percepatan-ekonomi-digital/, diakses 22 Januari 2021.
Jaffry Prabu Prakoso. (2019). Mengapa UMKM Daerah Sulit Berkembang. Retrieved from https://ekonomi.bisnis.com/read/20180525/12/799651/mengapa-umkm-daerah-sulit- berkembang/, diakses tanggal 14 Januari 2021.
Otoritas Jasa Keuangan. (2020). Literasi Keuangan. Retrieved from https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/literasi-keuangan.aspx, diakses tanggal 10 April 2021.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Intormasi danTransaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962).
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/42/PBI/ 2016 tentang Pembentukan Peraturan di Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 245 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5954).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6081).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6203).
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/ 18 /PADG/2019 Tentang
Implementasi Standar Nasional Quick Response Code Untuk Pembayaran.
509
Discussion and feedback