Vol. 4 No. 2 Agustus 2019

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Konstruksi Hukum Tentang Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan Penyandang Disabilitas

Ketut Yulia Wirasningrum1

1Kejaksaan Negeri Badung, Bali, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 18 Juni 2019

Diterima: 10 Juli 2019

Terbit: 21 Juli 2019

Keywords:

Obligations; Regional Government of Bali; Rights; and Employing Persons with Disabilities


Kata kunci:

Kewajiban; Perusahaan Daerah Bali; Hak; dan Mempekerjakan Penyandang Disabilitas

Corresponding Author:

Ketut Yulia Wirasningrum, E-mail:

[email protected]

DOI:

10.24843/AC.2019.v04.02.p.02


Abstract

Indonesia as a legal state must guarantee the human rights of all citizens, including persons with disabilities. Protection of the rights of persons with disabilities is regulated in international legal instruments as well as several national legal instruments. At the regional level, the Bali Provincial Government issued Bali Local Regulation Number 8 of 2015 concerning Protection and Fulfillment of the Rights of Persons with Disabilities. Regarding the rights to the employment of persons with disabilities in the Bali Regional Regulation there is a concept discrepancy with the provisions in the Disabled Persons Act regarding the percentage of disability employment in Regional Companies. Problems found include how the concept of the problem and the ideal legal regulatory solutions regarding the obligations of Bali Regional Companies to employ persons with disabilities. The purpose of this study is for the disability workforce to be absorbed maximally in the Regional and private companies. To obtain answers to these problems, normative research methods are used with conceptual approaches and regulatory approaches. Conclusions in this discussion that in Bali Regional Regulation Number 8 of 2015 concerning the protection and fulfillment of the rights of persons with disabilities there are still problems with corporate concepts that combine the concepts of Regional Companies and private companies. ideally in the future classification of company concept arrangements will be carried out so that the obligations of Regional and private companies in employing disability workers fulfill material values and formal legislation.

Abstrak

Negara Indonesia sebagai negara hukum wajib menjamin hak asasi seluruh warga negara termasuk penyandang disabilitas. Perlindungan hak asasi penyandang disabilitas diatur dalam instrumen hukum Internasional serta beberapa instrument hukum nasional. Di tingkat daerah, Pemerintah Provinsi Bali menerbitkan Perda Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Perihal hak atas pekerjaan penyandang disabilitas dalam Perda Bali terdapat ketidaksesuaian konsep dengan ketentuan dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas perihal persentase penerimaan tenaga kerja disabilitas pada Perusahaan Daerah. Masalah yang ditemukan antara lain bagaimana problem konsep serta solusi pengaturan hukum yang ideal perihal kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan penyandang disabilitas. Tujuan dari penelitian ini agar tenaga kerja disabilitas dapat terserap dengan maksimal pada Perusahaan Daerah maupun swasta. Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan tersebut

digunakan metode penelitian normative dengan pendekatan konsep dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Simpulan dalam pembahasan ini bahwa dalam Perda Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas masih terdapat masalah konsep perusahaan yang menggabungkan konsep Perusahaan Daerah dan perusahaan swasta. idealnya ke depan dilakukan klasifikasi pengaturan konsep perusahaan sehingga kewajiban Perusahaan Daerah dan swasta dalam mempekerjakan tenaga kerja disabilitas memenuhi nilai material dan formal peraturan perundang-undangan.

  • I.    Pendahuluan

Negara Indonesia sebagai negara yang berpijak pada memang semestinya memberi perhatian kepada jaminan hak asasi manusia warga negaranya. Pengertian warga negara Indonesia melewati batas dikotomi sosial berdasarkan suku, agama, strata sosial, strata pendidikan, maupun kondisi fisik seseorang. Berpijak pada lingkup hak asasi tersebut maka jaminan hak asasi manusia dalam berbagai bidang tidak dapat dikecualikan terhadap warga negara penyandang disabilitas. Untuk memahami kapasitas hak asasi manusia terhadap penyandang disabilitas tentu diperlukan sebuah pandangan mengenai konsep “penyandang disabilitas” itu senidiri. Secara etimologi, disabilitas berasal dari kata “disability/ disabilities”, diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan beberapa fungsi contohnya fungsi untuk berinteraksi. Dipahami bahwa keterbatasan yang dimiliki masing-masing penyandang disabilitas berbeda-beda.

Tentunya hak asasi manusia satu dengan yang lain diupayakan untuk tidak saling berbenturan, oleh karenanya diperlukan peran negara sebagai pihak yang berperan menjamin pengayoman serta mencegah terbenturnya hak setiap warga negara. Dimilikinya hak asasi manusia oleh penyandang disabilitas, menimbulkan implikasi berupa kewajiban negara untuk untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka menjamin hak asasi penyandang disabilitas. Dalam artian bahwa pelaku usaha baik pemerintah maupun swasta harus diatur penyelenggaraannya dalam mempekerjakan tenaga kerja disabilitas sehingga tercipta keadilan.

Ragam hak asasi manusia beraneka ragam sebagaimana diatur dalam konstitusi salah satunya hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 (2) UUD NRI 1945. Terkait hak atas pekerjaan, maka pemerintah sebagai perpanjangan tangan negara wajib berperan aktif dalam mewujudkan akses yang luas bagi penyandang disabilitas agar memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal ini menjadi sangat penting sebagai perwujudan paradigma kesamaan/kesejajaran dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang disabilitas atau bukan.

Salah satu derivasi amanah konstitusi tersebut ialah produk hukum berupa Undang-Undang yang mengatur tentang Penyandang Cacat (selanjutnya disebut Undang-Undang 4 Tahun 1997) beserta peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya. Pada perkembangannya, terdapat instrumen Internasional yaitu

konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With Disabilities) (selanjutnya disebut CRPD) yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Instrumen hukum internasional tersebut menjadi pijakan negara Indonesia untuk produk hukum baru dengan penghormatan hak asasi manusia ditunjukan dengan perubahan konsep penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas. Meskipun produk hukum yang baru tersebut mengandung banyak kelemahan, namun kehadirannya cukup berjasa untuk memulai sebuah proses legitimasi dalam melindungi penyandang disabilitas di Indonesia. Pada masa itulah, bermunculan berbagai sistem kelembagaan Penyandang Disabiliitas.1

Era otonomi daerah menggiring keadaan menuju pemberian kewenangan pada daerah dalam mengatur rumahtangganya sendiri guna mewujudkan orientasi Negara Indonesia yaitu Kesejahteraan dan Keadilan Sosial. Mengacu pada Undang-undang Pemerintah Daerah, urusan penyandang Disabilitas diserahkan kepada masing-masing daerah untuk mengatur serta melaksanakan sesuai dengan kondisi khusus setiap daerah. Wujud respon Pemerintah Daerah Provinsi Bali perihal keberadaan Undang-Undang Penyandang Cacat dengan mengesahkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015). Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu dari Zulfah Latuconsina yang memfokuskan penelitian tentang tenaga kerja disabilitas di Jawa tengah bahwa bentuk afirmatif kebijakan pemerintah dalam fasilitasi kerja bagi penyandang disabilitas di Provinsi Jawa Tengah diwujudkan melalui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Tengah Tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas,pemberian pelatihan keterampilan serta bantuan sosial. 2 Berikutnya menurut Zulkarnain Ridlwan bahwa Perlindungan penyandang disabilitas ditingkat daerah sangatlah penting dituangkan dalam peraturan daerah agar dapat memberi kepastian hukum.3 Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu tersebut yang mencermati perihal tenga kerja disabilitas, terdapat pemikiran yang sejalan bahwa peraturan daerah harus diupayakan dengan efektif untuk menjamin kepastian hukum kepada penyandang disabilitas, sehingga hak penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia yaitu hak untuk memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi.

Kembali melihat mengenai pembentukan Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 mengacu pada Undang-Undang Penyandang Cacat, maka terdapat beberapa hal dalam substansi pengaturan Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 dengan Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang belum menyesuaikan dengan perkembangan. Kewajiban perusahaan negara (Perusahaan Daerah Bali) dalam mempekerjakan penyandang disabilitas diatur

dalam Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 27 (1), yang intinya mengatur bahwa perusahaan wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaan untuk setiap 100(seratus) orang pekerja”. Berikutnya yang menjadi problem konsep ialah pengaturan tentang “perusahaan” yang diartikan sebagai setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik Daerah”. (cetak tebal penulis)

Sepintas terlihat berbeda dengan ketentuan Pengaturan Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang mewajibkan pemerintah, BUMN maupun BUMD mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sedangkan Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) saja. Bertolak dari pemaparan sebelumnya, terdapat beberapa permasalahan yang ingin dikaji lebih lanjut antara lain (1) bagaimana konsep Perusahaan Daerah Bali dalam Pengaturan Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan Penyandang Disabilitas, serta (2) Bagaimana konstruksi hukum Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan Penyandang Disabilitas. Secara umum tujuan ddilakukannya penelitian ini ialah diberdayakannya secara maksimal tenaga kerja disabilitas pada perusahaan di Bali.

  • 2.    Metode Penelitian

Kajian ini dibuat menggunakan metode penulisan normatif sehingga pendekatan yang dipergunakan antara lain: statute approach, conceptual approach, serta analytical approach. Bahan hukum yang dipergunakan berbentuk kualitatif shingga analisa dilakukan dengan teknik deskriptif analisis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Problem Konsep dalam Pengaturan Hukum Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Mempekerjakan Penyandang Disabilitas

Jaminan perlindungan HAM kaum difabel termasuk hak atas pekerjaan sudah selayaknya diusahakan oleh pemerintah baik dalam tataran legislasi maupun praktis. Pengaturan hak penyandang disabilitas terkait dengan hak atas pekerjaan termuat dalam Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 27 (1) dan (2). Mengacu rumusan pasal tersebut dapat diamati bahwa obyek pengaturan dari Pasal 27 ialah “perusahaan”. Secara gramatikal, konsep perusahaan dimaksud dalam Pasal 27 (1) dan (2) dapat dilihat pada Pasal 1 angka 19. Definisi perusahaan dapat dijumpai pula pada Undang-Undang No. 3/1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Berbagai karakter yang akan dicari untuk mendefinisikan konsep bermaksud menggambarkan suatu entitas yang disebut “perusahaan”. Merujuk kembali pada rumusan pasal dalam Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015, salah satu karakteristik Perusahaan berdasarkan kepemilikan dapat berupa perusahaan swasta maupun perusahaan milik daerah. Karakteristik obyek yaitu perusahaan swasta dan Perusahaan Daerah dalam perda a quo dipersamakan satu dengan yang lain, sehingga terjadi proses generalisasi dua jenis perusahaan yaitu perusahaan milik daerah serta perusahaan swasta menjadi satu konsep yaitu konsep

“perusahaan”. Patut menjadi perhatian bahwa perusahaan milik daerah serta perusahaan swasta diatur dalam pengaturan yang berbeda. Dalam artian bahwa karakteristik dari masing-masing obyek tersebut adalah berbeda.

Secara teoritis, perusahaan swasta mengambil bidang usaha hanya terhadap bidang usaha yang tidak dianggap mempengaruhi kehidupan banyak orang serta tidak diatur oleh Undang-Undang untuk dikuasai oleh negara. Perusahaan swasta hanya mengambil bidang usaha di luar cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.4 Perusahaan swasta dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk tergantung pada pembentukan serta permodalannya. Perusahaan Daerah didirikan dengan tujuan mengelola cabang produksi atau potensi ekonomi daerah yang bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak/ kepentingan umum. Adapun bentuk Perusahaan Daerah menyerupai perusahaan negara yaitu berbentuk perusahaan umum dan perusahaan persero, sehingga Perusahaan Daerah dapa dikatakan memiliki modal dari kekayaan daerah namun telah dipisahkan menjadi modal perusahaan. Melihat permodalan Perusahaan Daerah dari kekayaan daerah yang dipisahkan, maka tujuan Perusahaan Daerah bukan hanya semata-mata mencari keuntungan, namun pula pada memberikan pelayanan serta manfaat kepada msyarakat. Hal sejalan dengan tujuan dari penyelenggaraan pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat pada daerahnya masing-masing. Perusahaan Daerah yang berbentuk Perumda berorientasi pada kepentingan umum lalu keuntungan, sedangkan Perusahaan Daerah yang berbentu Perseroda berorientasi pada keuntungan.5Sejalan dengan pendapat Mandala Harefa bahwa pembentukan dan pengelolaan BUMD/Perusda hendaknya harus dilihat dari kepentingan dalam tujuannya yang benar-benar memiliki kepentingan bagi masyarakat umum agar penyertaan modal yang diberikan pemda tidak hanya untuk mencari keuntungan.6 Hal ini semakin memperkuat bahwa pada hakikatnya perusahaan daerah yang modalnya berasal dari penyertaan pemerintah daerah tidak hanya bertujuan untuk memperoleh keuantungan semata, namun prioroitas tujuan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sintesa logis dari deretan penanda khusus Perusahaan Daerah tersebut, dipahami bahwa keberadaan Perusahaan Daerah memiliki keterkaitan yang erat dengan tujuan pembangunan perekonomian daerah maupun nasional sebagai sebuah upaya pemberian kemakmuran kepada msyarakat.

Sebagai usaha untuk mengenali masing- masing obyek penelusuran (Perusahaan Daerah, perusahaan swasta serta perusahaan), perbandingan karakteristik masing-masing obyek dimaksud disajikan pada tabel berikut:

Tabel.1 Perbandingan karakteristik masing-masing jenis perusahaan

Indikator

Perusahaan Swasta

Perusahaan Daerah

Dasar hukum

KUHPer, KUHD, UU No. 40/2007 atau UU No. 25/1992

UU No. 19/2003 ,UU No. 40/2007 dan UU No. 5/ 1962

Bidang usaha

Selain bidang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak

Bidang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak

Sumber permodalan

Saham

Kekayaan negara yang dipisahkan

Bentuk perusahaan

Persekutuan perorangan Persekutuan perdata, Fa, CV, PT atau Koperasi

Perum atau perusahaan persero

Maksud dan tujuan

Memperoleh keuntungan

Pelayanan masyarakat, memberikan manfaat masyarakat serta keuntungan

Sumber: hasil analisa penulis

Tabel di atas menyajikan komparasi karakter perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) dan (2) Perda Bali No. 9 tahun 2015. Perusahaan swasta dan Perusahaan Daerah memiliki perbedaan karakteristik aksiologis serta karakteristik ontologis. Karakteristik aksiologi Perusahaan Daerah dan swasta ditunjukan dengan indikator maksud dan tujuan. Sedangkan dasar hukum, bidang usaha, sumber permodalan serta bentuk perusahaan menunjukan karakteriktik ontologis masing- masing obyek. Perusahaan swasta dan daerah pada derajat tertentu memiliki kesamaan yaitu sebagai bentuk usaha yang menjalankan kegiatan secara berkesinambungan untuk tujuan tertentu. Penggunaan konsep perusahaan untuk menggambarkan karakter obyek “Perusahaan Daerah” serta ”perusahaan swasta” mengarah pada sifat posteriori (penilaian yang bersifat menyamaratakan yang mungkin memiliki kekhususan sifat).7

Karakter membentuk identitas pada suatu entitas. Melalui penelusuran karakter sebuah obyek dapat diketahui kekhususannya atau kekhasannya. Identitas yang diperoleh dari penelusuran terhadap karakter/ kekhususan sebuah obyek kemudian digambarkan dengan kalimat akan membentuk sebuah definisi. Definisi yang tepat akan menghasilkan konsep yang mampu menggambarkan kondisi nyata dari sebuah obyek. Perumusan konsep perusahaan dalam Perda Bali No. 9 tahun 2015 meniadakan karakter Perusahaan Daerah maupun perusahaan swasta. Hal mana keberadaan kedua obyek tersebut memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Perusahaan swasta beroperasi dengan tujuan keuntungan semata. Berbeda dengan Perusahaan Daerah bertujuan memberikan pelayanan serta manfaat kepada masyarakat, disamping tujuan berikutnya berupa keuntungan ekonomi. Perusahaan Daerah dikelola oleh Pemerintah Daerah.

  • 3.2.    Konstruksi Pengaturan Kewajiban Perusahaan Daerah Bali Untuk Mempekerjakan Penyandang Disabilitas

Mengacu pada karakteristik perusahaan diungkapkan sebelumnya, Perusahaan Daerah merupakan bentukan dari daerahnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan Asas desentralisasi sebagai spirit penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 331 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah diatur bahwa pendirian Perusahaan Daerah/BUMD berorientasi pada beberapa tujuan, antara lain: mengembangkan ekonomi daerah, memenuhi kebutuhan barang dan/atau jasa masyarakat, dan mencari keuntungan, yang mana pendirian dan penyelenggaraannya diatur dalam produk hukum Peraturan Daerah. Lebih rinci dapat diperhatikan bahwa modal Perusahaan Daerah berasal dari bentuk kekayaan pemerintah daerah yang telah dipisahkan untuk dikelola dengan manajemen bisnis dalam BUMD. Modal daerah sebagaimana dimaksud dapat dipisahkan ketika pertama kali pendirian ataupun setelah Perusahaan Daerah berjalan/diselenggarakan. Adapun kekayaan daerah dimaksud dapat berupa materiil barang ataupun sejumlah nominal (uang). Ketika kembali dicermati bahwa hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak patut diperoleh oleh setiap warga negara Indonesia dalam konteks konstitusi. Terlebih terhadap penyandang disabilitas sebagai kaum “ter-marginalkan”. Termarginalkan dalam pengertian bahwa tanpa perlindungan hukum khusus dari pemerintah, pihak ini sangat rentan memperoleh ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan. Keberadaan Perusahaan Daerah/BUMD seharusnya merupakan sebuah upaya serupa dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah.

Mendasarkan pemikiran pada segala pertimbangan tersebut maka penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian khusus dari Institusi pemerintah karena mereka memiliki kebutuhan yang berbeda. 8Memperhatikan Pengaturan dalam Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015, maka seharusnya pemerintah mengambil kewajiban yang lebih besar minimal setara dengan perusahaan swasta yang faktanya memiliki karakteristik sifat yang berbeda (mencari keuntungan). Sebagai wujud sinkronisasi pengaturan dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas, maka sudah seharusnya diatur bahwa Perusahaan Daerah memiliki kewajiban yang berbeda (lebih besar) daripada perusahaan swasta untuk mempekerjakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas yang dipekerjakan tentunya memenuhi persyaratan kualifikasi pekerjaan pada perusahaan dimaksud. Sejalan dengan itu, maka teknis pemberdayaan penyandang dibalitas dalam sebuah Perusahaan Daerah harus diatur lebih rinci dalam aturan turunan di tingkat daerah guna menciptakan kepastian hukum tentang mekanisme perekrutan serta bidang-bidang pekerjaan tertentu yang bisa dipriorotaskan untuk memberdayakan penyandang disabilitas menurut jenis disabilitasnya. Berikut pula fasilitas-fasilitas umum yang harus disesuaikan konstruksi dan bentuknya untuk mempermudah akses bagi penyendang disabilitas jenis tertentu.

Guna dapat mewujudkan pengaturan yang efektif sesuai dengan fakta tentang kondisi penyandang disabilitas serta kondisi perusahaan di daerah (Bali), maka diperlukan sebuah perubahan dengan berorientasi pada pengklasifikasian karakter dari masing-masingperusahaan (BUMD dan swasta). Jelas kemudian diperoleh sebuah keharusan

untuk membentuk sebuah peraturan yang membedakan kewajiban perushaan negara dan perusahaan swasta dalam mempekerjakan tenaga kerja disabilitas. Pembaharuan hukum bukan hanya pada tataran normatiof tapi juga berupa kebijakan affirmative action, meliputi: 1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); 2) mengubah agar jauh lebih baik; 3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada. Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan bidang aksesibilitas pendidikan dan pekerjaan bagi disabilitas 9 Sebagaimana sebuah system, maka hukum secara dokmatik tetap harus terpadu dengan langkah-langkah strategis dalam wujud faktual. Disamping langkah penyempurnaan secara normatif diperlukan pula langkah fisik berupa aksestabilitas. Sejalan dengan hasil penelitian Novita Listyaningrum dan Anthoni Gerhan bahwa bangunan yang dimaksud memenuhi standar aksestabilitas adalah bangunan memberikan keselamatan, kemudahan, kegunaan dan kemandirian bagi pengguna, sehingga tidak hanya bagi non disabilitas, tapi juga bagi penyandang disabilitas.10 Dapat dimengerti bahwa pada penyandang disabilitas perlu dimudahkan untuk beraktifitas pada bangunan gedung maupun berbagai bentuk bangunan fisik. Berbicara dalam konteks ini tentunya pemerintah daerah juga perlu untuk mengatur kewajiban pembangunan akses fisik pada setiap bangunan gedung termasuk bangunan perusahaan daerah. Hal ini menjadi penting guna memperbesar kemungkinan para penyandang disabilitas untu dapat melaksanakan tugas atau mencapai standar profesionalisme dalam bekerja pada perusahaan daerah.

  • 4.    Kesimpulan

Ketentuan hukum tentang kewajiban Perusahaan Daerah untuk mempekerjakan tenaga kerja disabilitas di Bali belum sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-undang penyandang disabilitas. Hal mana dapat dilihat dari kewajiban mempekerjakan pekerja disabilitas pada Perusahaan Daerah di Bali disamakan dengan kewajiban perusahaan swasta. Hal ini menimbulkan disharmonisasi ketentuan yang mana Undang-undang Penyandang Disabilitas mewajibkan Perusahaan Negara untuk mempekerjakan jumlah tenaga kerja disabilitas 2 (dua) kali lipat dari kewajiban perusahaan swasta. Disharmonisasi konsep tersebut terjadi diakibatkan pengaturan dalam Perda Bali Nomor 9 Tahun 2015 menyatukan konsep Perusahaan Daerah maupun perusahaan swasta ke dalam satu konsep yaitu “perusahaan”. Sejatinya Perusahaan Daerah maupun perusahaan swasta memilii karakteristik yang berbeda dari segi tujuan maupun proses pembentukan serta pengoperasiannya, maka pengaturan yang menjadikan kedua jenis perusahaan tersebut dalam satu konsep yang sama “perusahaan” akan mengakibatkan permasalahan dari sisi normatif maupun aplikatif. Solusinya ialah diadakan sinkronisasi terhadap aturan hukum pada jenjang yang lebih tinggi agar amanat konstitusi berupa kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (termasuk penyandang disabilitas) dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Buku

Putra, Ida Bagus Wyasa. (2016).Teori Hukum dengan Orientasi Kebijakan. Bali: Udayana University Press

Sidabalok, Janus.(2012) Hukum Perusahaan: Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Di Indoensia. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia.

Jurnal

Cahyaningrum, Dian, (2018). Implikasi Bentuk Hukum BUMD Terhadap Pengelolaan BUMD.Jurnal Negara Hukum:Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan. 9( 1). DOI: https://doi.org/10.22212/jnh.v9i1.997

Daming, Saharuddin (2016). Komparasi Nilai Penguatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Lex Posterior dan Lege Priori.Jurnal Mahkamah Hak Asasi Manusia. 8. DOI:https://www.komnasham.go.id/files/20161220-jurnal-ham$CXBG9J.pdf#page=76

Hamidi Jazim. (2016). Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. 4(23), DOI:http://jurnal.uii.ac.id/index.php/IUSTUM

Harefa, Mandala. (2010). Pengelolaan BUMD perusahaan Daerah Diprovinsi Sumatera Barat,Nusatenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Jurnal Kajian: Menjembatani Teori dan Persoalan Masyarakat dlaam Perumusan Kebijakan. 15 (2). DOI:

https://doi.org/10.22212/kajian.v15i2.423

Latuconsina, Zulfah (2014). Afirmasi Kebijakan Pemerintah dalam Fasilitasi Kerja bagi Penyandang Disabilitas.Jurnal Pandecta:Research Law Journal.  9  (2).

DOI:https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i2.3445

Ridlwan, Zulkarnain. (2013). Perlindungan hak-hak konstitusional penyandang Disabilitas (rights of persons with disabilities). Jurnal Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum. 7 (2). DOI:https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no2.382

Shaleh, Ismail. (2018).Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan Di Semarang. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. 20(1). DOI:

https://doi.org/10.24815/kanun.v20i1.9829,

Listyaningrum, Novita dan Gerhan, Anthoni.(2018). Efektifitas Pemenuhan Aksesibilitas Terhadap Penyandang Disabilitas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Jurnal Jeniah:   Media Bina. 12   (10).

https://doi.org/10.33758/mbi.v12i10.77

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Ushaa Milik Negara

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan daerah

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Instrumen Hukum Internasional

Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CPRD)

186