Acta Comitas (2018) 1 : 201 – 214 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEDUDUKAN HUKUM GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG NOTARIIL

DALAM PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN

Oleh

Putu Devi Yustisia Utami

I Made Pasek Diantha

I Made Sarjana

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana Email : [email protected]

ABSTRAK

Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, masyarakat kini dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas kredit dari berbagai lembaga keuangan baik itu lembaga keuangan bank ataupun lembaga keuangan non bank. Pemberian fasilitas kredit dari lembaga keuangan bank selalu didasari oleh perjanjian kredit dan seringkali dilanjutkan dengan pengikatan agunan dan penandatanganan Akta Pengakuan Hutang oleh debitur. Hal ini memunculkan kesan di kalangan masyarakat bahwa terdapat tiga dokumen yang berbeda menyangkut satu obyek hutang yang sama. Grosse akta pengakuan hutang yang dibuat secara notariil tunduk kepada ketentuan Undang- Undang Jabatan Notaris. Berdasarkan paparan tersebut penulis ingin mengkaji mengenai kedudukan hukum dari grosse akta pengakuan hutang disamping adanya akta perjanjian kredi notariil dan akta pengikatan jaminan. Penelitian dalam penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan berupa pendekatan perundang- undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep (Analytical Concept Approach) serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Kesimpulan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah bahwa kedudukan hukum dari grosse akta pengakuan hutang notariil hanyalah sebatas perjanjian accesoir (tambahan) yang berfungsi untuk memperkuat posisi kreditur, namun perlu dipahami bahwa grosse akta pengakuan hutang notariil haruslah berdiri sendiri dan tidak boleh dicampur adukkan dengan grosse akta hipotek atau grosse akta hak tanggungan.

Kata Kunci : grosse akta, pengakuan hutang, eksekutorial.

ABSTRACT

In order to fulfil the economic needs, society nowadays can easily utilise credit facilities from various financial institutions either bank or non-bank. Credit facility from bank is always based on loan agreement and often followed by collateral binding and signing of a deed of debt recognition. This results in public perception that there are three distinctive documents on one object of debt. Grosse deed of debt recognition made notarised is subjected to the provisions of the Law of Notary Position. The research in this journal is aimed to scrutinise the juridical position of the Grosse Deed of Debt Recognition in loan approvalby bank besides the autenthic loan agreement and the autenthic collateral binding . The research in this academic journal is a normative legal research with statue approach and analytical concept approach and the sources of legal material used are primary, secondary and tertiary legal resource.

The results in this journal that is the juridical position of the Grosse deed of notarial debt recognition in banking credit only as an accesoir agreement, which is have a function to strengthening the position of creditor’s. But it should be understood that grosse deed of notarial debt recognition must be independent and should not be mixed with grosse mortgage deed or grosse deed of mortgage

Keywords: Grosse Deed, Debt recognition, Executorial

  • I.  PENDAHULUAN                dengan dunia perbankan khususnya

  • A.    Latar Belakang                     dibidang perkreditan. Bank sebagai

Tidak dapat dipungkiri bahwa      lembaga keuangan yang melakukan

profesi Notaris sangat bertalian erat      kegiatan usaha menghimpun dana

dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat sangat membutuhkan peran seorang Notaris sebagai “pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut dengan UUJN). Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik sangat berperan dalam menjamin kepastian hukum pemberian kredit oleh bank kepada calon debiturnya. Hal ini dibuktikan dengan sangat diperlukannya peran Notaris pada saat bank melakukan akad kredit dengan calon debiturnya.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 11 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut dengan UU Perbankan) bahwa pada dasarnya “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”. Dari pengertian kredit tersebut saja, sudah terlihat bahwa bank tidak dapat bekerja sendiri dalam menyalurkan kredit kepada calon debiturnya, akan sangat diperlukan adanya campur tangan seorang Notaris dalam suatu kegiatan pemberian kredit oleh Bank.

Klausula “berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam” yang tercantum pada pasal 1 angka 11 UU Perbankan tersebut mengacu pada adanya suatu perjanjian tertulis yang dijadikan

dasar dalam proses pinjam meminjam atau penyaluran kredit tersebut. Perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan dapat berupa akta, yang pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan tentang kejadian- kejadian atau hal-hal, yang merupakan dasar dari suatu perjanjian.244 Perjanjian tertulis ini dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang atau biasa disebut dengan akta autentik. Pada umumnya, untuk lebih menjamin kepastian hukum dalam penyaluran kreditnya, bank cenderung lebih memilih untuk membuat perjanjian kredit dalam bentuk notariil dibandingkan dengan membuat perjanjian kredit di bawah tangan. Hal ini dikarenakan akta autentik adalah akta yang memiliki kekuatan hukum yang sempurna.

Dalam pemberian kredit oleh bank ini sangat diperlukan peran Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta perjanjian-perjanjian pinjam meminjam uang antara debitur dengan pihak bank. Akta yang dibuat oleh Notaris tersebutlah yang pada saat penandatanganan akad kredit antara bank dengan calon debiturnya dinamakan dengan akta perjanjian kredit notariil. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit adalah merupakan perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok (vooroverenkomst) atas suatu penyerahan uang yang didasarkan oleh adanya kesepakatan antara

244Tjukup, I Ketut, et. al, “Kekuatan Hukum Pembuktian Waarmerken (Akta Dibawah Tangan Yang Didaftarkan) Di Notaris”, Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. I, No. 23 ISSN: 25028960, Agustus 2016, Hal. 59.

pemberi dan penerima kredit atau antara kreditur dan debitur.245

Pada perjanjian kredit inilah segala hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur dicantumkan. Baik itu mengenai kewajiban kreditur untuk segera mencairkan kredit apabila akad kredit telah dilangsungkan dan hak kreditur untuk menagih angsuran serta mengeksekusi benda jaminan apabila terjadi wanprestasi, maupun mengenai hak debitur untuk mencairkan dana kredit serta kewajiban debitur untuk membayar angsuran kredit tepat pada waktunya serta kewajiban- kewajiban lainnya yang terkait dengan syarat- syarat kredit nantinya akan dicantumkan secara terperinci dalam akta perjanjian kreditnya. Akta perjanjian kredit inilah yang nantinya akan dijadikan alat bukti dikemudian hari apabila debitur tidak memenuhi prestasinya sebagaimana apa yang dijanjikan dalam perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.

Selain memerlukan jasa notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya, Bank juga memerlukan peran Notaris dalam pengikatan agunan kredit. Seperti diketahui bersama bahwa bank dalam menyalurkan kredit selalu mengedepankan prinsip kepercayaan dan kehati- hatian. Apabila Bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan calon debiturnya untuk mengembalikan kredit yang disalurkan mka sebetulnya bank tidak perlu meminta jaminan tambahan. Akan tetapi pada prakteknya bank masih juga meminta adanya jaminan tambahan berupa hak kebendaan untuk lebih

menambah keyakinan Bank bahwa nantinya debitur akan mampu melunasi kreditnya tepat waktu serta dapat menambah keyakinan bank apabila debitur wanprestasi maka Bank dapat mengeksekusi benda jaminan yang diserahkan oleh debitur untuk memperoleh pelunasan atas kredit yang disalurkan. Disinilah diperlukan juga peran Notaris sebagai pejabat umum yang dapat membuat akta- akta yang terkait dengan pengikatan agunan tersebut, seperti misalnya pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Cessie, dan lain sebagainya yang nantinya akan dilanjutkan dengan pendaftaran pada lembaga-lembaga terkait seperti pada Kementrian Hukum dan HAM untuk fidusia dan pendaftaran pada Badan Pertanahan Nasional oleh PPAT untuk agunan yang berupa hak atas tanah yang diikat dengan Hak Tanggungan. Setelah didaftarkan pada lembaga- lembaga terkait tersebut akan lahir Sertipikat Pengikatan Jaminan seperti Sertipikat Jaminan Fidusia atau Sertipikat Hak Tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial.

Dibuatnya akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan oleh Notaris dalam penyaluran fasilitas kredit oleh Bank tentu saja telah sangat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak bank dan debitur ketika nantinya terjadi wanprestasi dari debitur sehingga menyebabkan kredit macet. Akta perjanjian kredit yang dibuat secara notariil telah cukup menjadi alat bukti bahwa debitur memang benar- benar memperoleh fasilitas kredit dari bank dan telah menyetujui seluruh syarat- syarat kredit yang ditetapkan oleh bank, sehingga ketika debitur tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dan disetujui

dalam akta perjanjian kredit maka akta perjanjian kredit tersebut dapat dijadikan alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Selain jaminan kepastian hukum dari suatu akta perjanjian kredit notariil, Sertipikat Pengikatan Jaminan seperti Sertipikat Jaminan Fidusia dan Sertipikat Hak Tanggungan juga turut menjamin kepastian hukum pemberian kredit oleh Bank apabila debitur wanprestasi. Ketika debitur wanprestasi sebetulnya berdasarkan sertipikat pengikatan jaminan tersebut, pihak debitur telah dapat melakukan eksekusi terhadap agunan yang dijaminkan oleh debitur melalui cara- cara yang ditentukan oleh undang- undang, baik itu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (untuk selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia) maupun Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT).

Dengan adanya akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan tersebut sebetulnya sudah cukup menjamin dan mengcover fasilitas kredit yang disalurkan oleh bank kepada debiturnya, akan tetapi pada prakteknya bank terkadang masih juga mensyaratkan adanya akta- akta tambahan lainnya dari debitur, kadangkala terdapat suatu kondisi dimana pihak Bank mewajibkan debitur untuk menandatangani Akta Pengakuan Hutang Notariil. Hal ini tentu saja sangat dianggap membingungkan atau bahkan disebut berlebihan, dikarenakan untuk satu utang saja pihak debitur harus menandatangani tiga jenis akta yaitu akta perjanjian kredit notariil, akta pengikatan jaminan dan ditambah lagi akta pengakuan hutang notariil yang

salinan aktanya kemudian disebut dengan grosse akta pengakuan hutang. Debitur kadang kala bertanya- tanya untuk apa lagi menandatangani akta pengakuan hutang notariil padahal disatu sisi pihak debitur telah menyerahkan agunan kepada bank dan telah dilakukan pengikatan, dimana apabila pihak debitur wanprestasi sebetulnya bank sudah dapat mengeksekusi agunan yang dijaminkan tersebut.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah penulis uraikan diatas maka sangat menarik untuk dibuat suatu tulisan dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “KEDUDUKAN HUKUM GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG NOTARIIL DALAM PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN”.

  • B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, penulis menemukan rumusan permasalahan yaitu :

Bagaimana kedudukan hukum grosse akta pengakuan hutang notariil disamping adanya akta perjanjian kredit dan akta pengikatan jaminan ?

  • C.    Ruang Lingkup Permasalahan

Adapun ruang lingkup dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengkaji secara yuridis mengenai kedudukan hukum dari suatu grosse akta pengakuan hutang dalam praktek pemberian kredit oleh bank.

  • D.    Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :

  • 1.    Tujuan Umum

Untuk memperoleh tambahan pemahaman mengenai grosse akta pengakuan hutang guna mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dibidang hukum perdata, hukum perbankan dan hukum jaminan.

  • 2.    Tujuan Khusus

Untuk memperoleh kajian yuridis mengenai kedudukan hukum suatu grosse akta pengakuan hutang notariil dalam pemberian kredit perbankan disamping adanya akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan.

  • E.    Manfaat

  • 1.    Manfaat teoritis

Dapat memberikan sumbangan pemikiran - pemikiran akademis bagi para akademisi di bidang hukum perbankan dan jaminan mengenai grosse akta pengakuan hutang.

  • 2.    Manfaat praktis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak- pihak terkait baik itu banker’s, masyarakat dan Notaris/ PPAT terkait dengan dibuatnya akta pengakuan hutang notariil pada saat pemberian kredit oleh bank.

  • II.    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian pada penulisan karya tulis ilmiah ini. adalah jenis penelitian hukum normatif, dengan jenis pendekatan perundang-. undangan (Statute Approach) dan pendekatan analis konsep hukum (Analytical and Conceptual Aprroach). Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. dan bahan hukum tersier. Bahan- .bahan hukum tersebut dikumpulkan. dengan teknik studi kepustakaan (library research). Kemudian dianalisa dengan. teknik

deskripsi, sistematisasi, evaluasi dan terakhir disimpulkan. dengan teknik argumentasi.

  • III.    ISI

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat segala jenis akta yang dikehendaki oleh masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam situasi seperti sekarang ini peran seorang Notaris semakin diperlukan dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam dunia perbankan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut dengan UUJN) Notaris adalah “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini”.

Akta merupakan produk hukum yang dibuat oleh seorang Notaris. Berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUHPerdata akta otentik adalah “Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat”. Terdapat begitu banyak jenis akta yang dapat dibuat oleh seorang Notaris, salah satunya adalah akta pengakuan hutang. Ketentuan pasal 1 angka 11 UUJN yang mengatur mengenai akta pengakuan hutang menentukan bahwa “Grosse akta adalah salah satu akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial”.

Akta pengakuan hutang notariil yang dibuat dihadapan Notaris inilah yang dapat diterbitkan salinannya oleh Notaris dan dinamakan dengan Grosse Akta Pengakuan Hutang. Grosse akta sendiri adalah merupakan suatu akta notaris yang memiliki sifat dan karakter khusus. Adapun dasar hukum dari Grosse Akta ini adalah ketentuan pasal 224 HIR/ 258 RBG. Grosse akta memiliki suatu perbedaan dengan akta- akta lainnya yang dibuat oleh Notaris. Hal ini dikarenakan oleh, selain grosse akta ini dapat menjadi alat bukti yang sempurna, ternyata grosse akta juga memiliki suatu kekuatan eksekutorial. 246

Pasal 224 HIR/ 258 RBG itu sendiri telah menyebutkan manfaat dari digunakannya grosse akta, yaitu sebagai berikut :

  • 1.    Grosse akta memiliki kekuatan eksekutorial, yang maksudnya bahwa atas grosse akta tersebut dapat dilaksanakan eksekusinya (lelang)  tanpa perlu  melalui

proses   pengadilan   terlebih

dahulu serta memiliki kekuatan hukum  yang sama  seperti

putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.

  • 2.    Sistem penyimpanan (arsip) dari grosse akta lebih, terjamin, apabila grosse akta pertama yang telah diperoleh hilang, maka para pihak akan dengan lebih mudah memperoleh grosse akta yang baru.

  • 3.    Grosse akta berbeda dengan akta- akta lainnya karena untuk melakukan eksekusi tidak perlu melakukan     gugatan     ke

pengadilan.    Cukup   hanya

dengan           mengajukan

permohonan            untuk

melaksanakan isi grosse akta

tersebut.

  • 4.    Menghemat waktu.

Apabila eksekusi grosse akta pengakuan hutang dibandingkan dengan penyelesaian perkara melalui     proses     gugatan

pengadilan maka pelaksanaan eksekusi grosse akta pengakuan hutang dianggap lebih cepat dan tidak berbelit- belit

  • 5.    Menghemat Biaya.

Dari segi prosedur yang sangat sederhana,      tentu      saja

pelaksanaan eksekusi grosse akta pengakuan hutang ini dapat menghemat biaya sehingga lebih menguntungkan bagi pihak kreditur maupun debitur.

  • 6.    Menimbulkan kepastian hukum.

Oleh karena terdapatnya izin dari ketua pengadilan untuk melaksanakan eksekusi grosse akta secara langsung tanpa gugatan pengadilan, maka grosse akta ini menimbulkan suatu rasa kepercayaan bagi masyarakat           sehingga

247 terjaminnya kepastian hukum

Suatu grosse akta notaris umumnya diberikan kepada akta hipotek dan akta utang piutang (atau biasa disebut akta pengakuan hutang) sebagaimana disebutkan dalam pasal 224 HIR/ 258 RBG. Grosse akta selalu diberikan atas permintaan dari kreditur. Akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris pada bagian kepala akta nya memuat irah- irah yang sama bunyinya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

247Ibid, hal. 8-9.

Esa” dan bagian akhir aktanya ditulis “Diberikan sebagai grosse pertama atas permintaan ......”  sehingga

grosse akta tersebut memiliki kekuatan eksekutorial.248 Salinan dari akta utang- piutang atau akta pengakuan hutang notariil inilah yang memiliki kekuatan eksekutorial dan dinamakan dengan Grosse Akta Pengakuan Hutang Notariil.

Grosse akta pengakuan hutang notariil ini umumnya sampai dengan saat ini masih digunakan dalam dunia perbankan. Hal ini dikarenakan oleh adanya anggapan dari pihak perbankan bahwa dengan ditandatanganinya akta pengakuan hutang notariil yang kemudian melahirkan Grosse akta pengakuan hutang notariil dapat menjadi salah satu usaha untuk mengatasi hambatan- hambatan yang terjadi terkait dengan wanprestasi debitur atas kredit yang disalurkan. Dimana dengan digunakannya grosse akta pengakuan hutang notariil yang merupakan akta autentik yang dibuat oleh Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ 258 RBG maka pihak bank akan lebih mudah memperoleh pelunasan kreditnya. Grosse akta pengakuan utang notariil dikenal juga sebagai “surat utang”, 249

yang memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan kreditur dalam beracara di bidang hukum perdata. Grosse akta pengakuan hutang notariil ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, ini artinya bahwa terhadap pelaksanaan isi dari grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut dapat dijalankan atau dilaksanakan seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Oleh karena begitu banyaknya manfaat dan keuntungan yang dirasakan dan dapat diperoleh dari penggunaan grosse akta pengakuan hutang notariil inilah, yang menyebabkan sebagian kalangan perbankan menjadi merasa perlu untuk mempergunakan grosse akta pengakuan hutang notariil disamping telah melakukan penandatanganan akta perjanjian kredit secara notariil dan menandatangani akta pengikatan jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang hukum jaminan. Namun disatu sisi penggunaan tiga akta untuk satu obyek hutang yang sama dianggap terlalu berlebihan oleh banyak pihak, karena saat ini masyarakat cenderung beranggapan bahwa     tidak     perlu     lagi

menandatangani akta pengakuan hutang notariil sehingga tidak perlu diterbitkan Grosse akta pengakuan hutang notariil oleh Notaris. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang merasa bahwa dengan adanya akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan yang diikuti dengan pendaftaran di dinas terkait saja sudah cukup untuk memberikan kepastian hukum dan mengcover fasilitas kredit yang disalurkan oleh Bank kepada debiturnya ketika terjadi wanprestasi.

Grosse akta pengakuan hutang notariil pada prinsipnya berbeda dengan akta perjanjian kredit notariil, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

  • 1.    Perjanjian kredit notariil merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yakni pihak kreditur dan debitur, sedangkan akta pengakuan hutang hanya merupakan suatu perjanjian sepihak yang ditandatangani

oleh debitur saja. 250 Grosse akta pengakuan hutang   notariil

merupakan  perbuatan  hukum

bersegi satu karena akibat hukum. dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam grosse. akta pengakuan hutang notariil tersebut hanya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek 251 hukum (satu pihak) saja.251

  • 2.    Pada akta perjanjian kredit notariil dapat dimasukkan berbagai klausula mengenai syarat- syarat dan ketentuan kredit      sesuai      dengan

kesepakatan antara pihak debitur dengan kreditur seperti klausula bunga, syarat pencairan, syarat penarikan dan denda atau penalty, sedangkan pada Grosse Akta Pengakuan notariil hanya dapat memuat mengenai kewajiban untuk membayar hutang sejumlah tertentu saja tanpa mencantumkan klausul-252 klausul lainnya.252

  • 3.    Akta perjanjian kredit notariil hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti biasa, sedangkan    Grosse    akta

pengakuan hutang notariil dapat dipergunakan sebagai alat bukti sekaligus memiliki kekuatan eksekutorial.

  • 4.    Untuk mengeksekusi perjanjian kredit perlu dilakukan gugatan terlebih dahulu kepada pihak debitur, sedangkan untuk

mengeksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang notariil maka tidak perlu dilakukan gugatan ke 253

pengadilan.253

.

Mengenai perjanjian kredit tidak diatur secara tegas di dalam UU Perbankan, akan tetapi secara explisit UU Perbankan menyatakan bahwa kredit harus dituangkan dalam suatu kesepakatan pinjam meminjam secara tertulis. Menurut pendapat dari R. Subekti, beliau menyatakan bahwa perjanjian kredit itu merupakan suatu perjanjian pinjam meminjam yang didasari oleh pasal 1754 KUHPerdata.254 Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang bersifat konsensual yang mampu menimbulkan hubungan hukum antara debitur dengan krediturnya. Oleh karena merupakan perjanjian pokok, maka perjanjian kredit adalah merupakan dokumen yang paling utama dalam pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya.

Lain halnya dengan perjanjian perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok,     perjanjian

pengikatan jaminan merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian kredit.      Perjanjian      jaminan

merupakan perjanjian yang bersifat khusus antara debitur dan kreditur yang memperjanjikan suatu benda tertentu sebagai suatu jaminan yang bertujuan untuk memberikan kepastian dalam pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok. 255 Perjanjian jaminan sendiri merupakan suatu perjanjian yang

  • 253Sutarno, op.cit.

  • 254R. Subekti,1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Manurut Hukum Indonesia, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hal. 3

  • 255Ibrahim Johannes, 2004, Cross default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, hal. 78.

bersifat tambahan atau accesoir yakni suatu perjanjian yang muncul akibat adanya perjanjian pokok. Adanya perjanjian pokok maka berimplikasi pada munculnya perjanjian tambahan, hal ini dikarenakan pada perjanjian kredit disyaratkan adanya penyerahan hak kebendaan sebagai jaminan yang mengcover fasilitas kredit yang disalurkan oleh bank kepada debiturnya.

Jenis perjanjian pokok dan perjanjian tambahan ini sangat lumrah dalam dunia perbankan. Dalam hal ini perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk memperoleh     fasilitas     kredit

(Perjanjian    kredit)    sedangkan

perjanjian   tambahan   (accesoir)

adalah perjanjian jaminan yang dikaitkan     dengan     perjanjian

pokoknya.

Kedudukan perjanjian jaminan yang dikontruksikan sebagai perjanjian accesoir ini menjamin kuatnya lembaga jaminan yang mengcover pemberian kredit oleh bank. Perjanjian jaminan dalam praktek perbankan selalu dituangkan kedalam akta Notaris, dan khusus untuk jaminan berupa hak atas tanah pembebanan jaminannya dilakukan oleh PPAT.256

Implikasi yuridis yang ditimbulkan    dengan    adanya

perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accesoir) ini adalah 257 sebagai berikut :

  • 1.    Keberadaan perjanjian jaminan tergantung pada perjanjian pokoknya.

  • 2.    Hapusnya perjanjian jaminan tergantung perjanjian pokoknya.

  • 3.    Perjanjian jaminan akan batal apabila perjanjian pokoknya batal.

  • 4.    Apabila perjanjian pokoknya dialihkan, maka perjanjian jaminannya turut beralih.

  • 5.    Apabila hutang beralih karena adanya cessie, subrogasi, dll maka perjanjian jaminan juga turut beralih. .

Pada umumnya jaminan-jaminan yang diterima oleh pihak bank adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan sendiri dapat diberikan terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Penjaminan untuk benda bergerak dapat dilakukan dengan gadai dan fidusia, sedangkan untuk benda tidak bergerak berupa hak atas tanah beserta benda- benda yang berkaitan dengan tanah diikat dengan Hak Tanggungan serta pembebanan atas jaminan berupa kapal laut dengan bobot 20m3 atau lebih dan pesawat terbang serta helikopter dibebani 258 dengan hipotek. 258

Dengan        dilakukannya

pengikatan    jaminan     melalui

penandatanganan         perjanjian

pengikatan jaminan, maka bank sebetulnya telah memperoleh kepastian hukum atas pengembalian fasilitas kredit yang disalurkan kepada debitur apabila suatu saat nanti debitur wanprestasi. Ketika debitur wanprestasi dan pihak bank telah     memegang     Sertipikat

258Frieda Husni Hasbullah, 2005, Hukum Kebendaan Perdata, Hak- Hak Yang Memberi Kenikmatan, Ind-Hill-Co-, Jakarta, hal. 16-17.

Pengikatan Jaminan yang apabila dalam jaminannya berupa benda bergerak adalah Sertipikat Jaminan Fidusia, atau apabila dalam bentuk hak atas tanah adalah berupa Sertipikat Hak Tanggungan maka pihak bank selaku debitur telah memiliki kedudukan preferent (diutamakan) yang apabila terjadi wanprestasi sehingga menyebabkan adanya kredit macet maka bank dapat melakukan eksekusi atas jaminan tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sedangkan eksekusi jaminan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 20-21 Undang- Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada Sertipikat Jaminan Fidusia maupun Sertipikat Hak Tanggungan telah tercantum irah- irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga sertipikat jaminan fidusia dan sertipikat hak tanggungan juga memiliki kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Dengan adanya akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan sebetulnya posisi bank selaku kreditur sudah sangat aman dan terjamin kepastian hukum pengembalian kreditnya. Akan tetapi meskipun pihak bank telah memegang kedua dokumen tersebut kadang kala pada saat debitur wanprestasi dan bank harus melakukan eksekusi, ada saja hambatan- hambatan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan yang ditemui oleh Bank di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Hambatan tersebut misalnya tidak adanya pembeli lelang, atau bahkan adanya

gugatan dari debitur atau pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap jaminan tersebut pada saat dilakukan pengumuman lelang, sehingga menyebabkan proses lelang menjadi terhambat atau bahkan menjadi batal sama sekali. Untuk mengatasi hal tersebut serta untuk lebih mengamankan posisi bank, maka beberapa bank terutama bank swasta, berusaha mencari jalan pintas agar posisi bank tetap aman dengan mensyaratkan adanya pengikatan Akta Pengakuan Hutang Notariil yang nantinya akan melahirkan Grosse Akta Pengakuan Hutang Notariil disamping telah melakukan pengikatan akta perjanjian kredit notariil dan akta pengikatan jaminan.

Dalam hal ini grosse akta pengakuan hutang notariil berfungsi sebagai dokumen tambahan yang merupakan pengakuan atau pernyataan secara sepihak dari debitur untuk memperkuat posisi kreditur. Dengan telah ditandatanganinya akta pengakuan hutang notariil ini maka debitur telah benar- benar mengakui secara tertulis bahwa dirinya memang sungguh-sungguh berhutang kepada bank. Grosse akta pengakuan hutang notariil dapat memberikan keyakinan bagi bank dalam pelunasan utang debitur. Dengan adanya berbagai kemudahan yang diberikan oleh undang-undang terhadap grosse akta pengakuan hutang notariil kemudian. memberikan kepercayaan bagi bank untuk dapat dengan mudah melakukan penyelesaian atas utang-utang debitur yang wanprestasi.

Berdasarkan petunjuk dari Mahkamah Agung, mengenai akta yang memenuhi. persyaratan untuk dapat dianggap sebagai pengakuan hutang yang dapat dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR/258 RBG, maka suatu akta pengakuan

hutang harus memuat. 6 (enam)       1.

259

syarat esensialia diantaranya :

  • 1.    Jumlah hutang

  • 2.    Suku bunga

  • 3.    Jangka waktu

  • 4.    Tempat pembayaran

  • 5.    Opeisbaarheid

  • 6.    Jaminan.


Bank akan memiliki kedudukan istimewa, apabila akta pengakuan hutang notariil tersebut berisikan irah- irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pada bagian bawahnya dicantumkan kata- kata “Diberikan sebagai grosse pertama” dengan menyebutkan nama dari orang, yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.260 Dengan demikian grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut akan memiliki kekuatan eksekutorial, yang menyebabkan pihak bank tidak perlu melakukan gugatan terlebih dahulu untuk melakukan eksekusi pada saat debitur wanprestasi.

Apabila ternyata dalam perumusan akta pengakuan hutang notariil tersebut terdapat kekurangan pada bagian kepala atau akhir tersebut (tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan diatas) maka grosse akta tersebut tidak dapat dipergunakan untuk eksekusi. Hanya grosse akta yang dibuat dengan syarat- syarat bentuk eksekutoriallah yang dapat dilakukan eksekusi tanpa perantaraan hakim.

Berikut ini, penulis akan memaparkan mengenai. syarat-syarat dari suatu grosse akta pengakuan hutang notariil yang dapat. dinilai keabsahannya oleh Hakim Pengadilan Negeri, yaitu :261

2.


3.


Agar dapat memiliki kekuatan eksekutorial maka grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut harus murni berdiri sendiri, tidak boleh dicampur adukkan dengan grosse akta hipotek. Suatu grosse akta pengakuan hutang notariil yang bersifat tidak murni akan menyebabkan grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut menjadi cacat yuridis yang. tidak dapat dieksekusi dan pemenuhan    pembayarannya

hanya dapat dilakukan oleh kreditur dengan cara dimintakan melalui proses gugatan biasa. Untuk menentukan keabsahan suatu grosse akta pengakuan hutang notariil harus terlebih dahulu ditinjau keabsahan perjanjian pokoknya yang dalam hal ini adalah perjanjian kreditnya ditinjau dari pasal 1320 KUHPerdata. 262

Suatu dokumen grosse akta pengakuan hutang notariil sangat erat kaitannya dengan sifat accesoir dari grosse akta notariil. Grosse akta pengakuan hutang notariil sebagai perikatan yang accesoir dari perjanjian pokok harus lengkap didukung dengan dokumen Dokumen pendukung dari. grosse akta pengakuan hutang notariil terdiri dari dua jenis yakni dokumen yaitu dokumen perjanjian pokok ditambah dokumen akta pengakuan hutang notariil.

262Ibid, hal. 133


Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta otentik, termasuk membuat akta pengakuan hutang notariil harus memperhatikan syarat- syarat penyusunan suatu akta pengakuan     hutang     notariil.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung tertanggal 3 Mei 1986 No. 1520/K/PDT/1984     menegaskan

mengenai syarat dari suatu grosse akta pengakuan hutang notariil yang terdiri dari persyaratan formal yaitu : Akta pengakuan hutang notariil tersebut, harus berbentuk “Surat Utang”, yang dibuat dengan akta notaris dengan irah- irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada bagian akhir. akta disebutkan kata- kata “Diberikan sebagai grosse akta pertama”, serta dicantumkan nama pihak yang meminta. penerbitan grosse akta dan mencantumkan tanggal pemberian grosse akta tersebut. Selain syarat formal tersebut diatas, terdapat syarat material yang harus dipenuhi oleh notaris dalam penyusunan akta pengakuan hutang notariil yang nantinya dapat diterbitkan grosse aktanya yaitu adanya ketentuan bahwa jumla . hutang yang harus dibayar oleh Debitur haruslah pasti. Tidak boleh berupa. kredit dengan pencairan plafond secara bertahap serta harus berupa pernyataan sepihak yang memuat. adanya pengakuan memang benar berhutang dari debitur, jatuh waktu untuk melunasi hutang, merupakan akta pengakuan hutang yang tidak tercampur dengan akta hak 263 tanggungan.263

Secara teoritis, memang pada dasarnya grosse akta pengakuan hutang notariil ini merupakan jalan pintas bagi bank untuk melaksanakan eksekusi utang piutang yang murah

dan cepat pelaksanaannya. Akan tetapi dalam prakteknya sendiri, mengenai kredit perbankan masih terdapat begitu banyak hambatan dalam pelaksanaan eksekusi grosse akta pengakuan hutang notariil ini, antara lain :

  • 1.    Hambatan terkait mengenai jumlah hutang yang tercantum dalam grosse akta pengakuan hutang notariil yang ternyata belum diperkirakan oleh bank dengan bunga yang dapat ditagih kemudian.    Dalam dunia

perbankan utang bunga yang tidak dicantumkan di dalam grosse akta pengakuan hutang notariil tidak dapat langsung dieksekusi, melainkan harus dilakukan penagihan melalui 264

gugatan biasa.

  • 2.    Terdapat suatu kondisi dimana jumlah hutang pokok yang yang tercantum pada grosse akta pengakuan hutang notariil telah berubah karena pihak debitur telah melakukan angsuran atau cicilan sehingga menyebabkan jumlah    hutang    menjadi

berkurang sebagian. Hal ini menyebabkan eksekusi grosse akta pengakuan hutang notariil dapat ditolak oleh pengadilan negeri karena syarat material terkait jumlah hutang secara riil sudah tidak sesuai dengan jumlah utang yang tercantum dalam grosse akta pengakuan hutang notariil. 265

  • 3.    Hambatan terkait eksekusi terhadap grosse akta pengakuan hutang notariil juga akan terjadi

264Victor Situmorang, op.cit, hal. 142 265Ibid.

apabila pemberian kredit oleh bank      kepada      debitur

menggunakan sistem pencairan yang terbagi dalam termintermin tertentu (bukan pencairan sekaligus) sehingga jumlah hutang debitur yang tercantum dalam grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut dengan jumlah uang yang sebenarnya diterima oleh debitur menjadi berbeda.

  • IV. PENUTUP

  • A.    Kesimpulan

Dari pemaparan pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa :

Kedudukan hukum grosse akta pengakuan hutang notariil disamping akta perjanjian kredit dan akta pengikatan     jaminan     dalam

pemberian kredit perbankan adalah hanya sebagai perjanjian tambahan (accesoir) yang dapat memperkuat kedudukan      kreditur      serta

memberikan keyakinan bagi kreditur bahwa pelunasan terhadap kredit yang disalurkan kepada debitur dapat dilakukan dengan cepat tanpa melalui gugatan ke Pengadilan Negeri. Grosse akta pengakuan hutang notariil harus bersifat murni, berdiri sendiri dan tidak dapat dicampuradukkan dengan grosse akta hipotek. Kreditur harus memilih salah satu bentuk dari grosse akta tersebut, dan tidak boleh menggunakan kedua- duanya. Penggunaan grosse akta pengakuan

hutang        notariil        yang

dicampuradukkan dengan grosse akta hipotek dapat menyebabkan cacat yuridis terhadap grosse akta pengakuan hutang notariil dan menghilangkan           kekuatan

eksekutorial dari grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut. Penggunaan perjanjian kredit dan perjanjian akta pengikatan jaminan ditambah dengan grosse akta pengakuan hutang notariil yang dicampuradukkan dapat dianggap sebagai kekeliruan hukum.

  • B.    Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

Kepada kalangan perbankan, penulis menyarankan untuk lebih memahami mengenai penggunaan

grosse akta pengakuan hutang notariil dalam pemberian kredit perbankan.  Agar jangan sampai

terdapat penggunaan grosse akta pengakuan  hutang notariil yang

bersamaan  dan dicampuradukkan

dengan grosse akta hipotek atau grosse akta hak tanggungan yang menyebabkan kekuatan eksekutorial dari grosse akta pengakuan hutang notariil tersebut menjadi hilang. Pihak bank harus memilih salah satu dari penggunaan grosse akta tersebut, apakah akta perjanjian kredit yang diikuti dengan grosse akta hak tanggungan atau akta perjanjian kredit yang diikuti dengan grosse akta pengakuan hutang notariil.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Bahsann, M., 2015, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT.

Rajagrafindo Persada, Depok.

E. Utrecth, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Cetakan Kesembilan), Intermasa, Jakarta.

Hasbullah, Frieda Husni 2005, Hukum Kebendaan Perdata, Hak- Hak Yang Memberi Kenikmatan, Ind-Hill-Co-, Jakarta.

Ibrahim, Johannes, 2004, Cross default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung.

Imaniyati, Neni Sri dan Panji Adam Agus Putra, 2016, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia Edisi Revisi, PT. Refika Aditama, Bandung.

Rustam, Riky., 2017, Hukum Jaminan, UII Press, Yogyakarta.

Situmorang , Viktor M. dan Cormentyna Sitanggang, 1998, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta.

Sutarno, 2005, Aspek- Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung.

Subekti, R. 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Manurut Hukum Indonesia, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung.

JURNAL

I Ketut Tjukup, et. al, “Kekuatan Hukum Pembuktian Waarmerken (Akta Di Bawah Tangan Yang Didaftarkan) di Notaris ”, Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol.I, No.23 ISSN: 2502-8960, Agustus 2016.

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan peraturan pelaksanaanya, (Lembaran Negara Tahun 1998 nomor 182, Tambahan Lembaran Negara nomor 3790).

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491).

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

214