PENATAAN KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE MELALUI PROGRAM KARTU TANDA PENDUDUK ELETRONIK (KTP-EL)
on
Acta Comitas (2018) 1 : 75 – 91
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
PENATAAN KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE MELALUI PROGRAM KARTU TANDA PENDUDUK ELETRONIK (KTP-EL)
Oleh
Ni Made Asri Alvionita
I Made Arya Utama
Putu Tuni Cakabawa Landra
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail : azri. alvionita@yahoo. com
ABSTRAK
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 menyatakan adanya larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dalam prakteknya, kepemilikan tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk asli wilayah tempat tanah pertanian tersebut sudah berpindah ke pihak lain, diluar dari tempat kedudukan tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena adanya kekosongan norma dalam pasal tersebut sehingga terjadi banyak pelanggaran dan penyelundupan hukum karena digunakannya surat keterangan domisili dan Kartu Tanda Penduduk palsu untuk memalsukan domisili orang yang akan membeli tanah pertanian. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah 1). bagaimana keberadaan KTP-el terhadap larangan kepemilikan tanah secara absentee? 2). bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah secara absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan dengan program pengampunan pajak?
Jenis penelitian ini ialah penelitian hukum normatif karena beranjak dari kekosongan norma terkait dengan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu pada Pasal 3 PP Nomor 224 tahun 1961. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan historis yang berkaitan dengan tesis ini. Sumber bahan hukum pada tesis ini berupa sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan tesis ini. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara membaca dan mencatat liteatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan kemudian akan disajikan dengan deskripif analitis.
Hasil Penelitian terhadap permasalahan yang dikaji adalah Berlakunya KTP-el mencegah adanya kepemilikan tanah pertanian secara Absentee. Setiap penduduk hanya bisa memiliki 1 NIK. KTP-el juga dapat menanggulangi adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Terbitnya KTP-el memberikan kejelasan mengenai domisili seseorang, sehingga panitia yang bertugas untuk mengawasi program landreform khususnya mengenai program absentee akan mudah untuk mendata tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara absentee. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara absentee dapat didistribusikan kepada petani dalam rangka landreform. Program pengampunan pajak akan membantu mendata adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Setelah data-data mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee sudah didapat, tanah-tanah pertanian tersebut dapat dikontribusikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan adanya Program pengampunan pajak dapat menertibkan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.
Kata kunci : Kepemilikan, tanah pertanian, pengampunan pajak, kartu tanda penduduk.
ABSTRACT
Absentee agricultural land ownership is caused by a void of norm in Article 3 PP No.224 of 1961. In the article is not expressly regulated on the requirements of a person can have agricultural land in the district of his residence. In addition, in Article 3 of PP No.224 of 1961 this does not set the requirements what is required to determine the truth of one's domicile. This creates a loophole for the smuggling of the law in order for a person to have absentee farmland. The provision has not been amended until now. Many of the fraud that arose in the implementation of the
provisions on the prohibition of ownership of agricultural land in absentee is due to the existence of a vacuum norm in the article. The birth of the Electronic Identity Card Program, is a solution to prevent the absentee ownership of agricultural land.
This study uses normative legal research that departs from the existence of a vacuum of norms related to the arrangement the prohibition of agricultural land ownership in absentee after the enactment of KTP-el that is in Article 3 PP No.224 of 1961. In that article is not regulated explicitly about the requirements of a person Can have farmland in the subdistrict of his residence area, causing a loophole for the smuggling of the law in order for a person to have absentee farmland.
The result of this research is KTP-el serves as prevention of absentee farm land ownership. KTP-el will facilitate the task of a Notary in ensuring the truth of the identity of the parties facing to carry out the sale, especially in the case of the sale of agricultural land. Notary / PPAT in performing their duties, the Notary shall act in a trustworthy, honest, thorough, independent, impartial manner, and safeguard the interests of the parties concerned in a legal act. Notary / PPAT is required to carefully determine whether the parties to him can indeed carry out the process of buying and selling agricultural land. With the KTP-el, the Notary / PPAT will not hesitate to carry out the process of buying and selling agricultural land, when the buyer's domicile is in accordance with what is required by the law in Article 10 of UUPA, Article 3 paragraph (1) PP No.224 of 1961, and Article 3 of PP No.224 of 1961.
Keyword : ownership, agricultural land, electronik identity card
Tanah adalah satu kesatuan wilayah yang spesifik dari permukaan bumi. Dalam hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah memiliki beragam makna dari makna filosofis, makna sosiologis, dan makna ekonomis. Tanah secara luas memiliki pengertian meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. Tanah menjadi sumber daya strategis sebagai kekayaan nasional, pemersatu wilayah, karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.94
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75) untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945
menyebutkan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam pasal ini mengandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menyejahterakan segenap rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan isi dari pasal ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) untuk selanjutnya disebut UUPA, mengatur mengenai hukum pertanahan yang sesuai dengan jiwa dari bangsa Indonesia. UUPA diundangkan dengan tujuan untuk: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur; (2) meletakkan dasar- dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan UUPA tersebut ditindak lanjuti dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117), selanjutnya disebut UU Landreform, yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.95
Dalam rangka mewujudkan tujuan dari UUPA dan landreform tersebut, undang-undang yang mengatur
mengenai landreform menguraikan mengenai program-program dari landreform. Adapun Program tersebut antara lain :
-
a) . Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
-
b) . Larangan pemilikan tanah secara absentee;
-
c) . Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah- tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;
-
d) . Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian 96
yang terlampau kecil.
Larangan Kepemilikan Tanah pertanian secara absentee adalah pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar daerah tempat tinggal pemiliknya. Dalam Pasal 10 UUPA secara tegas melarang kepemilikan tanah secara
absentee, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
-
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan;
-
(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan;
-
(3) Pengecualian dari pada asas tersebut pada ayat (1) ini diatur dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, UUPA memberi jaminan kepastian hukum kepada setiap warga negara, tanpa membedakan kaya atau miskin untuk mempunyai hak atas tanah pertanian. UUPA juga memberi perlindungan hukum berupa mencegah terjadinya pemerasan oleh pemilik tanah yang kaya terhadap rakyat miskin, seperti petani penggarap atau buruh tani dalam perjanjian bagi hasil yang tidak adil dan menguntungkan pemilik tanah yang kaya tersebut, dengan mewajibkan pemilik tanah untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanahnya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322) untuk selanjutnya disebut PP No.224 tahun 1961, menyatakan bahwa : “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Dalam Pasal 3 PP No.224 tahun 1961, menentukan bahwa mereka-mereka yang mendapatkan pengecualian untuk memiliki tanah secara guntai (absentee), yaitu:
-
a. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan
tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia landreform daerah tingkat II.
-
b. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
-
c. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
Apabila seseorang ketahuan memiliki kelebihan tanah (absentee) maka tanah tersebut harus dilepaskan atau sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan di atas maka tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian
didistribusikan dalam rangka
landreform. Kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian sesuai peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah tersebut. Dalam prakteknya, kepemilikan tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk asli wilayah tempat tanah pertanian tersebut sudah berpindah ke pihak lain, diluar dari tempat kedudukan tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya pergeseran pemikiran mengenai kegunaan tanah. Tanah pertanian dijadikan objek investasi, baik untuk perumahan, industri, maupun pengembangan pariwisata. Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat terjadinya karena adanya jual-beli tanah dan pewarisan. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) memiliki peranan penting dalam hal tersebut. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Akta tersebut akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud antara lain : jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. Apabila syarat formil administrasi telah terpenuhi oleh masyarakat yang mengajukan
permohonan, maka PPAT tidak mempunyai kewenangan untuk
mengecek keaslian data-data yang diberikan oleh kliennya, karena PPAT tidak memiliki kewenangan secara materiil dalam hal ini. Sepanjang para pihak mengatakan benar semisal Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disebut KTP), apakah itu KTP asli atau palsu, ataupun klien tersebut memiliki KTP lain selain KTP yang diberikan kepada PPAT, maka PPAT hanya menerima saja, tidak menyelidiki mengenai kebenaran materiilnya. Kepemilikan tanah pertanian oleh orang-orang yang berada di luar kecamatan tempat tanah pertanian tersebut dapat terjadi karena adanya pemalsuan dokumen-dokumen kependudukan. Surat domisili sering dipalsukan oleh pembeli agar dapat membeli dan memindahkan haknya terhadap tanah pertanian tersebut. surat domisili dapat dipalsukan karena dahulu Kartu Tanda Penduduk masih konvensional, sehingga orang-orang dapat menggandakan KTP untuk memalsukan dokumen-dokumen. Hal ini disebabkan karena adanya kekosongan norma dalam Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961. Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961 menyatakan bahwa :
(1)Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain dikecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.
(2)Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara effisien, menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.
(3)Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
(4)Ketentuan dalam ayat (1) dan (3) pasal ini tidak berlaku bagi mereka, yang mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau dikecamatan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat (2) pasal ini, yang sedang menjalankan tugas Negara,
menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.
(5)Jika kewajiban tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal ini tidak dipenuhi, maka tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah, untuk kemudian dibagi-bagikan menurut ketentuan Peraturan ini.
(6)Kepada bekas pemilik tanah yang dimaksud dalam ayat 5 pasal ini diberi ganti kerugian menurut Ketentuan Peraturan ini.
Dalam pasal tersebut tidak diatur secara tegas mengenai persyaratan
seseorang dapat memiliki tanah pertanian di kecamatan wilayah tempat tinggalnya. Selain itu, pada Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961 ini tidak mengatur persyaratan apa yang diperlukan untuk menentukan kebenaran dari domisili seseorang. Hal tersebut menimbulkan celah untuk terjadinya penyelundupan hukum agar seseorang dapat memiliki tanah pertanian secara absentee. Ketentuan tersebut sampai saat ini belum dilakukan perubahan. Banyak kecurangan yang timbul dalam pelaksanaan ketentuan mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini akibat dari adanya kekosongan norma pada pasal tersebut.
Perkembangan pendataan kependudukan di Indonesia, melahirkan program baru yaitu Kartu Tanda Penduduk Elektronik (selanjutnya disebut KTP-el). Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) untuk selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan Perubahan) menyatakan bahwa : “Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.” KTP-el merupakan program pemerintah untuk mendata kependudukan yang bertujuan untuk terjaminnya keaslian data kependudukan seseorang dan mempermudah pendataan kependudukan di Indonesia. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 257) untuk selanjutnya disebut PerPres Nomor 112 Tahun 2013, pada Pasal 10B
ayat (1) huruf a dan huruf b dinyatakan bahwa KTP-el merupakan identitas resmi bukti domisili penduduk dan KTP-el dapat digunakan sebagai bukti diri penduduk untuk pengurusan kepentingan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan. Berdasarkan penguraian pasal-pasal tersebut, maka adanya KTP-el dapat mencegah adanya kepemilikan tanah secara absentee.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis mencoba merumuskan permasalahan sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah:
-
1. Bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee sebelum berlakunya KTP-el?
-
2. Bagaimana fungsi KTP-el dalam mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee?
Secara umum yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa, mengenai penataan kepemilikan tanah pertanian secara absentee melalui program kartu tanda penduduk elektronik (ktp-el). Dengan kata lain, penulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa keterkaitan, larangan kepemilikan tanah secara absentee dengan KTP-el.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa mengenai keberadaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee sebelum berlakunya KTP-el serta mengetahui fungsi KTP-el dalam mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee .
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi, tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum agraria dan administrasi kependudukan. Penelitian
untuk menambah pengetahuan mengenai keterkaitan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee setelah berlakunya KTP-el
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, menambah informasi, dan sebagai bahan kajian bagi akademisi, notaris, maupun pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan baru yang lebih efektif.
Penelitian ini menggunakan teori-teori dan konsep-konsep untuk membahas dan menganalisa
permasalahan di atas. Adapun teori dan konsep yang digunakan adalah: teori negara hukum, teori kepastian hukum, konsep tanah absentee dan konsep KTP-el.
-
1. Teori Negara Hukum
Negara Indonesia adalah Negara hukum, demikian dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Negara hukum adalah Negara yang
berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya. Segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.97 Secara teoritis pelaksanaan pemerintahan negara dilandasi oleh ketentuan dalam konstitusi. Konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara yang memuat hal-hal yang fundamental dalam suatu negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechtstaat”, menurut Burkens, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Azas legalitas, artinya setiap
tindakan pemerintah harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Wettelijke Grondslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formal, dan undang-undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah.
-
97Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.111.
Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.
-
b. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
-
c. Hak-hak dasar (grondrechten) dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang.
-
d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.98
-
2. Teori Kepastian Hukum
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana tentang kepastian hukum.
Kepastian hukum berarti hal yang dapat ditentukan
(bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang konkret. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu,
sebelum ia memperoleh dengan perkara.99 Selanjutnya Achmad Ali mengatakan bahwa kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak terhadap kesewenang-wenangan hakim. 100 Teori
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya suatu aturan hukum yang bersifat umum bagi individu dimana aturan hukum tersebut dibuat untuk mengetahui
perbuatan mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan, sedangkan yang kedua teori kepastian hukum berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah, sehingga individu dapat mengetahui dan mengontrol apa saja yang boleh dibebankan dan dilakukan pemerintah atau negara terhadap individu. 101 3. Konsep Tanah Absentee
Larangan Kepemilikan Tanah secara absentee adalah pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal pemiliknya. Dalam Pasal 10 UUPA secara tegas melarang kepemilikan tanah secara absentee, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
-
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan;
-
(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan;
-
(3) Pengecualian dari pada asas tersebut pada ayat (1) ini diatur dalam peraturan perundangan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, menyatakan bahwa : “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Dalam pasal 3 PP No.224 tahun 1961, menentukan bahwa mereka-mereka yang
mendapatkan pengecualian untuk memiliki tanah secara guntai (absentee), yaitu:
-
a. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut
101Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 158.
pertimbangan panitia landreform daerah tingkat II.
-
b. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
-
c. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang
dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
-
4. Konsep KTP-el
KTP-el adalah kartu tanda penduduk yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaanya berfungsi secara komputerisasi. Program KTP-el diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia pada Bulan Februari tahun 201 1. Menurut Pasal 1 angka 14 UU Administarsi Kependudukan, menyatakan
bahwa: “Kartu Tanda Penduduk
Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana.” KTP-el memiliki
fungsi antara lain:
-
1. Sebagai identitas jati diri.
-
2. Berlaku Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;
-
3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP,sehingga tercipta keakuratan data penduduk untuk mendukung program pembangunan.
Penelitian dalam rangka
penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum normatif yang berangkat dari adanya kekosongan norma terkait larangan
kepemilikan tanah pertanian
secara absentee setelah
berlakunya KTP-el yaitu pada Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961.
Dalam pasal tersebut tidak diatur secara tegas mengenai persyaratan seseorang dapat memiliki tanah pertanian di kecamatan wilayah tempat tinggalnya sehingga
menimbulkan celah untuk
terjadinya penyelundupan hukum agar seseorang dapat memiliki tanah pertanian secara absentee.
Dalam penelitian ini akan digunakan ketiga cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan historis.
-
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat, traktat dan bahan hukum dari
penjajahan Belanda yang masih
berlaku. Dalam penelitian ini sumber bahan hukum primer adalah :
-
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
2. Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R.Subekti dan R Tjitrosudibio.
-
3. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
-
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).
-
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).
-
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 174 Tahun
1960,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117).
-
7. Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 (Lembaran Negara Nomor 280 Tahun 1961, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322).
-
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52).
-
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 257).
-
10. Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi Objek
landreform.
-
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu pendapat para sarjana yang terkemuka. Artinya bahan sekunder ini adalah bahan yang sudah tertulis oleh suatu lembaga seperti buku dan jurnal.
-
c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder yang pada dasarnya mencakup :
-
1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum,contohnya seperti abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan lainnya.
-
2. Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat, dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun 102 menunjang data penelitiannya.
Pengumpulan bahan-bahan
hukum dimulai dengan kegiatan inventarisasi, dengan
pengkoleksian dan
pengorganisasian bahan-bahan
hukum ke dalam suatu informasi sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan hukum
dikumpulkan dengan studi
dokumentasi, yakni dengan
melakukan pencatatan terhadap sumber bahan hukum primer dan sekunder, dan kemudian
dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan
dengan menggunakan sistem kartu.
Analisa bahan hukum
dilakukan dengan teknik
-
102Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , Rajawali Press, Jakarta, h.33.
deskriptif, teknik evaluatif dan argumentatif. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan akan dilakukan secara : deskripsi, sistematis, evaluatif, argumentatif dan menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi bahan hukum dan pemahaman hasil analisa komprehensif, artinya analisa dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.
-
II. PEMBAHASAN
-
2.1. Keberadaan Larangan
Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee Sebelum Berlakunya KTP-el
KTP-el merupakan pengganti KTP non eletronik yang dipergunakan masyarakat sebagai kartu identitas resmi. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminstrasi Kependudukan), pengaturan tentang administrasi kependudukan terutama mengenai KTP diatur oleh peraturan peninggalan Staatblad dan peraturan Menteri. Azas legalitas merupakan syarat dari suatu negara hukum. Setiap tindakan pemerintah dan masyarakat harus berlandaskan pada peraturan yang telah dibentuk. Belum tertibnya pengaturan mengenai administrasi kependudukan dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk membuat dokumen kependudukan termasuk KTP dengan identitas yang tidak benar, sehingga mengakibatkan banyaknya KTP palsu dan KTP ganda. Kondisi ini terus berjalan hingga tahun 2009, meskipun UU Administrasi Kependudukan telah diberlakukan. Kesadaran akan kerugian yang ditimbulkan dengan
adanya KTP palsu dan KTP ganda tersebut, membuat Menteri Dalam Negeri pada masa itu mengajukan usul mengenai tiga program strategis nasional, yang meliputi: Pemutakhiran Data Kependudukan, Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP-el. Penerapan KTP-el diprogramkan oleh Menteri Dalam Negeri diselesaikan dalam kurun waktu 2011-2013. Tujuan utama adanya tiga program strategis nasional tersebut adalah untuk menghentikan kerugian negara yang timbul karena tidak tertibnya administrasi kependudukan, terbitnya KTP palsu dan KTP ganda yang menyebabkan adanya berbagai kejahatan seperti perdagangan orang, terorisme, kejahatan perbankan, permasalahan pelayanan publik, dan lain sebagainya.
Penggantian KTP non eletronik menjadi KTP-el merupakan upaya pemerintah untuk menertibkan administrasi kependudukan dan mempermudah urusan-urusan pelayanan publik bagi masyarakat. KTP non eletronik tidak dapat merekam data-data pribadi penduduk, sehingga mudah bagi masyarakat untuk memiliki KTP ganda. Selain itu, walaupun sudah memiliki KTP, masyarakat masih memerlukan surat-surat kependudukan lainnya, contohnya seperti surat keterangan domisili. Berkaitan dengan adanya larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee, KTP menjadi salah satu persyaratan penting untuk memilikan tanah pertanian.
Setiap peralihan hak atas tanah hanya bisa dilakukan dengan dibuatkan akta peralihan haknya yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Untuk memiliki tanah pertanian di suatu wilayah,
seseorang harus memenuhi persyaratan yang diatur di dalam undang-undang yang terkait dengan landreform. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyebutkan bahwa hak atas tanah memberikan wewenang kepada yang berhak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Orang yang ingin memiliki tanah pertanian wajib bertempat tinggal di satu kecamatan tempat tanah pertanian tersebut berada. Selain itu, orang atau pemilik tanah pertanian tersebut diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertanian tersebut secara aktif. Sebelum berlakunya KTP-el, sering terjadi adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Hal ini terjadi karena digunakannya surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP untuk menunjukkan bahwa orang tersebut berdomisili yang sama dengan letak tanah pertanian itu berada atau setidak-tidaknya pada kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah tersebut.
Menurut hukum perdata Indonesia, di dalam domisili terkandung arti teritorial sehingga yang dimaksud dengan domisili adalah tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum (kota atau rumahnya). Vollemar mengatakan bahwa disamping tempat tinggal yang nyata, kita juga harus mengakui adanya tempat tinggal dalam arti yuridis. Domisili seseorang dapat mempunyai pengaruh terhadap kecakapan atau wewenang
tindakan seseorang. 103 Menurut J. Hardjawidjaja dan Ko Tjai Sing dalam arti hukum domisili adalah tempat di mana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban serta melaksanakan hak-haknya itu, sedangkan menurut KUH Perdata, domisili ditentukan berdasarkan tempat di mana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi yang bersangkutan. 104
Domisili mempunyai arti yang lebih luas, dapat berarti tanah asal atau tanah air seseorang yang tentunya terdapat ikatan batin antara orang dengan tempatnya. Menurut hukum adat, maka hukum yang berlaku bagi seseorang ialah hukum yang berlaku di daerah dan dalam suku di mana ia dilahirkan dan dalam suku orang tuanya dilahirkan (bagi orang Jawa) atau ayahnya dilahirkan (bagi orang Minahasa) atau daerah ibunya (Minangkabau). Jadi tidak didasarkan asas territorial sehingga harus diakui bahwa di dalam hukum Indonesia domisili seseorang tidak semata-mata ditentukan secara teritorial, tetapi bahkan terutama ditentukan secara geneologis. 105 Surat keterangan domisili merupakan surat keterangan yang menjelaskan tentang keberadaan seseorang menetap di suatu tempat. Surat keterangan domisili ini biasanya dibuat/dikeluarkan sebagai pengganti KTP guna keperluan tertentu. Surat keterangan domisili haruslah sesuai dengan domisili sebenarnya. Dalam kamus hukum disebutkan bahwa domisili/tempat
-
103R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, h. 7.
-
104R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 165
-
105Ibid, h.171
kediaman terkait dalam halnya seseorang bertanggung jawab akan dirinya sendiri terhadap masyarakat dan pemerintah, ia harus memiliki domisili yang ditetapkan seperti yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau pada kartu tanda pengenal lainnya. 106
Dalam prakteknya, penggunaan surat keterangan domisili digunakan untuk mempermudah adanya transaksi jual-beli tanah pertanian karena pihak pembeli tidak memiliki identitas yang semestinya sesuai dengan syarat formal/administratif dari proses jual-beli tanah pertanian, yaitu KTP yang berdomisili sama dengan letak tanah tersebut. Syarat jual-beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil menentukan keabsahan jual beli tanah tersebut. Syarat materiil tersebut antara lain :
-
1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya ditentukan berdasarkan hak yang ada pada tanah tersebut. Dalam Pasal 21 UUPA disebutkan bahwa yang berhak untuk untuk mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).
-
2. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Pihak yang berhak menjual suatu bidang tanah harus pemegang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.
-
3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual-belikan dan tidak sedang dalam sengketa.
Hak-hak atas tanah yang boleh diperjual-belikan yang ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah, yang diperjual-belikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjual-belikan, maka jual-beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual-beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak dalah batal demi hukum artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual-beli.
Syarat formal meliputi
pengalihan hak atas tanah. Setelah semua persyaratan materiil
dipenuhi maka PPAT akan membuat akta jual belinya. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat, sedangkan dalam hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit, kontan, nyata, dan riil. Untuk
mewujudkan adanya kepastian hukum bagi masyarakat terhadap peralihan hak atas tanah, dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Jadi, setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Sebelum akta jual beli dibuat oleh PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, antara lain :
-
1. Jika tanah sudah bersertifikat: sertifikat tanah yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya
pendaftarannya.
-
2. Jika tanah belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk pensertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli. Setelah akta jual beli dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditanda tangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor Badan Pertanahan Nasional untuk pendaftaran pemindahan haknya.
Jual-beli tanah pertanian yang menyebabkan adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee dengan menggunakan memalsukan domisili dari pembeli tidaklah sah. Jual-beli tersebut tidak memenuhi persyaratan secara materiil, karena pembeli tersebut tidak berhak untuk membeli tanah pertanian karena tidak memiliki
domisili yang sama dengan letak tanah pertanian. Pada lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan disebutkan bahwa salah satu persyaratan dalam pemberian hak milik adalah fotocopy identitas (KTP,KK) dari pemohon. Dilihat dari peraturan tersebut, secara eksplisit yang diakui sebagai identitas dari pemohon adalah berupa KTP dan tidak ada disebutkan penggunaan surat keterangan domisili sebagai pengganti dari KTP. Berdasarkan hasil wawancara pada hari Senin, tanggal 3 April 2017 dengan Bapak I Made Sujana selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Kasi HTPT) Badan Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Tabanan, digunakannya surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP dalam proses jual-beli tanah sudah terjadi sejak dulu karena untuk mempermudah kepentingan masyarakat dalam urusan pertanahan. Proses jual-beli tanah yang menggunakan surat keterangan domisili tersebut tetap dianggap sah karena surat keterangan domisili tersebut juga merupakan identitas diri sama halnya seperti KTP. Perbedaan antara surat keterangan domisili hanya sifat berlakunya. Surat keterangan domisili hanya berlaku sementara yaitu selama 6 bulan, sedangkan KTP berlaku permanen. Dalam surat keterangan domisili menjelaskan dan menegaskan bahwa seseorang adalah penduduk yang memang benar-benar warga masyarakat setempat atau absent di wilayah tersebut, yang kemudian seseorang/pemohon tersebut secara yuridis tidak digolongkan sebagai pemilik tanah yang
melanggar ketentuan pemilikan tanah absentee. Peran klian banjar dinas atau perbekel di suatu desa menjadi sangat penting karena klian banjar dinas atau perbekel yang mengeluarkan surat
pengantar untuk memperoleh surat keterangan domisili. Klian banjar atau perbekel memiliki peranan penting karena yang paling tahu apakah pemohon tersebut benar berdomisili di wilayahnya atau tidak. Namun dalam prakteknya hal tersebut sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
mendapatkan surat pengantar palsu demi kelancaran urusan yang akan dilakukan oleh masyarakat. Klian banjar atau perbekel akan mengeluarkan surat pengantar palsu atau dengan keterangan yang tidak benar, karena menurut mereka bahwa semua masyarakat harus dilayani. Selain itu, untuk setiap surat yang dikeluarkan oleh klian banjar dinas atau perbekel harus dibayar oleh masyarakat, sehingga ada pemasukan bagi kas banjar. Berlakunya surat keterangan domisili yang hanya bersifat sementara yaitu selama 6 bulan, akan bertentangan dengan asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas tanah pertanian yang tercantum dalam Pasal 10 UUPA. Pemilik tanah pertanian harus secara optimal mengerjakan dan mengusahakan tanah pertaniannya sendiri. Dengan digunakannya surat keterangan domisili dalam proses jual-beli tanah pertanian dapat menimbulkan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.
-
2. 2. Fungsi KTP-el dalam Mencegah Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee
Perkembangan pendataan
administrasi kependudukan
melahirkan program baru yaitu KTP-el. KTP-el merupakan salah satu program unggulan
pemerintah dibidang administrasi kependudukan yang diharapkan dapat menanggulangi
permasalahan kependudukan yang selama ini kerap terjadi di Indonesia. KTP-el merupakan
program pemerintah untuk
mendata kependudukan yang
bertujuan untuk terjaminnya
keaslian data kependudukan
seseorang dan mempermudah
pendataan kependudukan di Indonesia. Adanya KTP-el
memudahkan pemerintah dalam berbagai aspek, seperti
kemudahan dalam pendataan
penduduk, kemudahan dalam memberikan pelayanan publik,
serta mencegah kejahatan-
kejahatan yang dapat ditimbulkan saat masih menggunakan KTP konvensional. Program KTP-el merupakan suatu terobosan
pemerintah guna menjamin
adanya kepastian hukum bagi masyarakat sehingga tidak
menimbulkan keraguan untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Dalam teori kepastian
hukum mengandung 2 (dua)
pengertian yaitu pertama adanya suatu aturan hukum yang bersifat umum bagi individu dimana aturan hukum tersebut dibuat untuk mengetahui perbuatan mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan, sedangkan yang kedua teori kepastian hukum berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah, sehingga individu dapat
mengetahui dan mengontrol apa saja yang boleh dibebankan dan dilakukan pemerintah atau negara 107
terhadap individu. 107
Secara umum, fungsi dari adanya KTP-el adalah untuk memudahkan pemerintah
memberikan pelayanan publik
-
107Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 158.
kepada masyarakat. KTP-el dibuat agar memudahkan pendataan jumlah penduduk, memudahkan pemerintah untuk mengetahui kebenaran data kependudukan seseorang dan mencegah kejahatan-kejahatan baik dibidang pidana, perdata, maupun administrasi. Keterkaitan antara KTP-el dengan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee, tidak terlepas dari kaitannya dengan tugas dari seorang Notaris/PPAT dan tugas dari Pemerintah. Bagi seorang Notaris/PPAT, dengan adanya KTP-el akan memudahkan tugas seseorang Notaris dalam memastikan kebenaran identitas para pihak yang menghadap untuk melaksanakan jual-beli, terutama dalam hal jual-beli tanah pertanian. Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Notaris/PPAT diwajibkan harus dengan seksama memastikan apakah para pihak yang menghadap kepadanya memang dapat melaksanakan proses jual-beli tanah pertanian. Dengan adanya KTP-el, maka Notaris/PPAT tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan proses jual-beli tanah pertanian, saat domisili pihak pembeli memang sudah sesuai dengan apa yang diminta oleh undang-undang pada Pasal 10 UUPA, Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, dan Pasal 3 PP No.224 tahun 1961.
Bagi pemerintah, adanya KTP-el berfungsi sebagai pencegahan timbulnya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dahulu saat sebelum adanya KTP-el susah untuk dicegah adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee, karena masyarakat menggunakan surat keterangan domisili sebagai
pengganti KTP dalam persyaratan terjadinya jual-beli tanah pertanian. Selain itu, mudahnya seseorang penduduk mempunyai KTP lebih dari satu, juga menjadi hambatan bagi pemerintah dalam pelaksanaan program larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, tandatangan pemegang KTP-el. Selain data diri, dalam KTP-el yang dilengkapi oleh cip tersebut, terekam pula sidik jari dan iris mata. Data-data perseorangan tersebut akan terekam secara nasional, sehingga menyulitkan seseorang untuk menggandakan atau memalsukan identitasnya. Adanya NIK tunggal dalam KTP-el juga membantu pemerintah sehingga tidak mungkin untuk seorang penduduk memiliki KTP-el lebih dari satu. Dengan adanya identitas tunggal dan jelasnya domisili seorang penduduk, maka tidak dimungkinkan bahwa seorang yang tidak memenuhi kriteria sesuai Pasal 10 UUPA, Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, dan Pasal 3 PP No.224 tahun 1961 dapat memiliki tanah pertanian.
-
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya terhadap permasalahan yang dikaji, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Keberadaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee sebelum berlakunya KTP-el sangat sulit untuk dicegah. KTP yang menjadi syarat utama terjadinya jual-beli yang berfungsi sebagai identitas diri sering dipalsukan domisilinya agar memenuhi persyaratan untuk membeli tanah pertanian sesuai dengan Pasal 10 UUPA, Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, dan Pasal 3 PP No.224 tahun 1961. Selain pemalsuan KTP, juga sering digunakan surat keterangan domisili untuk melaksanakan adanya transaksi jual-beli tanah pertanian. Hal ini tidak dibenarkan, karena surat keterangan domisili bukan merupakan syarat untuk dilakukannya proses jual-beli, selain itu surat keterangan domisili rentan untuk dipalsukan dan sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
-
2. Fungsi KTP-el dalam mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu KTP-el berfungsi sebagai pencegahan timbulnya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dahulu saat sebelum adanya KTP-el susah untuk dicegah adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee, karena masyarakat
menggunakan surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP dalam persyaratan terjadinya jual-beli tanah pertanian. Bagi seorang Notaris/PPAT, dengan adanya KTP-el akan memudahkan tugas seseorang Notaris dalam memastikan kebenaran identitas para pihak yang menghadap untuk melaksanakan jual-beli, terutama dalam hal jual-beli tanah pertanian. Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Notaris/PPAT diwajibkan harus dengan seksama memastikan apakah para pihak yang menghadap kepadanya memang dapat
melaksanakan proses jual-beli tanah pertanian. Dengan adanya KTP-el, maka Notaris/PPAT tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan proses jual-beli tanah pertanian, saat domisili pihak pembeli memang sudah sesuai dengan apa yang diminta oleh undang-undang pada Pasal 10 UUPA, Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, dan Pasal 3 PP No.224 tahun 1961.
Berdasarkan uraian dan
pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya
terhadap permasalahan yang dikaji maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:
-
1. Kepada Notaris/PPAT penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah tidak lagi digunakan untuk mencegah timbulnya pemilikan-pemilikan tanah absentee baru, sesuai dengan ketentuan larangan pemilikan tanah absentee sehingga tujuan yang dari larangan pemilikan tanah absentee dapat tercapai.
-
2. Bagi pemerintah dan badan legislatif, perlu dikaji kembali peraturan-
peraturan mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee.
Penggunaan surat keterangan domisili harus dipertegas untuk tidak digunakan lagi dalam proses jual-beli tanah pertanian. Harus ada peraturan baru yang dibuat mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Program KTP-el harus ikut disesuaikan dalam pengaturan yang baru mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.
DAFTAR BACAAN
BUKU
Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Fiosofis Dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta.
Apeldoorn, Van, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Burkens M. et.al., 1990, Beginselen can de Democratiche Rechtsstaat, Dalam Yohanes Usfunan, Kebebasan Berpendapat Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.
Busro, Abu Daud dan Abu Bakar Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Limbong, Bernhard, 2014, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Perangin, Effendi, 1986, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV.Rajawali, Jakarta.
Prajogo, Soesilo, 2007, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Wacana Intelektual, Jakarta.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung
R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , Rajawali Press, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R.Subekti dan R Tjitrosudibio.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1960,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117).
Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 (Lembaran Negara Nomor 280 Tahun 1961, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 257).
Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi Objek landreform.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018
91
Discussion and feedback