Acta Comitas (2017) 2 : 1 89 – 200

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

AKIBAT HUKUM LIKUIDASI BANK TERHADAP KEBERADAAN AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) Oleh

I Gusti Agung Bagus Hendra Praditya*, I Made Arya Utama**, I Ketut Westra***

ABSTRAK

Dalam era globalisasi seperti saat ini dimana pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berkembang pesat, menuntut manusia untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidupnya. Adapun yang ingin berusaha dapat memanfaatkan jasa perbankan dengan melakukan pinjaman kredit kepada lembaga perbankan dengan jaminan tanah yang dalam prosesnya akan diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan, namun bagaimana apabila dalam perjalanan bank yang memberikan kredit tersebut mengalami likuidasi dikarena pengelolaan yang buruk, bagaimana akibat dan perlindungan hukumnya, sehingga dalam rumusan masalah penelitian ini antara lain Bagaimanakah akibat hukum terhadap Akta Pemberian Hak Tangungan dalam hal suatu bank dilikuidasi dan Bagaiamanakah perlindungan hukum terhdap pemilik barang jaminan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam hal suatu bank dilikuidasi.

Penelitian Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, yang dikaitkan dengan pendekatan konsep dan pendekatan analisis. Pendekatan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian tesis ini yaitu dengan mengkaji dan menganilis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Pendekatan konsep untuk menemukan konsep bagi suatu fakta hukum akibat dari likuidasi bank terhadap akta pemberian hak tanggungan dan pendekatan analisi untuk menganalisis bagaimana makna pada istilah hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan-undangan untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum likuidasi bank terhadap akta pemberian hak tanggungan bila sudah didaftarkan di kantor pertanahan mempunyai kekuatan dan memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, namun apabila dalam prosesnya terjadi likuidasi terhadap bank tersebut jaminan yang dijaminkan dengan akta pemberian hak tanggungan dapat dilelang atau kredinya di take over ke bank lain, dan apabilan proses yang dijalankan semua sesuai dengan aturan perundang-undangan juga akan memberikan perlindungan hukum baik perlindungan hukum preventif dan represif.

dapat mempertahankan kesinambungan usahanya dengan senantiasa menjaga kemampuan untuk menciptakan hasil usaha yang dapat menambah struktur pendanaan dan permodalnnya. Selain itu, bank sebagai lembaga utama di bidang keuangan juga diharapkan dapat menjaga kepercayaan masyarakat atas simpanan yang ditanamkan kepadanya. Mengingat tugas tersebut memiliki sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, pengaturan atas industri perbankan nasional mutlak diperlukan untuk menjaga keseimbangan diantara tugas-tugas diatas.1

Pengaturan keberadaan Lembaga perbankan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disebut UU Perbankan). Tugas perbankan di Indonesia

1Jonker Sihombing, 2010, Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan, Alumni, Bandung (selanjutnya disebut Jonker Sihombing I), h.1

sebagaimana terdapat pada ketentuan Pasal 4 UU Perbankan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu juga bank memiliki fungsi atau peranan yaitu :

  • a.    Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk atau jenis simpanan;

  • b.    Menyalurkan dana yang terkumpul di bank kepada masyarakat dalam bentuk kredit;

  • c.    Melayani atau mengemban tugas sebagai pelayan lalu lintas pembayaran uang melakukan berbagai aktivitas kegiatan antara lain pengiriman uang, inkaso, cek wisata, kartu kredit, dan pelayanan lainnya.

Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang perbankan di Indonesia hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat, dengan variasi adanya bank umum dan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah.2 Berdasarkan kepemilikannya, bank dibedakan atas bank milik pemerintah berbentuk BUMN, milik pemerintah daerah berbentuk perusahaan daerah, dan milik swasta.

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk lainnya. Dari produk dan jasa perbankan yang ditawarkan ini, pendapatan atau keuntungan suatu bank lebih banyak dari pemberian kredit kepada nasabahnya. Oleh karenanya pemberian kredit secara terus menerus dilakukan oleh bank untuk kesinambungan operasionalnya. Operasi bank di bidang pemberian fasilitas kredit adalah fungsi utama dari bisnis perbankan, yaitu fungsi menyalurkan dana kepada mereka yang memerlukan setelah menerima pengumpulan dana dari para deposan penyimpan dana. Fungsi ini juga memberikan penghasilan yang paling besar sebanding dengan resiko yang dihadapi perbankan. Karena dengan semakin meningkatnya pertumbuhan kredit (penyaluran kredit) biasanya disertai pula dengan meningkatnya kredit yang bermasalah, walau persentase jumlah dan peningkatannya kecil tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan.

Lembaga perbankan yang sehat dan beroperasi dengan baik menjadi kebutuhan nyata yang tidak dapat dipungkiri dewasa ini. Dipihak lain kegiatan perbankan penuh dengan berbagai macam resiko, mulai dari resiko operasional, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko suku bunga, resiko kredit dan berbagai jenis resiko lainnya. Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama

Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.

Dalam dunia bisnis kata “kredit” berarti “kesanggupan” dalam meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.3 Pengertian kredit sendiri menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga.” Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.

Pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa resiko, karena suatu resiko bisa saja terjadi. Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitur berasal atau bersumber dari masyarrakat yang disimpan pada bank itu sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.

Likuiditas keuangan, solvabilitas, dan profitabilitas bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang disalurkan. Kebanyakan bank yang bangkrut atau menghadapi kesulitan keuangan yang akut disebabkan terjerat kasus-kasus kredit macet dalam jumlah besar. Untuk mengurangi risiko tersebut jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan

  • 3Ibid, h. 30

yang telah diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian terhadap calon debiturnya sebagai prinsip kehati-hatian yang dikenal dengan prinsip 5 C, yaitu :

  • 1.    Penilaian watak/ kepribadian (Character) 2. Penilaian Kemampuan (Capacity)

  • 3.    Penilaian terhadap modal (Capital)

  • 4.    Penilaian terhadap agunan (Collateral)

  • 5.    Penilaian terhadap aspek usaha (Condition

Of Economy) 4

Sebagaimana diketahui bahwa unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhi segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank (kreditur) oleh debitur, antara lain : jelasnya tujuan perntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Makna dari kepercayaan tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan.5 Dalam membangun suatu kepercayaan, antara pihak bank (kreditur dengan debitur), dibutuhkan berbagai informasi. Informasi-informasi yang dibutuhkan dari debitur akan diminta oleh pihak kreditur, yang dikenal dengan persyaratan-persyaratan kredit. Sedangkan pihak debitur sendiri sepatutnya diminta berbagai informasi tentang fasilitas yang akan diberikan oleh kreditur. Informasi-informasi dari kedua belah pihak akan membentuk “kesepakatan” dan selanjutnya menimbulkan kepercayaan atau kredit.6

Dalam UU Perbankan, menyatakan bahwa bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit antara lain :

  • 1.    Wajib     memperhatikan      asas-asas

perkreditan atau pembiayaan yang sehat, artinya mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik, kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;

  • 2.  Memiliki, menerapkan  pedoman dan

pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia.7

Dari ketentuan diatas,  dapat diketahui

bahwa terdapat kekosongan norma karena dalam UU Perbankan tidak mengatur mengenai persyaratan penyerahan    jaminan dalam

pemberian kredit menjadi suatu keharusan. Namun dalam pelaksanaannya bank dalam memberikan kredit tetap meminta agunan dari pemohon kredit. Selain itu dilakukan analisis yang mendalam terhadap penilaian watak, kemampuan, modal dan kondisi ekonomi.

Adapun beberapa fungsi pokok pemberian jaminan meliputi antara lain sebagai berikut : 1. Untuk menjaga harta bank dalam bentuk kredit, karena dengan diserahkan jaminan kepada bank, maka bank berhak memperoleh pelunasan atas hasil penjualan barang jaminan apabila debitur cidera janji, 2. Menjamin agar pembiayaan usaha tersebut berjalan lancar dengan diserahkan harta pemilik (debitur) sebagai jaminan bank yang secara moril debitur akan bertanggungjawab terhadap proyek usahanya sendiri,

  • 3.    Mendorong debitur untuk membayar kembali utangnya agar tidak kehilangan harta yang telah dijaminkan tersebut.8

Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat, pada umunya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak debitur kepada pihak kreditur. Jaminan utang berupa benda sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan.9 Kebendaan yang dijaminkan untuk pelunasan utang itupun tidak dibatasi macam maupun bentuknya, yang jelas kebendaan tersebut harus mempunyai nilai secara “ekonomis” serta memiliki sifat “mudah dialihkan” atau “mudah diperdagangkan”, sehingga kebendaan tersebut tidak akan menjadikan suatu “beban” bagi kreditur untuk menjual lelang ada waktunya, yaitu pada saat mana debitur secara jelas melalaikan kewajibannya, sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku dalam perjanjian pokok yang melahirkan utang-piutang tesebut.10

Adapun jaminan ini sangat penting kedudukannya dalam mengurangi resiko kerugian bagi pihak bank (kreditur). Adapun jaminan yang ideal dapat dilihat dari :

  • 7M. Bahsan,2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2.

  • 8Rudy Tri Santoso, 1996, Kredit Usaha Perbankan, ANDI, Yogjakarta, h. 188.

  • 9 M. Bahsan,opcit, h. 2.

  • 10Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2003, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4.

  • a)    Dapat membantu memperoleh kredit bagi pihak yang memerlukan;

  • b)    Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk meneruskan usahanya;

  • c)    Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa apabila perlu, maka diuangkan untuk melunasi utang si debitur.11

Fungsi dari pemberian jaminan adalah guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitur bercidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Terhadap jaminan yang diserahkan oleh pihak debitur, pihak bank selaku kreditur mempunyai kewajiban untuk melindungi debiturnya, karena hal ini berkaitan dengan kepentingan bank juga selaku penerima jaminan. Dalam rangka pencapaian tujuan ekonomi, maka kredit harus diberikan dengan jaminan kepatian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang salah satunya adalah membuat perjanjian kredit yang berfungsi memberi batasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tersebut. Dalam hukum jaminan dikenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktek di masyarakat, yaitu:

  • 1.    Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal  guarantee),   yaitu jaminan

seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam glongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain paasti dibayar;

  • 2.    Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil serta harta benda debitur, meliputi : privilege (hak istimewa), gadai dan hipotek.12

Dahulu sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, praktek jaminan yang sering digunakan pada Perbankan Indonesia adalah jaminan kebendaan yang meliputi :

  • 1.    Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 KUHPerdata);

  • 2.    Creditverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 6 Juli 1908 No. 50 (Stb. 1980 No. 542);

  • 3.    Fidusia (Fiduciare eigendoms overdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan;13

Adapun yang merupakan ciri-ciri lembaga hak jaminan atas tanah menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor ; 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3632 (selanjutnya disebut UUHT) yaitu sebagai berikut :

  • a.   Memberikan kedudukan mendahulukan

(hak preferensi) kepada pemegangnya;

  • b.   Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan,

ditangan siapapun obyek tersebut berada;

  • c.   Memenuhi asas spesialitas dan publisitas,

sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

  • d.    Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.14

Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UUHT, maka hipotek yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Creditverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Apabila didalam hubungan perutangan, debitur tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila hutang tersebut sudah dapat ditagih yaitu terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual benda-benda jaminan debitur, yang kemudian hasil dari

13Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, opcit, h. 91

  • 14 Munir Fuady I, Opcit, h.66.

penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi hutang debitur.15

Untuk dapat melaksanakan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tertentu dari debitur yang dijaminkan tersebut yaitu dengan cara melalui eksekusi benda jaminan maka kreditur harus mempunyai alas hak untuk melaksanakan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial. Syarat adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi kreditur terhadap perbuatan yang melampaui batas dari debitur. Titel eksekutorial dapat timbul berdasarkan putusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial yang memutuskan bahwa debitur harus membayar sejumlah pembayaran tertentu atau prestasi tertentu, atau dapat juga berdasarkan akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial, dalam bentuk grosse akta. Menurut ketentuan Undang-Undang, Grosse Akta Notaris mempunyai kekuatan eksekutorial. Dimana didalam akta itu dimuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur.

Bank dalam menjalankan kegiatannya apabila tidak dilaksanakan dengan sehat maka tidak jarang ada yang menjadi bank yang dikategorikan memjadi bank gagal sehingga bisa terancam untuk dilikuidasi. Salah satu faktor penting penyebab dari dilikuidasinya suatu bank adalah faktor kesehatan bank. Kesehatan bank merupakan salah satu produk dari Bank Indonesia yang berkaitan dengan tugas pembinaan dan pengawasan. Selain berpegang pada prinsip kehati-hatian terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan bank antara lain yaitu dengan :

  • 1.    Menjaga Capital Adequacy Ratio (CAR);

  • 2.    Memperhatikan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK);

  • 3.    Menjaga Likuiditas;

  • 4.    Pengelolaan Loan to Deposit Ratio (LDR);

  • 5.    Pengelolaan Net Open Position (NOP);

  • 6.    Meminimalkan Non Performing Loan (NPLs). 16

Terkait hal tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993, yang mengatur tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia dengan Surat Edaran No. 23/21/BPPP tanggal 23 Februari 1991. Metode atau cara penilaian

tingkat kesehatan bank tersebut di atas kemudian dikenal sebagai metode CAMEL.17

Proses likuidasi bank merupakan kewenangan dari Bank Indonesia yang pelaksanaan proses likuidasi dan pemberesan aset bank gagal tersebut oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Likuidasi bank itu bukan sekadar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Jadi, secara sederhana likuidasi bank dapat diartikan sebagai kelanjutan dari tindakan pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, yakni tindakan penyelesaian hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, guna mengakhiri badan hukum dan menyelesaikan segala hak dan kewajiban bank. Proses likuidasi bank baru akan dilakukan apabila suatu bank telah dicabut izin usahanya dan dibubarkan badan hukumnya.18

Kewenangan mencabut izin usaha suatu bank merupakan kewenangan yang didistribusikan kepada Bank Indonesia sebagai kewenangan diskresioner, karena suatu bank telah gagal memenuhi prudential standards yang ditetapkan, sementara likuidasi bank adalah cara atau proses untuk menyelesaiakan hak dan kewajiban bank. Adapun likuidasi dipilih sebagai proses keperdataan untuk mengakhiri (membubarkan) badan hukum bank dan menyelesaikan hak dan kewajiban bank, termasuk menjual asset, menagih piutang dan membayar utang, dengan tujuan agar nasabah penyimpan dana pada bank terlindungi haknya.19

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia, agar sistem perbankan dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional, maka arah kebijakan di sektor perbankan bertujuan agar hanya bank yang sehat saja dapat terus eksis berusaha dalam sektor perbankan nasional, sedangkan bank yang mengalami “kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya” dan

  • 17Ibid, h. 141

  • 18Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 532

  • 19Andrian Sutedi, 2008, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 139

tidak dapat diselamatkan lagi, dan/atau “keadaan suatu bank yang membahayakan sistem perbankan”, maka bank tersebut harus keluar dari sektor perbankan (exit policy).20

Pencabutan izin usaha suatu bank dilakukan oleh Pimpinan BI dikarenakan bank tersebut tidak dapat mengatasi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian BI, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.21

Ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menetapkan dua alasan hukum yang memungkinkan suatu bank dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, yaitu:

  • 1.    Apabila menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan; atau

  • 2.    Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank.22

Berdasarkan salah satu alasan hukum tersebut, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha suatu bank dan kemudian memerintahkan direksi bank yang dicabut izin usahanya tersebut untuk segera membubarkan badan hukum dan melikuidasi bank yang bersangkutan. Hal yang menarik untuk dibahas yaitu mengenai keberadaan dari APHT pada bank yang mengalami proses likuidasi tersebut, keberadaan mengenai APHT saat terjadi likuidasi belum diatur baik dalam UU Perbankan maupun dalam UUHT, sehingga mengakibatkan terjadi kekosongan norma. Akibat terjadinya kekosongan norma hukum dalam pengaturan mengenai keberadaan APHT apabila kemudian bank mengalami likuidasi ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum atau ketidakpastian perundang-undangan     di

masyarakat yang dapat mengakibatkan kekacauan hukum. Permasalahan yang terjadi perlunya kepastian hukum baik bagi nasabah maupun pihak bank sendiri, nasabah sebagai debitur apabila belum dapat melunasi utang-utangnya pada saat bank mengalami likuidasi tentunya perlu mendapat pengaturan yang jelas karena terkait dengan jaminan yang

diagunkannya pada bank tersebut. Hal inilah yang menarik untuk dibahas karena berkaitan juga dengan kepastian hukum bagi pihak bank dan nasabah pemilik jaminan yang diikat dengan APHT tersebut. Atas dasar latar belakang diatas maka penelitian mengenai Akibat Hukum Likuidasi Bank Terhadap Keberadaan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sangat menarik untuk dilakukan.

Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan likuidasi bank dan keberadaan akta pemberian hak tanggungan (APHT), yaitu : a. Tesis dari Fatima Syuraini Dewi,

NIM B4B 007  077, alumni

Program      Studi      Magister

Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas           Diponegoro,

Semarang, Tahun 2009 dengan judul tesis  adalah  Roya Hak

Tanggungan  Dalam  Hal Bank

Dilikuidasi Di Kantor Pertanahan Jakarta Timur. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang      pertama      mengenai

bagaimanakah pelaksanaan roya hak tanggungan dalam hal bank dilikuidasi di kantor Pertanahan Jakarta Timur dan yang kedua mengenai hambatan atau kendala apa    yang    dihadapi    dalam

permohonan roya apabila bank selaku kreditur telah dilikuidasi di kantor pertanahan Jakarta Timur dan bagaimana penyelesaiannya.

  • b. Tesis dari Norlita Aminie, NIM 18877/PS/MK/06, alumni Program Studi    Magister    Kenotariatan

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, Tahun 2008 dengan judul tesis adalah Akibat     Hukum     Terhadap

Keterlambatan Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Ke Kantor Pertanahan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang      pertama      mengenai

bagaimanakah praktek pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 dan yang kedua mengenai      apakah      yang

menyebabkan       keterlambatan

pendaftaran APHTapakah praktek pembuatan APHT sudah dapat memberkan kepastian hukum kepada pihak Pemberi Hak

Tanggungan dan pihak Penerima Hak Tanggungan.

Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Akibat Hukum Likuidasi Bank Terhadap Keberadaan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya.

  • 2. TINJAUAN UMUM TENTANG BANK,

LIKUIDASI     DAN     HAK

TANGGUNGAN

  • 1.1    BANK

    • 1.1.1    Pengertian dan Dasar Hukum

Bank

Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia.23 Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.24

  • 1.1.2    Jenis Usaha Dan Fungsi Bank

Baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Adapun bank konvensional yakni bank yang dalam operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip konvensional yang menggunakan dua metode, yakni :

  • 1.    Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti tabungan, giro, deposito berjangka,    maupun    produk

pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan     tingkat     bunga

tertentu.

  • 2.    Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.25

  • 1.1.3    Kewajiban Bank

Kewajiban bank juga tercantum dalam ketentuan Pasal 37 B UU Perbankan yang menyatakan bahwa :

  • 1.    Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

  • 2.    Untuk    menjamin    simpanan

masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

  • 3.    Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.

  • 4.    Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut      dengan      Peraturan

Pemerintah.

  • 1.1.4    Penilaian Kesehatan Bank

Kesehatan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.

  • 1.2    LIKUIDASI

    • 1.2.1    Pengertian dan Dasar Hukum Likuidasi

Likuidasi bank dalam perspektif Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dimulai dari pencabutan izin usaha bank oleh Bank Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pembubaran badan hukum dari bank yang dillikuidasi tadi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi.26

  • 1.2.2    Alasan Hukum Likuidasi Bank

Alasan likuidasi (pembubaran) yang terdapat diatas sangatlah erat kaitannya dengan kepentingan umum. Likuidasi dalam hal ini merupakan sanksi administratif/publik terhadap bank, sebagai akibat pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan terhadap Undang-Undang Perbankan (Pasal 29 s/d Pasal 36) yang berkaitan dengan kepentingan umum. Berdasarkan salah satu alasan hukum tersebut, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha suatu bank dan kemudian memerintahkan direksi bank yang dicabut izin usahanya tersebut untuk segera membubarkan badan hukum dan melikuidasi bank yang bersangkutan.

  • 1.2.3    Mekanisme       Pelaksanaan

    Likuidasi Bank

Likuidasi yang terjadi pada suatu bank tidak sama halnya dengan likuidasi perusahaan, dalam likuidasi perusahaan biasanya yang

26Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gamedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 167

melakukan likuidasi didasarkan pada usul kreditur yang menyatakan perusahaan itu pailit maupun oleh kehendak para pemegang saham. Sedangkan dalam likuidasi bank lebih bersifat dipaksakan. Bank Indonesia yang menilai ketidakmampuan bank berhak untuk menjaga keselamatan usaha perbankan nasioanl dengan jalan melikuidasi bank-bank yang tidak dapat disehatkan lagi. Tindakan pencabutan izin usaha bank merupakan suatu langkah akhir dari usaha untuk menyehatkan bank yang terkena kesulitan tersebut. Sebelum dilakukan tindakan pencabutan izin usaha bank, Bank Indonesia telah menempuh tindakan-tindakan atau langkah-langkah permulaan.

  • 1.3    HAK TANGGUNGAN

    • 1.3.1    Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

Secara yuridis dasar hukum berlakunya hak tanggungan di Indonesia yaitu dengan ditetapkanna Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUHT memberikan pengertian mengenai hak tanggungan yaitu:

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

  • 1.3.2    Unsur-Unsur Yang Terkandung Dalam Hak Tanggungan

Berdasarkan uraian mengenai definisi hak tanggungan sebagaimana telah diuraikan diatas maka dapat diketahui terdapat beberapa unsur-unsur yang terkandung dalam hak tanggugan yaitu sebagai berikut :

  • a.    Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.

  • b.    Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

  • c.    Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

  • d.    Hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu.

  • e.    Memberikan   kedudukan yang

diutamakan    kepada    kreditur

tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

  • 1.3.3    Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

  • a. Ciri-ciri Hak Tanggungan

Selain    unsur-unsur    yang

terkandung dalam hak tanggungan, melalui berbagai definisi diatas dapat juga diketahui mengenai ciriciri dari hak tanggungan yaitu sebagai berikut:

  • 1)    Memberikan   kedudukan yang

diutamakan    atau    mendahulu

kepada pemegangnya  atau yang

dikenal    dengan    droit    de

preference;

  • 2)    Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda  itu berada  atau  disebut

dengan     droit     do     suit.

Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;

  • 3)    Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;

  • 4)    Mudah    dan    pasti    dalam

pelaksanaan eksekusinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

  • 1.3.4    Subjek dan Objek Hak Tanggungan

Mengenai    subjek        Hak

Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan    adalah

subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:

  • a. Pemberi  Hak Tanggungan, yaitu

orang    atau    pihak    yang

menjaminkan      objek      hak

tanggungan (debitor);

  • b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu

orang atau pihak yang menerima Hak

Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang diberikannya.27

27Andrian   Sutedi, 2010, Hukum Hak

Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,       h. 54

  • 1.3.5 Proses Pembebanan Hak Tanggungan   Dengan   Akta

Pembebanan Hak Tanggungan

  • a) Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang ditandatangani Kreditur sebagai pererima Hak Tanggungan dan pemilih hak atas tanah yang dijaminkan (debitur atau pemiilik jaminan tetapi bukan debitur). Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta PPAT merupakan bentuk standar yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menegaskan   Pembebanan    Hak

Tanggungan    dilakukan    dengan

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan    peraturan    perundang-

undangan yang berlaku.28

  • a) Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) pada Kantor Pertanahan

Menurut      ketentuan yang

tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa   :

“pembebanan hak tanggungan wajib didaftarkan       pada       Kantor

Pertanahan.”    Kemudian    dalam

ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUHT dijelaskan bagaimana caranya      pendaftaran      Hak

Tanggungan itu dilakukan. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

  • 1)    Setelah penandatanganan APHT yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh     para     pihak,     PPAT

mengirimkan     APHT     yang

bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh Kantor Pertanahan. Pengiriman     tersebut     wajib

dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambatlambatnya 7 (tujuh)     hari     kerja     setelah

penandatanganan APHT itu;

  • 2)    Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah

yang    menjadi    objek    Hak

Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

  • 3)    Tanggal    buku    tanah    Hak

Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi     tanggal    hari     kerja

berikutnya.

  • 3.    AKIBAT HUKUM LIKUIDASI BANK TERHADAP AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN DALAM HAL SUATU BANK DILIKUIDASI

    • 1.1.    Kekuatan Hukum Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Dibuat Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, sedangkan bagi tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatanAkta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu 1 (satu) bulan atau 3 (tiga) bulan bagi tanah yang belum terdaftar sesudah diberikan atau waktu yang ditentukan dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan batal demi hukum, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 UUHT.

Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani, maka PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) lalai dalam menjalankan tugas dan kewajibannya maka dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberian teguran, pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap (pasal 23 UUHT).

  • 1.2.    Akibat Hukum Terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan Dalam Hal Suatu Bank Dilikuidasi

Ketentuan hukum tentang likuidasi terhadap bank di Indonesia dilakukan dengan dalam tatanan sistem tertentu, sehingga pelaksanaan likuidasi tersebut dapat dilakukan secara efisien dan efektif serta dilakukan dalam waktu singkat dan kepercayaan masyarakat

terhadap bank, akibat adanya likuidasi memberikan akibat negatif khususnya terhadap tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank, dan juga nasabah penabung dan deposan dari bank yang dilikuidasi.

Khusus mengenai kreditor bank yang telah dilikuidasi, dalam pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan (Roya) yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah tergantung dari kondisi bank yang dilikuidasi. Artinya apabila aset bank yang dilikuidasi (termasuk piutang) telah ditangani oleh PT. Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA) yang didirikan berdasarkan PP No. 10 Tahun 2004 untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, maka yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah PT. PPA (dahulu BPPN) selaku pemegang atau pengelola aset. Selanjutnya apabila aset bank yang dilikuidasi (termasuk piutang) telah diambil alih oleh bank lain, maka yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah bank yang bersangkutan (yang mengambil alih).

  • 4.    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK BARANG JAMINAN DENGAN AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN PADA BANK LIKUIDASI

    • 4.1    Eksistensi dan Perlindungan Hukum Terhadap Sertipikat Hak Tanggungan Pada Bank Yang Dilikuidasi

Untuk menghindari kemungkinan bank sulit melaksanakan eksekusi atau menjual tanah jaminan hak tanggungan tersebut dikemudian hari terdapat beberapa langkah awal yang harus di lakukan oleh petugas bank yakni dengan meneliti keakuratan data atas tanah yang dijadikan obyek hak tanggungan tersebut dengan memperhatikan beberapa aspek yuridis yaitu:

  • a.  Segi kepemilikan tanah.

  • b.  Segi keabsahan sertipikat tanah.

  • c.  Pemeriksaan lokasi tanah.

  • 4.2 Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi

Terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan

Dasar hukum pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan Pasal 20 UUHT. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa:

  • 1.    Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan :

  • a.    Hak      pemegang      Hak

Tanggungan  pertama  untuk

menjual      obyek      Hak

Tanggungan      sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6.

  • b.    Titel     Eksekutorial     yang

terdapat dalam sertipikat hak tanggungan       sebagaimana

termaksud dalam Pasal 14 ayat (2).

Obyek hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang

ditentukan dalam perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari kreditur-krediturnya.

  • 2.    Atas kesepakatan pemberi dan pemegang   Hak   Tanggungan,

penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawahtangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

  • 5.    PENUTUP

    • 5.1    Simpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai pemasalahan dalam penelitian ini yang telah diuraikan diatas , maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  • 1.    Bahwa akibat hukum likuidasi bank terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam hal bank mengalami likuidasi adalah apabila barang jaminan sudah diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat maka akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan dan  nantinya  yang

akan dijadikan dasar   untuk

melakukan roya  terhadap  hak

tanggungan dan kedudukan lebih terjamin, namun apabila bank dilikuidasi maka debitur diberikan kesempatan untuk melunasi sisa dari kereditnya atau barang jaminan tersbut masuk sebagai asset bank dikelola oleh Tim Likuidasi ataupun Perusahaan Pengelola Aset atau diambil alih oleh bank lain (take over) dan pada akhirnya akan dikeluarkan roya apabila kredit tersebut telah lunas.

  • 2.    Bahwa    berbicara    mengenai

perlindungan hukum bagi nasabah, pada dasarnya tidak hanya bagi nasabah  penyimpan dana  atau

nasabah  kreditur tetapi    juga

nasabah  penerima kredit  atau

nasabah debitur serta pengguna jasa perbankan lainnya. Menurut Teori    Perlindungan    Hukum

sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dimana dia membagi perlindungan hukum menjadi 2 (dua) yaitu perlindungan hukum yang preventif dimana dalam hal ini pemerintah sudah membuat     aturan     mengenai

perlindungan terhadap nasabah dan jasa perbankan pada umumnya agar nantinya pemerintah berhati hati didalam mengambil keputusan

dalam hal suatu bank mengalami likuidasi atau disebut bank gagal, dan perlindungan hukum yang represif dimana dalam hal ini debitur diberikan pilihan dalam penyelesaian untuk kreditnya apakah dialihkan kepada bank lain atau dieksekusi sehingga dapat dilelang baik lelang umum atau lelang dibawah tangan

  • 5.2    Saran

  • 1.    Bagi masyarakat yang akan meminjam kredit pada bank agar untuk lebih berhati hati dan

megetahui dengan baik riwayat dari bank penerima kredit agar nantinya tidak mengalami masalah atau merugikan kita sebagai nasabah baik kreditor maupun debitor.

  • 2.    Bagi pembuat undang-undang agar dapat melihat bahwa masih terdapat celah atau masalah dalam perlindungan hukum didalam proses likuidasi bank agar nantinya dapat mencapai tujuan hukum    itu    sendiri    yaitu

memberikan           kepastian,

perlindungan dan kemanfaatan.

  • 6.    REFERENSI

Buku – Buku

A. Lovett William, 1997, Banking and Financial Institutions Law, West Publishing Co., USA

Adinugroho R. Tjipto, 2000, PerbankandanMasalahPermodalan Dana Potensial, Pradnya Paramita, Jakarta

Ali, A. Hasymi, 1989, Dasar-Dasar Operasi Bank (Terjemahan American Institute Of Banking), Bina Aksara, Jakarta

Anshori, Abdul Gofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogjakarta

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Asikin, Zainal, 1995, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Bahsan, M.,2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet.III, Rineka Cipta, Jakarta.

Djumhana, Muhammad, 2002, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Fajar Mukti, danYulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta

Fuady, Munir, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung

_______2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung

Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta

Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1 991, Politik Hukum Menuju Satu Sitem Hukum Nasional, Alumni, Bandung

Harun, Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogjakarta, Pustaka Yustisia

Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta

Ibrahim Johanes, 2004, Cross Default & Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit

Bermasalah, Refika Aditama, Bandung

Joko Subagyo, P, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta

Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogjakarta

M.P Golding, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York, page. 180

P.Teguh Mulyono, 2002, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 201 1, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar

Ronny Hanitijo, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Santoso, Rudy Tri, 1 996, Kredit Usaha Perbankan, ANDI, Yogjakarta

Satrio J., 2000, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung

Setiawan, R, 1 979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta.

Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, 1 998, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogjakarta

Soekanto Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung

_______ 2000, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta

Soemitro Ronny Hanitijo, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Soerjonodan H. Abdurrahman, 1 998, Prosedur Pendaftaran Tanah, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Subekti R., 1 996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan)

Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung

Suhardi Gunarto, 2003 , Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Kanisius, Yogjakarta

Suharnoko, 2004, Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta.

Supramono Gatot, 1 995, Perbankan dan Masalah Kredit :Suatu Tinjauan Yuridis , Djambatan, Jakarta

Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung.

Sihombing Jonker, 20 1 0, Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan, Alumni, Bandung

Sutedi Andrian, 2008, Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta

The Internasional Bank for Reconstruction and Development/The world Bank, 2002, The World Bank And Agenda 21 A Draft Discussion Paper, Washington, DC, USA. page. 8

Usman Rachmadi, 200 1 , Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Wahjono, Padmo, 1 986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Waluyo Bambang, 2002,Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta

Widjaja Gunawan & Ahmad Yani, 2003, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Widjarnoto, 2003 , Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Kamus

Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta

W.J.S Poerwadarmita, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632)

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris . (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420)

Undang-Undang No. 21 Tahun 201 1 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 1 Nomor 1 1 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)

Internet:

Mariotedja.blogspot.com, Teori Kepastian Dalam Perspektif Hukum, Diakses Pada 1 5 Mei 2013

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

200