DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku-Buku :

Bambang Setijoprodjo, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, rajagrafindo, Jakarta.

  • H. Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar.

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Tentang Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Johannes Ibrahim, 2010, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT.

Refika Aditama, Bandung Suyatno Tomas, 1991, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kancil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

M.P Golding, The Nature Of Law Readings In Legal Philosophy, Colombia University,

Random Huose, New York.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.

Suharnoko,2004, Hukum Perjanjian ; Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta.

Wijanarto, 1993, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta.

Winarno Surakhman, 2000, Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.

Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cetakan VIII, Sumur, Bandung.

  • 2.    Artikel Internet :

Kuncoro, 2002, “Pengertian Bank dan jenis-jenis bank ”, http://pandusamamaya.wordpress.com. Diakses pada tanggal 30 Juni 2014.

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, (Lembaran Negara Tahun 1996, nomor 42).

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, (Lembaran Negara Tahun 1992, nomor 3 1).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembar Negara Nomor 2043).

Acta Comitas (2017) 1 : 137 – 150

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEPASTIAN HUKUM PENYERAHAN PROTOKOL NOTARIS KEPADA PENERIMA PROTOKOL

Oleh :

Ida Ayu Md Dwi Sukma Cahyani*

NIM 129246109

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : gek_uma@yahoo.com

Pembimbing I : Prof. Dr. Yohanes Usfunan. Drs., SH., M.Hum.** Pembimbing II : I Nyoman Sumardika, SH.,M.Kn***

ABSTRACT

THE LEGAL CERTAINTY OF THE SUBMISSION OF PROTOCOLS OF NOTARY TO THE RECIPIENT OF PROTOCOLS

Notary Authority is very important for the parties who make an agreement under the civil law. In performing their duties, notaries are required to maintain their accuracy and prudence, in order to provide justice, without any discrimination, thus providing legal certainty and the protection of human rights of the parties concerned. Under the provisions of Article 63 of the Law on Notary, there has been obscurity and vacuum of norms. The said obscurity of norm is about the certainty of

protocols ’ submission of notaries which have been overdue as specified on the provisions of Article 63 of Law on Notary Position. The vacuum of norms also mean the lack of certainty about who is responsible for the notary protocols, the absence of the regulations related to who should receive the protocols and the lack of sanctions against the notary who has been designated to receive the protocol by the Regional Supervisor Assembly but was not willing to accept the protocol. These provisions give rise to legal issues namely: what the legal consequences of Notary Protocols that have not been submitted after the deadline for submission and how the provisions of sanctions against the notary who is not willing to accept the protocols.

The type of research used in this thesis was a normative legal research because of the obscurity and the vacuum of norms. The legal materials collection techniques used were a literature study and a card system. To analyze the legal materials, it was used descriptive techniques, interpretation, construction and argumentation theories and concepts associated with the relevant legal issues.

The results showed that the Notary Protocol Submission to the recipient of the protocols which have passed the submission deadline resulted in some juridical consequences. The consequences include: Incidence of doubt, the uncertainty associated with the filing of the protocol the Notary. The lack of certainty associated with the accountability to the possibility of loss and destruction of the protocols of Notary. Other consequences that arise are if the parties concerned are unable to obtain a copy of their certificates back in the event of the onset of a dispute between the parties. If the notaries proved to have violated, they can be subject to sanctions. The sanctions that may be imposed on the Notaries if they make any violations are the administrative sanctions, civil penalties and criminal sanctions.

Keywords: Legal Certainty, Submission, Protocol, Notary.

PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang Masalah

Kewenangan Notaris sangat penting bagi pihak–pihak yang melakukan perjanjian dalam hukum perdata. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris diwajibkan meningkatkan ketelitian, kehati-hatian, agar tercipta keadilan, tanpa adanya diskriminasi sehingga memberikan jaminan kepastian hukum, dan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi para pihak yang berkepentingan. Notaris juga berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pejabat negara untuk menyimpan protokol Notarisnya.

Pasal 62 UUJN mengatur mengenai alasanalasan apa yang mendasari dilakukannya penyerahan Protokol Notaris. Salah satunya yaitu notaris yang telah meninggal dunia. Menurut ketentuan yang berlaku penyerahan Protokol Notaris yang meninggal dunia kepada Notaris yang telah ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Pasal 63 UUJN, menetapkan bahwa “Penyerahan Protokol Notaris dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditanda tangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris”, tetapi terdapat satu kasus yang terkait dengan penyerahan protokol Notaris yang telah meninggal dunia melewati batas waktu tidak hanya lewat 1 (satu) bulan bahkan ada yang sampai 2 (dua) tahun Protokol tersebut belum dipindah tangankan ke Notaris penerima protokol dan masih di simpan oleh ahli waris Notaris yang meninggal dunia.

Ketentuan terkait dengan Pasal 63 Undang-Undang Jabatan Notaris hanya mengatur mengenai batas waktu penyerahan, dan dalam pasal tersebut

tidak ada kepastian mengenai proses penyerahan protokol Notaris yang telah melewati batas waktu, tidak adanya kepastian mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap protokol Notaris apabila Notaris yang telah ditunjuk tidak bersedia menerima protokol yang bersangkutan, dan tidak adanya kepastian pengaturan terkait dengan sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris yang tidak mau menerima protokol tersebut. Terbukti dari penelitian awal terdapat contoh kasus Notaris di Bali yang telah meninggal dunia, yaitu Notaris IDA BAGUS PT SUARDIARSHA, SH, MKn dengan wilayah kerja di Kabupaten Bangli, yang telah meningal dunia pada tanggal 23 Maret 2011 dengan meninggalkan Protokol Notarisnya, sampai dengan saat ini protokol tersebut masih disimpan di rumah almarhum. Ketentuan ini, menunjukkan adanya norma kabur dan adanya norma kosong, yang terkait dengan kasus tersebut.

Norma kabur yang dimaksud adalah mengenai kepastian penyerahan protokol Notaris yang telah melewati ketentuan pada Pasal 63 UUJN. Norma kosong yang dimaksud adalah tidak adanya kepastian siapa yang bertanggungjawab terhadap protokol Notaris tersebut, dan tidak adanya pengaturan terkait siapa yang harus menerima protokol tersebut dan tidak adanya sanksi terhadap Notaris yang telah ditunjuk untuk menerima protokol oleh Majelis Pengawas Daerah tetapi tidak mau menerima penyerahan protokol tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan penyerahan Protokol dalam Penelitian Tesis ini adalah Penyerahan Protokol Notaris yang meninggal dunia kepada penerima Protokol. Penelitian ini terkait dengan ketentuan di dalam Undang-Undang

Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat ditarik 2 (dua) permasalahan antara lain:

  • 1.    Apakah konsekuensi hukum dari Protokol

Notaris yang belum diserahkan setelah lewat batas waktu penyerahan?

  • 2.    Bagaimana pengaturan sanksi terhadap Notaris  yang tidak bersedia menerima

protokol?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

    1.3.1.    Tujuan Umum

Secara umum tujuan ditulisnya tesis ini adalah untuk mengetahui dan memahami, serta memberikan gambaran atau deskripsi tentang konsekuensi hukum yang timbul terhadap Protokol Notaris yang belum dilimpahkan dan telah melewati batas waktu yang telah di tentukan oleh undang-undang. Tujuan umum lainnya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan sanksi terhadap Notaris yang tidak mau menerima protokol.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu:

  • 1.    Untuk mengkaji dan menganalisis apa dan bagaimana konsekuensi hukum terhadap protokol Notaris yang belum dilimpahkan dan telah melewati batas waktu.

  • 2.    Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai pengaturan sanksi terhadap Notaris yang tidak mau menerima protokol.

  • 1.4    Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dan dicapai dari hasil penelitian terhadap pokok masalah adalah:

  • 1.4.1.    Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam bidang ilmu hukum, dan mampu memberikan sumbangan pemikiran untuk mengetahui arti pentingnya dari suatu protokol Notaris dalam kedudukannya sebagai dokumen negara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai pengaturan sanksi terhadap Notaris yang tidak mau menerima protokol.

  • 1.4.2.    Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat, Notaris dan penulis sendiri. Adapun manfaat tersebut antara lain:

  • 1.    Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan mengenai     kepastian     hukum

penyerahan protokol Notaris kepada penerima protokol, karena banyak masyarakat yang kurang memahami aturan    yang    berlaku    dalam

penyerahan protokol tersebut.

  • 2.    Bagi Notaris, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan bahwa Notaris harus mampu menyimpan protokol.

  • 3.    Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan    di    bidang    hukum

kenotariatan mengenai kepastian hukum penyerahan protokol Notaris kepada penerima protokol.

  • 1.5    Landasan Teoritis

    1.5.1.    Teori Pertanggungjawaban

Dalam bahasa inggris Pertanggungjawaban diartikan dan sering disebut sebagai Accountability. Down Oliver dan Gavin Drewry menyatakan bahwa Accountability merupakan suatu        keadaan        yang        harus

dipertanggungjawabkan.1

Teori hukum yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori tentang tanggung jawab hukum oleh Hans Kelsen. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.2

Teori tanggung jawab hukum dalam penelitian ini diperlukan untuk menjelaskan tanggung jawab ahli waris Notaris yang meninggal dunia, dan tanggung jawab Majelis Pengawas Daerah berkaitan dengan belum diserahkannya protokol kepada penerima protokol, hingga melewati batas waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dipergunakannya teori tersebut dalam penelitian ini mampu menjawab siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab terhadap keberadaan protokol apabila suatu ketika timbul sengketa terkait protokol tersebut.

  • 1.5.2.    Teori Kepastian Hukum

Menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3 hal yaitu adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Teori Kepastian Hukum, menyatakan bahwa Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

  • 1Down Oliver dan Gavin Drewry, 1996, Public Service Reform, Issues Of Accountability And Public Law, Reader In Public Law, King’s College, University Of London. Hal. 3.

  • 2Hans Kelsen, 2007, General Theory of Law & State ), Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, Alih Bahasa oleh Somardi. Hal. 81.

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.3

Teori Kepastian Hukum ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi dan menjawab mengenai kepastian hukum terkait Protokol Notaris yang belum dilimpahkan kepada penerima protokol. Protokol dalam kedudukannya sebagai dokumen negara yang merupakan suatu alat bukti yang sah dan otentik mengenai adanya perbuatan dan atau tindakan hukum. Penyerahan protokol dalam hal ini telah melewati batas waktu pelimbahan.

  • 1.5.3.    Teori Kewenangan

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa, wewenang (bevoegdheid) dinyatakan dalam konsep hukum publik berkaitan dengan kekuasaan hukum atau diartikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht).4 Kewenangan menurut pendapat Prajudi Atmosudirdjo adalah suatu yang disebut dengan kekuasaan formal, yakni kekuasaan yang bersumber dari undang undang atau dari Kekuasaan Legislatif juga bersumber dari adanya Kekuasaan Eksekutif/Administratif.

Teori kewenangan dipergunakan dalam penelitian tesis ini untuk dapat membahas dan dapat menjawab tentang kewenangan yang diberikan oleh Negara atau Pemerintah kepada Majelis Pengawas Notaris, berkaitan dengan penyerahan protokol Notaris yang melewati batas waktu sesuai apa yang telah ditetapkan oleh undang–undang. Kewenangan yang di berikan oleh Negara ini ditentukan berdasarkan legitimasi kepada Lembaga Negara ataupun Badan Publik untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini wewenang di artikan sebagai suatu kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan dan hubungan hukum yang diberikan oleh undang-undang.5

  • 1.5.4    Interpretasi Hukum.

Adanya norma kabur dalam undang-undang Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 ini menyebabkan sulitnya para penegak hukum, Notaris dan Para pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum perdata untuk menerapkan peraturan tersebut, atau kemungkinan lain yang akan timbul adalah diberikannya peluang kepada penegak hukum atau pejabat Notaris menggunakan norma hukum yang kabur meski disadari hal tersebut jauh dari adanya rasa keadilan. Tidak efektifnya Undang-undang ini disebabkan karena

pembuatannya yang tergesa-gesa, dan tanpa adanya bahan hukum yang memadai. Norma Kabur dalam peraturan perundang-undangan akan menjadi hambatan penciptaan kepastian hukum karena hal itu dapat menimbulkan multi interpretasi yang akan menghambat penerapan peraturan perundang-undangan tersebut dan menghambat pelaksanaan, dan penegakan hukum. Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya.6 Teknik interpretasi memberikan penjelasan yang menyeluruh dan jelas tentang teks yang dipergunakan dalam undang-undang, agar ruang lingkup dari adanya kaidah dalam undang-undang dapat diterapkan pada suatu peristiwa hukum tertentu.7

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014, terdapat pasal yang mecerminkan adanya norma kabur. Hal ini yang menyebabkan undang-undang ini tidak efektif dalam penerapannya. Berdasarkan hal tersebut maka Interpretasi teologis atau sosiologis dan Interpretasi Sistematis sangat diperlukan untuk menelaah dan menjawab terkait dengan adanya norma kabur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

  • II.      Metode Penelitian

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam proposal ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengkaji peraturan perundang-undang yang berlaku dalam menganalisis kasus tertentu, yang berkaitan dengan Kepastian Hukum Penyerahan Protokol kepada Penerima Protokol.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Jenis penelitian ini dipergunakan untuk dapat mengkaji lebih dalam mengenai penyerahan protokol Notaris yang telah lewat waktu dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris Daerah.

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari 2 sumber yaitu:

  • 1.    Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum yang diperoleh dari adanya asas dan kaedah hukum yang berlaku di masyarakat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

  • -    Undang-Undang    Dasar    Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

  • 6 Soedjono   Dirdjosisworo, 2008,

Pengantar Ilmu Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal. 157.

  • 7 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.

  • -    Kitab    Undang-Undang    Hukum

Perdata;

  • -    Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang  Jabatan  Notaris. Lembaran

Negara  Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 1 17.

  • -    Undang-Undang No 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3.

  • -    Peraturan       Menteri       Nomor

M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan    Majelis    Pengawas

Notaris.

  • -    Peraturan Menteri Nomor M.HH-06.AH.02.10 Tahun 2009 tentang Sekretariat Majelis Pengawas Notaris.

  • 2.    Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari studi kepustakaan yang ada kaitannya dengan permasalahan.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Bahan

    Hukum

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu disusun berdasarkan topik, sehingga dapat memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada.

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum yang diperoleh dari undang-undang maupun dari bahan hukum kepustakaan, kemudian akan diklasifikasikan dan akan dianalisis. Teknik yang dipergunakan dalam menganalisis permasalahan adalah Teknik interpretasi dipergunakan sebagai penafsiran untuk menganalisa adanya norma hukum yang tidak jelas. Teknik interprestasi yang digunakan adalah interpretasi sistematis dan interpretasi gramatikal .

  • 1.    Teknik konstruksi dipergunakan untuk menganalisis adanya norma kosong berupa   pembentukan    konstruksi

yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario).

  • 2.    Teknik argumentasi dipergunakan untuk mengemukakan adanya pendapat terkait dengan permasalahan yang telah diteliti setelah dilakukan analisis dengan teknik deskriptif, teknik interpretasi dan juga teknik konstruksi.

  • III.    TEORI DAN KONSEP-KONSEP TENTANG  KEPASTIAN HUKUM,

TANGGUNGJAWAB, KEWENANGAN DAN HAKEKAT NOTARIS

  • 3.1.    Teori dan Konsep tentang Kepastian Hukum

    • 3.1.1    Teori Kepastian Hukum

Van Apeldoorn mengemukakan pendapatnya terkait dengan Kepastian Hukum. Kepastian Hukum mengandung arti bahwa :

  • 1.    Kepastian Hukum merupakan hal yang dapat ditentukan dari hukum, terkait dengan hal-hal yang konkrit.

  • 2.    Kepastian Hukum merupakan keamanan hukum yang berarti bahwa hal tersebut dapat melindungi para pihak terhadap adanya atau kemungkinan    timbulnya    kesewenang-

wenangan hakim.8

Maria       Sriwulandari       Sumarjono

mengemukakan bahwa suatu perundang-undangan harus mencangkup 3 asas. Asas-asas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • 1.    Asas Keadilan.

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tidak cukup hanya dengan pemenuhan asas keadilan, namun juga harus mencangkup adanya suatu kepastian hukum. Kepastian hukum tersebut akan tercapai apabila suatu peraturan dibuat secara baik dan jelas sehingga tidak menimbulkan adanya banyak penafsiran, selain itu suatu peraturan harus dibuat dengan tetap memperhatikan peraturan yang lain yang lebih tinggi tingkatannya sehingga tidak menimbulkan adanya pertentangan norma.

  • 2.    Transparansi dalam Proses Pembuatan perundang-undangan.

Transparansi ini diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui mengenai materi dalam peraturan yang dibuat sehingga masyarakat dapat diberi kesempatan untuk memberikan masukan guna melengkapi penyempurnaan pembuatan peraturan itu.

  • 3.    Kemanfaatan.

Suatu peraturan akan dapat ditaati oleh masyarakat apabila peraturan tersebut dapat menyakinkan masyarakat bahwa peraturan tersebut bermanfaat sehingga mampu memberikan kemungkinan tercapainya kepentingan masyarakat yang berkembang secara wajar.

Relevansi asas-asas tersebut dengan Kepastian Hukum Penyerahan protokol Notaris kepada penerima protokol adalah ketiga asas tersebut dapat dipergunakan untuk menerapkan ketentuan pada Pasal 63 Undang-undang Jabatan Notaris. Adanya asas Keadilan dan asas kepastian hukum diperlukan dalam Undang-undang Jabatan Notaris ini, tidak hanya harus diterapkan pada

  • 8Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta. Hal 178

  • 9Ibid. Hal 179-180

Ketentuan Pasal 63 melainkan harus juga diterapkan dalam seluruh pasalnya, sehingga dapat memberikan penafsiran yang jelas.

Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan bahwa Kepastian hukum terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:

  • 1.    Adanya suatu aturan yang konsisten yang ditetapkan oleh negara dan dapat diterapkan.

  • 2.    Aparat pemerintah harus menerapkan hukum tersebut secara konsisten dengan tetap perpegangan dan berdasarkan pada aturan tersebut.

  • 3.    Rakyat pada dasarnya harus tunduk pada ketentuan hukum.

  • 4.    Adanya hakim yang independen atau bebas dalam artian tidak memihak dan secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut.

  • 5.    Putusan hakim dapat dilaksanakan secara nyata.10

Berdasarkan unsur-unsur yang dikemukakan diatas maka relevansinya dengan kepastian hukum penyerahan protokol Notaris, adalah terkait dengan unsur pertama, unsur pertama ini dapat dipergunakan sebagai dasar melakukan titik tolak. Suatu aturan yang konsisten dapat memberikan pedoman dalam penerapannya terkait dengan penyerahan protokol Notaris agar dapat dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga dengan menyerahkan protokol kepada mereka yang secara sah dan berhak menerima dapat memberikan kepastian hukum terkait dengan penyerahan protokol Notaris tersebut.

  • 3.1.2 Konsep tentang Kepastian Hukum

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa kepastian hukum merupakan suatu perlindungan dari adanya tindakan kesewenang-wenangan yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkannya dalam keadaan tertentu.11 Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa suatu kepastian hukum sangat menentukan eksistensi hukum sebagai suatu pedoman tingkah laku yang dipergunakan oleh masyarakat.

Kepastian hukum berkaitan erat dengan adanya supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Krabbe berpendapat terkait dengan teori kedaulatan hukum bahwa kedaulatan yang tertinggi hanya dimiliki oleh hukum itu sendiri.12 Yohanes Usfunan, menguraikan dengan “supremasi hukum”, hukumlah yang memberikan suatu wewenang dan pengakuan hak.13

  • 3.2.    Teori dan Konsep tentang Tanggung jawab

    • 3.2.1    Teori Tanggung jawab

Dalam pembahasan sub bab ini dipergunakan konsep tanggung jawab, konsep ini ialah untuk melengkapi landasan teoritis dalam bab I. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.14

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan menjadi 5 (lima). Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari:

  • 1.    Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault).15

  • 2.    Prinsip   Praduga Untuk   Selalu

Bertanggung Jawab

Prinsip   ini menyatakan   bahwa

tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle),     sampai     ia     dapat

membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

  • 3.    Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.

  • 4.    Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). 16

  • 14Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 335337

  • 15Prinsip       tanggung      jawab

berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang    Hukum    Perdata,

khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367,

prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat                       dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

  • 16Ada   pula para ahli yang

membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip

  • 5.    Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 17

Bertitik tolak dari lima prinsip yang telah diuraikan diatas terdapat relevansi terkait dengan penyerahan protokol Notaris maka dalam proses penyerahannya didasarkan pada Prinsip Pertanggungjawaban secara mutlak. Prinsip ini diterapkan dengan merujuk pada pendapat para ahli yang menyatakan bahwa ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure yang salah satunya diakibatkan karena Notaris yang memiliki protokol telah meninggal dunia.

  • 3.2.2    Konsep Tanggung jawab

Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya. 18

Tanggung jawab dalam perspektif moral merupakan tanggung jawab yang harus dimiliki oleh setiap Notaris. Notaris seharusnya melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya agar tujuan pembuatan akta ini tercapai dan berlaku sebagai akta yang otentik.19

  • 3.3.    Teori dan Konsep Tentang Kewenangan

    • 3.3.1    Teori Kewenangan

Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Menurut Soekanto wewenang dapat dibedakan menjadi tiga. Bentuk wewenang adalah sebagai berikut:

  • 1.    Wewenang kharismatik.

tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

  • 17Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Hal. 73-79.

  • 18Masyhur Efendi, 1994, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 121.

  • 19Soegianto, 2003 Tanggung Jawab Pendiri dan Notaris dalam Kaitannya Dengan Penyetoran Modal Untuk Pembuatan Akta Pendirian Perseroan, Tesis: Universitas Diponegoro Semarang. Hal. 51

Wewenang kharismatik merupakan

wewenang  yang didasarkan pada

kharisma, yaitu kemampuan khusus

  • 2.    Wewenang Tradisional.

Wewenang tradisional dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan     khusus

seperti dalam kharismatik, akan tetapi karena orang atau sekelompok orang tersebut mempunyai wewenang dan kekuasan yang telah melembaga atas dasar norma-norma dan nilai nilai yang berlaku dan bahkan menjiwai masyarakat.

  • 3.    Wewenang rasional atau legal.

Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang bersandar pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum disini diartikan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui dan ditatati bersama, dan bahkan telah diperkuat oleh negara. 20

Dari ketiga bentuk wewenang tersebut maka terkait dengan penyerahan protokol Notaris kepada penerima protokol didasarkan dengan adanya wewenang rasional atau legal. Wewenang rasional atau legal yang dimiliki oleh Notaris tersebut, sehingga dalam proses penyerahan protokol dapat dikatakan sah karena telah didasarkan pada peraturan atau sistem hukum yang berlaku.

  • 3.3.2    Konsep tentang Kewenangan

Max Weber menyatakan bahwa kekuasaan berkaitan dengan hukum disebut sebagai suatu wewenang rasional atau legal. Wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum dipahami suatu kaedah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan diperkuat oleh negara.21

  • 3.4.    Hakekat Jabatan Notaris

Jabatan Notaris merupakan lembaga, jabatan kepercayaan yang diciptakan dan diberikan oleh Negara.22 Sebagai Pejabat umum yang di tunjuk oleh Negara Notaris dalam memberikan pelayanan hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam melakukan perbuatan hukum perdata, maksudnya adalah untuk menghindarkan para pihak dari penipuan, dan memberikan pengertian kepada para pihak yang kurang faham mengenai aturan hukum yang berlaku dan kepada orangorang atau para pihak tertentu untuk dapat memberikan kepastian terhadap hilangnya hak-hak mereka, sehingga untuk kepentingan tersebut diperlukan tindakan-tindakan yang khusus yang harus dilakukan, selain itu juga harus mampu

  • 20Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali pers, Jakarta. Hal 281

  • 21Gunawan Setiaardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Hal 52.

  • 22Bagir  Manan, 2004, Hukum Positif

Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Hal. 15

mempertahankan kedudukan akta-akta otentik khususnya akta-akta Notaris.23 Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi Notaris dalam menjalankan tugasnya.24 Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, Notaris tidak bisa menghalalkan segala cara, dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan untuk melaksanakan semua tugas dan tanggung jawabnya.25

  • IV. KONSEKUENSI       YURIDIS

PROTOKOL NOTARIS YANG BELUM DISERAHKAN SETELAH LEWAT   BATAS   WAKTU

PENYERAHAN

  • 4 .1 Tanggung jawab hukum Notaris terhadap      Protokol      yang

disimpannya

Tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam Bab II mengenai teori dan konsep memaparkan bahwa Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Istilah tanggung jawab responsibility atau dalam bahasa belanda disebut dengan verantwortung menunjukkan bahwa dalam setiap aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat selalu terikat dengan rasa tangung jawab.26 Seseorang yang menyadari kewajibannya dalam berinteraksi yang baik dengan orang lain maka, akan timbul kesadarannya untuk menaati norma-norma yang berlaku, hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa tanggung jawab merupakan suatu hal yang

Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.27

Dalam Pasal 65 UUJN telah mengatur dan menentukan mengenai tanggung jawab Notaris. Pasal tersebut menetapkan bahwa Notaris

bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol.

Selama menjalankan jabatannya Notaris bertanggungjawab untuk dapat membuat akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris bertanggungjawab terhadap kebenaran mengenai identitas para pihak yang menghadap. Notaris juga bertanggungjawab untuk menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu harus sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, sehingga siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Selain itu Notaris harus bertanggungjawab untuk menjelaskan dan membacakan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan akta itu. Tanggungjawab Notaris selama menjabat terkait juga dengan penyimpanan seluluh protokol yang dimilikinya.

Tanggungjawab Notaris pada saat Notaris yang bersangkutan memasuki masa Pensiun berbeda dengan selama Notaris tersebut masih menjabat. Notaris yang telah memasuki masa pensiun tidak lagi bertanggungjawab terhadap segala hal yang berkaitan dengan proses pembuatan akta, karena ketika notaris telah mengakhiri masa jabatannya, segala kewenangan dan tanggungjawabnya terkait dengan pembuatan akta tidak lagi dapat dilakukan. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 65 UUJN, Notaris yang memasuki masa pensiun tetap bertanggungjawab terhadap akta-akta yang telah dibuatnya pada saat Notaris yang bersangkutan masih menjabat, namun dengan berakhirnya masa jabatannya      sebagai      Notaris      maka

pertanggungjawaban untuk menyimpan akta-akta atau protokol yang dimilikinya dalam bentuk fisik juga telah berakhir.

Berbeda halnya dengan Notaris yang telah meninggal dunia, segala bentuk tanggungjawab tidak lagi dapat ditanggungnya. Dengan meninggalnya seorang Notaris mengakibatkan segala     tanggung     jawabnya     berakhir.

Tanggungjawab untuk menyimpan protokol akan diserahkan kepada notaris pemegang protokol yang telah ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris.

Habib Adjie mengemukakan pendapatnya mengenai tanggungjawab Notaris yang melekat pada jabatannya dan berlaku seumur hidupnya. Habib Adjie menjelaskan bahwa :

  • 1    . Setiap orang yang diangkat sebagai Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara Notaris dianggap sebagai menjalankan tugas pribadi dan seumur hidup sehingga tanpa batas waktu pertanggungjawaban.

  • 2 . Pertanggungjawaban Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara Notaris dianggap melekat, kemana pun dan dimana pun mantan Notaris, mantan Notaris pengganti, mantan Notaris pengganti khusus, dan mantan pejabat sementara Notaris berada. 28

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 65 UUJN terkait dengan pertanggung jawaban Notaris terhadap      protokol-protokolnya,      Notaris

berkewajiban serta bertanggungjawab secara penuh terhadap seluruh protokol yang dimilikinya tersebut. Pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas telah usainya masa jabatannya melainkan tanggungjawabnya melekat seumur hidup Notaris.

Dari segi administratif, pertanggungjawaban Notaris dalam kaitannya dengan penyimpanan dan memegang bentuk fisik setiap akta yang dibuatnya yang merupakan protokol Notaris sudah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Notaris yang bersangkutan.29 Dari kedua pendapat tersebut tanggung jawab Notaris terhadap penyimpanan akta dapat berakhir namun pertanggungjawaban atas adanya sengketa atau yang kemudian timbul dari akta yang dibuatnya harus dipertanggung jawabkan seumur hidup.

  • 4.2 Proses    Penyerahan    Protokol

    Notaris kepada Penerima Protokol.

Subekti mengemukakan pendapatnya terkait dengan pengertian penyerahan. Penyerahan yang sering juga disebut dengan istilah “levering” atau “overdracht” mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering”).30

Bertitik tolak dari adanya pendapat Subekti tersebut relevansi dengan penyerahan protokol kepada penerima protokol merupakan suatu perbuatan hukum untuk dapat memindahkan kepemilikan dan tanggung jawab terkait dengan protokol Notaris yang telah meninggal dunia kepada Notaris penerima protokol. Dengan diserahkannya protokol kepada penerima protokol maka, penerima protokol mempunyai tanggung jawab terhadap penyimpanan protokol tersebut dan mempunyai kewenangan terhadap protokol sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh undang-undang.

Berkaitan dengan penyerahan protokol Notaris, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Josep Sunar Wibisono. SH. (Notaris/PPAT di Kota Denpasar yang telah berakhir masa jabatannya pada tanggal 19 Juli 2013 karena memasuki usia 65 Tahun) menyatakan bahwa proses penyerahan protokol kepada penerima

protokol terkait dengan ketentuan dalam Pasal 63 ayat (4) UUJN. Penyerahan protokol tersebut melalui beberapa tahapan yaitu:

  • 1.    Notaris yang telah berakhir masa jabatannya melapor kepada Majelis Pengawas Daerah bahwa Notaris yang bersangkutan telah mengakhiri masa jabatannya dan memohon untuk dapat diterbitkan surat usulan rekomendasi Notaris pengganti.

  • 2.    Majelis Pengawas Daerah akan menerbitkan surat rekomendasi yang akan ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang pada intinya      memuat      mengenai

pemberitahuan bahwa Notaris yang bersangkutan telah mengakhiri masa jabatannya dan menunjuk pemegang protokol. Dalam rangka kelanjutan pemberian pelayanan jasa hukum kenotariatan dipandang perlu ditunjuk Notaris pengganti.

  • 3.    Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh Majelis Pengawas Daerah akan dikirim     oleh     Notaris     yang

bersangkutan yang akan ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dilengkapi dengan surat pernyataan bahwa Notaris penerima protokol bersedia untuk menerima protokol    Notaris    yang    telah

mengakhiri masa jabatannya.

  • 4.    Berdasarkan Rekomendasi dan surat-surat kelengkapan lainnya yang telah diterima oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia maka, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia akan menerbitkan surat keputusan Menteri yang pada intinya menetapkan “ pemberian pemberhentian dengan Hormat dan menunjuk Notaris penerima protokol sesuai dengan surat rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah.

  • 5.    Setelah surat Keputusan dari Menteri diterima,    dan    Notaris    yang

bersangkutan telah mendata semua protokol yang dimilikinya, maka penyerahan protokol kepada penerima protokol dapat dilakukan paling lambat 30 hari dari dikeluarkannya surat Keputusan Menteri tersebut. Penyerahan    protokol    dilengkapi

dengan membuat berita acara serah terima, berfungsi sebagai tanda terima yang harus ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima protokol Notaris, dihadapan Majelis pengawas Daerah yang disertai dengan penyerahan fisik protokol. Turunan berita acaranya penyerahan protokol kepada penerima protokol harus dikirim kepada Menteri Hukum dan

Hak asasi Manusia, sebagai tanda bukti bahwa telah melaksanakan Surat keputusan Menteri dan telah melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 dan Pasal 63 UUJN. (wawancara pada tanggal 29 September 2014)

Bapak Josep Sunar Wibisono. SH. (Notaris/PPAT di Kota Denpasa) mengemukakan bahwa Notaris yang telah mengakhiri masa jabatannya tidak diperbolehkan untuk membuat akta, akta yang telah dibuatnya sebelum masa jabatannya berakhir tetap menjadi tanggungjawabnya tetapi pada saat usai jabatannya salinan kedua dari akta yang dibuatnya tersebut hanya boleh dibuat oleh Notaris penerima protokol atau disebut juga dengan Notaris pemegang protokol. Meskipun jabatannya sebagai Notaris telah usai tetapi Notaris tetap memiliki tanggung jawab terhadap semua akta dan protokol yang dibuatnya, tetapi tanggungjawab untuk menyimpan dan memelihara protokol serta membuat salinan kedua atas aktanya telah beralih kepada Notaris pemengang protokol. (wawancara pada tanggal 29 September 2014)

Undang-undang Jabatan Notaris telah menetapkan bahwa Notaris harus menjaga keontentikan protokol-protokol yang telah dibuat dalam masa jabatannya sebagai Pejabat Umum. Terkait dengan adanya protokol Notaris yang telah meninggal dunia telah ditentukan oleh undang-undang bahwa berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang no 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undangNomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU Jabatan Notaris”), maka: keluarganya wajib memberitahukan kepada MPD Notaris paling lambat 7 (tujuh) hari kerja. Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia. Pejabat Sementara Notaris tersebut menyerahkan protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada MPD paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.

Berbeda halnya dengan proses penyerahan protokol Notaris yang memasuki masa pensiun atau jabatanya berakhir, dalam hal Notaris meninggal dunia, maka protokol Notaris tersebut akan diserahkan kepada Notaris lain yang akan menggantikannya (Pasal 62 huruf a UU Jabatan Notaris). Penyerahan protokol dalam hal Notaris meninggal dunia, dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh MPD (Pasal 63 ayat (2) UU Jabatan Notaris). Melalui pasal ini dapat kita lihat bahwa Notaris lain yang akan menerima protokol Notaris yang telah meninggal dunia adalah Notaris yang ditunjuk oleh MPD. Penyerahan protokol tersebut dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang

menerima protokol Notaris (Pasal 63 ayat (1) UU Jabatan Notaris).

  • 4.3.    Konsekuensi yuridis dari protokol Notaris yang belum diserahkan setelah lewat batas waktu penyerahan.

Penyerahan Protokol Notaris kepada penerima protokol yang telah melewati batas waktu penyerahan menyebabkan timbulnya beberapa konsekuensi yuridis dari perbuatan tersebut. Menurut ketentuan yang berlaku penyerahan Protokol Notaris yang meninggal dunia kepada Notaris yang telah ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Pasal 63 UUJN, menetapkan bahwa “Penyerahan Protokol Notaris dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditanda tangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris”.

Dengan belum ditunjuknya Notaris penerima protokol oleh Majelis Pengawas Daerah dan telah melewati batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang     menimbulkan     beberapa

konsekuensi. Konsekuensi tersebut antara lain :

  • 1.    Terkait dengan pertanggung jawaban terhadap penyimpanan protokol Notaris yang telah meninggal dunia, yang seharusnya protokol tersebut harus disimpan dengan baik karena merupakan dokomen negara. Dengan belum    diserahkannya    protokol

Notaris kepada penerima protokol tersebut menyebabkan timbulnya keraguan dan ketidak pastian mengenai siapa yang berhak atas penyimpanan protokol Notaris yang bersangkutan.

  • 2.    Selain itu tidak adanya kepastian mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkinan hilang dan rusaknya protokol-protokol Notaris yang bersangkutan. Protokol Notaris yang merupakan dokumen negara    harus    dapat    dijaga

keberadaannya dan juga kerahasiaan isinya, karena protokol Notaris yang terdiri dari akta-akta otentik merupakan suatu alat bukti yang dapat membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan hukum keperdataan antara para pihak.

  • 3.    Konsekuensi lainnya yang timbul adalah apabila para pihak yang berkepentingan dengan akta yang pernah      dibuatnya      dengan

menggunakan jasa Notaris yang bersangkutan      tidak      dapat

memperoleh salinan aktanya kembali ketika timbulnya perselisihan antara para pihak atau kepentingan lainnya terkait     dengan     akta     yang

bersangkutan. Belum diserahkannya protokol Notaris kepada penerima

protokol mengakibatkan ketidak pastian siapa yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab untuk dapat mengeluarkan atau membuat salinan    akta    Notaris    yang

bersangkutan.

Ketentuan pada Pasal 63 UUJN menimbulkan kekaburan norma terkait batas waktu pelimpahan protokol Notaris kepada penerima protokol. Dalam Ketentuan pasal ini tidak ada kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap protokol Notaris yang meninggal dunia tersebut apabila telah melewati batas waktu penyerahan, tidak adanya kejelasan mengenai proses penyerahan, tidak adanya kejelasan dan sanksi terhadap Notaris yang tidak bersedia menerima protokol.

Jika didasarkan pada teori kepastian hukum, ketentuan pada Pasal 63 UUJN menunjukkan adanya ketidakjelasan dan tidak adanya pengaturan terkait batas waktu penyerahan protokol Notaris, proses penyerahan, tidak adanya pengaturan mengenai Notaris yang tidak bersedia menerima protokol beserta sanksi yang akan diberikan. Oleh karena itu seharusnya peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang memberikan kepastian hukum sehingga menciptakan suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat. Kepastian hukum dapat dicapai salah satunya apabila tersedia aturan yang jelas dan konsisten.

  • V. PENGATURAN        SANKSI

TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK BERSEDIA MENERIMA PROTOKOL

  • 5.1    Bentuk dan batasan Pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yang tidak bersedia menerima protokol.

Batasan Notaris dapat dikatakan melakukan pelanggaran, terkait dengan pelanggaran terhadap Undang-undang Jabatan Notaris yakni segala tindakan yang dilakukan oleh Notaris dengan sengaja melanggar segala aturan yang telah ditetapkan. Perbuatan yang dilakukan Notaris melanggar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) Huruf I jo Pasal 16 ayat (1) huruf k, Ketentuan Pasal 41 jo Pasal 44, Pasak 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan ketentuan Pasal 52. Pelanggaran tersebut terkait dengan adanya tindakan yang telah dilarang oleh undang-undang seperti tindakan penambahan, pengurangan, pencoretan, pengubahan tanpa sepengetahuan para pihak, pembuatan akta tidak sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku, tidak adanya sanksi dalam pembuatan akta, Notaris tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, dan Notaris yang bersangkutan masih mempunyai hubungan darah dengan salah satu pihak penghadap.

Pelanggaran yang dilakukan Notaris dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak, kerugian ini salah satunya berkaitan dengan fungsi dari akta yang dibuat, apabila Notaris melakukan kesalahan

dan pelanggaran dalam membuat akta para pihak, akta tersebut dapat menjadi akta dibawah tangan dan tidak lagi bersifat otentik sehingga tidak dapat menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Disamping menimbulkan kerugian juga menyebabkan tidak adanya suatu kepastian hukum. Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn sebagaimana diuraikan pada Bab II mengenai Kepastian Hukum yang menyatakan Kepastian Hukum mengandung arti bahwa :

  • 1.    Kepastian Hukum merupakan hal yang dapat ditentukan dari hukum, terkait dengan hal-hal yang konkrit.

  • 2.    Kepastian Hukum merupakan keamanan hukum.

Bertitik tolak dari teori yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn diatas, maka terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yang tidak bersedia menerima protokol dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran yang seharusnya menjadi suatu kewajiban, kewajiban dalam hal ini yakni kewajiban Notaris untuk bersedia menerima protokol Notaris yang telah pensiun ataupun yang telah meninggal dunia. Tidak adanya batasan yang jelas terkait dengan pelanggaran yang dilakukann oleh Notaris yang tidak bersedia menerima protokol, menyebabkan timbulnya ketidak pastian mengenai pertanggung jawaban protokol Notaris yang tidak bersedia diterima. Tidak diaturnya secara jelas mengenai pelanggaran yang dilakukan Notaris terkait dengan penyerahan dan penerimaan protokol menyebabkan kekaburan dan adanya kekosongan terhadap norma yang termuat dalam Undang-undang Jabatan Notaris.

  • 5.2    Kualifikasi   Pelanggaran yang

    dilakukan Oleh Notaris

Ada beberapa Aspek apabila terbukti dilanggar oleh Notaris, maka Notaris tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi dan sanksi perdata. Kualifikasi tersebut berkaitan dengan aspek antara lain:

  • a.    Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu menghadap;

  • b.    Pihak-pihak yang menghadap;

  • c.    Tandatangan penghadap;

  • d.    Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;

  • e.    Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

  • f.    Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap tapi salinan akta dikeluarkan.31

Habib Haji berpendapat bahwa pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan. Batasan tersebut antara lain:

  • a.    Bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak pidana;

31Habib Adjie I, Op.Cit. Hal. 120121.

  • b.    Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta tidak sesuai dengan UUJN; dan

  • c.    Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini yang mempunyai kewenangan untuk menilai tindakan tersebut adalah Majelis Pengawas Notaris.32 Berdasarkan hal tersebut diatas apabila dikaitkan dengan Kepastian hukum penyerahan protokol kepada penerima protokol maka, tindakan Notaris yang tidak bersedia menerima protokol dapat dianggap tidak sesuai dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Berdasarkan hal tersebut yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, apakah Notaris telah melakukan pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang adalah Majelis Pengawas Notaris.

  • 5.3 Sanksi terhadap Pelanggaran yang dilakukan Notaris

Apabila Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku dan melakukan suatu pelanggaran maka Notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dapat dikenakan pada Notaris apabila melakukan pelanggaran adalah sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 84 dan 85 UUJN, terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran, dapat dikenakan dua sanksi yakni sanksi administrasi dan sanksi perdata.

Sanksi adminstrasi yang ditentukan dalam Pasal 85 UUJN yaitu berupa teguran lisan, adanya teguran tertulis, pemberhentian sementara terhadap Notaris yang bersangkutan, pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi yang diberikan kepada Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 85 UUJN merupakan Sanksi internal, yaitu sanksi yang diberikan kepada Notaris, akibat tidak mampu secara tertib dalam melaksanakan tugas jabatannya, yang seharusnya dilakukan untuk kepentingan Notaris itu sendiri. Sanksi yang diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran terdapat pada Pasal 85 UUJN, yaitu Teguran Lisan; Teguran Tertulis; Pemberhentian Sementara; Pemberhentian Dengan Hormat; Pemberhentian Tidak Hormat.

Berdasarkan ketentuan diatas, maka relevansi pengenaan sanksi terkait dengan Notaris yang tidak bersedia menerima protokol adalah pengenaan sanksi administrasi berupa peringatan lisan. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai kewajiban Notaris untuk menerima protokol, tidak adanya ketentuan tertulis bahwa Notaris berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menerima protokol Notaris yang meninggal dunia. Dalam ketentuan yang termuat pada Pasal 63 UUJN hanya memuat mengenai penunjukan

Notaris penerima protokol oleh Majelis Pengawas Daerah, dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan bahwa Notaris yang ditunjuk wajib menerima protokol yang diserahkan kepadanya.

  • IV. PENUTUP

  • 6.1    Simpulan

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan dan pengkajian yang telah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya dapat diselesaikan hal-hal sebagai berikut:

  • 6.1.1    Penyerahan harus dilakukan dengan nyata dan penyerahan secara yuridis. Sehingga akan memberikan kepastian siapa yang berhak dan bertanggungjawab terhadap keberadaan protokol tersebut. Penyerahan protokol dalam hal Notaris meninggal dunia, dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh MPD dengan membuat berita acara penyerahan protokol. Konsekuensi yang timbul akibat penyerahan protokol Notaris yang melewati batas waktu terkait dengan timbulnya keraguan, ketidak pastian terkait dengan penyimpanan protokol Notaris, tidak adanya kepastian terkait dengan pertanggung jawaban terhadap terhadap kemungkinan hilang dan rusaknya protokol-protokol Notaris, dan konsekuensi lainnya yang timbul adalah apabila para pihak yang berkepentingan tidak dapat memperoleh salinan aktanya kembali ketika timbulnya perselisihan antara para pihak.

  • 6.1.2 . Batasan terkait dengan adanya pelanggaran oleh Notaris harus ditentukan dan diukur berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris. Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yang tidak bersedia menerima protokol dapat dikatakan      telah      melakukan

pelanggaran yang seharusnya menjadi suatu kewajiban, tidak adanya batasan yang jelas terkait dengan pelanggaran yang dilakukann oleh Notaris yang tidak bersedia menerima protokol, menyebabkan timbulnya ketidak pastian    mengenai    pertanggung

jawaban protokol Notaris yang tidak bersedia diterima. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota Notaris yang melakukan pelanggaran adalah sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi kode etik dan sanksi pidana.

  • 6.2    Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan terkait pengkajian yang telah dilakukan adalah:

  • 6.2.1.    Untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul karena adanya penolakan dari Notaris yang ditunjuk oleh MPD untuk menerima protokol Notaris yang meninggal dunia tersebut, diharapkan agar MPD memberikan jalan tengah yaitu dengan cara menyimpan protokol di rumah

pribadi Notaris yang telah meninggal dunia dengan membuat berita acara serah terima kepada Notaris penerima protokol, tetapi kunci dari tempat penyimpanan protokol tersebut harus diserahkan kepada Notaris yang menerima Protokol.

  • 6.2.2.    Diharapkan agar pemerintah dapat melakukan      perubahan      dan

penyempurnaan aturan yang mengatur

lebih lengkap dan lebih komprehensif mengenai penyerahan protokol Notaris, dan juga mengatur mengenai proses beserta sanksi bagi Notaris yang tidak bersedia menerima protokol, sehingga keberadaan dan penyerahan protokol Notaris dapat memberikan suatu kepastian hukum

DAFTAR PUSTAKA

  • I.    bukubuku

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung.

Artmanda, Frista W. 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Bandung.

Adam, Muhammad, 1985, Asal Usul Dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung.

Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia Jakarta.

Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi,PPS Unair, Surabaya.

Dirdjosisworo, Soedjono, 2008, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Dixon, Martin, 2007, Textbook on International Law, Oxford University Press, Sixth Edition, New York.

Efendi, Masyhur, 1994, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hadjon, Philipus M., 1997, Tentang Wewenang, Surabaya, Makalah No.5&6 Tahun XII, September – Desember, Universitas Airlangga.

Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Oliver, Down dan Gavin Drewry, 1996, Public Service Reform, Issues Of Accountability And Public Law, Reader In Public Law, King’ s College, University Of London.

Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja GrafindoPersada Jakarta.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Saputro, Anke Dwi 2008, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Di Masa Datang, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Setiaardja,    Gunawan, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan

Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

R.Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta

Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali pers, Jakarta.

Soegianto, 2003 Tanggung Jawab Pendiri dan Notaris dalam Kaitannya Dengan Penyetoran Modal Untuk Pembuatan Akta Pendirian Perseroan, Tesis: Universitas Diponegoro Semarang.

Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang.

Usfunan, Yohanes, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik Menciptakan Pemerintahan yang bersih dan demokratis, Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Tata Negara, UNUD, Denpasar-Bali.

Wahid, Muchtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta.

  • II.    ARTIKEL

N.G Yudara, Pokok-pokok Pemikiran Diseputar Kedudukan dan Fungsi Notaris serta Akta Notaris Menurut Sistim Hukum Indonesia“, Renvoi, Nomor 10.34.III, tanggal 3 Maret 2006

Soegianto, 2003 Tanggung Jawab Pendiri dan Notaris dalam Kaitannya Dengan Penyetoran Modal Untuk Pembuatan Akta Pendirian Perseroan, Tesis: Universitas Diponegoro Semarang.

  • III    PERUNDANG – UNDANGAN

  • -    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  • -    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

  • -    Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 17.

  • -    Undang-Undang No 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3.

  • -    Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 1 Nomor 82.

  • -    Peraturan Menteri Nomor M.02.PR.08. 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara

Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

  • -    Peraturan Menteri Nomor M.HH-06.AH.02.10 Tahun 2009 tentang Sekretariat Majelis Pengawas Notaris.

    DAFTAR INFORMAN

    1. Nama

    Tempat Tanggal Lahir

    Umur

    Pekerjaan

    Alamat


: Josep Sunar Wibisono. SH.

: Mojo Agung, 19 Juli 1946

: 67 Tahun

: Notaris/PPAT di Kota Denpasar

: Jln. Tukad Yeh Ayung No. 35

Acta Comitas (2017) 1 : 150 – 160

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JABATAN NOTARIS BERKAITAN DENGAN ADANYA DUGAAN MALPRAKTEK DALAM PROSES PEMBUATAN AKTA OTENTIK

Oleh :

I Gusti Agung Oka Diatmika*

NIM 1292461015

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : okadiatmika99@gmail.com

Pembimbing I : Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja. SH.,MS.** Pembimbing II : Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH.***

Abstract

THE LEGAL PROTECTION ON THE NOTARY POSITION RELATED TO THE ALLEGED MALPRACTICE IN THE PROCESS OF MAKING AUTHENTIC DEEDS

A notary is a public officer who given sufficient authority by the state to make an authentic deed. If a party feels aggrieved over the deed of a Notary, then the party can sue the notary with the charges of malpractice in an authentic deed, although the notary has been working in accordance with the standards of an authentic deed. On this basis, it is need a legal protection for the notary, in this case, made by the Notary Honorary Council (MKN) as provided for in the Article 66 of paragraph (1) of Law No. 2 of 2014 on the Amendment of Law Number 30 of Year 2004 on the Notary Position (UUJN-P). There are no certain regulations on MKN positions and the kinds of legal protection given by the MKN to the notary, giving rise to legal issues namely, what the standards or requirements in the process of making an authentic deed and what the legal protection of the Position of Notary in relations to the allegations of malpractice in the making of authentic deeds.

This thesis research is a normative legal research, which departed from the vacuum of norm. The legal materials collection techniques used were the study of literature and the card system. The analysis of the legal materials was conducted by

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016-2017

150