KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT
on
Nugroho Amien Setijarto, 2000, Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam Konteks Otonomi Daerah, Mimbar Hukum, Yogyakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Acta Comitas (2017) 1 : 83 – 98
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT
Oleh
Ida Bagus Gde Gni Wastu *
NIM: 1492461029
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : gusdewastu@yahoo.com
Pembimbing I : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH.**
Pembimbing II: Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. ***
Abstrak
Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan, dewasa ini, sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur kepada nasabah peminjam (debitur). Kekuatan hukum surat perjanjian di bawah tangan dalam pembuktian di persidangan lemah karena debitor atau penerima kredit dapat mengingkari keaslian tanda tangan dalam perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan. Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris? dan (2) Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat? Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Hukum Perbankan baik Undang-Undang Perbankan maupun Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis, sedangkan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) meskipun perjanjian kredit di bawah tangan sudah dibuat dalam bentuk tertulis, namun untuk menambah kekuatan pembuktian maka perjanjian kredit di bawah tangan tersebut harus disahkan/dilegalisasi notaris; dan (2) Kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada Bank Perkreditan Rakyat mengikat para pihak, baik pihak bank maupun nasabah peminjam. Kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan bergantung pada pengakuan para pihak terhadap kebenaran perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak dapat membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Perjanjian di bawah tangan itu mempunyai kekuatan pembuktian lahir, jika tanda tangan pada perjanjian di bawah tangan itu diakui oleh yang bersangkutan, maka perjanjian itu merupakan bukti sempurna yang berlaku terhadap para pihak yang bersangkutan. Perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian formil jika tanda tangan pada perjanjian tersebut telah diakui. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, kekuatan pembuktian materiil dari perjanjian di bawah tangan yang diakui oleh orang yang menandatangani merupakan bukti sempurna seperti akta otentik, sedangkan terhadap pihak ketiga perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.
Kata Kunci: Perjanjian Kredit, Perjanjian Bawah Tangan, Kekuatan Hukum.
Abstract
Bank underhanded credit agreement in written form, recently is frequently used in extension of credit by the bank especially the Bank Perkreditan Rakyat (BPR) as a creditor to a bank costumer (debtor). The force of law of underhanded agreement used on court of law verification is weak because the debtor or the credit recipient may deny the authenticity of the signature. Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1) How the arrangements regarding credit agreements are made by underhand according to Banking Legislation and Act of Notary? and (2) How the legal force of the credit agreement made by underhand at rural banks?The type of research is a normative legal research with statute approach, conceptual approach and historical approach. Sources of legal materials in this research consisted of primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting legal material used is literature study techniques. Analysis of legal materials collected in this research performed by a descriptive, interpretative, evaluative and argumentative analysis.
The research result indicated (1) The arrangements regarding credit agreements are made by underhand according to Banking Law both the Banking Legislation and Bank Indonesia Circular Letter No.14 / 20 / DKBU on Credit Policies and Procedures for Rural Banks, which requires to give credit in any form banks are obliged to use/make a credit agreement in writing, while according to the Notary Act (UUJN) although the underhand credit agreement already made in written form, but to add to the strength of evidence then the underhand credit agreements must be authenticated/legalized by a notary; and (2) The legal force of credit agreements that are made underhands at the Rural Bank are binding on the parties, both the bank and the borrowers. The legal force of underhand credit agreement relies on the recognition of the parties to the truth of that underhand credit agreement. The parties can allow or deny his signature. The underhand credit agreement has the outwardly strength of evidence, if the signature on the underhand agreement that is recognized by the concerned, then the agreement was a perfect evidence which applicable to the parties concerned. The underhand agreements has a formal evidentiary force if the signature on the agreement have been recognized. According to Article 1875 of the Civil Code, the material of strength evidence of the underhand agreement which recognized by the person who signed is a perfect evidence as an authentic deed, while to the third party the underhand agreement has freely evidence force.
Keywords: Credit Agreement, Underhand Agreement, Legal Force.
*
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2014/2015
**
***
Pembimbing I Pembimbing II
Pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitor. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit.1
Sutan Remy menyatakan bahwa perjanjian kredit bank mempunyai tiga ciri yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Ciri pertama adalah sifatnya konsensuil, dimana hak debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di dalam peminjaman kredit. Ciri kedua, adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitor tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh debitur, tetapi kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian
kreditnya. Ciri ketiga, adalah bahwa kredit bank tidak selalu dengan penyerahan secara riil, tetapi dapat menggunakan cek dan atau perintah pemindah bukuan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian kredit bank bukan suatu perjanjian pinjam-mengganti atau pinjammeminjam uang sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata.2
Undang-undang Perbankan tidak menjelaskan hubungan hukum pemberian kredit dengan nasabah sebagai peminjam. Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Perjanjian kredit perbankan tersebut dapat dibuat dengan akta otentik ataupun dengan perjanjian di bawah tangan. Dalam hal perjanjian kredit perbankan yang dibuat di bawah tangan, maka peran notaris adalah melegalisir perjanjian kredit di bawah tangan tersebut.
UU Perbankan tidak jelas mengatur mengenai bentuk perjanjian kredit perbankan harus dibuat secara tidak tertulis atau tertulis melalui perjanjian di bawah tangan atau bahkan harus dengan perjanjian yang dibuat oleh notaris atau akta otentik (norma kabur). Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12 UU Perbankan hanya menyebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain. Ketentuan ini tidak mengatur agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis.
Belum adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan mengenai bentuk perjanjian kredit tersebut, maka problemnya setiap bank bebas memilih bentuk perjanjian semaunya bank, seperti misalnya ada yang mengharuskan dengan akta notaris, ada yang hanya dengan perjanjian di bawah tangan. Bahkan pada umumnya bank membuat perjanjian kredit dengan bentuk perjanjian baku/standar. Jika problem ini tidak segera diatasi, maka akan berimplikasi terhadap meningkatknya sengketa perjanjian kredit perbankan dan adanya kesewenang-wenangan bank, dalam memberikan persyaratan kreditnya yang diberikan dalam bentuk perjanjian baku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul ”Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit di Bawah Tangan pada Bank Perkreditan Rakyat”
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions adalah (1) Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris? dan (2) Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris; (2) Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat
Sejalan dengan permasalahan penelitian ini, maka metode pendekatan penelitian hukum yang digunakan bersifat penelitian hukum normatif. Teknik pengambilan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan merupakan analisis yuridis. Objek atau sasaran yang merupakan data penelitian ini pada dasarnya berkisar pada kajian ilmu hukum, yang bertitik berat pada substansi atau regulasi hukum yang mengatur kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan pada bank perkreditan rakyat.
-
III. TINJAUAN MENGENAI
PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN, PERJANJIAN DI BAWAH TANGAN, DAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pengaturan perjanjian kredit perbankan tidak ditemukan dalam Bab V sampai dengan Baku III KUH Perdata dari berbagai jenis perjanjian tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank, dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya mengatur perjanjian pinjam meminjam uang, tidak secara spesifik menyebut perjanjian kredit perbankan. Bahkan dalam UU Perbankan sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank. Istilah perjanjian kredit bank ditemukan dalam Instruksi Pemerintah, yang ditujukan kepada masyarakat bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib menggunakan “akad perjanjian kredit”. Untuk bank perkreditan rakyat ketentuan ini dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat.”
Dasar hukum mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit dalam kredit perbankan muncul dalam Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain.
Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain Pertama sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintennis), di mana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Kedua sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.3 Selanjutnya Thomas Suyatno merumuskan bahwa kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.4 Sutan Remy Sahdeini mengartikan perjanjian kredit perbankan sebagai perjanjian bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitor untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.5
Berdasarkan pengertian kredit maka dengan demikian kredit adalah pemberian pinjaman baik berupa uang ataupun barang dari kreditur kepada debitur, yang akan dibayarkan kembali dalam periode tertentu.
Menurut Budi Untung secara yuridis formal ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya pada debitur, yaitu :
-
1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris. Lazimnya penanda tanganan akta perjanjian kredit, saksi tidak turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan.
-
2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit bank notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank
kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.”6
Perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat umum yang berwenang dengan kata lain perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu.7 Perjanjian yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga dapat menjadi perjanjian dibawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat perjanjian akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata.8
Perjanjian di bawah tangan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:9
-
1. Perjanjian di bawah tangan dimana ditandatangani oleh kedua belah pihak di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum),
-
2. Perjanjian di bawah tangan yang di daftarkan oleh notaris yang berwenang,
-
3. Perjanjian yang dilegalisasi oleh notaris.
Terdapat perbedaan antara perjanjian di bawah tangan yang di legalisasi oleh notaris maupun perjanjian di bawah tangan yang didaftarkan kepada notaris. Perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris di buat oleh para pihak sendiri, pada akta ini mempunyai tanggal yang pasti dan tanda tangan para pihak benar ditanda tangan sendiri oleh para pihak sehingga para pihak tidak lagi dapat mengatakan tidak pernah menandatangani maupun mengetahui isi dari akta tersebut, karena sebelum ditandatangan oleh para pihak, notaris sebelumnya telah membacakan isi dari akta tersebut dan notaris ikut tanda tangan di dalam akta tersebut, yang sifatnya hanya melakukan legalisasi.
Kriteria perjanjian di bawah tangan meliputi adanya pengertian para pihak tujuan diadakan perjanjian dibuat secara tertulis dan keabsahan dari perjanjian di bawah tangan itu sendiri.
-
6 H. Budi Untung, 2012, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Edisi Kedua, Yogyakarta, hal.31.
-
7 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 2003, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36.
-
8 Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”
-
9 Ibid.
Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perbankan, bank terbagi dalam dua jenis yaitu:
-
a. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk
melaksanakan atau memberikan perhatian yang lebih besar pada
kegiatan tertentu.
-
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) menurut Kasmir adalah bank sekunder yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka atau tabungan serta pemberian kredit.10 BPR merupakan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum dari Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan Terbatas dan Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.11
Berdasarkan pengertian BPR yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, Bank Perkreditan Rakyat merupakan bank sekunder yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran tetapi berfungsi sebagai penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka atau tabungan serta pemberian kredit dan kegiatan usahanya ditujukan untuk usaha-usaha kecil serta masyarakat di pedesaan.
BPR berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dengan tujuan untuk
melaksanakan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR adalah melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang (rentenir).12
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan, sebagai badan usaha bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja.
Dengan demikian, tujuan perbankan tidak hanya sebagai wadah penghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana kepada masyarakat atau perantara penabung dari investor, tetapi juga berfungsi untuk peningkatan taraf hidup rakyat banyak, agar masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera dari sebelumnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, kalangan perbankan sebaiknya selalu mengacu pada tujuan perbankan di Indonesia tersebut.13
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa perbankan Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak hanya berorientasi ekonomis, namun juga berorientasi pada hal-hal non ekonmis seperti masalah yang menyangkut stabilitas nasional yang mencakup stabilitas politik dan stabilitas nasional.
Dari tinjauan perbankan tersebut diturunkan tujuan BPR adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu tujuan BPR ini diarahkan untuk melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan dan agar
-
12 Cetak Biru, 2006, Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Bank Indonesia, hal.17-18.
-
13Sentosa Sembiring, 2009, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, hal.62.
mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang (rentenir dan pengijon).14
-
IV. PENGATURAN MENGENAI PERJANJIAN KREDIT YANG
DIBUAT SECARA BAWAH
TANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERBANKAN DAN
UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS
Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang mendapatkan fasilitas kredit maka orang tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari pemberi kredit. Seperti telah disebutkan di muka, pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan adalah sebagai berikut :
”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Dari pengertian kredit dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan tersebut maka dapat diketahui unsur-unsur kredit diantaranya adalah unsur kepercayaan. Oleh sebab itu dengan adanya pemberian kredit berarti adanya pemberian kepercayaan, namun demekian jika ditelaah lebih lanjut ternyata unsur yang lainnya yakni:15
-
1. Kesepakatan
Pihak-pihak yaitu kesepakatan antara sipemberi kredit dan sipenerima kredit. Hal mana kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak
menyetujui hak dan kewajiban dalam perjanjian tersebut.
-
2. Jangka Waktu
Dalam pemberian kredit telah disepakati tentang kapan seorang debitur harus mengembalikan
pinjamannya, dapat berbentuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
-
3. Resiko
Adanya tenggang waktu
pengembalian yang telah di tentukan akan menimbulkan suatu resiko, hal ini harus di sadari bahwa masa depan
tidak dapat di pastikan, oleh karena itu pihak bank selaku pemberi pinjaman sudah harus memperhitungkan resiko yang akan dihadapi, seperti resiko kredit, resiko infestasi, likuiditas, operasional, penyelewengan serta resiko fiducia.
-
4. Balas Jasa.
Yaitu merupakan keuntungan atas pemberian kredit oleh bank sebagai balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank konvensional, sedangkan bank dengan prinsi syariah keuntungan nya berupa bagi hasil
-
5. Pertukaran Nilai
Bahwa kredit tanpa perhutungan dalam bentuk pertukaran nilai ekonomi tidak dapat di sebut transaksi, sebab jika tidak ada unsur pertukaran nilai ekonomi berarti tidak terdapat kesinambungan nilai sehingga ada pihak yang di rugikan.16
Subyek hukum dalam perjanjian kredit adalah para pihak penandatangan perjanjian kredit, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur. Baik pihak kreditur maupun pihak debitur. Dalam perjanjian kredit perbankan subyek hukumnya terdiri dari bank sebagai kreditur dan pihak debitur yang bisa orang perseorangan atau badan hukum.17 Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan subyek hukum datau pihak-pihak dalam perjanjian kredit sebagai berikut:
-
1. Kreditur (Pihak Pemberi Kredit)
Menurut UU Perbankan secara tegas ditentukan pemberi kredit adalah bank. Sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberi kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Pemberi kredit (Bank) disini pada hakekatnya melaksanakan secara tidak langsung tugas-tugas Pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi untuk meningkatkan kesejahtraan rakyat menurut pola yang ditetapkan Undang-undang Dasar 1945.
-
2. Debitur (Pihak Penerima Kredit)
Pihak Penerima Kredit adalah siapa saja yang mendapat kredit dari Bank dan wajib mengembalikan setelah jangka waktu tertentu.18
16Ibid.
-
17Mariam Darus Badrulzaman, 2003, Aneka
Hukum Bisnis, Alumni, Jakarta, hal.70. (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III).
-
18Ibid.
Beberapa pakar hukum
mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian kredit bank, yaitu: 19
-
1. R. Subekti, berpendapat:
“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjammeminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754-Pasal 1769.”
-
2. Mariam Daruz Badrulzaman, tidak sependapat dengan Subekti karena berdasarkan kenyataan perjanjian kredit itu memiliki identitas sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang.
-
3. Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian secara khusus mengenai perjanjian kredit, yakni:20
“Perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang
mewajibkan debitur untuk melunasi hutangnya setalah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.”
Perjanjian kredit bank digolongkan kepada jenis perjanjian pokok. 21 Perjanjian pokok yaitu perjanjian antara kreditur dan debitur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perjanjian yang lain. Perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.22
-
4. 4 Manfaat Pembuatan Perjanjian
Kredit Perbankan dengan Akta Notariil
Antara perjanjian di bawah tangan dan perjanjian yang dibuat dengan akta notariil terdapat perbedaan dalam hal kekuatan pembuktiannya. Perbedaan kekuatan pembuktian perjanjian kredit secara di bawah tangan dengan
perjanjian kredit dalam bentuk akta notariil diterangkan sebagai berikut:23
-
1. Perjanjian bawah tangan
-
a. Jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya, maka pihak lain yang harus membuktikan bahwa tanda tangan yang disangkal itu adalah benar adanya.
-
b. Salah satu pihak dapat mengajukan alibi bahwa tanda tangan tersebut benar tanda tangannya tetapi pengisiannya diluar
pengetahuannya, sehingga di
pengadilan perjanjian kredit di
bawah tangan tersebut hanya dipakai sebagai permulaan bukti saja, bukan merupakan alat bukti yang sempurna.24
-
2. Perjanjian notarial
-
a. Jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya maka pihak tersebut yang harus membuktikan bahwa tanda tangannya adalah tidak benar atau palsu.
-
b. Jika salinan otentiknya hilang, maka bisa dimintakan lagi kepada notaris yang bersangkutan. Bahkan apabila minutnya (akta asli) hilang, maka salinan otentiknya mempunyai kekuatan yang sama dengan minutnya.
-
c. Membuktikan kebenaran formal, dianggap benar bahwa para pihak menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut dan material.
Berdasarkan perbedaan kekuatan
pembuktian antara perjanjian di bawah tangan dengan perjanjian notariil yang disebut juga akta otentik, maka perjanjian notariil/akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang lebih kuat daripada perjanjian di bawah tangan. Kekuatan pembuktian Akta Otentik diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang mengatakan bahwa; Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Kekuatan yang melekat pada akta otentik yaitu; Sempurna (volledig bewijskracht) dan Mengikat (bindende bewijskracht), yang berarti apabila alat bukti Akta Otentik diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya sekaligus melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht), dengan demikian kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum di dalamnya menjadi sempurna
-
23Jopie Jusuf, 2003, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal.165.
-
24Ibid.
dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta. Sempurna dan mengikat kepada hakim sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan
atas penyelesaian perkara yang disengketakan.25
Apabila memperhatikan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa antara akta otentik dengan akta dibawah tangan terdapat suatu perbedaan yang prinsip, letak perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan yaitu:
-
a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, Pasal 15 ayat (1) UUJN, sedangkan mengenai tanggal
pembuatan akta dibawah tangan tidak ada jaminan tanggal
pembuatannya.
-
b. Grosse dari akta otentik untuk
pengakuan hutang dengan frasa
dikepala akta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai kekuatan
eksekutorial seperti halnya
keputusan Hakim, Pasal 1 angka 11 UUJN, sedangkan akta yang dibuat di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.26
-
c. Minuta akta otentik adalah merupakan arsip Negara, Pasal 15 ayat (1) UUJN, kewenangan Notaris menyimpan akta, karena akta Notaris adalah arsip Negara, maka tidak boleh hilang, sedangkan akta dibawah tangan kemungkinan
hilang sangat besar.
-
d. Akta otentik adalah alat bukti yang sempurna tentang yang termuat didalamnya (volledig bewijs), Pasl 1870 KUHPerdata artinya apabila satu pihak mengajukan suatu akta otentik, Hakim harus menerimanya dan menanggap apa yang dituliskan didalam akta tersebut sungguh telah terjadi sesuatu yang besar, sehingga Hakim tidak boleh memerintahkan menambah bukti yang lain. Sedangkan akta dibawah tangan dalam hal ini perjanjian, apabila pihak yang menandatangani tidak menyangkal atau mengakui tanda tangannya, maka akta dibawah tangan tersebut memperoleh
kekuatan pembuktian yang sama
dengan akta otentik yaitu sebagai bukti yang sempurna. Pasal 1875 KUHPerdata. Tetapi apaabila tanda tangan tersebut disangkal, maka pihak yang mengajukan perjanjian tersebut wajib membuktikan
kebenaran tanda tangan tersebut, hal tersebut merupakan sebaliknya dari yang berlaku pada akta otentik.27
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik, apabila terpenuh syarat formil dan materil maka pada akta tersebut langsung mencukupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain. Langsung sah sebagai alat bukti akta otentik, pada Akta tersebut langsung melekat nilai kekuatan pembuktian yaitu sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).28
-
4.5 Pengaturan mengenai Perjanjian Kredit yang Dibuat Secara Bawah Tangan menurut Hukum
Perbankan
Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, perjanjian kredit perbankan dapat dibuat dengan perjanjian di bawah tangan dan perjanjian dengan akta notariil. Dalam hal akta perjanjian kredit dibuat secara di bawah tangan, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-
1. Kelemahan
Terdapat beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit di bawah tangan ini, yaitu:
-
a. Bila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil proses
hukum melalui peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan memungkiri tandatangannya, akan berakibat hilangnya kekuatan
hukum perjanjian kredit yang telah dibuat secara bawah tangan
tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan, bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
-
b. Mengingat perjanjian di bawah tangan dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh Bank, maka besar kemungkinan terdapat kekurangan data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit. Bahkan sering terjadi penandatanganan perjanjian
-
27 Ibid. hal. 119
-
28 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal, 583
dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong. Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank, bila suatu saat berperkara dengan nasabahnya dan nasabah tidak mengakui tandatangannya.
-
2. Arsip Surat Asli
Keberadaan arsip surat asli merupakan suatu kelemahan dari perjanjian yang dibuat di bawah tangan, dalam arti bahwa jika akta perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang oleh sebab apapun dan bank tidak memiliki arsip asli terkait adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, maka hal ini akan membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan.
-
3. Formulir Blangko Perjanjian
Dalam hal perjanjian kredit dibuat secara di bawah tangan, ada kemungkinan seorang debitur mengingkari isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, formulir/blangkonya telah disiapkan oleh bank, sehingga debitur dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menandatangani blangko kosong yang berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian tersebut.
Dalam kalangan perbankan, khususnya pada Bank BUMN, pembuatan perjanjian kredit dapat dengan menggunakan akta notariil dan perjanjian di bawah tangan. Perjanjian di bawah tangan dipakai untuk kredit-kredit yang kurang dari nilai 100 juta sementara kredit dengan jumlah lebih dari nilai 100 juta dipergunakan akta notariil, tidak ada perbedaan isi materi antara akta di bawah tangan dan akta notariil.
Tindakan perbankan menggunakan perjanjian di bawah tangan dan akta notariil ini lebih disebabkan adanya tuntutan efisiensi dan biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit perbankan. Dengan pembuatan format materi/isi perjanjian kredit secara standar jelas akan memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menganalisa dan menutupi kelemahan-kelemahan yang dapat saja timbul di kemudian hari yang disebabkan perkembangan dalam dunia hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit perbankan, menurut kenyataannya ada yang dibuat secara notariil dan ada juga yang dibuat di bawah tangan. Namun terhadap akta yang dibuat di bawah tangan tersebut oleh bank dimintakan legalisasinya pada Notaris. Akibat dari tindakan legalisasi tersebut maka secara prinsip hukum sesuai dengan Peraturan Jabatan Notaris akta tersebut telah memiliki kekuatan hukum sebagai alat
pembuktian yang kuat, tindakan legalisasi tersebut tidak merubah akta di bawah tangan menjadi akta otentik, akta tersebut tetap akta di bawah tangan, dengan kekuatan pembuktian yang lebih baik dari pada akta di bawah tangan yang tidak dilegalisasi.
-
4.6 Pengaturan mengenai Perjanjian Kredit yang Dibuat Secara Bawah Tangan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris
UUJN tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan. UUJN hanya mengatur perjanjian atau akta di bawah tangan pada umumnya. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Adapun kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyebutkan Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selain kewenangan tersebut, notaris berwenang pula:
-
1. Mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
-
2. Membukukan surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus.
-
3. Membuat kopi dari asli surat di
bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
-
4. Melakukan pengesahan kecocokan
fotokopi dengan surat aslinya.
Dalam hal ini pengesahan oleh
Notaris meliputi:
-
1. Pengesahan Tanda Tangan dan
Penetapan Kepastian Tanggal
Perjanjian Bawah Tangan Dibuat
Atas kesepakatan para pihak perjanjian kredit dimintakan
legalisasi oleh Notaris. Legalisasi oleh Notaris ini meliputi tanggal pembuatan perjanjian bawah tangan dengan terjadi peristiwa hukumnya. Selanjutnya diberi tanggal dan para pihaknya menandatangani akta
tersebut di hadapan Notaris dan
kemudian Notaris yang bersangkutan menandatangani akta tersebut, sehingga para pihak memperoleh jaminan atau kepastian dari notaris tentang tanggal, tanda tangan, serta identitas diri para pihak yang menandatangani perjanjian di bawah tangan tersebut. Legalisasi yang dimaksud harus dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
-
2. Membukukan Perjanjian di Bawah Tangan
Para pihak membawa perjanjian bawah tangan yang telah ditandatangani untuk di daftarkan dalam buku khusus untuk itu, yang ada di kantor notaris. Dalam hal ini notaris tidak bertanggung jawab atas isi perjanjian, tanda tangan serta tanggal yang tercantum dalam perjanjian bawah tangan tersebut karena notaris hanya mendaftarkan perjanjian di bawah tangan tersebut pada buku khusus yang ada di kantornya, dan memberikan kepastian mengenai tanggal penerimaan surat itu.
-
3. Membuat Kopi dari Asli Perjanjian di Bawah Tangan
Dalam hal ini notaris membuat salinan dari perjanjian bawah tangan yang dibawa oleh para pihak setelah aslinya diperlihatkan dan dibuat salinan yang sama bunyinya dengan perjanjian bawah tangan tersebut dan kemudian dikembalikan kepada para pihak.
-
4. Melakukan Pengesahan Kecocokan Fotokopi dengan Surat Aslinya
Lebih sederhana dan praktis dari ketiga cara tersebut di atas adalah pengesahan kecocokan fotokopi, notaris yang bersangkutan hanya mencocokan fotokopi dari perjanjian bawah tangan yang diperlihatkan kepadanya dengan dokumen aslinya. Setelah dicocokkan kemudian notaris memberikan cap jabatan serta di tandatangani pada kopi tersebut. Walaupun tanpa kehadiran para pihak yang berkepentingan dengan surat itu asalkan notaris yang bersangkutan telah mencocokannya maka hal itu sudah dianggap cukup.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pengesahan tanda tangan dan penetapan kepastian tanggal perjanjian bawah tangan ditandatangani, membukukan perjanjian di bawah tangan, membuat kopi dari asli perjanjian di bawah tangan dan melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya maka perjanjian di bawah tangan yang telah memperoleh pengesahan notaris ini memberikan
kepastian bagi hakim mengenai tanggal dan identitas dari para pihak yang mengadakan perjanjian itu, serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah tangan perjanjian itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam perjanjian bawah tangan itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah perjanjian itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui isi perjanjian bawah tangan tersebut, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya di hadapan Notaris tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka akta otentik dan akta di bawah tangan yang dilegalisir oleh notaris merupakan bukti yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa pihak-pihak yang bersangkutan telah mengakui pernyataan seperti yang tertulis dalam akta itu. Perbedaan tentang kekuatan sebagai bukti dari suatu akta otentik dengan suatu akta di bawah tangan, ialah bahwa akta otentik itu menjadi bukti kebenaran seluruh isinya, sampai sebaliknya ada bukti yang dapat membuktikan kepalsuan akta itu, sedangkan akta di bawah tangan barulah mempunyai kekuatan bukti, jika kemudian tandatangannya itu diakui seluruhnya atau diterima kebenarannya; sehingga memiliki kekuatan sebagai bukti kuat.
-
V. KEKUATAN HUKUM
PERJANJIAN KREDIT YANG DIBUAT SECARA BAWAH TANGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT
Salah satu dari sekian banyak usaha bank adalah memberikan kredit. Pemberian kredit tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian karena setiap pemberian kredit oleh lembaga perbankan akan mengandung resiko kegagalan atau kemacetan. Pemanfaatan dana tabungan nasabah harus dilakukan tanpa merugikan atau mengurangi nilai piutang kreditur yang bersangkutan. Dari segi ekonomi, simpanan pada bank berfungsi meningkatkan kesejahtraan masyarakat di satu pihak, dan mengembangkan jasa perbankan di lain pihak. Pemberian kredit pada umumnya dalam bentuk kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit perdagangan. Selain itu masih ada kredit pembiayaan, kredit perumahan dan bahkan ada kredit tanpa agunan yang bersifat konsumtif.
Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Maksudnya, baik pihak debitur maupun kreditur mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambarkan apabila mereka memperoleh keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan dan masyarakat pun atau Negara mengalami suatu pertambahan dari penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi, baik yang bersifat mikro
maupun makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi:29
-
1. Meningkatkan daya guna uang;
-
2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;
-
3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang;
-
4. Salah satu alat stabilitas ekonomi;
-
5. Meningkatkan kegairahan berusaha;
-
6. Meningkatkan pemerataan
pendapatan; dan
-
7. Meningkatkan hubungan
internasional.
Seperti telah disebutkan sebelumnya kredit yang diberikan oleh pihak bank kepada masyarakat sangat beragam jenisnya, jenis perbankan dapat dibedakan dengan mengacu pada criteria tertentu.Pengklasifikasian jenis-jenis kredit tersebut bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara efektif.
Dalam kaitannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh bank, maka akan terlihat adanya dua sisi tanggung jawab, yakni kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah sebagai akibat hubungan hukum dengan bank. Hak dan kewajiban nasabah diwujudkan dalam bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian antara bank dan nasabah terhadap produk perbankan, seperti tabungan dan deposito.
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur, maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik perbankan, bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Akan tetapi, ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus pula harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu, guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity) sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum, (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah
diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
Setiap kredit yang telah disepakati harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-masing bank untuk menetapkannya, namun dalam upaya pengamanannya maka sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-
1. Memenuhi keabsahan dan
-
persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank;
-
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.
Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umumnya meliputi:
-
1. Judul
Dalam dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul atau penamaan perjanjian kredit bank ini. Ada yang menamakan dengan perjanjian kredit, surat pengakuan utang, persetujuan pinjam uang, dan lain-lain. Judul di sini berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat tersebut, setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.
-
2. Komparisi
Sebelum memasuki substantive perjanjian kredit bank, terlebih dahulu diawali dengan kalimat komparisi yang berisikan identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian kredit bank. Di sini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap sah apabila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu.
-
3. Substantif
Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jang waktu kredit, cara pembayaran kembali kredit, agunan kredit, opeinsbaar clause, dan pilihan hukum
Menurut Ch. Gatot Wardoyo ada beberapa klausula yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit agar kredit tersebut aman, yaitu: 30
-
30 Ch. Gatot Wardoyo dalam buku Rachmadi Usman, op.cit, hal. 270-272.
-
1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause)
-
2. Klausula mengenai maksimum kredit (annount clause)
Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu:
-
3. Klausula mengenai jangka waktu
kredit
-
4. Klausula mengenai bunga pinjaman (interest clause). Klausula ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk:
-
5. Klausula mengenai barang agunan kredit. Klausula ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak lain.
-
6. Klausula asuransi (insurance clause) Klausula ini bertujuan untuk pengalihan resiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya,
keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya.
-
7. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause) Klausula ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi
pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama.
-
8. Tigger clause atau opeisbaar clause Klausula ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir.
-
9. Klausula mengenai denda (penalty clausul)
Klausula ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya.
-
10. Expence Clause
Klausula ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang, dan penagihan kredit.
-
11. Debet Auto Rization Clause Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur.
-
12. Representation and
Warranties/Material Adverse
Change Clause
Klausula ini dimaksudkan bahwa pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan.
-
13. Klausula ketaatan pada ketentuan bank
Klausula ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum.
-
14. Miscellaneous/Boiler Plate
Provision
Pasal-pasal tambahan.
-
15. Dispure Settlement (Alternatif Dispute Resolution)
Klausula mengenai metode
penyelesaian perselisihan antara kreditur dan debitur bila terjadi.
-
16. Pasal-pasal penutup
Pasal penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit.
-
5.6 Perjanjian Kredit yang Dibuat secara Bawah Tangan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Pada umumnya BPR-BPR menggunakan perjanjian kredit bawah tangan dalam memberikan kreditnya kepada nasabah. Alasannya karena jumlah kredit yang dilayani berskala kecil yaitu UMKM, UKM dan masyarakat lain yang berpenghasilan menengah ke bawah. Selain itu, alasan lainnya adalah faktor biaya notaris yang harus dikeluarkan jika menggunakan akta notaris. Tindakan BPR yang lebih memilih menggunakan perjanjian di bawah tangan daripada akta notariil ini lebih disebabkan adanya tuntutan efisiensi dan biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit perbankan. Dengan pembuatan format materi/isi perjanjian kredit secara standar, jelas akan memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menganalisa dan menutupi kelemahan-kelemahan yang dapat saja timbul di kemudian hari yang disebabkan perkembangan dalam dunia hukum.
Pembuatan perjanjian kredit di bawah tangan pada BPR-BPR dianggap sama saja dengan pembuatan akta perjanjian kredit dengan notariil, hal ini terlihat pada BPR yang tidak memaksakan pembuatan akta perjanjian kredit harus dengan notariil. Hal tersebut disebabkan bahwa dengan perjanjian kredit di bawah tangan akan memberikan keamanan yang sama dengan akta notariil. Pada prinsipnya hal yang ingin
dicapai oleh bank melalui perjanjian kredit adalah kekuasaan atas jaminan apabila debitur wanprestasi. Dengan akta di bawah tangan dengan tujuan ini juga dapat terwujud, karena akta di bawah tangan selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan menunjuk lembaga jaminan seperti Hak Tanggungan melalui pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang lebih memiliki sifat eksekutorial. Jadi melalui akta di bawah tangan pada dasarnya juga dapat menyelenggarakan keinginan kreditur tersebut.
Hal tersebut tidak berarti bahwa akta notariil menjadi sesuatu yang tidak perlu dibuat, karena BPR-BPR juga membuat akta perjanjian kredit dengan akta notariil, walaupun hanya terbatas pada hal-hal tertentu seperti kredit yang nilainya besar. Menurut penulis kenyataan ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan alat bukti yang lebih terhadap dokumen, selain sebagai suatu prosedur standar, tindakan demikian lebih ke unsur keamanannya.
Bentuk perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat BPR-BPR pada umumnya dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam blanko/formulir yang telah dipersiapkan oleh bank sendiri. Namun kelemahan dari perjanjian kredit bank tersebut tidak ada tanda tangan dari saksi, perjanjian tersebut hanya ditanda tangani oleh pimpinan dan staf bank itu sendiri dan debitur. Di samping itu, apabila yang meminjam suaminya atau isterinya, tidak tampak dalam perjanjian kredit tersebut siapa peminjam dan siapa yang memberikan persetujuan atas pinjaman yang dilakukan.
Perjanjian baku yang dibuat dalam perjanjian kredit pada BPR-BPR tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena terhadap perjanjian baku tersebut tidak terdapat suatu keinginan/iktikad yang sesungguhnya dari kreditur menggunakan posisinya yang kuat tersebut untuk menekan debitur menyetujui perjanjian kredit. Perjanjian baku dalam perjanjian kredit BPR baru dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak bila ada klausula yang tidak disadari/dimengerti debitur pada waktu menandatanganinya, atau bila ada klausula yang sedemikian mungkin menekan debitur sebagai pihak yang lemah dan terpaksa harus menandatangani akta perjanjian tersebut. Hal-hal ini sangat subyektif, namun dapat diketahui secara tegas bertentangan bila debitur tidak diberikan kesempatan melakukan negoisasi terhadap isi yang ada dalam perjanjian kredit. Kenyataan ini yang tidak ada dalam perjanjian kredit BPR yang dibuat dengan perjanjian baku tersebut. Debitur dalam posisinya tetap diberikan kesempatan untuk melakukan negoisasi sebelum ditandatangani akta perjanjiannya
-
5.7 Kekuatan Hukum Perjanjian
Kredit yang Dibuat secara Bawah
Tangan pada Bank Perkreditan Rakyat
Perjanjian kredit di bawah tangan yang dibuat secara sah juga mengikat para pihak, baik pihak bank maupun debitur. Namun demikian perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan mengandung kelemahan di mana salah satu pihak khususnya debitur dapat menyangkal tanda tangan yang tertera dalam perjanjian kredit. Apalagi jika perjanjian kredit tersebut hanya dibubuhi cap jempol. Penyangkalan tanda tangan dan/atau cap jempol dalam perjanjian kredit tersebut mengakibatkan kreditur wajib membuktikan tanda tangan dan/atau cap jempol tersebut adalah tanda tangan atau cap jempol dari debitur. Tujuan suatu perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk tertulis antara lain perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan, sebagai alat bukti surat di kemudian hari jika terjadi perselisihan, dan sebagai alat monitoring dan tertib administrasi keuangan perbankan.
Penggunaan perjanjian kredit bawah tangan boleh dikatakan kecil kemungkinannya untuk sampai pada gugatan di pengadilan. Permasalahan yang sering terjadi adalah kredit macet yang biasanya diselesaikan dengan negosiasi, rescheduling, reconditioning dan restructuring. Hal ini disebabkan perjalanan perjanjian kredit di bawah tangan pada BPR-BPR tidak semua bisa berjalan dengan baik. Ada suatu ketika perjanjian kredit bisa saja terjadi masalah. Oleh karena itu setiap bank harus menjaga kualitas kreditnya sebaik mungkin dan mengenali kemunculan penurunan kualitas kredit agar tidak terjadi masalah pada perjanjian kredit. Kredit bermasalah tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan kredit macet. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolekbilitas macet atau kredit yang memiliki kolekbilitas diragukan yang mempunyai potensi macet. Sedangkan kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.
Dengan demikian pengikatan jaminan merupakan upaya kreditur untuk memperkecil risiko dalam menyalurkan kredit. Kredit bermasalah dalam usaha bank merupakan hal yang sering terjadi, tetapi bank harus melakukan suatu tindakan demi mencegah timbulnya kredit bermasalah dan melakukan upaya penyelamatan atau memperbaiki kredit bermasalah tersebut. Upaya penyelamatan kredit oleh bank tujuannya adalah untuk melancarkan kredit yang sudah tergolong dalam kredit tidak lancar, diragukan atau bahkan telah tergolong dalam kredit macet, untuk kembali menjadi kredit lancar sehingga debitur mempunyai kemampuan untuk membayar
kembali segala utangnya disertai dengan biaya dan bunga kepada bank.
untuk membahas kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-
1. Mengerti Tujuan Diadakannya
Perjanjian
Sebagai suatu persetujuan tertulis yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, maka masing-masing pihak bersepakat akan mentaati apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Pasal 1313 KUHPerdata mengatur bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Para sarjana hukum pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya (lex specialist derogate legigenerali).
-
A. Pitlo dikutip dalam R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak yg lain berkewajiban atas suatu prestasi bandingkan pendapat lain dikemukakan oleh Salim HS, sebagai berikut:
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”31
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka harus dipahami bahwa dalam suatu perjanjian ada suatu peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan dan dimana perjanjian tersebut menerbitkan atau menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya, karena dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian, yaitu adanya hubungan hukum yang merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum, artinya akan timbul hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah adanya subjek hukum.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah adanya prestasi, yang menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Terakhir yang harus diperhatikan adalah bahwa obyek yang diperjanjikan adanya di bidang harta kekayaan. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Oleh karena itu perjanjian pada umumnya merupakan kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis yang dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak, dokumen tersebut disebut sebagai kontrak bisnis. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, bahwa perikatan merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang.
-
2. Kriteria Keabsahan Perjanjian di
Bawah Tangan
Keabsahan perjanjian di bawah tangan sebagaimana perjanjian pada umumnya harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam setiap perjanjian baik itu perjanjian yang dilakukan dihadapan pejabat publik atau perjanjian yang tidak dilakukan dihadapan pejabat publik, harus memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan tentang syarat sahnya perjanjian, sebagai berikut : (1) adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan; (2) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah mereka yang sudah berusia 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun bagi wanita; (3) adanya obyek yang diperjanjikan obyek yang disepakati dalam suatu perjanjian harus jelas atau tidak boleh samar-samar. Hal ini penting diatur untuk memberikan jaminan atau kepastian tentang
obyek yang telah disepakati sebagai upaya mencegah timbulnya perjanjian yang fiktif; (4) adanya kausa/sebab yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab/kausa yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dari apa yang diuraikan di atas, maka dapat diketahui pokok-pokok perbedaan antara akta autentik dengan akta dibawah tangan dan merupakan ciri-ciri pada masing-masing akta tersebut, yaitu akta autentik (Pasal 1868 KUHPerdata) dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang; mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna; bila kebenarannya disangkal, maka pihak yang menyangkal harus membuktikan kebenarannya. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai ciri sebagai berikut: tidak terikat bentuk formal; dapat dibuat bebas oleh para pihak yang berkepentingan; apabila tidak disangkal oleh pihak yang menandatangani akta, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (sama halnya dengan kekuatan pembuktian dari akta autentik); dan apabila kebenarannya disangkal, maka pihak yang mengajukan sebagai bukti yang harus membuktikan kebenarannya (melalui bukti atau saksi-saksi).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan bergantung pada pengakuan para pihak terhadap kebenaran perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak diwajibkan membenarkan atau memungkiri tandatangannya, sedangkan bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ahli waris tidak kenal akan tandatangan tersebut.
-
VI. PENUTUP
-
1. Pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Hukum Perbankan baik Undang-Undang Perbankan maupun Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman Kebijakan
dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib
mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis, sedangkan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), mengenai perjanjian di bawah tangan Notaris hanya berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi).
-
2. Kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada Bank Perkreditan Rakyat bergantung pada pengakuan para pihak terhadap kebenaran isi atau tanda tangan dalam perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak dapat membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Perjanjian di bawah tangan itu mempunyai kekuatan pembuktian lahir, jika tanda tangan pada perjanjian di bawah tangan tersebut diakui oleh yang bersangkutan, maka perjanjian itu merupakan bukti sempurna. Perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil jika tanda tangan pada perjanjian tersebut telah diakui. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, kekuatan pembuktian materiil dari perjanjian di bawah tangan yang diakui oleh orang yang menandatangani merupakan bukti sempurna seperti akta otentik, sedangkan terhadap pihak ketiga perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.
-
1. Kepada pihak BPR yang masih menggunakan perjanjian kredit di bawah tangan disarankan untuk menghindari penggunaan perjanjian kredit bawah tangan karena perjanjian kredit di bawah tangan memiliki kelemahan apabila pihak debitur memungkiri tanda tangan maupun isi dari perjanjian tersebut.
-
2. Kepada pihak BPR disarankan dalam melakukan perjanjian kredit dengan debitur menggunakan akta notaris agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus, 2003, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Jakarta.
______, 2008, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cetak Biru, 2006, Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat Bank Indonesia.
Fuady, Munir, 2003, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Handri, Raharjo, 2010, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kedit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Harahap, M. Yahya, 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kedelapan Sinar Grafika, Jakarta.
Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung.
Jusuf, Jopie, 2003, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Kasmir, 2012, Dasar-dasar Perbankan, Pradnya Paramita, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 201 0, Hukum Dan Lembaga Keuangan, Alumni, Bandung Naja, Daeng, 2005, Hukum Kredit Dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Padjrijah, Siti Chalimah, 2006, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat
Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia.
Salim H. S, 20 10, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Sembiring, Sentosa, 2009, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung.
Situmorang, Victor M. dan Sitanggang, Cormentyna, 2003, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remi, 2009, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Cetakan I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Sjaifurrachman, 201 1, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Surabaya.
Suyatno, Thomas, 2004, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi ketiga, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Syahrani, Riduan, 201 0, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.
Untung, H. Budi, 2012, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Edisi Kedua, Yogyakarta.
*****
Acta Comitas (2017) 1 : 98 – 110
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
ANALISIS YURIDIS TENTANG HAK INGKAR NOTARIS DALAM HAL PEMERIKSAAN MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS
oleh:
Bagus Gede Ardiartha Prabawa Universitas Udayana Denpasar
ABSTRAK
Notaris dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat umum, selain terkait pada suatu peraturan jabatan, juga terkait pada sumpah jabatan yang diucapkannya pada saat diangkat sebagai notaris dimana notaris wajib untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperolehnya sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, Pasal 1 70 ayat (1) KUHAP, Pasal1909 ayat (2) KUHPerdata,Pasal 322 ayat (1) KUHPidana. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 54ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1), terkesan seorang notaris dapat memberitahukan isi akta pada pihak yang tidak berkepentingan terhadapnya seperti pihak kepolisian asal didukung peraturan perundang-undangan. Adapun isu hokum dalam penelitian ini antara lain adalah mengenai pengaturan hak ingkar notaris dalam hal dilakukan pemeriksaan terhadap notaris berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris dan mengenai penyelesaian hukumnya apabila notaris menggunakan hak ingkarnya pada saat dilakukan pemeriksaan.
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatifdan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang kemudian bahan hokum tersebut dianalisis dengan teknik analisis yuridis kualitatif.
Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan bahwa pengaturan Hak ingkar terhadap jabatan notaris terdapat pada sumpah jabatan Notaris yang memerintahkan untuk merahasiakan isi akta yang diatur pada Pasal 4 dan Pasal 16 UUJN, serta Pasal 322 ayat (1) KUHP. Pasal-pasal tersebut tidak berlaku jika Undang-Undang lain memerintahkan untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan / pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Akibat hukum bagi seorang notaris dalam menggunakan hak ingkarnya di depan pengadilan yaitunotaris harus dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi atau memberikan kesaksian di muka pengadilan dan membebaskan notaris dari segala tuntutan dari pihak-pihak yang
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016-2017
98
Discussion and feedback