AKIBAT HUKUM PERJANJIAN LISENSI TERHADAP PIHAK KETIGA
on
Acta Comitas (2017) 1 : 75 – 83
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN LISENSI TERHADAP PIHAK KETIGA Oleh
I Gusti Bagus Arya Anggara Paramarta*
NIM: 1492461016
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana email : anggara.uhr@gmail.com
Pembimbing I : Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H., M.Hum.** Pembimbing II : Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H.***
Abstrak
Perjanjian lisensi merupakan suatu jenis perjanjian yang dipergunakan oleh para pihak untuk mengatur hubungan hukum antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi, perjanjian lisensi harus dicatatkan oleh Menteri dalam daftar umum perjanjian Lisensi Hak Cipta. Namun yang menjadi permasalahan apakah perjanjian lisensi yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu dapat mengikat pihak ketiga apabila belum didaftarkan karena dalam isi Pasal 83 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maupun peraturan perundangan lainnya belum ada yang memuat tentang pengaturan tata cara pencatatan perjanjian lisens i.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan tata cara pendaftaran perjanjian lisensi hak siar, dan (2) Bagaimana akibat hukum perjanjian lisensi terhadap pihak ketiga.
Berangkat dari adanya kekosongan norma yang terdapat pada Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan sistem kartu.. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik interpretatif, teknik evaluatif, teknik sistematif dan teknik argumentatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pengaturan pendaftaran perjanjian lisensi terkait hak siar oleh Dirjen HAKI terdapat dalam ketentuan paket Undang-Undang tentang HAKI, dimana suatu perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dimuat dalam Daftar Umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (2) Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut yaitu pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi dan mempunyai akibat hukum terhadap pihak-pihak yang bersangkutan tersebut seperti layaknya perjanjian perdatanya lainnya
Kata Kunci: Perjanjian Lisensi, Pihak Ketiga, Akibat Hukum.
Abstract
LEGAL CONSEQUENCES OF THE LICENCE AGREEMENT TO A THIRD PARTY
License agreement is a kind of agreement that is used by the parties to regulate legal relationship between the licensor and the licensee; license agreement must be registered to Minister of Law and Human Rights Affairs in general list of agreement of Copyrights License. Nevertheless what cause problem is that whether license agreement which is made by certain parties shall bind third party when it is not registered yet as in Article 83 Law No. 28 Year 2014 concerning to Copyrights and other legislation law contains nothing which governing license registration procedure.
According to such situation, then the subject matter of this research is (1) How to arrange the procedure of registering broadcasting right license agreement, and (2) What is the effect of license agreement for third party.
Begin from the absence of provision in Article 83 paragraph (4) Law No. 28 Year 2014 concerning to Copyright, therefore this study is using normative legal research. This study approach is using legislation law and analysis of legal concept
approach. Legal material source in this research consists of primary, secondary and tertiary legal material. Technique in collecting legal material is by using card system. Analysis technique of legal material used in this study is descriptive technique, interpretative technique, evaluative technique, systematic technique and argumentative technique.
Research result indicates that (1) Registration setting of license agreement regarding broadcasting rights by Director General of Intellectual Property Rights is regulated in Law package of Intellectual Property Rights, where a license agreement is required to be registered to Director General of Intellectual Property Rights which will be then published in General List by paying fee that has set under Ministerial Decree. (2) the unregistered license agreement in Director general of Intellectual Property Rights only binding on the parties that entered into such agreement of which the licensor and the licensee and shall has legal effect to related parties just similar to other civil affair agreement.
Keywords: License Agreement, Third Party, Legal Effect
* Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2014/2015
** Pembimbing I
*** Pembimbing II
Penulisan latar belakang ini dilandasi oleh permasalahan tentang bagaimana akibat hukum perjanjian lisensi terhadap pihak ketiga apabila perjanjian lisensi tersebut belum didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen HAKI..
Kajian ini menjadi menarik setelah setelah adanya kasus antara PT. Inter Sport Marketing yang mengklaim dirinya telah mendapat lisensi dari FIFA untuk menayangkan siaran Piala Dunia tahun 2014 melakukan gugatan ke hotel maupun villa yang ada di Bali karena telah menayangkan siaran piala dunia tahun 2014 baik dikamar maupun di restoran hotelnya.
Keadaan ini dimunculkan akibat suatu celah hukum terkait dengan kekosongan norma (vacum of norm) dimana belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentan tata cara pelaksanaan pendaftaran lisensi berdasarkan isi pasal Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sehingga mengakibatkan perjanjian lisensi hak siar antara PT. ISM dengan FIFA belum bisa didaftarkan, hal ini tercantum dalam surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual nomor HAKI.2-HI.01.04-39 pada tanggal 6 April 2015 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi, dimana dalam surat tersebut dinyatakan bahwa, “… menindaklanjuti surat nomor 092/dn-hc/TMP-ISM/V/014 tentang Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi antara PT. Inter Sport Marketing dengan Federation International De Football Association (FIFA), Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut dengan Dirjen HaKI) menyatakan bahwa permohonan dari PT. Inter Sport Marketing belum dapat dilakukan dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang tata cara pencatatan Perjanjian Lisensi sebagaimana diatur dalam
Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta“.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research question adalah (1) Bagaimana pengaturan tata cara pendaftaran perjanjian lisensi hak siar? dan (2) Bagaimana akibat hukum perjanjian lisensi terhadap pihak ketiga?
-
II. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang beranjak dari kekosongan norma pada Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang tidak menjelaskan mengenai pemaparan bagaimana tata cara pendaftaran perjanjian lisensi, sehingga menimbulkan suatu celah hukum pada saat dimana suatu perusahaan tidak memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi haknya dalam pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sistem kartu (card system). Teknik analisis bahan hukum menggunakan teknik deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif.
-
III. TEORI DAN TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN LISENSI
Dalam tatanan normatif, secara evolutif hukum terus berkembang menuju ke arah terciptanya suatu tata hukum yang lebih baik, bukan malahan mundur ke belakang. Banyak peraturan dan undang-undang dibuat, baik yang baru sama sekali ataupun untuk sekedar merevisi
atau mengganti aturan hukum yang lama. Tujuan terus menerus dibuatnya peraturan tersebut adalah agar tercipta perangkat hukum yang lebih baik. Hukum dari segi ini, mestinya yang ada sekarang jauh lebih maju dengan hukum sebelumnya. Hukum harus terus menerus melakukan evolusi, baik pada tataran nasional maupun pada tataran internasional. Berdasarkan hal ini, ahli hukum terkenal Roscoe Pound menyatakan sebagai berikut:
Semenjak hukum Romawi, orang telah belajar untuk makin lama makin baik menunaikan tugas praktisnya, guna mengatur hubungan-hubungan dan menertibkan kelakuan supaya dapat dikekang insting dorongan kehendak insan yang agresif dari masing-masing orang dan menggunakan dorongan kehendak insan secara bekerja sama demi kemajuan peradaban.1
Ada 3 (tiga) landasan pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu:
-
1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.
-
2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan Undang-Undang organik.
Selanjutnya UU itu menjadi landasan yuridis bagi pembuatan Peraturan Pemerintah ataupun Perda.
-
3. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintahan negara.2
Teori kebebasan berperjanjian dalam sistem civil law dan common law lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. Pada abad sembilan belas, kebebasan berperjanjian sangat diagungkan baik oleh para filosuf, ekonom, sarjana hukum maupun pengadilan. Kebebasan berperjanjian sangat mendominasi teori hukum perjanjian. Inti permasalahan hukum perjanjian lebih tertuju
kepada realisasi kebebasan berperjanjian. Pengadilan juga lebih mengkedepankan kebebasan berperjanjian dari pada nilai-nilai keadilan dalam putusan-putusannya. Pengaturan melalui legislasi pun memiliki kecenderungan yang sama. Pada saat itu, kebebasan berperjanjian memiliki kecenderungan ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).3
Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Teori ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).4.
-
3.5 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Dan Perjanjian Lisensi
Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUHPerdata diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Definisi tersebut oleh para Sarjana Hukum dianggap memiliki kelemahan karena di satu pihak kurang lengkap dan di pihak lainnya terlalu luas. Dianggap kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja, padahal dalam kehidupan sehari-hari di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.5
Sebaliknya dikatakan terlalu luas, karena perjanjian menurut Pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan, maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak,
-
3 John D. Calamari dan Joseph M. Perilo, 1977, Contracts, West Publishing, ST. Paul, Mnn, Co, hlm. 5. Lihat juga Roscoe Pound, 1909, “Liberty of Contract”, Yale Law Journal, Vol. 19, hlm. 456
-
4 UN Conventions on the Laws of Treaties, Viena (23 May 1969), Article 26
-
5 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 45
dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian, misalnya perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai janji kawin.6
Atas dasar alasan-alasan itulah maka para Sarjana Hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7 Sudikno Mertokusumo memberikan definisi perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.8
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan kata sepakat untuk melaksanakan sesuatu hak yang merupakan hubungan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi kedua pihak tersebut.
Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian, supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa ada pelaksanaan perjanjian.
Menurut Simanjuntak pada dasarnya, hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan dalam suatu perjanjian dapat dibagi dalam 3 macam yaitu:
-
1. Perjanjian untuk memberikan suatu barang/benda.
-
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
-
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu9.
Hal-hal yang harus dilaksanakan dalam perjanjian itu disebut dengan prestasi Simanjutak10 dalam bukunya menjelaskan yang dimaksud dengan prestasi dalam suatu perjanjian adalah sesuatu hal yang wajib dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitur dalam suatu perjanjian.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, macam-macam prestasi adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Menurut Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Menurut Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kapatutan, kebiasaan dan undang-undang. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah kekayaan intelektual yang mempunyai manfaat ekonomi. Dengan demikian, suatu kekayaan intelektual dapat dikatakan bahwa karena bermanfaat ekonomi, maka terkandung di dalamnya nilai-nilai ekonomi. Kerapkali dalam pemanfaatan dari nilai ekonomi dari HAKI, pencipta tidak dapat melakukannya seorang diri, namun berdasarkan undang-undang yang berlaku, HAKI diperbolehkan untuk memberikan lisensi.
Sedangkan di dalam Undang-undang Hak Cipta, yang dimaksud dengan Lisensi sesuai ketentuan Pasal 1 angka 14 adalah: “Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.” Namun demikian, pengertian tersebut tidak selengkap pengertian lisensi menurut Black’s Law Dictionary.
Lisensi menurut Black’s Law Dictionary yang dikutip Gunawan Wijaya diartikan sebagai: A Personal privilege to do some particular act or series of acts.11 atau The Permission by competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a tresspass, a tort, or other wise would not allowable.12
Pengertian di atas, dapat menjelaskan bahwa lisensi senantiasa dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk keistimewaan (privilege) yang ada untuk melakukan sesuatu hal oleh seseorang atau pihak tertentu yang ada karena kewenangan yang diberikan oleh pihak yang berwenang. Sedangkan Licensing menurut Black Law’s Dictionary adalah The sale of a License permitting the use of Patent, trademarks, or the technology to another firm.13
-
IV. PENGATURAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN LISENSI HAK SIAR PADA DIRJEN HAKI
Dalam penjelasan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menyatakan bahwa”
-
11 Gunawan Widjaja, 2001, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, Raja Grafindo Persada, Jakarta hlm. 7
-
12 Ibid
-
13 Ibid, hlm. 8
-
(1) Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
-
(2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.
-
(3) Kepemilikan hak siar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara.
-
(4) Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Hak siar merupakan hak yang berkaitan dengan hak cipta yang selanjutnya dinamakan hak terkait. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Hak Cipta, Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.
Persoalan hak siar mengemuka dalam industri penyiaran di Indonesia, diantaranya penanyangan langsung penayangan siaran langsung kegiatan olahraga seperti Liga Inggris atau perhelatan Piala Dunia (World Cup). Selain itu, salah satu kasus yang menjadi perhatian masyarakat internasional adalah terhadap kegiatan redistribusi siaran dengan memungut biaya yang dilakukan oleh operator-operator televisi berlangganan (biasa disebut dengan “TV Kabel”) di beberapa wilayah Indonesia.14
Hukum yang berkaitan dengan Hak Cipta pada awalnya lebih banyak berfokus pada perlindungan atas karya cipta dari pencipta. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perlindungan hukum Hak Cipta lingkupnya tidak hanya mencakup Hak Cipta namun juga mencakup perlindungan terhadap Hak Terkait. Keberadaan Hak Terkait (Neighboring Rights) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Hak Cipta itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Hak Cipta dapat diketahui bahwa yang dimaksud Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram atau Lembaga Penyiaran.
Dalam prakteknya muncul berbagai persoalan hukum yang berkaitan dengan Hak Terkait, yaitu perlindungan atas Hak Siar suatu Lembaga Penyiaran, terutama pada saat suatu Lembaga Penyiaran telah memiliki Hak Siar berdasarkan perjanjian lisensi atas suatu karya cipta seperti film, atau event tertentu yang direkam ternyata ada pihak lain yang memanfaatkan secara komersial Hak Siar tersebut. Beberapa tulisan yang mengkaji
perlindungan hukum bagi penerima lisensi Hak Terkait dalam bidang karya siaran diantaranya adalah kajian tentang perlindungan hukum bagi RCTI dan MNC Sky Vision sebagai pemegang Lisensi Media Right EURO 2012,15 serta kajian tentang pelaksanaan perjanjian lisensi hak siar antara televisi swasta dengan rumah produksi dalam suatu kegiatan penyiaran secara rinci dan lengkap.16 Kajian tersebut lebih menitikberatkan pembahasan perlindungan hukum bagi penerima lisensi berkaitan dengan hak penyiaran.
Sesungguhnya persoalan hukum yang berkaitan dengan perlindungan Hak Cipta termasuk didalamnya Hak Terkait di bidang Broadcasting Right atau Hak Penyiaran dalam dimensi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, tidak hanya penting dikaji hanya dari sisi pemberi lisensi maupun penerima lisensi atas karya siaran, namun juga sangat penting untuk memperhatikan perlindungan dan kepentingan dari masyarakat maupun pihak yang menikmati serta memanfaatkan karya siaran tersebut. Kajian yang komprehensif yang mengkaji bagaimana batasannya sebuah karya siaran dikategorikan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, apakah masyarakat memiliki kewajiban selalu mematuhi perjanjian lisensi yang dibuat hanya oleh para pihak, apakah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu mengikat masyarakat atau pihak ketiga, kapan pihak yang telah melisensi suatu karya yang mendapat perlindungan Hak Cipta maupun karya Hak Terkait mengikat pihak ketiga serta bagaimana mekanismenya. Kajian-kajian komprehensif yang mencoba mengkaji tidak hanya pemilik Hak Cipta namun juga masyarakat yang menggunakan maupun memanfaatkan karya cipta menjadi penting untuk dilakukan agar keberpihakan kepada semua pihak dalam rangka meningkatkan kepekaan terhadap social justice semakin tumbuh di Negeri Indonesia ini yang selalu dikomentari mengalami keterpurukan dalam soal berhukum.
-
15 Georgina Tirza Sappetaw, 2015, Perlindungan Hukum Bagi RCTI dan MNC SKY Vision Selaku Pemegang Lisensi Media right Dan Official Broadcaster EURO 2012 Di Indonesia Atas Komersialisasi (Nonton Bareng) Oleh Pihak Lain Tanpa Izin, Jurnal Hukum, http://repository.unhas.ac.id, diakses tanggal 18 September 2016
-
16Lestanti & Andhika Furi,
Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Siar Antara televisi swasta dengan rumah Produksi: Study Kasus,
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.ph p?mod=penelitian, diakses 18
September 2016
Di Indonesia sekarang ini melalui Undang-undang Hak Cipta melalui ketentuan Pasal 3 secara tegas diatur tentang cakupan dari Undang-undang Hak Cipta mengatur tentang Hak Cipta dan Hak Terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta dapat diketahui bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 jo Pasal 20 Undang-undang Hak Cipta dapat diketahui bahwa Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif yaitu hak moral bagi pelaku pertunjukan, hak eksklusif yaitu hak ekonomi Pelaku Pertunjukan, hak eksklusif yaitu hak ekonomi Produser Fonogram, serta hak eksklusif yang meliputi hak ekonomi Lembaga Penyiaran. Adapun Hak Ekonomi dari Lembaga Penyiaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 Undang-undang Hak Cipta meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, dan/atau penggandaan fiksasi siaran. Lebih lanjut penegasan tentang perlindungan kepada pemegang Hak Terkait berhubungan dengan Broadcasting Right atas karya-karya siaran diatur melalui Pasal 25 (3) Undang-undang Hak Cipta yang mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.
-
4.7 Pengaturan Akibat Hukum Pendaftaran Terhadap
Perlindungan Perjanjian Lisensi Hak Siar
Dalam putusan pengadilan Niaga Surabaya Nomor 09/HAKI.HAK
CIPTA/2014/PN.Niaga.Sby, terlihat bahwa adanya upaya perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak penggugat (PT. ISM) yang memenangkan gugatan penggugat atas dugaan pelanggaran hak Cipta tersebut. Walau belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran perjanjian lisensi tersebut sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Hak Cipta, Hakim berpandangan bahwa syarat untuk melakukan pendaftaran perjanjian lisensi ke Dirjen HAKI tidaklah bersifat absolut atau mutlak, pendaftaran tersebut hanyalah merupakan sebuah formalitas, dimana hal ini terlihat walau masih terdapat kekosongan norma mengenai tata cara pendaftaran suatu perjanjian lisensi, Hakim berpandangan bahwa sebuah
pengajuan pendaftaran perjanjian lisensi ke Dirjen HAKI saja telah dapat dinyatakan bahwa perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan. Sehingga dari kasus ini Hakim memutuskan walau suatu perjanjian lisensi yang sudah diajukan dalam proses pendaftaran namun belum dapat didaftarkan ke Dirjen HAKI terkait belum adanya Peraturan Pemerintah tersebut, maka perjanjian tersebut tetap mengikat kepada pihak ketiga. Hal ini sekaligus menjawab surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tertanggal 6 April 2016 dengan Nomor: HAKI.2-HI.01.04-39, dimana dalam surat tersebut menyebutkan bahwa menindaklanjuti Surat Nomor: 092/dn-hc/TMP-ISM/V/014 tertanggal 23 Mei 2014, perihal pencatatan Perjanjian Lisensi antara PT. ISM dengan FIFA disampaikan bahwa permohonan pencatatan Perjanjian Lisensi tersebut belum dapat dilakukan karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur.
-
V. AKIBAT HUKUM PERJANJIAN LISENSI TERHADAP PIHAK KETIGA
Keberadaan ketentuan Pasal 83 Undang-undang Hak Cipta sesungguhnya dapat dicermati sebagai salah satu ketentuan dalam hukum Hak Cipta di Indonesia yang juga tampaknya menawarkan suatu model perlindungan balance protection bagi kepentingan pemegang Hak Cipta maupun pemegang Hak Terkait dengan masyarakat pengguna dari karya-karya intelektual tersebut. Seperti misalnya jika ada pihak/organisasi/perusahaan yang mengaku pemegang lisensi atas karya siaran sebuah event di televisi serta menyatakan berhak untuk memungut royalty atas karya siaran tersebut, pihak tersebut tidak serta merta mendapatkan haknya. Pihak yang bersangkutan wajib terlebih dahulu membuktikan bahwa pihaknya memang benar sebagai penerima lisensi atau penerima sub lisensi yang nama dan identitasnya secara tegas tertulis dalam Perjanjian Lisensi yang dibuat dalam bentuk Perjanjian Tertulis serta sudah dicatatkan oleh Menteri dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta. Jika perjanjian lisensinya tidak maupun belum dicatatkan dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi Hak Cipta, maka perjanjian lisensi tersebut tidak akan mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Dalam Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa, “Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal”. Melihat isi Pasal tersebut, jelas bahwa
PT. ISM tidak memenuhi kriteria tersebut, dimana hal ini tercantum dalam surat jawaban dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tertanggal 6 April 2016 dengan Nomor: HAKI.2-HI.01.04-39, dimana dalam surat tersebut menyebutkan bahwa menindaklanjuti Surat Nomor: 092/dn-hc/TMP-ISM/V/014 tertanggal 23 Mei 2014, perihal pencatatan Perjanjian Lisensi antara PT. ISM dengan FIFA disampaikan bahwa permohonan pencatatan Perjanjian Lisensi tersebut belum dapat dilakukan karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur. Sehingga berdasakan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa Alila Villa Soori selaku pihak ketiga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas ditayangkannya siaran langsung piala dunia 2014 di kamar hotelnya, dikarenakan perjanjian lisensi tersebut hanyalah mengikat PT. ISM dan FIFA saja.
Bahkan untuk lebih mempertegas surat Nomor: HAKI.2-HI.01.04-39 tersebut,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada tanggal 21 Oktober 2015 mengeluarkan 1 (satu) surat lagi dengan nomor HAKI.2-HI.01.06-19 yang dalam salah satu poinnya berbunyi, “… Bahwa surat Nomor HAKI.2-HI.01.04-39 tertanggal 6 April tersebut pencatatannya masih menunggu proses lebih lanjut karena Peraturan Pemerintah mengenai Lisensi belum diterbitkan sehingga permohonan pencatatan Lisensi PT. Inter Sport Marketing belum dapat dilaksanakan, namun demikian perjanjian antara PT. Inter Sport Marketing (ISM) dengan pihak FIFA World Cup Brazil 2014 berlaku perjanjian yang mengikat kedua belah pihak”. Dari surat ini tegas dinyatakan bahwa perjanjian lisensi antara PT. ISM dengan FIFA hanya mengikat kepada kedua belah pihak saja yaitu antara PT. ISM dan FIFA.
Hal ini berbeda dengan pandangan Hakim Pengadilan Niaga Surabaya melalui putusannya Nomor 09/HAKI.HAK
CIPTA/2014/PN.Niaga.Sby dengan
memenangkan PT. ISM atas Alila Villa Soori (sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III dari halaman 116 hingga halaman 123), dimana hakim berpandangan bahwa sebuah permohonan 2.
pendaftaran sudah dapat dinyatakan terdaftar walaupun belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut, sehingga perjanjian antara PT. ISM dengan FIFA tersebut mengikat Pihak Ketiga
-
VI. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa:
-
1. Mengenai tata cara pendaftaran perjanjian lisensi belum diatur dalam Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 83 ayat (4) Undang-undang Hak Cipta, namun melihat Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 09/HAKI.HAK
CIPTA/2014/PN.Niaga. Sby yang
memenangkan PT. ISM atas Alila Villa Soori, Hakim berpandangan bahwa syarat untuk melakukan
pendaftaran perjanjian lisensi ke Dirjen HAKI tidaklah bersifat
absolut atau mutlak, pendaftaran
tersebut hanyalah merupakan
sebuah formalitas, dimana hal ini terlihat walau masih terdapat kekosongan norma mengenai tata cara pendaftaran suatu perjanjian lisensi, Hakim berpandangan bahwa sebuah pengajuan pendaftaran perjanjian lisensi ke Dirjen HAKI saja telah dapat dinyatakan bahwa perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan. Sehingga dari kasus ini Hakim memutuskan walau suatu perjanjian lisensi yang sudah diajukan dalam proses pendaftaran namun belum dapat didaftarkan ke Dirjen HAKI terkait belum adanya Peraturan Pemerintah tersebut, maka perjanjian tersebut tetap mengikat kepada pihak ketiga. Hal ini sekaligus menjawab surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tertanggal 6 April 2016 dengan Nomor: HAKI.2-HI.01.04-39, dimana dalam surat tersebut menyebutkan bahwa
menindaklanjuti Surat Nomor: 092/dn-hc/TMP-ISM/V/014 tertanggal 23 Mei 2014, perihal pencatatan Perjanjian Lisensi antara PT. ISM dengan FIFA disampaikan bahwa permohonan pencatatan Perjanjian Lisensi tersebut belum dapat dilakukan karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur.
Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut yaitu pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi dan mempunyai akibat hukum terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Namun, jika perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, hal ini sesuai dengan isi Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa, “Jika perjanjian Lisensi tidak dicatat dalam daftar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai
akibat hukum terhadap pihak ketiga”. Hal inipun terlihat pada surat yang diterbitkan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Nomor: HKI.2-HI.01.03-39 pada tanggal 6 April 2015 yang menyatakan bahwa permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi antara PT. ISM dan FIFA belum dapat untuk dilakukan, dan diperkuat kembali dengan diterbitkannya surat Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Nomor: HKI.2-HI.01.06-19 yang menyatakan bahwa
… karena Peraturan Pemerintah mengenai Lisensi belum diterbitkan sehingga permohonan Pencatatan Lisensi PT. Inter Sport Marketing belum dapat dilaksanakan, namun demikian perjanjian antara PT. Inter Sport Marketing (ISM) dengan pihak FIFA World Cup Brazil 2014 berlaku perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.
Dari isi surat tersebut jelas dinyatakan bahwa selama Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pencatatan perjanjian lisensi belum diterbitkan, maka perjanjian lisensi tersebut tidak bisa dilakukan dan mengakibatkan perjanjian tersebut hanya mengikat kedua belah pihak saja. Hal ini berbeda dengan pandangan Hakim Pengadilan Niaga Surabaya melalui putusannya Nomor 09/HAKI.HAK CIPTA/2014/PN.Niaga.Sby dengan memenangkan PT. ISM atas Alila Villa Soori (sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III dari halaman 114 hingga halaman 122), dimana hakim berpandangan bahwa sebuah permohonan pendaftaran sudah dapat dinyatakan terdaftar walaupun belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut, sehingga perjanjian antara PT. ISM dengan FIFA tersebut mengikat Pihak Ketiga.
Adapun saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini ialah :
-
1. Mengenai tata cara pencatatan Perjanjian Lisensi, Pemerintah perlu segera membuatkan Peraturan
Pemerintah mengenai pencatatan Lisensi dalam kaitannya dengan hak siar sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta, agar adanya kepastian hukum bagi para pihak dan mencegah terjadinya
pelanggaran dalam hak siar yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga
-
2. Melihat permasalahan yang terjadi terkait dengan pelanggaran hak cipta dari ditayangkannya pertandingan Piala Dunia tahun 2014 ini, diharapkan agar masyarakat lebih bijak dalam melakukan kegiatan menayangkan mapun melakukan kegiatan nonton bareng suatu pertunjukkan yang ditayangkan atau disiarkan di televisi terutama kegiatan tersebut mengandung nilai komersial atau memberi keuntungan secara ekonomi bagi yang
melakukan kegiatan penyiaran tersebut, hal ini ntuk mencegah terjadinya gugatan dari pihak yang berhak atas tayangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Rajawali Pers, Jakarta
Arthur Taylor von Mehren, 1987, The Civil Law System, Cases and Materials, Prentice Hall, Englewood, N.J
Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ch. Besila, 1994, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Beberapa Aspek Hukum di Bidang Lisensi, BPHN, Jakarta
C.S.T. Kansil, 1997, Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta) , Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta
Ida Bagus Wyasa Putra, 2015, Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press, Denpasar
Judhariksawan, 2010, Hukum Penyiaran, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Klinik Konsultasi HKI, 2006, Buku Panduan Pengenalan Hak Kekayaan Intelektual, Dirjen Industri Kecil Menengah, Deperindag, Jakarta
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Nugroho Amien Setijarto, 2000, Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam Konteks Otonomi Daerah, Mimbar Hukum, Yogyakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Acta Comitas (2017) 1 : 83 – 98
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT
Oleh
Ida Bagus Gde Gni Wastu *
NIM: 1492461029
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : gusdewastu@yahoo.com
Pembimbing I : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH.**
Pembimbing II: Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. ***
Abstrak
Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan, dewasa ini, sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur kepada nasabah peminjam (debitur). Kekuatan hukum surat perjanjian di bawah tangan dalam pembuktian di persidangan lemah karena debitor atau penerima kredit dapat mengingkari keaslian tanda tangan dalam perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan. Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris? dan (2) Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat? Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Hukum Perbankan baik Undang-Undang Perbankan maupun Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis, sedangkan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) meskipun perjanjian kredit di bawah tangan sudah dibuat dalam bentuk tertulis, namun untuk menambah kekuatan pembuktian maka perjanjian kredit di bawah tangan tersebut harus disahkan/dilegalisasi notaris; dan (2) Kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada Bank Perkreditan Rakyat mengikat para pihak, baik pihak bank maupun nasabah peminjam. Kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan bergantung pada pengakuan para pihak terhadap kebenaran perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak dapat membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Perjanjian di bawah tangan itu mempunyai kekuatan pembuktian lahir, jika tanda tangan pada perjanjian di bawah tangan itu diakui oleh yang bersangkutan, maka perjanjian itu merupakan bukti sempurna yang berlaku terhadap para pihak yang bersangkutan. Perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016-2017
83
Discussion and feedback