Acta Comitas (2016) 1 : 94 – 108 ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

IMPLEMENTASI PASAL 39 AYAT (1) HURUF d PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTRAN TANAH TERKAIT JUAL BELI

DENGAN KUASA MUTLAK OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DI KABUPATEN KLUNGKUNG

Oleh :

Luh Wike Saptia Dewi

NIM. 1292461011

Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Email : wikesaptia@gmail.com

Pembimbing I : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H.,M.S

Pembimbing II : Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM

Abstract

The Land Deed official (the PPAT) is a public official given the authority to make an authentic document related to the conveyance of land. In the land conveyance, many parties employ a power of attorney or a proxy to represent him or herself in committing an act of law, one of which is the act of buying and selling of land. The problem formulation of this thesis is how the implementation of the provisions of article 39 paragraph (1) letter d of the Government Regulation Number 24 of 1997 about the practices of making the land sale deeds by the PPAT in the Klungkung Regency, and what the responsibilities of the PPAT in carrying out their duties as officials who make the land sale deed based on an absolute power of attorney. The research methodology used in the study is juridical empirical research. It can be seen from the scope of discussion namely on what is written in the legislation (das sollen) and the deviations found in the practices of making the land sale deeds made by the PPAT (das Sein). This thesis uses the nullification, the legal affectivity, the responsibility, and the law enforcement theories.

The findings of the research showed that there were some irregularities of the implementation of Article 39 paragraph (1) letter d related to the land sale deed by an absolute power of attorney found in the Regency of Klungkung, for instance, there was an indication that a PPAT accepted a privately-made absolute power of attorney to make a land conveyance certificate. This was made because of the creditor's debt agreements. Other irregularities found, that there was a land conveyance certificate made under a stand-alone power of attorney that irrelevant to the land deed of sale. The accountability of a PPAT who accepts an absolute power of attorney in making the land conveyance certificate lies exclusively on his/her own discretion because the PPAT is not under a government agency. It is always possible that those who feel harmed by the malpractice shall be entitled to a civil action for redress. By the routine monitoring and guidance, it is expected that no violations shall be committed by the PPAT otherwise, he or she may be exposed to a lawsuits in the future.

Keywo rds: the Sale Deed, the Absolute power of Attorney, the Land Deed Official.

  • I.    PENDAHULUAN

Tanah sebagai penunjang kebutuhan manusia di dalam pembangunan eksistensinya semakin meningkat. Berkaitan dengan itu meningkat pula kebutuhan berupa jaminan hukum di bidang pertanahan. Tanah memiliki peran penting bagi

individu dalam masyarakat karena memiliki nilai ekonomis yang dapat mendukung kehidupan manusia. Pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan hukum menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah

tersebut.1 Salah satu cara untuk memiliki tanah adalah melalui jual beli.

Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, yang terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan oleh penjual dan penyerahan uang sebagai pembayaran oleh pembeli kepada penjual sehingga berpindahlah hak atas tanah tersebut kepada pembeli dan pengalihan tersebut harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.2 Dalam melakukan perbuatan hukum jual beli, harus ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga dan barang serta dilakukan secara terang, tunai dan riil.3

Perkembangan globalisasi yang semakin berkembang menyebabkan kebutuhan masyarakat atas jasa dari PPAT semakin dibutuhkan. Hal ini terutama terkait dengan adanya keinginan dari masyarakat untuk menyatakan kehendak dengan alat bukti yang otentik. PPAT merupakan pejabat umum yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan pelayanan dan konsultasi hukum kepada masyarakat yang membutuhkan. 4

Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan bahwa “Pemberian kuasa

adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Berdasarkan sifat perjanjiannya, maka pemberian kuasa dapat merupakan pemberian kuasa umum, maupun pemberian kuasa khusus. Berdasarkan Pasal 1795 KUH Perdata yang dimaksud dengan pemberian kuasa khusus adalah pemberian kuasa mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, artinya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan. Pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan.

Secara normatif, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak”. Serta dalam Bab VIII Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengatur mengenai sanksi menyatakan bahwa :

PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat

yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

Berdasarkan hasil penjajakan awal, ditemukan PPAT yang membuat akta peralihan hak atas tanah (jual beli) di Kabupaten Klungkung tidak mentaati aturan mengenai tata cara pembuatan akta otentik. Kasus yang terjadi di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung adalah jual beli yang didasarkan pada perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya karena pihak debitur tidak dapat melunasi utangnya sehingga tanah jaminan beralih kepada kreditur. Dalam kasus tersebut tanah jaminan dialihkan dengan cara proses jual beli dengan kuasa mutlak yang tanpa didasari oleh perjanjian ikatan jual beli. Pihak debitur memberikan kuasa mutlak dibawah tangan kepada orang lain (pihak ketiga) dengan berada dibawah tekanan.

Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya kesenjangan antara pelaksanaan/law in action (das sein) dan pengaturan/law in book (das sollen), sehingga hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.

  • II.    METODE PENELITIAN

  • II.1    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yaitu ditemukannya suatu kesenjangan antara apa yang

seharusnya (das solen) dengan apa yang terjadi di masyarakat (das sein) yang dikaji untuk kepuasan akademik. Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “PPAT menolak membuat akta apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Namun dalam prakteknya terdapat suatu kasus di Kabupaten Klungkung dalam hal PPAT menerima pembuatan akta jual beli yang peralihan haknya tersebut dialihkan dengan kuasa mutlak.

  • II.2    Sifat Penelitian

Sifat penelitian dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 5

  • II.3    Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel

Adapun lokasi penelitian dalam penyusunan penelitian ini adalah Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Klungkung. Terpilihnya Kabupaten Klungkung sebagai lokasi penelitian karena kabupaten Klungkung sudah mengalami perkembangan jual beli yang sangat signifikan yang disebabkan perkembangan investasi yang masuk semakin besar.

Populasi dalam penelitian ini adalah kantor Notaris/PPAT di

5Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 25.

Kabupaten Klungkung yang berjumlah 13 unit Kantor Notaris/PPAT. Dalam penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu teknik yang secara sengaja dipakai karena memilih karakter tertentu.    Dalam penelitian    ini

ditetapkan    4    (empat)    kantor

Notaris/PPAT     di     Kabupaten

Klungkung.

  • II.4    Sumber Data

Jenis data yang dipakai dalam penulisan ini meliputi data primer dan data sekunder.

  • 1.    Data primer adalah suatu data yang bersumber dari penelitian lapangan    yaitu    data    yang

diperoleh peneliti dari sumber asalnya yang pertama dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Untuk memperoleh data primer, harus ditentukan wilayah dan subyek penelitiannya.

  • 2.    Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh    dari    data    yang

terdokumenkan dalam bentuk bahan- bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

  • a.    Bahan hukum primer adalah bahan - bahan hukum yang mengikat.6 Yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah :

  • 1.    Kitab    Undang-    Undang

Hukum Perdata.

  • 2.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

  • 3.    Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696).

  • 4.    Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan   Jabatan   Pejabat

Pembuat    Akta    Tanah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52,   Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3746).

  • 5.    Peraturan   Kepala   Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun     2006     Tentang

Ketentuan       Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan   Jabatan   Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

  • 6.    Peraturan   Menteri  Negara

Agraria/Kepala        Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun     1997     Tentang

Peraturan        Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

  • b.    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer.7 Yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku hukum, makalah- makalah yang      berkaitan      dengan

permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.

  • c.    Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk serta penjelasan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dapat berupa kamus hukum dan ensiklopedia. 8

  • II.5 Teknik Pengumpulan Data

  • 1.    Teknik dokumentasi.

Yaitu cara pengumpulan data primer dengan mengambil data yang telah tersedia dalam bentuk berkas-berkas atau dokumen resmi yang ada hubungannya dengan masalah dalam penulisan tesis ini.

  • 2.    Teknik wawancara

Cara memperoleh data primer dengan   mengadakan   wawancara

langsung kepada pihak- pihak terkait dengan penulisan tesis ini misalnya beberapa Kantor Notaris di Kabupaten Klungkung. Model wawancara yang digunakan     adalah     wawancara

berencana. Wawancara berencana biasanya daftar pertanyaan (kuesioner) telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis. Kuesioner yang terstruktur dan sistematis kemudian     oleh     pewawancara

ditanyakan kepada responden dengan cara     membacakannya     kepada

responden untuk dijawab. Semua responden yang terpilih diajukan kuesioner yang sama, kata-kata sama

dengan pola dan sistematika yang 9 seragam.

  • II .6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.10 Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merapikan data yang diperoleh dari hasil wawancara di Pengadilan Negeri Klungkung dan beberapa kantor Notaris/PPAT     di     Kabupaten

Klungkung.

  • III.TINJAUAN UMUM MENGENAI PPAT, AKTA,   JUAL BELI

SERTA PEMBERIAN KUASA

  • III.1    PPAT

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah “ PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

PPAT   sebagai   pejabat   umum

berkedudukan :

  • 1.    Independent (mandiri)

  • 2.    Imparsial (tidak memihak)

  • 3.    Bukan     bawahan     atau

subordinasi pihak lain yang mengangkatnya

  • 4.    Mempunyai wewenang yang telah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang mengatur jabatan tersebut (atributif)

9Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 77.

10Ibid.

  • 5.    Akuntabilitasnya       kepada

masyarakat,    Negara    dan

Tuhan. 11

Jenis PPAT menurut ketentuan dari Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah terdiri dari :

  • a)    Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta    otentik    mengenai

perbuatan     hukum     tertentu

mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. PPAT dalam hal ini adalah PPAT yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah mengikuti pelatihan PPAT dan telah lulus sekolah kenotariatan.

  • b)    PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara adalah Camat atau pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya oleh Kepala Kantor Wilayah    Badan    Pertanahan

Nasional propinsi setempat, untuk melaksanakan tugas PPAT, dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat PPAT, dengan wilayah kerjanya sebagai camat/Pejabat Pemerintah.

  • c)    PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena     jabatannya      untuk

melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu

khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.   PPAT Khusus adalah

Kepala Kantor Pertanahan yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan    Nasional    untuk

membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu dalam rangka pelaksanaan program pelayanan masyarakat atau dalam rangka pelayanan bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas, yang disebut dalam SK Penunjukkannya.

  • III.2    Akta

Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Akte.   Mengenai

pengertian akta dalam bahasa Romawi kata akta disebut sebagai gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica. Akta adalah salah satu alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis  adalah  segala  sesuatu yang

memuat tanda  tanda  bacaan  yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Akta Otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian yakni :

  • a.    Kekuatan   pembuktian   lahir

adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir yaitu apa yang tampak pada lahirnya. Bahwa suatu surat yang tampaknya seperti akta, maka dianggap           mempunyai

mempunyai    kekuatan    akta

sepanjang     tidak     terbukti

sebaliknya.

  • b.    Kekuatan   pembuktian formil

didasarkan atas benar tidaknya

ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta tersebut. Kekuatan pembuktian formal memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

  • c.    Kekuatan pembuktian materiil suatu memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak dan bentuknya sesuai dengan keinginan para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan    sangat    tergantung    pada

kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan masing-masing tanda tangannya.

  • III.3    Jual Beli

Berdasarkan     Pasal      1457

KUHPerdata “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan dengan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan”. Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain utuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan

para pihak tersebut mengenai unsur esensial    dan    aksidentalia    dari

perjanjian tersebut. 12

Perjanjian jual beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian   konsensual

karena mengikat para  pihak saat

terjadinya kesepakatan  para pihak

tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. 13 III.4 Pemberian Kuasa

Pasal   1792   KUH   Perdata

menyatakan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Kuasa tersebut dapat diberikan dan diterima dengan berbagai cara yaitu :

  • a.  Dengan akta umum/otentik

  • b. Dengan tulisan dibawah tangan

  • c.  Dengan surat biasa

  • d. Dengan lisan

Penerimanya selain dari secara tegas sebagaimana diterangkan di atas dapat pula secara diam-diam dan dapat disimpulkan dari pelaksanaannya. Pemegang kuasa berkewajiban untuk antara lain terus melaksanakan tugasnya sebagai kuasa sampai selesai. Selama ia belum dibebaskan untuk itu, ia bertanggung jawab atas

  • 12Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 126.

  • 13ibid, hal. 126.

kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya itu. Pemegang kuasa yang telah menyerahkan kekuasaanya itu kepada orang lain bertanggung jawab untuk orang yang ditunjuknya itu apabila :

  • a.    Ia tidak diberi kuasa oleh pemberi kuasa untuk menunjuk orang lain.

  • b.    Untuk itu ia memang telah diberi wewenang akan tetapi orang yang ditunjuknya tersebut ternyata tidak cakap.

Pemberi   kuasa   berkewajiban

untuk memenuhi semua perikatan yang telah dilaksanakan oleh pemegang kuasa sesuai dengan kekuasaan yang telah diberikan olehnya kepada pemegang kuasa itu. Algra, dkk mendefinisikan   pemberian   kuasa

adalah “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu”.

  • IV . IMPLEMENTASI KETENTUAN PERATURAN   PEMERINTAH

NOMOR 24 TAHUN 1997 DALAM PRAKTEK PEMBUATAN AKTA

JUAL BELI OLEH PPAT DI KABUPATEN KLUNGKUNG

  • IV . 1 Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

PPAT mempunyai peran yang sangat besar dalam peralihan hak atas tanah khususnya jual beli tanah. PPAT mempunyai tugas membantu Kepala Kantor       Pertanahan       untuk

melaksanakan proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur oleh Peraturan Perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat dengan

membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Dengan demikian, potensi terjadinya konflik atau sengketa dikemudian hari dapat dicegah sehingga dibutuhkan perangkat hukum dan sistem administrasi pertanahan yang baik.

Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dijelaskan bahwa ”PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”.

Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, meskipun jual belinya sah menurut hukum.

Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk     melayani     permohonan-

permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan     tersebut

PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 39 undang-undang Nomor 24 tahun 1997.

  • IV .2 Akibat Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Kuasa Mutlak

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Suatu kuasa mutlak yang didahului oleh perjanjian pengikatan jual beli dalam praktek diakui keberadaannya dan merupakan produk hukum yang sah. Perjanjian pengikatan jual beli yang dimaksud adalah perjanjian jual beli yang lunas artinya tanah sudah dibayarkan secara keseluruhan sesuai kesepakatan para pihak sehingga penjual dalam hal ini akan membuatkan kuasa untuk menjual kepada pembeli untuk nantinya mewakili dirinya untuk bertindak dihadapan PPAT menandatangani akta jual beli. Tetapi kuasa mutlak yang berdiri sendiri tanpa mempunyai alas hak yang dimiliki oleh penerima kuasa maka kuasa tersebut adalah dilarang sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) hurud d Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Kuasa mutlak juga dilarang dalam ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1992 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah. Meskipun suatu Instruksi Menteri merupakan suatu peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan tetap diakui keberadaannya karena secara terus menerus dipakai sebagai acuan untuk tidak menerima kuasa mutlak sebagai salah satu pemindahan hak atas tanah.

Orang yang menggunakan kuasa mutlak yang tanpa alas hak untuk melakukan peralihan hak atas tanah dihadapan Notaris/PPAT tentu melanggar syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat (4) yang menyebutkan sebab yang halal atau tidak mentaati peraturan baik itu peraturan hukum, kesusilaan, keagaamaan yang telah ditetapkan. Dengan dilanggarnya syarat obyektif sahnya suatu perjanjian maka kuasa tersebut akan menjadi batal demi hukum atau dari awal kuasa mutlak tersebut dianggap tidak pernah ada. Tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan karena kuasa mutlak tersebut akan menuntut tindakan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”

  • IV .3 Proses Pelaksanaan Pasal 39 ayat  (1)  huruf d Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 oleh PPAT di Kabupaten Klungkung

Di Kabupaten Klungkung yang terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Kecamatan    Dawan,    Kecamatan

Banjarangkan, Kecamatan Semarapura dan Kecamatan Nusa Penida telah banyak terjadi jual beli tanah yang melibatkan profesi Notaris/PPAT. berkaitan dengan itu pula menarik untuk diteliti mengenai pelaksanaan pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 terhadap kinerja Notaris/PPAT yang berada    di    lingkup    Kabupaten

Klungkung.

Dari pengamatan yang dilakukan, ketika akan terjadi suatu peralihan hak atas tanah, tidak selalu jual beli berlangsung     sesuai     kebiasaan

sebagaimana mestinya. Artinya para pihak tidak bertindak langsung dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT. Ada beberapa kasus yang terjadi dimana    para    pihak    bertindak

berdasarkan perjanjian jual beli yang kemudian diikuti atau bertalian dengan kuasa menjual yang diberikan oleh penjual kepada pembeli yang dibuat dihadapan Notaris, disaatnya nanti pihak pembeli akan bertindak sendiri untuk menandatangai akta jual beli dihadapan PPAT yang bertindak untuk dan atas nama penjual dan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.

Dalam praktek, antara peraturan dengan apa yang terjadi di dunia praktek    Notaris/PPAT    terdapat

beberapa penyimpangan, diantaranya adalah penyimpangan pertama terjadi di wilayah Kecamatan Nusa Penida, dalam hal PPAT menerima kuasa mutlak yang berisikan klausul tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Hal tersebut terjadi karena para pihak sebelumnya telah membuat perjanjian utang piutang dan karena debitur tidak dapat melunasi utangnya kepada kreditur, maka dengan keadaan terpaksa debitur memberikan kuasa mutlak dibawah tangan kepada kreditur agar tanahnya beralih kepada kreditur. Antara kreditur dan debitur pada mulanya membuat perjanjian sewa menyewa tanah yang sudah terjadi pada tanggal 10 Maret 2000 yang disaksikan oleh Bendesa Adat Ped, Kepala desa Ped serta Camat Nusa Penida dan sewanya telah dibayar lunas. Pada saat sewa sedang berjalan, debitur meminjam unag kepada kreditur sejumlah Rp. 84.000.000,- (delapan puluh empat juta rupiah). Selanjutnya debitur tidak mampu membayar utangnya kepada kreditur sehingga debitur menjual tanah miliknya dengan kuasa menjual mutlak yang berisikan klausul tidak dapat ditrarik kembali yang dibuat dibawah tangan yang disaksikan oleh Bendesa Adat Ped, Kepala desa Ped serta Camat Nusa Penida. Ketika melakukan peralihan hak atas tanah di hadapan PPAT, PPAT menerima kuasa mutlak tersebut untuk membalik nama atas nama kreditur. Padahal kuasa tersebut kuasa yang tidak memiliki alas hak atau dasar yang dijadikan pedoman untuk peralihan hak atas tanah karena bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas itikad baik.

Penyimpangan-penyimpangan lainnya adalah kuasa menjual yang tanpa bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli. Penyimpangan selanjutnya adalah PPAT menerima kuasa menjual yang tidak didasarkan pada perjanjian ikatan jual beli. Kuasa yang berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian ikatan jual beli sebagai perjanjian     pendahuluan     dapat

dikatakan sebagai kuasa mutlak yang tidak diperkenankan untuk dijadikan dasar dalam peralihan hak atas tanah. Hal tersebut dikarenakan penerima kuasa tidak mempunyai dasar hak untuk melakukan peralihan hak kepada orang lain karena kuasa  tersebut

memberikan   kewenangan   kepada

penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan     tanahnya     serta

melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan

oleh pemegang haknya.

  • V . TANGGUNG JAWAB  PPAT

DALAM     MENJALANKAN

WEWENANGNYA   SEBAGAI

PEJABAT YANG MEMBUAT AKTA PERTANAHAN TERKAIT AKTA      JUAL      BELI

BERDASARKAN      KUASA

MUTLAK

  • V .1 Tanggung Jawab PPAT Yang Menerima    Kuasa    Mutlak

Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah

Tanggung jawab akan timbul apabila adanya unsur kesalahan atau ada kerugian yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh PPAT. Jika PPAT menerima kuasa mutlak yang bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli sebagai dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah

jual beli, PPAT tersebut telah melakukan perbuatan yang benar yang telah diamanatkan peraturan-perundangan dan tidak melanggar hukum dan kuasa tersebut adalah produk hukum yang sah. PPAT itu sendiri akan dibebaskan dari

pertanggungjawaban perdata maupun tanggung jawab etika (moral). Apabila PPAT menerima kuasa mutlak yang tidak didasari oleh perjanjian ikatan jual beli dan dalam kuasa tersebut terdapat klausul tidak dapat ditarik kembali maka hal tersebut telah

melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 1997.

Berdasarkan Teori fautes personalles yang dikemukakan oleh Kranenburg dan Vegtig memberikan pendapatnya mengenai pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Dalam hal ini PPAT yang melakukan kesalahan atau suatu perbuatan penyelundupan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi karena PPAT tidak bernaung di instansi pemerintahan. Profesi PPAT menjadi satu dengan pribadi PPAT itu sendiri.

  • V.2 Pengawasan dan Pembinaan

PPAT Dalam Menjalankan Jabatannnya Oleh BPN dan IPPAT

Pihak-Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Adapun peranan Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT.

Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu Staf Notaris/PPAT pengawasan yang dilakukan oleh BPN dan IPPAT memang selalu berkelanjutan setiap tahunnya, tetapi ketika terjadi pemeriksaan pun tidak semua diperiksa secara detail. Biasanya yang diperiksa adalah buku daftar PPAT yang ditulis sampai tanggal pemeriksaan dan untuk minuta hanya dilihat apakah tahun yang bersangkutan sampai terjadinya pemeriksaan telah dijilid atau belum.

Pemeriksaan tidak sampai detail melihat isi akta seperti yang dimanatkan peraturan perundang-undangan. Hal itu yang menyebabkan masih terjadi penyimpangan dalam prakteknya.

Agar para PPAT mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan jabatannya      sehingga      dapat

menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap mereka. Hal itu telah diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, yakni sebagai berikut:

Pasal 65 menyebutkan bahwa:

  • (1)    Pembinaan   dan   pengawasan

terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan.

  • (2)    Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.

Pasal 66 menyebutkan bahwa:

  • (1)    Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut :

  • a.    Memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT ;

  • b.    Memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an ;

  • c.    Melakukan,     pembinaan     dan

pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar  tetap berjalan sesuai

dengan arah dan tujuannya ;

  • d.    Menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk

memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya ;

  • e.    Melakukan     pemninaan     dan

pengawasan terhadap PPAT dan PPAT Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.

  • (2)    Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor sebagai berikut:

  • a.    Menyampaikan dan menjelaskan kebijakan       dan       peraturan

pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

  • b.    membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis ;

  • c.    secara      periodik      melakukan

pengawasan Kantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPAT-an.

  • (3)    Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut:

  • a.    membantu menyampaikan   dan

menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan ;

  • b.    memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi

syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya ;

  • c.    melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.

  • V.3 Sanksi   Bagi   PPAT   Yang

Melanggar Peraturan Jabatan

Sanksi adalah hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan dalam menegakkan Kode Etik ini, dalam bentuk atau berupa antara lain teguran lisan maupun tertulis, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) serta pemecatan dari keanggotaan (ontzetting) atau pemberhentian dari keanggotaan secara tidak hormat. Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 Ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 yang menyatabahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena : a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dijatuhi hukuman

kurungan     penjara     karena

melakukan  kejahatan  perbuatan

pidana  yang  diancam dengan

hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5  (lima)  tahun

atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan  yang  sudah

memperoleh   kekuatan   hukum

tetap; dan

  • b. melanggar Kode Etik Profesi.

Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode

etik dapat berupa      teguran,

peringatan, schorsing (pemecatan sementara dari keanggotaan IPPAT, Onzetting     (pemecatan     dari

keanggotaan              IPPAT),

pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas     pelanggaran     yang

dilakukan anggota tersebut.

  • V1 SIMPULAN DAN SARAN

  • V1.1 Simpulan

  • 1.    Implementasi ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT di Kabupaten Klungkung terdapat beberapa macam     diantaranya    PPAT

menerima kuasa mutlak yang bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli merupakan produk hukum yang sah karena telah terjadi prinsip terang dan tunai. Selain itu PPAT menerima kuasa mutlak yang dibuat dibawah tangan yang berisikan klausul tidak dapat ditarik       kembali       karena

dilatarbelakangi oleh perjanjian utang piutang, debitur tidak dapat melunasi    utangnya    sehingga

debitur      dengan      terpaksa

memberikan kuasa mutlak kepada kreditur    untuk    mengalihkan

tanahnya kepada kreditur, kuasa tersebut  merupakan  kuasa yang

dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

  • 2.    Tanggung jawab PPAT dalam menjalankan wewenangnya sebagai pejabat yang membuat akta pertanahan terkait akta jual beli adalah Tanggung jawab akan timbul apabila adanya unsur kesalahan atau ada kerugian yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh PPAT. Jika PPAT menerima kuasa mutlak yang bertalian dengan perjanjian ikatan jual beli sebagai dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah jual beli, PPAT tidak melanggar hukum dan kuasa tersebut adalah produk hukum yang sah. Tanggung jawab perdata dan moral akan timbul apabila PPAT menerima kuasa mutlak yang berdiri   sendiri   dan   berisikan

klausul tidak   dapat ditarik

kembali. Pihak yang merasa dirugikan    dapat    mengajukan

gugatan secara perdata ke wilayah hukumnya serta melapor ke Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah di wilayah jabatan PPAT yang bersangkutan.

  • VI .2 Saran

  • 1.    Seyogyanya PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik terkait larangan jual beli dengan kuasa mutlak mematuhi substansial dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 khususnya Pasal 39 Ayat (1) huruf d sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang dating menghadap kepadanya.

  • 2.    Diharapkan untuk PPAT, apabila terjadi konflik dikemudian hari terkait akta yang dibuatnya maka bersedia bertanggung

jawab baik perdata maupun moral dalam kode etik PPAT serta Majelis Pengawas hendaknya dapat lebih maksimal menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam hal pembinaan misalnya dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada PPAT sebagai upaya preventif

maupun tindakan pengawasan yaitu dengan memberikan sanksi kepada PPAT yang benar-benar telah menyimpang dari Peraturan Jabatan PPAT maupun kode etik profesi sehingga penanggulangan terhadap praktek pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang bermasalah dapat dihindarkan.

VII DAFTAR BACAAN

Adjie, Habib, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Andasasmita, Komar Andasasmita, 2001, Notaris Selayang Pandang, Cet. 2, Alumni, Bandung.

Florianus, S.P Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Visimedia, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soedjendro, J. Kartini, 2001 , Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta.

Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Salim H.S, 2008, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2015-2016

108