Pentingnya Keterbukaan Dan Akuntabilitas Dalam Mekanisme Judicial Review Di Mahkamah Agung
on
Vol. 8 No. 03 Desember 2023
e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Pentingnya Keterbukaan Dan Akuntabilitas Dalam Mekanisme Judicial Review Di Mahkamah Agung
I.D.G. Palguna1, Made Cinthya Puspita Shara2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]d
Info Artikel
Masuk : 30 September 2023 Diterima : 31 Desember 2023
Terbit : 31 Desember 2023
Keywords :
Judex Jurist, Judex Factie, Judicial Review, Supreme Court
Abstract
The aims of this paper are to determine the procedural law in conducting judicial review by the Supreme Court of Indonesia and the application of the principles of openness and accountability. This article is prepared using the application of normative juridical research methods with a statutory approach, legal conceptual approach, and case approach. As the basis for the formulation of judicial authority or judicial review in the 1945 Constitution, it has illustrated that the Supreme Court of Indonesia has the right to carry out its duties as a judex jurist. MA RI there is also the Constitutional Court (MK) which has the authority to examine the law against the Indonesian Constitution. The results in this paper explain the regulation of the authority of the Supreme Court of Indonesia in carrying out its duties as a judex jurist, including the process of applying judicial review which refers to the application of the principles of openness and institutional accountability.
Kata kunci:
Judex Jurist, Judex Factie, Judicial Review, Mahkamah Agung
Corresponding Author:
I.D.G. Palguna, E-mail: dewa_palguna@unud. ac. id
DOI :
10.24843/
AC.2023.v08.i03.p15
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hukum acara dalam melakukan judicial review oleh MA RI dan penerapan atas prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Artikel ini disusun dengan menggunakan penerapan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual hukum, maupun pendekatan kasus. Adapun sebagai dasar Perumusan kewenangan mengadili atau judicial review dalam UUD 1945, telah memberikan gambaran bahwa MA RI berhak untuk menjalankan tugasnya sebagai judex jurist. MA RI terdapat juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kewenangan dalam hal menguji undang-undang terhadap UUD RI. Hasil dalam penulisan ini menjelaskan pengaturan atas wewenang MA RI dalam menjalankan tugasnya sebagai judex jurist, termasuk pada proses penerapan judicial review yang mengacu pada penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas lembaga.
Lembaga tertinggi dalam kekuasaan yudikatif yang dikuasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia,1 mempunyai peranan penting dalam menegakan hukum di Negara Indonesia. Memiliki tugas dan wewenang sebagai lembaga peradilan tertinggi pada pengadilan tingkat kasasi. Mengemban tugas sebagai pembina atas keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi, dan peninjauan kembali yang bertujuan untuk menjaga seluruh hukum dan penerapan undang-undang di Indonesia.2 Menjadi hal yang erat dikaitkan dengan peranan Mahkamah Agung yakni, dalam fungsi peradilan untuk melakukan uji materiil. Wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk melakukan pengujian dan penilaian atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.3
Merujuk pada sejarah singkat dalam perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),4 terkait peranan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dalam melakukan kewenangannya atas judicial review.5 Pemberian wewenang sebagai pelaksana judicial review sebatas pada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, adalah peran Mahkamah Agung dalam kapasitas kekuasaan kehakiman yang dimilikinya. Melalui amandemen UUD 1945, pada Pasal 24A ayat (1), terdapat pemberian kewenangan melalui pernyataan bahwa MA RI diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkatan kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, hingga diberi kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sejak tahun 1993 hingga 1998, sebanyak 10 perkara pengujian mulai diajukan kepada MA RI, dimana setengahnya berhasil diputus dan sisanya sedang dalam proses pemeriksaan.6 Terhadap judicial review yang dilakukan oleh MA RI dalam pandangan Jimly Assidiqie dikatakan lebih mengaitkan pada bentuk keadilan
dan ketidakadilan terhadap negara dan bukan terhadap jaminan hak konstitusionalitas atas keseluruhan peraturan perundang-undangan.7
Perumusan kewenangan mengadili atau judicial review dalam UUD 1945, telah memberikan gambaran bahwa MA RI berhak untuk menjalankan tugasnya sebagai judex jurist. Adapun kewenangan sebagai judex jurist tersebut diberikan terbatas atas perkara yang diadili pada tingkat Kasasi. Namun, apabila ditelaah lebih lanjut terkait MA RI, sesungguhnya juga memiliki kewenangan asli (original jurisdiction).8 MA RI diberikan dua wewenang yaitu, untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan atas original jurisdiction tersebut, dalam hal ini MA RI atas kedua wewenang tersebut menjalankan perannya sebagai judex factie. Adapun dalam hal ini peran MA RI berbeda dengan judex jurist, yang hanya memeriksa kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan di bawahnya (baik yang berada dalam lingkungan peradilan umum, militer, agama, maupun tata usaha negara) dalam memeriksa, mengadili, dan memutus kasus-kasus konkret. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam kedudukan MA RI sebagai judex jurist, hanya memeriksa berkas dalam ruang tertutup, dimana tidak diperlukannya pemeriksaan atas duduk perkara maupun fakta. MA RI menjalankan kewenangannya sebatas pengetahuan terhadap kesalahan dan/atau kekeliruan penerapan hukum, yang tidak memeriksa hal dalam duduk perkara ataupun fakta-fakta yang telah selesai diperiksa oleh judex factie.
Membahas mengenai judicial review kewenangan sebagai judex jurist, di Indonesia selain MA RI terdapat juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kewenangan dalam hal menguji undang-undang terhadap UUD RI. Kewenangan MK tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang sekaligus penekanan dalam unsur pembeda obyek kajian. Meskipun antara MA RI dan MK keduanya memiliki fungsi yang sama dalam hal kewenangan melakukan persidangan hak uji materiil, namun dengan karakter yang berbeda. Pada praktiknya dalam menjalankan tugasnya sebagai judicial review pihak MK selalu menerapkan dua asas utama yaitu, asas keterbukaan dan audi et alteram partem. Pada prinsipnya pengertian dari asas audi et alteram partem, menegaskan bahwa Hakim diwajibkan untuk mendengarkan keduabelah pihak terkait pembelaan.
Kapasitas untuk didengar serta dipertimbangkan, baik dalam bentuk argument ataupun alat bukti dimuka badan peradilan, merupakan hak yang dilindungi dalam pasal 28D UUD 1945, sebagai bentuk wujud atas asas audi et alteram partem. Pada sisi lain, asas keterbukaan juga menjadi penting untuk diperjuangkan dalam setiap pelaksanaan persidangan. Sebagai pembanding dalam penulisan ini dan merupakan kelanjutan dari penulisan yang telah terpublish, dapat dilihat dari tulisan dengan judul “Perspektif Penegakan Hukum Progresif dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi” yang ditulis oleh Ja’far Baehaqi pada jurnal konstitusi mkri, dengan menangkat permasalahan terkait persoalan yang relevan dikemukakan di sini adalah bagaimana perspektif penegakan hukum progresif terhadap judicial review di
Mahkamah Konstitusi.9 Berbeda dengan penulisan yang saat ini diangkat penulis, Dimana arah penelitian ini pada unsur keterbukaan dalam pelaksanaan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, salah satunya dengan menekankan penggunaan asas dalam pelaksanaannya. Adapun pemaknaan dalam asas audi et alteram partem, ialah kesempatan untuk membuka diri atas hak-hak warga negara, hingga memberikan jaminan atas informasi yang akurat tidak diskrimitatif khususnya pada penyelenggaraan pemerintahan. Menijau dari pentingnya kedua asas tersebut untuk diterapkan kedalam proses judicial review, menjadikan hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut terlebih pada perbedaan proses beracara yang dilakukan oleh MA RI ketika menjalankan tugas dan wewenangnya melaksanakan judicial review. Pada tulisan ini penulis akan berusaha untuk menjelaskan pengaturan atas wewenang MA RI dalam menjalankan tugasnya sebagai judex jurist, termasuk pada proses penerapan judicial review yang mengacu pada penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas lembaga, sehingga penulisan ini diangkat dengan judul “Pentingnya Keterbukaan dan Akuntabilitas dalam Mekanisme Judicial Review di Mahkamah Agung”.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dalam penulisan ini akan membahas permasalahan yaitu, Bagaimana dasar pengaturan terkait wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam melakukan judicial review? Dan Bagaimana penerapan keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan judicial review yang dilaksanakan melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia? Adapun jawaban dalam permasalahan yang diangkat pada penulisan ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam pembahasan. Sebagai upaya dalam menjawab persoalan tersebut tulisan ini terlebih dahulu akan memaparkan perihal potret pembentukan hukum yang berlaku dan dasar dalam pemikiran judicial review yang berlaku saat ini yang dilatarbelakangi dengan mekanisme dari sisi Mahkamah Konstitusi.
Artikel ini disusun dengan menggunakan penerapan metode penelitian yuridis normatif. Kajian dalam artikel ini hendak mengkaji norma-norma hukum yang berlaku, baik dari segi pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual hukum, maupun pendekatan kasus. Secara khusus bahan hukum primer dan sekunder merupakan literatur penelitian hukum yang bertujuan untuk menelusuri, menemukan, mempelajari, dan menganalisis permasalahan yang timbul serta perlunya telaah atas pelaksanaan judicial review oleh Mahkamah Agung yang dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif akuntabilitas.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Pendirian Mahkamah salah satunya sebagai bentuk harapan peradilan Indonesia untuk fungsi peninjauan kembali dibandingkan pada tahun-tahun
sebelum terbentuk pada saat dua penguasaan berturut-turut.10 Sebelum pembentukan lembaga peradilan, kondisi Mahkamah Agung cukup buruk serta tidak terdapat kemajuan kinerja Mahkamah Agung. Selama rezim Presiden Soekarno, ia menghapuskan pemisahan kekuasaan, memungkinkan eksekutif untuk ikut campur dalam kasus yang tertunda dan mengintimidasi hakim secara langsung.11 Hal ini semakin parah di era Suharto ketika hakim independen didiskreditkan dan pengadilan ditempatkan di bawah Departemen Kehakiman.12 Terdapat pengangkatan Hakim yang tidak kompeten ke Mahkamah Agung. Kasus-kasus di Mahkamah Agung dikenakan pungutan liar pada penggugat. Pengadilan dan personel pengadilannya yang besar telah menjadi kedok untuk mengumpulkan suap. Personel pengadilan menahan penerbitan keputusan sampai mereka dibayar secara ilegal dan kadang-kadang mereka mengatur keputusan. Pada saat itu, selama 40 tahun pemerintah Indonesia tidak pernah kalah berperkara di Mahkamah Agung.
Menjadi persoalan teoritik yang dapat menyebabkan terjadinya kendala dalam badan peradilan MA RI, terkait proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang terhadap undang-undang (judicial review) di Mahkamah Agung. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945,13 sebagaimana sempat dikutip sebelumnya, menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Sementara itu, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Jika berpegang pada penafsiran tekstual maka baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus kasus demikian. Mahkamah Agung dikatakan tidak berwenang sebab dalil atau argumentasi yang dijadikan dasar permohonan adalah bahwa peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, bukan bertentangan dengan undang-undang. Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi pun tidak berwenang sebab peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian itu bukanlah undang-undang melainkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, meskipun dalil atau argumentasi yang
dijadikan dasar permohonan adalah pertentangan peraturan perundang-undangan itu dengan Undang-Undang Dasar.
Keadaan demikian tentu tidak dapat dibiarkan sebab itu berarti secara sengaja membiarkan berlangsungnya penggerogotan terhadap Undang-Undang Dasar. Upaya dalam mengatasi hal tersebut yang paling mudah ialah dengan cara melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun, tentu saja jawaban tersebut tidak mudah untuk dilaksanakan, bukan saja secara prosedural-konstitusional tetapi juga secara politis. Karena itu, jawaban ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang secara empiris sangat potensial terjadi.
Hal ini merupakan bagian dari persoalan penafsiran konstitusi, sebab yang paling tepat untuk melakukannya adalah Mahkamah Konstitusi.14 Namun, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi baru dapat melakukannya apabila telah terdapat perkara atau permohonan yang diajukan kepadanya, dalam hal ini adalah permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945.15 Tentu harapannya adalah Mahkamah Konstitusi tidak berpegang pada penafsiran tekstual.16 Sebab jika apabila hal tersebut kemudian menjadi permohonan, maka sudah pasti akan diputus “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard) karena dinilai bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya.
Mahkamah Konstitusi pun diharapkan tidak berpegang pada original intent pembentuk undang-undang dasar.17 Sebab, jika hal tersebut dilakukan tidak akan ditemukan apa “maksud asli” (original intent) pembentuk undang-undang dasar, yang turut menyertakan peran MPR atau secara lebih spesifik Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR), yang oleh MPR ditugasi untuk menyusun naskah rancangan perubahan UUD 1945. Sepanjang pengetahuan penulis, selama berlangsungnya sidang-sidang di PAH I BP MPR (sejak tahun 2000 hingga 2002), lebih tidak mungkin lagi untuk menemukan “maksud asli” tersebut jika diminta untuk melacaknya pada sidang-sidang Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR (PAH III BP MPR), yaitu Panitia Ad Hoc yang ditugasi oleh MPR untuk mempersiapkan naskah perubahan UUD 1945 tahap pertama (1999-2000). Sehingga, apabila tetap berpegang teguh pada pengertian “maksud asli,” maka permohonanpun pasti akan diputus “tidak dapat diterima.” Hal tersebut disebabkan, karena tidak ditemukan maksud pembentuk undang-undang dasar yang memberikan kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945.
Sebagai lembaga atau organ negara yang berkedudukan sebagai pengawal Konstitusi (UUD 1945), para hakim konstitusi berkewajiban untuk menyelesaikan masalah ini, sebab mereka disumpah untuk menegakkan UUD 1945. Karena itu mereka akan melanggar sumpah jabatannya apabila membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap UUD 1945 (yaitu yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang) pada kesempatan untuk mengakhiri terjadinya pelanggaran terhadap UUD 1945 itu ada di tangannya (yaitu dalam hal ini berupa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945).
Mengingat pentingnya masalah ini, serta urgensi untuk segera mengakhirinya, ada baiknya jika ditulisan ini dikutipkan pendapat penulis yang telah penulis kemukakan dalam disertasi tentang perlunya Mahkamah Konstitusi untuk tidak semata-mata bersandar pada original intent dalam melaksanakan kewenangannya melainkan harus senantiasa
mempertimbangkan fungsi utamanya yaitu sebagai lembaga yang diberi fungsi melaksanakan constitutional review.18 Selain itu, ada setidak-tidaknya tiga alasan lain, yaitu:
-
(1) Apa yang dinamakan original intent dalam penafsiran konstitusi itu tidak selalu mudah untuk ditemukan, bahkan kendatipun seluruh rekaman atau catatan sejarah yang relevan dapat ditemukan secara lengkap. Oleh karena itu mengambil kesimpulan bahwa “karena dalam risalah tidak ditemukan adanya catatan yang jelas mengenai suatu hal maka berarti tidak ada maksud untuk mengatur hal itu” mengandung bahaya akan timbulnya pertentangan dalam satu pengertian. Sehingga, sebagai akibatnya lebih jauh, konstitusi itu akan kehilangan keutuhannya sebagai satu sistem.
Oleh karena itu, bahkan manakala original intent terhadap suatu isu dapat diidentifikasi secara relatif jelas pun hal itu tidaklah serta-merta dapat digunakan sebagai pegangan dalam menafsirkan konstitusi apabila ternyata bahwa original intent itu, jika diterapkan, tidak bersesuaian dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagai kesatuan (the unity of the constitution), koherensi praktik (practical coherence), dan atau keberlakuan yang tepat (appropriate working) suatu konstitusi, dalam hal ini UUD 1945. Artinya, dalam hubungan dengan UUD 1945, penafsiran berdasarkan original intent itu harus dikesampingkan dari kemungkinan penggunaannya sebagai pegangan dalam menafsirkan suatu hal jika ternyata penggunaan penafsiran demikian berakibat timbulnya pertentangan dalam diri UUD 1945 sendiri yakni, dalam hal ini, UUD 1945 menjadi tidak merupakan satu
kesatuan yang utuh, secara praktis menjadi tidak koheren, dan atau tidak dapat diterapkan secara tepat.
-
(2) Salah satu premis dasar dari konstitusi tertulis, di mana UUD 1945 termasuk di dalamnya, adalah kapasitasnya untuk “menjangkau” masa depan, dalam arti kemampuannya untuk beradaptasi dengan persoalan-persoalan yang muncul di masa yang akan datang. Dengan premis ini berarti bahwa jika Mahkamah Konstitusi semata-mata mendasarkan dirinya pada original intent dalam menafsirkan ketentuan UUD 1945 maka UUD 1945 segera akan menjadi konstitusi yang usang; atau, untuk dapat memenuhi kebutuhan yang menjadi tuntutan perubahan zaman, setiap saat harus dilakukan perubahan formal terhadap ketentuan-ketentuannya – suatu hal yang, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak mudah untuk dilakukan.
-
(3) Penafsiran konstitusi adalah salah satu cara untuk mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Oleh karena itu, sekali Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang untuk mengadili suatu kasus atau perkara semata-mata berdasarkan argumentasi bahwa UUD 1945 tidak secara eksplisit menyatakan kasus atau perkara demikian sebagai kewenangannya, padahal melalui kasus atau perkara itu terbuka kemungkinan untuk menggali dan mengelaborasi lebih jauh pengertian-pengertian yang hanya diatur secara samar-samar dalam UUD 1945, maka hal itu akan menyulitkan para hakim konstitusi berikutnya dalam melakukan penggalian dan elaborasi pengertian-pengertian dimaksud meskipun kesempatan untuk itu datang lagi melalui kasus serupa. Padahal, elaborasi demikian sangat diperlukan bukan hanya untuk mengisi kekosongan dalam Konstitusi (UUD 1945) tetapi juga bagi perkembangan ilmu hukum, dalam hal ini ilmu hukum tata negara.19
Mengacu pada pemahaman tersebut, terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, saya menyarankan agar Mahkamah Konstitusi menggunakan penafsiran teleologis. Alasannya, secara teleologis, maksud diberikannya kewenangan kepada Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 adalah untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang merupakan salah satu syarat mutlak negara hukum. Maksud tersebut baru akan tercapai secara maksimal tatkala warga negara diberi akses seluas-luasnya untuk mempertahankan hak-hak konstitusionalnya, bukan hanya tatkala hak-hak konstitusional itu dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
melainkan juga oleh peraturan lain apa pun yang bersifat regeling, bahkan juga terhadap perbuatan atau kelalaian pejabat publik.20
Melalui pendirian demikian maka istilah “undang-undang” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah dipahami sebagai “undang-undang dalam arti materiil”, yaitu seluruh peraturan yang bersifat mengikat umum, sehingga apabila ada warga negara yang mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi haruslah menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud. Persoalan apakah kemudian permohonan tersebut akan ditolak atau dikabulkan, hal tersebut tentu akan bergantung pada proses pembuktian.
Beranjak dari pengaturan dalam UUD 1945 selanjutnya, mengenai kewenangan hak uji tersebut oleh Mahkamah Agung, dikemukakan lagi pada Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengujian dalam menyatakaan tidak berlaku, sebagai hasil putusan secara langsung oleh MA RI. Berdasarkan ketentuan tersebut, memperjelas hak uji yang dapat dilakukan MA RI atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang termasuk pada bagian materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.21 Pada Undang-Undan Mahkamah Agung, Pasal 31 ayat (1), memberikan batasan kewenangan dengan garis besar serupa, yang bertujuan mempertegas kembali kewenangan MA RI dalam melakukan judicial review.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah itu jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dengan hirarki dibawah UU. Sepanjang suatu norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No 10 Tahun 2004 tersebut, dan tingkatannya berada dibawah Undang-Undang maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan bukan lembaga lain.
-
3.2 Tinjauan Penerapan Keterbukaan dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Judicial Review yang Dilaksanakan Melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985. Perbedaan terdapat dalam penerapan persidangan diantara MA RI dengan
Mahkamah Konstitusi.22 Pada persidangan Mahkamah Agung mekanisme proses beracara persidangan hak uji materiil diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 mengenai Hak Uji Materiil yang mana hal ini bertujuan untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 31A ayat (7) UU MA. Akan tetapi hal ini dianggap tidak selaras lagi dengan perkembangan hukum, alhasil pada tahun 2011, Perma No 1 Tahun 2004 digantikan dengan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Perma 1/2011) tertanggal 30 Mei 2011. Dengan demikian, pada saat ini, dalam melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, Mahkamah Agung mengacu pada mekanisme yang diatur dalam PERMA tersebut. Tetapi tidak dijelaskan secara rinci dan tegas bagaimana proses persidangannya, perlu untuk ditinjau lebih lanjut mengenai persidangan akan berlangsung menggunakan sistem terbuka atau sistem tertutup, maka dari itu tak jarang pengujian pada tingkat Mahkamah Agung melaksanakan persidangannya secara tertutup pada pemeriksaan dan hanya terbuka pada saat pembacaan putusan.
Mahkamah Agung melaksanakan kewenangannya dalam perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial review). Perkara ini belum pernah diperiksa oleh pengadilan lain, yang disebabkan karena hal ini merupakan kewenangan asli (original jurisdiction) Mahkamah Agung. Kewenangan tersebut menyebabkan Mahkamah Agung bukanlah sebagai judex jurist melainkan judex factie. Berdasarkan pada hal tersebut, MA RI dibebankan kewajiban untuk melakukan pemeriksaan pada duduk perkara dan fakta-fakta. Pelaksanaan dalam pemeriksaan atas duduk perkara dan fakta-fakta menyebabkan prosesnya tidak cukup apabila hanya dilakukan dengan memeriksa berkas tanpa menggelar sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, dan disertai sesi yang memberi kesempatan kepada para pihak untuk melakukan oral argument.
Pada permohonan judicial review guna membuat terang suatu perkara, maka pemohon tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan hakim bahwa memang benar yang bersangkutan telah dirugikan oleh peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian atau bahwa permohonannya benar-benar beralasan.23 Mengacu pada pemahaman tersebut maka dirasa tak cukup jika hanya mengandalkan kekuatan narasi argumentasi sebagaimana yang dijelaskan dalam permohonan. Pemohon membutuhkan dukungan saksi dan atau ahli (dan itu adalah hak pemohon sebagai justitiabelen). Saksi maupun ahli tersebut tentu tetap perlu untuk dilakukan diuji atas kredibilitasnya, menjadi alasan untuk ahli perlu disumpah. Kendati telah disumpah pun, keterangan saksi maupun ahli tidak mungkin diterima
begitu saja sebagai sesuatu yang benar melainkan tetap dibutuhkan pendalaman lebih lanjut oleh hakim sebelum hakim tiba pada kesimpulan untuk menerima atau menolak kesaksian dan atau keterangan keahlian dimaksud.
Selain itu, dalam perkara judicial review, yang menjadi “terdakwa” adalah peraturan (peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang), bukan lembaga atau institusi yang menerbitkan peraturan tersebut. Namun, lembaga atau institusi yang menerbitkan peraturan yang diuji tersebut seharusnya perlu diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan dan atau argumentasinya. Perlunya upaya untuk memperkuat keterangan atau argumentasinya tersebut, maka yang bersangkutan perlu untuk diberikan haknya atas pengajauan saksi dan atau ahli. Selanjutnya dalam oral arguments, selain hakim pemohon dapat mengajukan pertanyaan dan atau sanggahan kepada saksi atau ahli yang diajukan oleh institusi atau lembaga yang menerbitkan peraturan yang diuji. Demikian pula sebaliknya, institusi atau lembaga yang menerbitkan peraturan yang diuji itu pun dapat mengajukan pertanyaan dan atau sanggahan kepada saksi atau ahli yang diajukan pemohon.
Menjadi pertanyaan terkait kemungkinan atas seluruh tahapan dan prosedur tersebut dapat dilaksanakan dengan tanpa persidangan terbuka dan oral argument. Lagi pula, sangatlah penting untuk selalu diingat bahwa pada saat melaksanakan kewenangan judicial review oleh Mahkamah Agung bukanlah sedang melaksanakan fungsinya sebagai “pengadilan biasa” (regular court), serta bukan sedang melaksanakan fungsinya sebagai pengadilan yang menegakkan peraturan (norm-applying organ) dalam suatu perkara konkret tertentu atau menentukan apa hukumnya bagi suatu perkara konkret tertentu, melainkan justru sedang “mengadili norma” (yang diragukan validitasnya sehingga dipandang tidak sah untuk diberlakukan). Dengan kata lain, perbedaan mendasar tatkala Mahkamah Agung menjalankan kewenangannya sebagai pengadilan biasa, yaitu mengadili pada tingkat kasasi (sebagai judex juris), dengan tatkala melaksanakan kewenangan judicial review ialah bahwa dalam hal yang disebut terdahulu Mahkamah Agung hanya melaksanakan ketentuan peraturan terhadap suatu perkara konkret tertentu dan tidak sedang, bahkan tidak boleh, menilai keabsahan peraturan itu, sedangkan dalam hal yang disebut belakangan Mahkamah Agung justru sedang “mengadili” peraturan itu sendiri.
Hal ini menjadi penting untuk diingatkan sebab MA RI bukan sekadar problem teoretik melainkan problem budaya karena sudah menyangkut pola pikir dan kebiasaan. Sama sekali bukan hal mudah mengubah pola pikir dan kebiasaan seseorang yang berada pada lembaga yang sama namun pada suatu saat menjalankan peran sebagai organ yang melaksanakan kewenangan mengadili kasus dengan menegakkan norma peraturan dan pada saat yang lain
justru menjalankan peran sebagai organ yang mengadili norma peraturan itu sendiri. Pada umumnya, hakim-hakim yang dibesarkan dalam tradisi civil law di didik untuk terlatih dan terampil menegakkan norma hukum, bukan untuk menelaah validitas norma hukum. Itulah sebabnya, tatkala muncul gagasan pengujian undang-undang di negara-negara Eropa24 Daratan (yang rata-rata menganut tradisi civil law) terjadi penolakan jika tugas untuk melaksanakan gagasan itu diberikan kepada pengadilan biasa (regular courts).25 Itu pula salah satu latar belakangnya, di negara-negara Eropa Daratan,26 tugas untuk melaksanakan fungsi pengujian norma hukum (untuk semua tingkatan) diberikan kepada suatu lembaga tersendiri yang khusus dibentuk untuk itu, yaitu mahkamah konstitusi (atau yang disebut dengan nama lain).27
Pesan yang hendak disampaikan dengan uraian di atas adalah harapan bahwa dalam menjalankan kewenangan judicial review-nya Mahkamah Agung akan melaksanakannya dalam sidang yang terbuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Di dalamnya termasuk pemberian kesempatan kepada pihak-pihak yang terkait untuk menyampaikan oral argument guna diperoleh keterangan yang sejelas-jelasnya. Ini berkait erat dengan persoalan akuntabilitas lembaga peradilan (judicial accountability).
Hendaknya tidak dilupakan bahwa gagasan negara hukum (yang juga menjiwai UUD 1945) mempersyaratkan adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka atau bebas. Dalam pengertian kebebasan kekuasaan kehakiam atau peradilan itu terkandung dua hal, pertama, bebas dari campur tangan politik (freedom from political interference)28 dan, kedua, bebas untuk menegakkan keadilan (freedom to do justice).29 Namun, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu baru memiliki makna bagi gagasan negara hukum30 jika ia akuntabel (dan hal itu benar-benar dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat).
Akuntabilitas lembaga peradilan ini dapat dilihat dari dua perspektif.31 Pertama, akuntabilitas yang muncul dari kewajiban bagi setiap hakim untuk
memberikan atau penjelasan atau argumentasi pada setiap putusan yang diambilnya. Ini penting bukan hanya bagi pihak-pihak yang terkait dalam perkara yang bersangkutan tetapi juga bagi masyarakat yang tertarik untuk mengetahui alasan diambilnya suatu putusan. Kedua, akuntabilitas yang bersangkut paut dengan masa jabatan hakim serta secara khusus yang berkait dengan keadaan lingkungan atau suasana yang menyebabkan perlunya diambil langkah-langkah disipliner, bilamana perlu termasuk pemberhentian dari jabatan.32
Dalam konteks tulisan ini, persidangan yang terbuka tatkala Mahkamah Agung memeriksa perkara judicial review dengan sendirinya akan sangat menjelaskan diambilnya putusan terhadap perkara yang bersangkutan. Sebab, masyarakat sejak awal sesungguhnya sudah dapat mengetahui dengan jelas duduk perkara kasus tersebut melalui sidang-sidangnya yang terbuka untuk umum.
Ketentuan peraturan perundang-undangan dan muatan dalam UUD 1945 memberikan kejelasan untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki wewenang dalam judicial review. Peran MA RI dalam melaksanakan fungsinya sebagai judex jurist disamping Mahkamah Konstitusi, hanya terkhusus pada peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945. Perlunya akuntabilitas lembaga peradilan khususnya dalam peranan MA RI menjalankan tugasnya saat judicial review, terlebih permasalahan terbut bukan sekadar problem teoretik melainkan problem budaya.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Bell, J. (2006). Judiciaries within Europe: A comparative review. Cambridge University Press. Hal 65-69.
Drobak, J. N. (Ed.). (2006). Norms and the Law. Cambridge University Press. Hal. 63
Ginsburg, T., & Dixon, R. (Eds.). (2011). Comparative constitutional law. Edward Elgar Publishing.
Hal. 490
Kelsen, H. (2017). General theory of law and state. Routledge. Hal 268-269
Kommers, D. P., & Miller, R. A. (2012). The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of
Germany: Revised and Expanded. Duke University Press. Hal. 1
Palguna, I. D. G. (2013). Pengaduan konstitusional (Constitutional complaint): Upaya hukum terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Sinar Grafika: Jakarta, , hal. 614-618.
The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist Europe, the University of Chicago Press: Chicago and London. Hal. 17
Thomas, E. W. (2005). The judicial process: realism, pragmatism, practical reasoning and principles.
Cambridge University Press. hal. 243.
Jurnal
Adolf, H., & Wibowo, G. D. H. (2019). Strengthening the position and function of the judicial commission in the constitutional system of the Republic of Indonesia. Journal of Liberty and International Affairs, 4(3), hal. 99-105.
Ahmad; Wantu, Fence M.; Ismail, Dian Ekawaty. (2022). Constitutional Dialogue In Judicial Review At The Indonesian Constitutional Court: The Future Prospects. J. Legal Ethical & Regul. Isses, 25, https://doi.org/10.31078/jk2038. hal. 514-532.
Baehaqi, J. F. (2013). Perspektif Penegakan Hukum Progresif dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 10(3), doi: https://doi.org/10.31078/jk1033 hal. 417-438.
Husein, Z. A. (2009). Judicial review di Mahkamah Agung RI: tiga dekade pengujian peraturan perundang-undangan. Rajawali Pers. url:
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/11070/9902; hal. 10.
I D G Palguna. (2021). The Role of the Constitutional Court in Protecting Minority Rights, Litigating the Rights of Minorities and Indigenous Peoples in Domestic and International Courts. 24(5). doi: https://doi.org/10.1163/9789004461666_006. hal. 125–48.
Jimly Assidiqie. (2005). Hak Menguji Indonesia. Rajawali Pers. url:
https://core.ac.uk/download/pdf/229022534.pdf, hal. 98.
Mahy, P. (2022). Indonesia's Omnibus Law on job creation: legal hierarchy and responses to judicial review in the labour cluster of amendments. Asian Journal of Comparative Law, 17(1), doi: https://doi.org/10.1017/asjcl.2022.7. hal. 51-75.
Sasmitom, H. A. (2016). Ultra Petita decision of Constitutional Court on judicial review (the perspective of progressive law). JILS, 1, doi: https://doi.org/10.15294/jils.v1i01.16568. hal. 47-68.
Siahaan, M. (2020). Integrasi Konstitusional Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jurnal Konstitusi, 17(4), doi:
https://doi.org/10.31078/jk1742. hal. 729-752.
Siregar, F. E. (2015). The Political Context of Judicial Review in Indonesia. Indon. L. Rev., 5, doi: http://dx.doi.org/10.15742/ilrev.v5n2.140. hal. 208.
van Bruggen, M. (2019). Democratic rights protection: the case for weak judicial review implicit in the democratic critique of judicial review–RETRACTED. European Constitutional Law Review, 15(1), doi: https://doi.org/10.1017/S1574019618000494. Hal. e1-e22.
Williams, R. C. (2022). Lower Court Originalism. Harv. JL & Pub. Pol'y, 45, hal. 257.
602
Discussion and feedback