Vol. 8 No. 02 Agustus 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas


Keabsahan Akta Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Perkawinan Beda Agama di Indonesia


Putu Radya Bramanta1, I Gusti Ayu Putri Kartika2

1Magister Kenotariatan Universitas Udayana, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Masuk : 17 April 2023 Diterima : 17 Juli 2023

Terbit : 18 Juli 2023

Keywords :

Arrangement, Marriage, Different Religion


Abstract


The purpose of this study was to analyze the validity of the marriage agreement deed in interfaith marriages in Indonesia. The research method used is normative legal research method. Arrangements for interfaith marriages in Indonesia according to Article 2 paragraph (1) of the Marriage Law stipulate that marriage is legal if it is carried out according to the laws of each religion and belief. So if it is examined more deeply, religion in Indonesia prohibits its followers from engaging in interfaith marriages. So that if it is associated with Article 35 letter a of the Population Administration Law there is a conflict of norms, this problem can be solved using the principle of lex specalis derogate derogate legi generalis, relating to interfaith marriages, more specific regulations that will be used have legal consequences, interfaith marriages are prohibited in Indonesia. The validity of the marriage agreement deed in interfaith marriages is invalid because it violates the rules in Indonesia because they have entered into a marriage which is prohibited by their religion or other applicable regulations. And the marriage agreement cannot be legalized if it violates the limits of law, religion and decency. Also violates the legal requirements of an agreement because it contains things or a cause that is prohibited by laws and regulations so that it violates the objective requirements and legal consequences in the Deed of Marriage Agreement being null and void by law.

Abstrak


Kata kunci : Pengaturan, Perkawinan, Beda Agama

Corresponding Author: Putu Radya Bramanta

E-mail :

[email protected] om


Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keabsahan akta perjanjian perkawinan pada perkawinan beda agama di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehingga jika di telaah lebih mendalam agama di Indonesia melarang umatnya untuk melakukan perkawinan beda agama. Sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a UU Administrasi


DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i02.p2


Kependudukan terjadi konflik norma, permasalahan ini dapat diselesaikan menggunakan asas lex specalis derogate derogate legi generalis, berkaitan dengan perkawinan beda agama maka peraturan yang lebih khusus yang akan digunakan memiliki konsekuensi hukum, perkawinan beda agama dilarang di Indonesia. Keabsahan akta perjanjian perkawinan pada perkawinan beda agama adalah tidak sah karena melanggar aturan di Indonesia karena telah melakukan perkawinan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Serta perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. Juga melanggar syarat sahnya suatu perjanjian karena berisikan hal-hal atau suatu sebab yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan sehingga melanggar syarat objektif dan akibat hukumnya dalah Akta Perjanjian Perkawinan tersebut batal demi hukum.

  • 1.    Pendahuluan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena dasar sifat manusia yang merupakan mahkluk sosial, jadi seorang manusia tidak dapat hidup sendirian.1

Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk sosial yang memiliki akal dan budi, menempatkan perkawinan pada posisi yang dilakukan secara terus menerus guna untuk mempertahankan keturunan guna memperoleh ketenangan dalam hidupnya, perkawinan juga dipandang sebagai suatu budaya dalam perkembangan kehidupan manusia.2 Sehingga di dalam tujuan yang lebih luas, perkawinan juga bertujuan unuk membentuk dan meneruskan suatu generasi penerus bangsa dan negara ini, sehingga kehidupan dan kesinambungan suatu negara dapat tetap berlangsung.3

Perkawinan menurut pengertianya secara resmi berdasarkan hukum diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang menentukan bahwa:

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan pengertian resmi tersebut selayaknya perkawinan dilakukan secara hati-hati dan sebagaimana mestinya, mengingat perkawinan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini menjadikan suatu perkawinan menjadi begitu luhur

dan sakral dan sarat akan nilai-nilai filosofis. Bahkan dikatakan luhur, sakral dan sarat akan nilai nilai filosofis dapat dilihat bahwa suatu perkawinan dilakukan dengan rangkaian upacara keagamaan.4

Begitu pesatnya perkembangan dunia hari ini, begitu juga dengan Indonesia, sehingga mengakibatkan jarak dan waktu antara negara dunia tidak memiliki batas. Sehingga banyak masuk pengaruh-pengaruh dari berbagai negara di dunia ke dalam tatanan kehidupan di Indonesia yang diterapkan oleh masyarakat, salah satu tatanan kehidupjan tersebut yaitu perkawinan termasuk perwakinan campuran, perkawinan kontrak dan perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama di Indonesia secara implisit tidak diperbolehkan di Indonesia, sebagaimana diatur oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang menentukan bahwa:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”

Artinya sah atau tidaknya suatu perkawinan dinilai berdasarkan tata caranya yang mengharuskan dan mewajibkan seseorang untuk melakukan perkawinannya berdasarkan masing-masing agam dan kepercayaanya.

Namun, disisi lain setelah disahkanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan), memberikan peluang kepada seseorang untuk melakukan pernikahan secara beda agama yang dijamin pada Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa pada prinsipnya perkawinan bagi mereka yang berbeda agama dapat dilakukan dengan putusan pengadilan.

Konflik norma atau yang sering disebut conflict of norm antara Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan, akan berdampak pada tidak tercapainya suatu kepastian hukum dikalangan masyarakat Indonesia, apakah boleh atau tidak secara hukum melakukan perkawinan berbeda agama. Aturan yang saling bertentangan ini juga menyebabkan tidak jelasnya keabsahan akta perjanjian perkawinan yang dibuat Notaris bagi perkawinan beda agama. Karena aturan tersebut yang berhubungan dan memiliki akibat hukum satu sama lain sehingga relevan tulisan jurnal ilmiah ini untuk dilakukan penelitian dengan judul “Keabsahan Akta Perjanjian Perkawinan Pada Perkawinan Beda Agama di Indonesia.”

Rumusan masalah dirumuskan menjadi permasalahan yang kongkrit berdasarkan latar belakang, sehingga permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:

  • 1)    Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia menurut UU Perkawinan?

  • 2)    Bagaimana keabsahan akta perjanjian perkawinan berdasarkan perkawinan beda agama?

Tujuan penulisan dirumuskan agar tulisan ini memiliki arah yang jelas. Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk melakukan kajian-kajian serta analisis dan untuk mengetahui tentang keabsahan akta perjanjian perkawinan berdasarkan perkawinan beda agama.

Penelitian ini menggunakan state of art yaitu 2 (dua) penulisan terdahulu yaitu pada jurnal ilmiah milik Ahmadi Hasanuddin Dardiri yang terbit pada Jurnal Hukum Khazanah Universitas Islam Indonesia pada tahun 2013 dengan judul “Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam Dan Ham”, dengan mengangkat permasalahan yaitu Apakah pernikahan beda agama diperbolehkan dalam Islam? dan Bagaimana HAM memandang larangan pernikahan beda agama?5

Kemudian jurnal ilmiah milik Nur Asiah yang terbit pada jurnal hukum Samudra Keadilan dari Universitas Samudra pada tahun 2015, dengan judul “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam”, yang membahas mengenai permasalahan yaitu Legalitas Perkawinan Beda agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam dan Legalitas Perkawinan Beda agama pada Lembaga Pencatatan Perkawinan.6

Sehingga dapat dilihat bahwa penulisan jurnal ilmiah ini merupakan orisinal, walaupun memiliki kesamaan pembahasan mengenai perkawinan beda agama, namun yang menjadi pokok permasalahan adalah berbeda dari jurnal ilmiah terdahulunya. Pada penulisan jurnal ilmiah ini memiliki permasalahan yang meliputi pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia menurut UU Perkawinan dan Keabsahan akta perjanjian perkawinan pada perkawinan beda agama.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan cara atau metode penelitian hukum normatif atau oleh Soetandyo Wignyosoebroto disebut sebagai penelitian doktrinal.7 Penelitian hukum normatif ialah enelitian hukum normatif yang digunakan yaitu dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait dan literatur hukum yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.8 Tulisan ini berfokus pada conflict of norm antara Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan terkait dengan perkawinan beda agama di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan teori-teori hukum yang umum dan relevan untuk penyelesaian masalah terkait dengan dibantu oleh peraturan yang ada guna menemukan titik tolak konflik normanya, sehingga dengan dibantu dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat menyelesaikan isu hukum dan mencapai suatu kebenaran.9

Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama dan mengikat seperti peraturan perundang-undangan dalam tulisan ilmiah ini menggunakan UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum untuk mendukung bahan hukum primer dapat berupa buku-buku, jurnal ilmiah maupun ensiklopedia terkait, dalam hal ini menggunakan buku dan jurnal ilmiah yang ada kaitanya dengan perkawinan maupun perkawinan beda agama.10

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Menurut UU Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.

Perkawinan menurut pengertianya secara resmi berdasarkan hukum diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang menentukan bahwa:

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

UU Perkawinan dibentuk dan di Undangkan karena perkawinan dijamin sebagai hak asasi manusia oleh negara sebagaimana diatur pada Pasal 28 B Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menentukan bahwa:

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”

Artinya, negara menjamin hak asasi manusia untuk melakukan perkawinan untuk tujuan melanjutkan keturunan, namun harus dilakukan secara sah dan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga atas dasar ini lah diundangkan UU Perkawinan.

Berdasarkan UUD 1945, bahwa pernikahan yang sah tersebut dijawantahkan atau diatur lebih rinci pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”

Artinya perkawinan tersebut dikatakan sah apabila dilakukan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan. Setelah sesuai dan dikatakan sah, barulah suatu perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

Untuk mengetahui apakah Indonesia memperbolehkan terjadinya perkawinan beda agama sebagaimana dibatasi oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, dengan itu haruslah diketahui bagaimana agama-agama yang ada di Indonesia memandang perkawinan beda agama di Indonesia. Indonesia mengakui adanya 6 (enam) agama yaitu:

  • a.    “Hindu;

  • b.    Kristen Protestan;

  • c.    Kristen Katolik;

  • d.    Islam;

  • e.    Buddha; dan

  • f.    Kong Hu Cu.”11

  • a.    Hindu

Menurut A. Syamsul Bahri dalam jurnalnya menjelaskan bahwa Agama Hindu, memandang perkawinan sebagai:

“Ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna, mendapatkan keturunan anak. Pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu. Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah”

Agama Hindu berpandangan ketika dalam perkawinan beda agama, salah satu diantara kedua belah pihak beragama non-Hindu, maka sebelum dilakukan upacara ritual perkawinan pria atau wanita yang beragama non-Hindu itu harus bersedia di-hindukan terlebih dahulu dengan upacara sudhi waddani. Upacara sudhi waddani ini adalah upacara untuk mereka yang akan menganut agama Hindu sebagai pengesahan status agama seseorang yang sebelumnya non-Hindu, menjadi penganut agama Hindu dan yang menjalani upacara sudhi waddani, itu harus siap lahir batin tulus ikhlas dan

tanpa paksaan dalam menganut agama Hindu. Sehingga dalam penjelasan ini agama hindu melarang perkawinan beda agama.12

  • b.    Kristen Protestan

Perkawinan beda agama menurut agama Kristen Protestan juga tidak diperbolehkan. Karena bagi Kristen, tujuan dari perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan antara suami istri, dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang abadi dan kekal. Untuk itu apabila mereka yang menikah dengan berlainan agama maka rumah tangga mereka akan sulit untuk mencapai kebahagiaan.13

Hal tersebut terdapat di dalam al-kitab yang tercantum dalam 2 Korintus Pasal 6 ayat ke 14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya, sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan, atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap”

  • c.    Kristen Katolik

larangan perkawinan menurut agama Katholik yaitu salah satu calon mempelai bukan beragama Katholik. Jadi menurut agama Katholik perbedaan agama dapat mengakibatkan perkawinan menjadi tidak sah. Dan gereja Katholik berpendapat bahwa perkawinan antara seorang beragama Katholik dangan yang bukan agama Katholik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal, karena perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen.14

  • d.    Islam

Bagi orang Islam tidak diperbolehkan menikahkan anak perempuannya yang kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahkan anak perempuannya yang muslimah, sebab hubungan kewalian di antara keduanya terputus. Larangan perkawinan beda agama antara wanita muslim dengan pria non muslim, disebabkan oleh karena dikhawatirkan wanita muslim akan meninggalkan agamanya dan mengikuti agama pria yang akan dikawininya. Karena pria adalah kepala rumah tangga, maka potensi pria non muslim akan mengajak istrinya untuk mengikuti agama atau keyakinannya.15

  • e.    Buddha

pada ajaran agama Buddha tidak diatur jelas boleh atau tidaknya seorang Buddha melakukan perkawinan dengan berbeda agama, namun dalam pelaksanaannya yang non Budha harus bersedia mengikuti syarat-syarat dalam pelaksanaan perkawinan, seperti mengucapkan janji-janji atas nama sang Budha, Dharma, dan Sangka. Karena

bagi umat Budha dengan mengucapkan kata-kata tersebut maka secara tidak langsung yang non-Budha telah dianggap menganut agama Budha tanpa mengharuskan non-Budha untuk meyakini agama Budha, walaupun sebenarnya hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha dalam pelaksanaan perkawinannya.16

  • f.    Kong Hu Cu

Agama Kong Hu Cu, perkawinan disebut dengan istilah Li Yuan. Li yuan adalah perkawinan yang hanya dapat dilaksanakan bagi kedua mempelai yang beragama Kong hu cu.17

Hindu

Kristen Protestan

Kristen Katolik

Islam

Buddha

Kong Hu Cu

Kebolehan Perkawinan Beda Agama

Tidak Boleh

Tidak Boleh

Tidak Boleh

Tidak Boleh

Tidak Boleh

Tidak Boleh

Sehingga berdasarkan penjelasan di atas dengan itu, maka dapat diketahui bahwa dalam melangsungkan perkawinan, diharuskan untuk seagama agar pelaksanaannya tidak terdapat hambatan maupun penyelewengan agama, karena dalam pelaksanaannya, kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah.

Polemik perkawinan beda agama masih menjadi suatu pergunjingan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang tuntas. Itu dikarenakan terjadinya Konflik norma atau yang sering disebut conflict of norm antara Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan. Pasal 35 huruf a menentukan bahwa dapat dilakukan perkawinan beda agama dengan melalui penetapan pengadilan. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang beda agama tidak di perbolehkan.

Permasalahan hukum seperti di atas akan menyebabkan terjadinya beberapa permasalahan seperti:

  • 1)    “Perbedaan penafsiran dalam hal praktik pelaksanaannya;

  • 2)    Timbulnya ketidakpastian hukum;

  • 3)    Peraturan tidak berjalan secara efektif dan efisien; dan

  • 4)    Disfungsi hukum.”

Sehingga konflik norma tersebut haruslah dipecahkan sehingga tidak menimbulkan sebagaimana disebutkan di atas ini.

Penyelesaian konflik norma dapat dilakukan dengan menggunakan asas preferensi hukum yaitu dengan menggunakan asas Lex specialis derogate legi generale yang bermakna peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.18 Jadi, berdasarkan asas lex specalis derogate derogate legi generalis jika berkaitan dengan perkawinan beda agama adalah UU Perkawinan yang merupakan peraturan yang lebih khusu daripada UU Administrasi Kependudukan. Sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu dilarang di Indonesia.

Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.19

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum, yang dapat berwujud:

  • 1)    “Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum.

  • 2)    Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

  • 3)    Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum”20

Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan yang sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.

Jika dikaitkan dengan akibat hukum melakukan perkawinan beda agama di Indonesia. Maka harus diperhatikan daripada syarat sahnya perkawinan di Indonesia yang di tentukan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Perkawinan yang sah apabila dilakukan dengan tata cara atau aturan yang dianut oleh agama dan kepercayaannya masing-masing. Mengingat hal-hal yang sudah dibahas sebelumnya pada penjelasan di atas bahwa seluruh agama yang ada di Indonesia pada prinsipnya tidak memperbolehkan pernikahan berbeda agama. Apabila itu dilanggar selain melanggar hukum agama, maka hukum positif Indonesia pun dilanggar. Sehingga konsekuensi logis pada perkawinan beda agama di Indonesia ialah merupakan perkawinan yang tidak sah.

Akibat daripada perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan tersebut tidak dapat dicatatan di dinas terkait dalam hal ini pencatatan sipil. Kemudian perkawinan yang

tidak sah maka akan berpengaruh kepada status anak yang akan menjadi anak yang tidak sah sebagaimana Pasal 42 UU Perkawinan yang menentukan bahwa anak yang sah merupakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa anak yang tidak dari perkawinan yang sah maka hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

  • 3.2   Keabsahan Akta Perjanjian Perkawinan Pada Perkawinan Beda Agama

Akta perjanjian perkawinan merupakan akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum yang salah satu tujuan dibuatnya perjanjian tersebut yaitu untuk memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan istri sehingga harta mereka tidak bercampur. Pada mulanya perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan dibuat Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Namun, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan politik hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (prenuptial agreement), sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Adapun hal-hal lain yang berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut antara lain:

  • a)    “Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat perkawinan dilangsungkan atau dalam masa ikatan perkawinan.

  • b)    Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi pengesahan perjanjian perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan, Sesudah Putusan Mahkmah Konstitusi pengesahan perjanjian perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau Notaris.

  • c)    Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan mulai berlaku pada saat setelah dilangsungkannya perkawinan, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan mulai berlaku pada saat setelah dilangsungkannya perkawinan, tau sepanjang ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

  • d)    Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua belah pihak sepanjang perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga, sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan bisa diubah atau dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak sepanjang perubahan dan pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.”21

Berdasarkan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menentukan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

Akta Notariil adalah akta yang dibuat dihadapan seorang notaris. Otentisitas dari akta Notariil adalah bersumber dari Pasal Peraturan Jabatan Notaris dimana Notaris dijadikan Pejabat Umum (openbaar ambtenar) serta dipertegas oleh Pasal 1868 KUH Perdata dimana akta tersebut harus memenuhi 4 hal yaitu:

  • a)    “Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- undang.

  • b)    Akta harus dibuat oleh dihadapan seorang Pejabat Umum.

  • c)    Pejabat Umum tersebut harus mempunyai kewenangan.

  • d)    Akta harus dibuat oleh Pejabat Umum ditempat dimana akta dibuat.“

Notaris membuat akta notarial atau akta autentik dalam membuat Akta perjanjian perkawinan harus merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata yaitu mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian yang sah haruslah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal tersebut yaitu “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.”

Persoalan terjadi jika Notaris harus membuat akta perjanjian perkawinan terhadap orang yang melakukan perkawinan beda agam di Indonesia. Bagaimana keabsahan daripada akta perjanjian perkawinan yang dibuat notaris, mengingat pembahasan di atas menyebutkan bahwa perkawinan beda agama di Indonesia tidak sah. Hal ini men gakibatkan bahwa akta perjanjian perkawinan atas perkawinan beda agam yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta yang tidak sah dan batal demi hukum karena perkawinan beda agama tidak sah dan dilarang di Indonesia dan juga melanggar Pasal 8 huruf f UU Perkawinan karena telah melakukan perkawinan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Serta melanggar Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. Sehingga berdasarkan hal-hal dijabarkan di atas Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat berdasarkan perkawinan beda agama merupakan akta yang tidak sah.

Selain itu Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat berdasarkan perkawinan beda agama juga melanggar syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata karena berisikan hal-hal atau suatu sebab yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan sehingga melanggar syarat objektif dan akibat hukumnya dalah Akta Perjanjian Perkawinan tersebut batal demi hukum.

  • 4. Kesimpulan

Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia menurut UU Perkawinan diatur pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehingga jika di telaah lebih mendalam agama di Indonesia melarang umatnya untuk melakukan perkawinan beda agama. Sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan, maka akan terjadi konflik norma, sehingga dapat diselesaikan dengan menggunakan asas lex specalis derogate derogate legi generalis jika

berkaitan dengan perkawinan beda agama adalah UU Perkawinan yang merupakan peraturan yang lebih khusus daripada UU Administrasi Kependudukan, sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia adalah dilarang, meski UU Administrasi Kependudukan memberikan peluang untuk perkawinan beda agama.

Keabsahan akta perjanjian perkawinan pada perkawinan beda agama adalah tidak sah karena melanggar Pasal 8 huruf f UU Perkawinan karena telah melakukan perkawinan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Serta melanggar Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. Sehingga berdasarkan hal-hal dijabarkan di atas Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat berdasarkan perkawinan beda agama merupakan akta yang tidak sah. Juga melanggar syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata karena berisikan hal-hal atau suatu sebab yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan sehingga melanggar syarat objektif dan akibat hukumnya adalah Akta Perjanjian Perkawinan tersebut batal demi hukum.

Daftar Pustaka

Buku

Baso. A. (2005). Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen Keagamaan Dan Analisis Kebijakan, Jakarta: Komnas Ham

Hadikusuma. H. (2007). Hukum Perkawinan di Indonesia, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mahdar Maju

Sunggono, B. (2016). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers

Watra, I. W. (2020). Agama-Agama Dalam Pancasila di Indonesia (Perspektif Filsafat Agama). Denpasar: UNHI Press

Jurnal

Asiyah, N. (2015). Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 10(2), 204-214

Dardiri, A. H., Tweedo, M., & Roihan, M. I. (2013). Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam dan HAM. Khazanah: Jurnal Mahasiswa, 6(1), 99-117. Doi: https://doi.org/10.20885/khazanah.vol6.iss1.art8

Dewi, N. M. A. S., & Resen, M. G. S. K. (2020). Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang. Acta Comitas: Jurnal Hukum        Kenotariatan.        6(1).                 41-51.        Doi:

https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i01.p04

Kusuma, I. G. A. (2020). Analisis Pasal 4 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terkait Poligami. Acta Comitas: Jurnal

Hukum              Kenotariatan,5(1),              69-78.              Doi:

https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i01.p06

Ningsih, N., Utama, I. M. A., & Sarjana, I. M. (2017). Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama yang Dibuat Pasca Pencatatan. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 2(1), 12-26. Doi:

https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p02

Rivanda, F. A. & Dewi, G. (2022). Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dalam Perkawinan Campurann. Acta Comitas: Jurnal Hukum         Kenotariatan.         7(2).         216–228.         Doi:

https://doi.org/10.24843/AC.2022.v07.i02.p4

Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum           Islam,           7(2),           412-434.           Doi:

http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v7i2.2162

Sudantra, I. K., Sukerti, N. N., & Dewi, A. I. A. A. (2015). Pengaturan Perkawinan pada Gelahang Dalam Awig-Awig Desa Pakraman. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 4(3),   575-587. Deoi:

https://dx.doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i03.p12

Sukerti, N. N., & Ariani, I. G. A. A. (2018). Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal),   7(4),   516-528. Doi:

https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i04.p07

Syamsulbahri, A., & Adama, M. H. (2020). Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. AL-SYAKHSHIYYAH Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, 2(1), 75-85

Wijayanti, N. L. P. M. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri Dalam Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan. Acta Comitas: Jurnal Hukum          Kenotariatan,          3(2),          291-300.          Doi:

https://doi.org./10.24843/AC.2018.v03.i02.p06

Tesis

Momuat, Y. V. (2014). Eksistensi Dan Akibat Hukum Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Perjanjian Terhadap Debitur Yang Tidak Aktif Dalam Melaksanakan Perjanjian. Yogyakarta: Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya

Peraturan Perundang-Undangan

Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

239