Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Pasca Pergeseran Norma Waris Adat Bali
on
Vol. 8 No. 02 Agustus 2023
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Pasca Pergeseran Norma Waris Adat Bali
Komang Tri Setia Jaya1, Mohammad Jamin 2, Mulyanto3
1Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, E-mail: [email protected] 3Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 17 April 2023
Diterima : 23 Juli 2023
Terbit : 28 Agustus 2023
Keywords :
Notary role; Inheritance Deed; Balinese custom
Kata kunci:
Peran Notaris; Akta Waris;
Adat Bali
Corresponding Author:
Komang Tri Setia Jaya, E-mail: komangtrisetiajaya73@stude nt.uns.ac.id
DOI :
10.24843/AC.2023.v08.i02.p5
Abstract
This study aims to determine the inheritance system in Wia-Wia Village after the Majelis Utama Desa Pakraman Bali Decision Number 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010, to determine the legal validity of the decision to subsequently be used as a basis for Notaries in making inheritance deeds for Balinese indigenous people in Wia-Wia Village, and to find out the role of Notaries in making inheritance deeds based on Balinese customary law in Wia-Wia Village. This research is of empirical juridical type. The approach used is the approach of legislation and sociology of law. The data collection technique is by direct observation and semistructured interviews. All data that has been collected is then analyzed with qualitative techniques. Then the results of this study show: (1) the people of Wia-Wia Village still adhere to a patrilineal belief system, namely heirs fall to purusa descendants (male) and predana descendants (female) do not get inheritance; (2) Majelis Utama Desa Pakraman Bali Decision Number 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 does not necessarily bind the Balinese indigenous people in Wia-Wia Village. Therefore, the decision cannot be used as a legal basis by the Notary in making an inheritance deed for the Balinese indigenous people in Wia-Wia Village; and (3) the role of Notaries in making inheritance deeds for Balinese indigenous people in Wia-Wia Village is limited to the act of pouring the will of the Balinese Indigenous people in Wia-Wia Village who face them by taking into account the values of Balinese customary law that they still adhere to today.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pewarisan di Desa Wia-Wia pasca Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010, untuk mengetahui keberlakuan hukum dari keputusan tersebut untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi Notaris dalam pembuatan akta waris untuk masyarakat adat Bali Di Desa Wia-Wia, dan untuk mengetahui peran Notaris dalam pembuatan akta waris berdasarkan hukum adat Bali Di Desa Wia-Wia. Penelitian ini berjenis yuridis empiris. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan sosiologi hukum. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan cara observasi langsung dan wawancara semi terstruktur. Seluruh data yang telah terkumpul,
selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif. Kemudian hasil penelitian ini menunjukan: (1) masyarakat Desa Wia-Wia masih menganut sistem kepercayaan patrilineal yaitu ahli waris jatuh kepada keturunan purusa (laki-laki) dan keturunan pradana (perempuan) tidak mendapatkan waris; (2) Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tidak serta merta mengikat masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia. Maka keputusan tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum oleh Notaris di dalam pembuatan akta waris bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia; dan (3) peran Notaris dalam pembuatan akta waris bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia adalah terbatas pada tindakan menuangkan kehendak masyarakat Adat Bali di Desa Wia-Wia yang menghadapnya dengan turut mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat Bali yang masih dianutnya hingga saat ini.
Pergeseran norma hukum waris adat Bali telah dilakukan oleh Majelis Utama Desa Pakraman (untuk selanjutnya disingkat MUDP). MUDP merupakan salah satu lembaga masyarakat adat Bali tingkat Provinsi yang kedudukannya diatur dalam Perda Bali No. 3 Tahun 2001 kemudian berubah nama menjadi Majelis Desa Adat (selanjutnya disingkat MDA). Berdasarkan pada Pasal 1 Ayat 24 Perda Bali No. 4 Tahun 2019 MDA merupakan gabungan Desa Adat berjenjang dari kecamatan, kabupaten/Kota kemudian provinsi yang bertugas dan berwenang berkaitan dengan urusan adat dan agama Hindu dan memiliki fungsi memberikan pertimbangan, nasihat, penafsiran, pembinaan, serta keputusan yang berkaitan dengan tradisi, sosial religius, budaya, ekonomi adat, kearifan lokal serta hukum adat. Sehingga berdasarkan hal tersebut MDA mempunyai kewenangan untuk memberikan keputusan terkait dengan hukum waris Adat di Bali.
Hukum adat Bali di dalam sistem kekeluargaannya menerapkan sistem Patrilineal yaitu keturunan mengambil dari garis bapak/laki-laki sehingga adanya ketidak adilan antara hak dari wanita dan laki-laki, sehingga penerusan harta-harta orang tuanya diberikan kepada keturunan kapurusa/laki-laki dan anak pradana/wanita tidak dianggap sebagai ahli waris.1 Anggapannya laki-laki dapat mengurus serta dapat menjalankan tanggung jawab dari keluarganya, baik tanggung jawab terkait keyakinan agama Hindu, umat Hindu, dan Banjar. Di Bali tidak ada aturan tertulis yang mengatur secara jelas mengenai pewarisan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan sistem kewarisannya bersumber dari kesepakatan (pasuara), kebiasaan (destra), dan diterima secara turun temurun (sima). Dengan otomatis ahli waris akan diberikan kepada keturunannya yang laki-laki setelah pewaris meninggal.2
Kedudukan wanita sebagai pradana menyebabkan wanita tidak berhak mendapatkan warisan. Wanita dianggap tidak dapat meneruskan tanggung jawab, hal itu karena
wanita akan kawin keluar mengikuti suaminya sehingga Wanita dianggap telah meninggalkan tanggung jawabnya. Sebaliknya keturunan laki-laki diberikan tanggung jawab yang sangat besar karena diharapkan nantinya keturunan laki-laki dapat meneruskan generasi serta memberi nafkah atau merawat orang tuanya yang tidak lagi mampu untuk melaksanakan upacara yang berkaitan dengan adat istiadat serta agama hindu.3 Berkaitan dengan hal itu perkembangannya pada tahun 2010 hingga saat ini, masyarakat adat Bali sudah mendapati perkembangan terkait dengan kesamaan hak antara wanita dan laki-laki dalam pewarisan adat bali yang sudah dimuat dalam Keputusan MUDP Provinsi Bali Nomor 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-Hasil Pesamuhan Agung III MUDP Provinsi Bali (selanjutnya disebut Keputusan MUDP Bali), yang dalam putusannya mengatur terkait kedudukan anak dan suami istri terhadap suatu harta pusaka serta harta gunakarya, termasuk juga hak waris dari anak wanita baik anak kandung ataupun anak angkat.4
Perubahan hak wanita dalam hal pewarisan merupakan angin segar bagi wanita, dan disambut baik oleh para wanita di Bali. Namun bagaimana nasib wanita Bali di luar Provinsi Bali, karena pada dasarnya masyarakat adat Bali tidak hanya berdomisili di Provinsi Bali saja. Berawal pada tahun 1950-an, awal mulanya transmigrasi dikhususkan bagi masyarakat yang menghuni suatu wilayah yang semulanya padat akan penduduk kemudian dipindahkan ke pulau-pulau yang hanya segelintir penghuninya. Transmigrasi ini bertujuan untuk memajukan taraf hidup masyarakat Indonesia.5 Di era Orde Baru, program transmigrasi dibuat sebagai solusi untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di Indonesia. Transmigrasi ini disusun dengan menyeluruh, dimulai dari perencanaan hingga pembinaan, yang bertujuan mencapai kesejahteraan yang adil dan merata bagi masyarakat Indonesia. Selain meningkatkan taraf hidup para transmigran, Transmigrasi juga memiliki tujuan meningkatkan taraf hidup penduduk di tempat tujuan transmigrasi.6
Transmigran membawa tradisi budaya tersendiri, terutama dari masyarakat Bali. Sama dengan di Provinsi Bali, transmigran Bali hidup dengan berkelompok dan membuat Desa Pakraman atau juga disebut Desa Adat. Dalam hidup yang berkelompok itu, mempertahankan budaya Bali itu sendiri bisa dilaksanakan dengan tanpa mendapat sebuah masalah besar. Sehingga budaya dan hukum adatnya termasuk hukum waris Bali tetap bisa dilestarikan walaupun berada di kawasan transmigrasi. Hal itu juga sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Wayan Jordi dkk yang dimana dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa masyarakat adat Bali yang bertransmigrasi masih
kental dengan adat Bali, terutama dalam sistem pewarisan adat Bali yang masih menerapkan sistem kebapakan/laki-laki, sehingga penerusan harta warisannya diberikan pada keturunan kapurusa/laki-laki mengakibatkan anak pradana/wanita tidak diperhitungkan untuk mendapat bagian dalam pewarisan.7
Sistem waris adat bali tidak memberikan hak kepada wanita menjadi ahli waris. Namun dengan adanya Keputusan MUDP Bali sehingga menyebabkan wanita Bali memiliki hak atas warisan.8 Kemudian apakah hal tersebut juga berlaku untuk wanita bali di luar Provinsi Bali, salah satunya wanita dalam masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia, Kecamatan Poli-polia, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (selanjutnya disebut Desa Wia-Wia). Hal ini karena di mana pun Orang Bali berada terutama yang beragama hindu, sangat lekat dengan adat istiadat. Mereka sangat taat terhadap tradisi, budaya, adat, kepercayaan dan kekompakan. Sehingga hal tersebut tidak pernah lepas dari keseharian mereka, dan dimanapun mereka tinggal pasti akan membawa adat dan budaya dari tempat mereka berasal, yaitu Provinsi Bali. Dalam hal pewarisan, untuk membuat akta waris atau disebut juga Surat Keterangan Waris (SKW) ketentuan-ketentuan tersebut di atas tentu juga perlu dipertimbangkan dalam pembuatan akta waris oleh Notaris. Sudah menjadi suatu keharusan bagi Notaris untuk melihat dari berbagai sudut pandang hukum. Karena ada tiga sumber hukum waris yang sah, yaitu hukum adat, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan hukum Islam.9
Notaris adalah seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lain sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris. Peran Notaris tidak hanya dalam pembuatan akta saja, melainkan Notaris memiliki peran penting dalam setiap akta yang dibuatnya berdasarkan kewenangan serta kewajiban Notaris yang dituangkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.10 Notaris sebagai pejabat umum bertugas melayani masyarakat di dalam menjalani jabatannya sebagai Notaris, tentu saja sesuai dengan wewenangnya yaitu salah satunya dalam hal membuat akta waris, Notaris harus bersikap adil serta memperhatikan hukum yang mengikat setiap kliennya yang membutuhkan jasanya dalam pembuatan akta waris baik terhadap masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia ataupun Bukan. Tentunya akta otentik yang dihasilkan oleh Notaris merupakan suatu akta yang diakui keberadaannya oleh negara karena sebagai alat bukti yang sempurna. Sehingga berkaitan dengan permasalah tersebut peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai “Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Pasca Pergeseran Norma Waris Adat Bali”. Dengan rumusan masalah
sebagai berikut: (1) Bagaimana sistem pewarisan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia pasca Keputusan MUDP Bali; (2) Bagaimana keberlakuan hukum dari Keputusan MUDP Bali untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi Notaris dalam pembuatan akta waris untuk masyarakat adat Bali Di Desa Wia-Wia; dan (3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan akta waris berdasarkan hukum adat Bali di Desa Wia-Wia.
Memperhatikan fokus dari kajian sebagaimana dimaksud di atas, maka ada tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain: (1) Untuk mengetahui sistem pewarisan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia pasca Keputusan MUDP Bali; (2) Untuk mengetahui keberlakuan hukum dari Keputusan MUDP Bali untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi Notaris dalam pembuatan akta waris untuk masyarakat adat Bali Di Desa Wia-Wia; dan (3) Untuk mengetahui peran Notaris dalam pembuatan akta waris berdasarkan hukum adat Bali di Desa Wia-Wia.
Penelitian ini juga memiliki kesamaan topik yang dibahas dengan penelitian-penelitian terdahulu, tetapi fokus kajian penelitian ini berbeda. Berikut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh I Made Warsana pada jurnalnya tahun 2021 dengan judul “Implikasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan”. Fokus penelitiannya adalah untuk menganalisis dasar filosofis dan implikasi Keputusan MUDP Bali terhadap kedudukan wanita bali dalam keluarga dan pewarisan.11 Selanjutnya terdapat juga penelitian oleh Gusti Ayu Dewi Irna Yanthi pada jurnalnya tahun 2021 dengan judul “Keberadaan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 di Desa Adat Lambing”. Fokus penelitiannya adalah untuk mendeskripsikan bagaimana kedudukan hak mewaris wanita berdasarkan hukum waris adat di Bali dan menggambarkan keberadaan Keputusan MUDP Bali di Desa Adat Lambing.12 Jika dibandingkan antara penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini, terdapat perbedaan mengenai fokus penelitian. Penelitian ini lebih berfokus kepada sistem pewarisan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia pasca Keputusan MUDP Bali, keberlakuan hukum dari Keputusan MUDP Bali untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi Notaris dalam pembuatan akta waris untuk masyarakat adat Bali Di Desa Wia-Wia serta peran Notaris dalam pembuatan akta waris berdasarkan hukum adat Bali di Desa Wia-Wia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki unsur kebaruan yang dapat dipertanggungjawabkan.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian hukum empiris. Dimaksud dengan penelitian hukum empiris ialah metode untuk menganalisis suatu hukum yang berlaku dengan tambahan-tambahan data empiris yang merupakan kenyataan yang terjadi di
masyarakat.13 Terdapat dua pendekatan yang digunakan oleh peneliti yaitu pendekatan perundang-undangan untuk menganalisa mengenai permasalahan yang diteliti berdasarkan peraturan yang berasal dari undang-undang atau juga literatur yang memiliki kaitan dengan masalah yang diteliti.14 Kemudian selanjutnya digunakan pendekatan sosiologi hukum yaitu suatu pendekatan ini digunakan untuk menganalisis bagaimana interaksi dan reaksi yang terjadi di dalam masyarakat saat suatu sistem hukum itu bekerja.15 Lokasi penelitian ini adalah di Desa Wia-Wia, Kecamatan Poli-polia, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (selanjutnya disebut Desa Wia-Wia), alasan pemilihan lokasi tersebut dikarenakan Desa Wia-Wia merupakan salah satu daerah transmigrasi Bali yang seluruh masyarakatnya beragama hindu serta masih menerapkan dan memegang teguh hukum adat Bali, terkhusus berkaitan dengan pewarisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik observasi langsung dan wawancara semi terstruktur. Teknik observasi langsung merupakan teknik pencatatan dengan cara sistematik dan pengamatan terhadap reaksi serta gejala yang terlihat pada objek penelitian.16 Sedangkan teknik wawancara semi terstruktur adalah suatu cara pengumpulan informasi dengan melakukan tanya jawab yang terstruktur mengenai pokok permasalahan, sifatnya semi terbuka namun pembicaraan dibatasi dengan suatu topik tertentu.17 Seluruh data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia bertransmigrasi dari Bali ke Desa Wia-Wia pada tahun 1979. Mereka datang ke sini dengan tujuan meningkatkan taraf hidup. Masyarakat Desa Wia-Wia berasal dari beberapa desa dan kabupaten di Bali, sehingga saat mereka tiba di sini, mereka membentuk desa pakraman dan mendirikan Pura Tri Kahyangan yaitu Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dibarengi dengan Pura Prajapati yang merupakan kepercayaan umat Hindu di Bali. Sehingga beberapa ketentuan mengenai desa pakraman yang bersumber dari beberapa daerah di Bali yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda, kemudian dijadikan satu. Mereka tidak meninggalkan warisan turun temurun di Bali, termasuk hukum waris adat Bali.18
Menurut bapak I Putu Anom selaku salah satu Tokoh Agama di Desa Wia-Wia, bahwa sistem pewarisan di Desa Wia-Wia masih sama dengan yang ada di Bali yang dimana yang memiliki hak mewaris merupakan anak laki-laki saja, yaitu anak yang tinggal di rumah dan meneruskan tanggung jawab keluarga. Namun meskipun demikian dia wajib merawat saudara perempuannya dan membiarkan saudaranya menikmati harta peninggalan orang tua nya sebelum dia menikah. Hal itu adalah suatu tradisi masyarakat yang tidak dapat dilepaskan, yang dipercayai memiliki makna religius sehingga disakralkan oleh masyarakat.19
Hukum waris adat Bali iyalah merupakan tahapan dimana dari pewaris kemudian diteruskan kepada ahli waris berkaitan dengan benda-benda warisannya baik yang berbentuk material ataupun benda-benda berbentuk immaterial yang juga hal itu sangat berkaitan dengan peralihan hak-hak serta kewajiban-kewajiban.20 Tetapi tidak semuanya keturunan dari si pewaris berhak terhadap harta warisan, keturunan yang akan dapat menerima warisan iyalah merupakan keturunan yang dapat melaksanakan semua tanggung jawabnya (swadharma) secara nyata, yang berkaitan dengan Tri Hita Karana yaitu tanggung jawab kepada Agama atau kepercayaan (parahyangan), tanggung jawab kepada aktivitas masesongan/kemanusiaan (pawongan), Tanggung jawab kepada palemahan yaitu seperti uang, tanah (harta kekayaan).21 Sistem kekeluargaan patrilineal atau yang sering disebut juga purusa merupakan sistem yang diterapkan oleh masyarakat Bali Hindu sehingga mengakibatkan hanyalah keturunan swadharma keluarga dan kapurusa, baik itu berkaitan dengan pawongan, parahyangan, ataupun palemahan. Akibatnya yang berhak mendapatkan warisan (swadikara) adalah hanya keturunan kapurusa, sedangkan keturunan pradananya tidaklah bisa meneruskan Swadharma dan mengakibatkan hal itu diartikan sama halnya ninggal kadaton.22
Namun belakangan ini hukum waris adat Bali telah mengalami perkembangan terutama di Bali yang menyebabkan pergeseran hukum waris adat Bali terkait kedudukan wanita, dimana dibuktikan dengan adanya Keputusan MUDP Bali yang membuat kedudukan wanita sama dengan laki-laki dalam hal sebagai ahli waris. Keputusan MUDP Bali menyatakan seorang anak yang memiliki status kapurusa berhak menerima satu bagian dari harta warisan, sedangkan anak yang memiliki status ninggal kadaton/pradana terbatas berhak menerima sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh anak yang memiliki status kapurusa. Berikut tabel perbandingan pewarisan hukum adat Bali sebelum dan setelah keluarnya Keputusan MUDP Bali, terkait dengan kedudukan wanita:
Tabel 1. Perbandingan kedudukan wanita dalam hukum waris adat Bali
No |
Subjek Hukum |
Sebelum Keputusan MUDP Bali |
Setelah Keputusan Bali |
MUDP |
1 |
Wanita Bali belum kawin |
Hanya berhak menikmati harta orang tuanya |
Mendapat waris bagian laki-laki |
½ dari |
2 |
Wanita Bali setelah kawin |
Tidak dapat waris |
Mendapat waris bagian laki-laki |
½ dari |
3 |
Wanita Bali yang pindah agama |
Tidak dapat waris |
Tidak dapat waris |
Sumber : Wijayanti, A., Madion, B., & Tira, A. (2022)
Pada tabel 1 dapat dilihat perkembangan yang terjadi pada hukum waris adat Bali terkait kedudukan wanita, terutama terhadap wanita yang belum kawin dan setelah kawin. Dalam hukum waris adat bali kedudukan wanita tidak sebagai ahli waris, sehingga wanita tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya, melainkan wanita hanya mempunyai hak menikmati manfaat harta kedua orang tuanya sebelum ia menikah. Namun setelah dikeluarkannya keputusan MUDP Bali kedudukan wanita menjadi berubah, dimana yang sebelumnya wanita tidak mendapatkan warisan kini mendapatkan bagian warisan ½ dari bagian laki-laki.
Pada dasarnya setiap aturan mempunyai sisi baik, berdasarkan kondisi serta keadaan lingkungan yang ada di dalam masyarakat, pada saat aturan itu dibuat. Selama mengenai kedudukan wanita di dalam keluarga dan sebagai ahli waris, keputusan MUDP Bali dapat dikatakan lebih baik dari aturan hukum waris adat yang diterapkan sebelumnya. Di dalam keputusan tersebut telah bertentangan dengan asas-asas yang ada pada hukum waris adat Bali. Sistem pewarisan hukum adat Bali dasarnya memiliki empat asas yaitu, asas hak mewaris hanya laki-laki, asas yang mewaris hanya keturunan, asas peralihan warisan setelah orang tua meninggal, dan asas hereditatis petition yaitu anak yang berkedudukan sebagai ahli waris dapat menuntut dilaksanakannya pembagian waris semasa orang tuanya masih hidup.23 Sehingga berdasarkan hal tersebut Keputusan MUDP Bali bertentangan dengan asas hak mewaris hanya ada pada anak laki-laki. Anggapannya setelah wanita menikah, ia keluar dari keluarga sebelumnya dan mengikuti suaminya, sehingga dia tidak lagi menjalankan kewajibannya di rumah yang sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan dari bapak I Made Tapak bahwasanya laki-laki diberikan tanggung jawab yang sangat besar seperti mengurus rumah, merawat keluarga atau orang tua, tempat suci serta leluhur, sehingga dia berhak terhadap warisan. Anak perempuan akan menikah dan mengikut ke keluarga suaminya, maka tidak berhak terhadap warisan. Apabila anak perempuan juga diberikan hak terhadap warisan itu akan membebankan anak perempuan, hal itu karena dalam pewarisan tidak sebatas
harta kekayaan saja tetapi termasuk tanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur. Sehingga apabila dia diberikan waris maka dia akan memikul beban dari dua keluarga dan leluhur, yaitu dari keluarga asalnya yaitu orang tuanya dan keluarga suaminya. Kemudian hal itu juga akan membebankan suaminya yang bertanggung jawab terhadap istrinya.24
Pasca dikeluarkannya Keputusan MUDP Bali, maka perempuan (baik anak kandung atau anak angkat )mempunyai hak waris atas harta kekayaan ayah ibunya setelah dibagi sepertiganya sebagai milik bersama (due tengah) yaitu hanya dikuasai tidak untuk dimiliki bagi anak-anak yang mengikuti orang tuanya guna sebagai pelestarian dan harta pusaka.25 Keputusan ini telah memberikan terobosan baru terhadap pewarisan hukum waris adat Bali, dimana sudah memperhatikan kedudukan wanita yang mana adalah merupakan anak dari orang tuanya sehingga berhak juga menjadi ahli waris. Tetapi masyarakat Desa Wia-Wia tidak mengetahui Keputusan MUDP Bali tersebut, hal itu dikarenakan putusan ini dikeluarkan di Bali, dan belum ada penyampaian sampai ke sini, sehingga wajar saja kalo masyarakat di sini tidak menerapkan isi putusan tersebut, di Desa Wia-Wia selama ini yang berhak mewaris hanyalah laki-laki saja sebagai purusa. Namun di dalam praktiknya wanita dapat diberikan bekal oleh orang tuanya saat dia menikah, hal itu dikarenakan kasih sayang orang tua kepada anaknya, tetapi tidak semua orang tua dapat memberikan bekal kepada anaknya saat dia menikah tergantung lagi dari kemampuan orang tuanya dan keikhlasannya. Tetapi wanita juga bisa mendapatkan harta warisan kalo dia menjadi purusa atau berubah status menjadi laki-laki, dengan melaksanakan sentana rajeg/nyentana.26
Pada umumnya hukum adat Bali mengenal istilah perkawinan keluar yaitu wanita yang kawin ke luar mengikuti keluarga suaminya dan keluar dari keluarganya lalu putus hubungan kekeluargaan dengan keluarga sebelumnya bahkan dengan leluhurnya kemudian anaknya dari perkawinan ini akan mengikuti garis keturunan dari ayahnya/laki-laki. Tetapi ada juga bentuk perkawinan nyentana yang merupakan kebalikan dari kawin keluar yang mana wanita yang kawin nyentana ini tidak ke luar dari keluarganya justru laki-laki yang keluar dari keluarganya sehingga anak dari perkawinannya ini akan mengikuti garis keturunan dari ibunya karena ibunya berstatus hukum kapurusa/laki-laki.27 Perkawinan nyentana dilakukan karena tidak adanya anak laki-laki di dalam sebuah keluarga dan hanya memiliki anak wanita. Tujuan perkawinan nyentana ini agar suatu keluarga tidak punah dan terus memiliki penerus. Pada
hakikatnya kawin nyentana ini juga digunakan untuk mempertahankan sistem kekeluargaan patrilineal Bali.28
Menurut bapak I Made Tapak salah satu masyarakat Desa Wia-Wia yang memberikan bekal kepada anak perempuannya saat menikah, mengatakan sebenarnya hukum waris adat Bali tidak melarang orang tua memberikan harta kepada anaknya yang perempuan saat dia masih hidup asalkan itu bukan bersumber dari harta pusaka. Orang tua bisa memberikan hartanya kepada anaknya yang perempuan, iyalah berupa jiwadana/bekal hidup. Ini juga menandakan bahwa anak perempuan diberikan kebijakan dalam mendapatkan harta kekayaan orang tuanya walaupun tidak dalam bentuk warisan saat setelah orang tuanya meninggal melainkan dalam bentuk hibah yang diberikan pada saat anak perempuan menikah. Namun hal ini tidak dipaksakan, tergantung keadaan ekonomi dari keluarganya, jika orang tuanya memiliki harta lebih maka tidak masalah jika memberikan sedikit kepada anak perempuannya.29
Dalam pandangan masyarakat hukum adat Bali yang dimana sangat berkaitan dengan agama hindu, perbedaan antara laki-laki dengan perempuan bukanlah tidak beralasan, hal ini dikarenakan di dalam agama hindu dipercayai bahwa laki-laki akan membawa arwah orang tuanya untuk mencapai surga hal ini disebutkan dalam Manawa Dharmasastra IX.138 yaitu salah satu kitab suci Hindu.30 Itu sudah membuktikan bahwa cuma anak laki-laki yang dapat mengemban tugas itu. Berdasarkan hal itu maka wajar saja kalau masyarakat Desa Wia-Wia tidak mau menerapkan isi dari Keputusan MUDP Bali, karena dianggap tidak selaras dengan adat istiadat yang ditinggalkan oleh leluhur, dan tradisi yang selama ini mereka jalani dirasa sudah sesuai.
Bapak Nyoman Suwersa mengatakan mereka percaya dengan adanya reinkarnasi dan leluhur, sehingga aturan tersebut mengikat garis keturunannya itu sehingga tidak dibenarkan wanita mendapatkan warisan. Tetapi menurutnya wanita tidak monoton tidak mendapatkan waris, karena waris menurutnya bukan hanya masalah harta seperti tanah saja, tetapi orang tua dapat membekali anaknya dengan pendidikan atau uang. Hal itu sudah dilakukan pada saat ini oleh masyarakat. Namun hal tersebut tidak berkaitan dengan hukum adat atau hukum leluhur, karena apabila wanita ingin mendapat warisan berdasarkan hukum leluhur maka suami harus mengikut si wanita. Wanita tidak mendapatkan warisan karena wanita akan menjadi hak sah dari suaminya maka wanita akan mengikut garis keturunan suaminya. Dan menurutnya hal ini tidak harus dituangkan dalam hukum tertulis, karena hukum adat dan leluhur itu sangat melekat dengan warisan.31
-
3.2. Keberlakuan hukum dari Keputusan MUDP Bali untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi Notaris dalam pembuatan akta waris untuk masyarakat adat Bali Di Desa Wia-Wia
Masyarakat adat adalah sebuah kelompok yang merasakan persatuan untuk tinggal di sebuah wilayah tertentu yang bisa saja didasarkan pada hubungan keturunan atau kekerabatan, marga, klan, atau geografi. Mereka memiliki berbagai aturan hukum adat yang menetapkan hak, kewajiban, dan wewenang dalam hal kepemilikan, penggunaan, dan penguasaan atas hak-hak tradisional yang bisa bersifat material atau immaterial. Kelompok ini juga memiliki struktur sosial yang meliputi kepemimpinan adat dan lembaga peradilan adat yang diakui dan dihormati.32 Berdasarkan hal tersebut masyarakat di Desa Wia-Wia dapat dikatakan masyarakat adat Bali. hal itu karena mereka terikat dengan hukum adat Bali dimanapun mereka berada, ini disebabkan adanya hubungan dengan leluhur, marga serta klan yang dipercayai, dan aturan hukum adat Bali yang masih mereka percayai dan dijadikan sebuah aturan hukum adat yang wajib mereka taati. Selaras dengan pendapat Ahmad Zazili yang mengatakan masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok manusia yang merasa bersatu karena memiliki hubungan dengan leluhur atau wilayah tertentu, tempat tinggal dan kepemilikan harta benda terdapat di wilayah tersebut. Mereka dipimpin oleh satu atau beberapa orang yang dihormati karena memiliki wibawa dan kekuasaan, serta memiliki sistem nilai sebagai panduan dalam kehidupan. Selain itu, mereka juga tidak memiliki keinginan untuk memisahkan diri dari komunitas tersebut.33
Hukum adat memiliki beberapa karakteristik khas yang dapat diidentifikasi. Salah satunya adalah sifat tradisional, yang menunjukkan bahwa norma-norma hukum adat diteruskan secara turun-temurun dari generasi nenek moyang hingga saat ini dan dipertahankan oleh masyarakat yang terkait. Selanjutnya, sifat hukum adat lebih menekankan pentingnya musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian perselisihan. Upaya penyelesaian dilakukan dengan cara yang damai dan rukun melalui proses musyawarah dan mufakat. Hukum adat juga bersifat terbuka, yang berarti dapat mengakomodasi sistem hukum lain jika masyarakat yang bersangkutan merasa bahwa sistem tersebut layak atau sesuai. Selain itu, hukum adat juga memiliki sifat sederhana. Ini berarti bahwa masyarakat yang menganut hukum adat cenderung sederhana, tanpa banyak birokrasi, tidak tertulis, mudah dimengerti, dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya. Contohnya dapat ditemukan dalam transaksi yang hanya dilakukan secara lisan, termasuk dalam pembagian warisan yang jarang dilakukan secara tertulis. Selain itu, salah satu ciri hukum adat adalah sifat dinamis, yang berarti hukum adat dapat berubah sesuai dengan waktu dan tempat yang ada. Masyarakat hukum adat akan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.34 Seperti yang terjadi pada hukum adat Bali, seiring perubahan zaman muncul aturan-aturan baru
mengenai hukum adat di Bali, seperti Keputusan MUDP Bali yang mengatur mengenai pewarisan.
MUDP atau yang sekarang menjadi MDA adalah lembaga yang dibentuk oleh Desa Adat, dan merupakan mitra kerja dari pemerintah daerah yang disesuaikan dengan tingkatannya, baik itu mengenai adat, budaya, tradisi, kearifan lokal, ekonomi adat, dan sosial religius, yang adalah persatuan antara Desa Adat. Salah satu wewenang MDA tingkat provinsi diatur dalam Pasal 76 Huruf a Perda Bali No. 4 Tahun 2019, yaitu merumuskan , menemukan, dan menetapkan satuan tafsir terhadap hukum adat Bali dan adat-istiadat. MDA memiliki kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah adat serta pengambil keputusan yang berkaitan dengan perkara adat/wicara, yang dimana keputusan itu bersifat final serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Menurut peraturan tersebut di atas, Keputusan MUDP Bali mengenai posisi perempuan Hindu Bali sebagai ahli waris, ketika dianalisis dari segi struktur, terkait dengan MDA yang memiliki kewenangan dalam merumuskan, menemukan, dan menetapkan interpretasi yang seragam terkait dengan adat istiadat dan hukum adat Bali.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 200/PDT/2016/PT.DPS menyatakan wanita memiliki hak untuk menjadi ahli waris. Dalam pertimbangan Hakim berpedoman pada Keputusan MUDP Bali tersebut. Hakim juga berpendapat bahwa Keputusan MUDP Bali tersebut harus dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara yang berkaitan dengan waris di dalam revitalisasi hukum adat Bali. Oleh karena itu, apakah Keputusan MUDP Bali juga berlaku untuk masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia, terutama dalam hal posisi wanita dalam sistem pewarisan hukum adat Bali, dikarenakan produk hukum MUDP yang tengah Penulis bahas masih diakui keberadaannya hingga saat ini, termasuk oleh MDA. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh MUDP mengikat semua Desa Pakraman yang ada di Bali dan wajib diimplementasikan oleh semua instansi yang terkait di semua tingkat pemerintahan Bali untuk memastikan pelaksanaannya.
Adanya perda merupakan perwujudan dari diberikan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri, hal ini dikarenakan ada hal-hal berkaitan dengan daerah yang selain ditentukan dalam undang-undang harus diatur tersendiri dalam perda. Kewenangan dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) telah dipertegas dengan UU No. 17 Tahun 2014 yang menyatakan pembentukan Perda Provinsi adalah tugas dan kewenangan DPRD Provinsi bersama Gubernur. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Keputusan MUDP Bali tidak mengikat masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia. Di Bali, keputusan MUDP merupakan pembenahan tafsir atas hukum adat Bali dan sejatinya tidak mengikat sepanjang desa adat/kesatuan masyarakat hukum adat di Bali (di lingkungan intern-nya) belum menuangkannya secara tegas di dalam produk hukum adat, baik berupa awig-awig maupun pararem. Namun memang sudah ada beberapa desa adat di Bali yang menuangkan hasil keputusan tersebut ke dalam produk hukum adatnya. Dengan demikian, desa adat tersebut menjadi tunduk pada maksud dari keputusan MUDP.
Menurut bapak Nyoman Suwersa, masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia masih menganut sistem pewarisan hukum waris adat Bali sebelum adanya Keputusan Bali tersebut, masyarakat Desa Wia-Wia bertransmigrasi pada tahun 1979 yang mana membawa kebudayaan adat Bali pada saat itu yang dianggap sakral dan merupakan
warisan leluhur. Sehingga kedudukan wanita (bukan sentana) yang berdomisili di Desa Wia-Wia berdasarkan hukum waris adat Bali yang masih berlaku bukanlah sebagai ahli waris, namun hanya memiliki hak untuk memakai atau menikmati harta ayah ibunya karena selama anak wanita belum menikah masih menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengurusnya. Keputusan MUDP Bali tersebut dinilai berbenturan dengan hukum adat serta hukum karma leluhur yang dipercayai oleh umat Hindu di sana. Sehingga keputusan tersebut tidak dapat dipaksakan, karena hukum adat Bali itu fleksibel dan menjadi hukum wajib masyarakat adat Bali yang beragama Hindu maka tidak dapat dituangkan dalam hukum tertulis. Ketentuan waris tidak dituangkan dalam hukum adat yang tertulis karena ketentuan tersebut merupakan hasil keputusan desa pakraman yang dimana bagian dari hukum adat adalah masyarakat itu sendiri, masyarakat sudah menyadari mengenai hukum adat yang berlaku secara turun temurun yang mereka yakini, karena apabila dilanggar mereka akan berhadapan dengan leluhur bukan penegak hukum seperti pengadilan.35
Dapat disimpulkan berdasarkan penjelasan di atas dan sesuai dengan corak dari hukum adat yang telah penulis jelaskan yaitu karakter hukum adat yang tradisional, dimana hukum adat Bali merupakan warisan daripada leluhur yang diteruskan dari generasi ke generasi kemudian disakralkan oleh masyarakat. Hukum adat Bali bersifat dinamis yang artinya dapat menyesuaikan dengan waktu dan tempat yang ada. Sehingga masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia dapat menentukan sendiri hukum adat yang mereka percayai berdasarkan sifat hukum adat yang dinamis tersebut. Karena sesuai dengan sifat hukum adat yang tradisional, masyarakat di Desa Wia-Wia masih mempercayai dan menerapkan hukum adat Bali yang diwariskan oleh leluhurnya. Berdasarkan kepercayaan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia tidak semua hukum adat dapat diubah, salah satunya adalah mengenai pewarisan. Hukum waris adat Bali menganut sistem patrilineal yaitu ahli waris diteruskan oleh anak laki-laki, yang dimana hal tersebut merupakan norma yang ditinggalkan oleh leluhur dan kemudian disakralkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan wanita akan kawin keluar meninggalkan keluarganya yang sebelumnya dan masuk ke keluarga suaminya sehingga dia akan menjadi tanggung jawab dari suaminya.
Berkaitan dengan kedudukan wanita dalam hukum waris adat Bali, banyak isu mengatakan tidak adanya kesetaraan gender bagi wanita. Berdasarkan hasil wawancara dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, sebenarnya wanita tidak didiskriminasikan, melainkan dilindungi. Hal itu karena dalam hukum waris adat Bali tidak hanya mewariskan harta benda saja (swadikara) melainkan termasuk juga tanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur (swadharma). Harta benda serta tanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur tidak bisa dilepaskan dalam sistem pewarisan adat Bali. Apabila anak perempuan juga diberikan hak terhadap warisan itu akan membebankan anak perempuan, hal itu karena dalam pewarisan tidak sebatas harta kekayaan saja tetapi termasuk tanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur. Sehingga apabila dia diberikan waris maka dia akan memikul beban dari dua keluarga dan leluhur, yaitu dari keluarga asalnya yaitu orang tuanya dan keluarga suaminya. Kemudian hal itu juga akan membebankan suaminya, selain bertanggung jawab terhadap keluarga dan leluhurnya sendiri, dia juga harus bertanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur
istrinya. Maka dari itu wanita tidak diberikan hak warisan, karena untuk menghindari beban memikul dua keluarga dan leluhur. Seperti yang diketahui bahwa dalam hukum adat Bali banyak upacara-upacara yang wajib dilakukan oleh setiap keluarga seperti odalan tempat suci dan upacara ngaben untuk orang yang sudah meninggal, tentunya upacara tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga apabila wanita mendapatkan warisan maka dia juga bertanggung jawab untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di keluarga asalnya, jadi dia berkewajiban untuk melaksanakan upacara dalam dua keluarga yaitu keluarga asalnya dan keluarga suaminya. Yang dimana bisa saja warisan yang dia dapat lebih kecil atau tidak sebanding dengan biaya yang ia keluarkan untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut, sehingga demi menghindari hal tersebut wanita tidak diberikan hak warisan melainkan dapat diberikan hibah oleh orang tuanya yang dimana dapat berupa pendidikan, uang atau tanah (bukan bersumber dari harta pusaka) dan tidak diikuti oleh kewajiban memikul tanggung jawab terhadap keluarga dan leluhur sehingga wanita tidak dibebani.
Keputusan MUDP Bali tersebut kemudian hanya berlaku di Bali saja, sesuai dengan prinsip Bali mawacara. Hal ini dapat diamati melalui pembentukan Perda Desa Adat di Bali oleh pemda Provinsi Bali, yang bertujuan untuk menyeragamkan peraturan-peraturan desa adat di Bali.36 Oleh karena itu, keputusan tersebut tidak dapat diterapkan di Desa Wia-Wia sebelum keputusan tersebut disepakati keberlakuannya dan/atau dituangkan ke dalam bentuk hukum adat yang tercatat di lingkungan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia. Desa adat memiliki wewenang untuk mengatur hukum adat mereka sendiri. Mereka memiliki otonomi untuk mengatur wilayah mereka sendiri, termasuk mengeluarkan peraturan sendiri untuk mengatur wilayah mereka. Inilah sebabnya mengapa desa adat memiliki wewenang untuk menyusun aturan sendiri yang dikenal sebagai awig-awig, yang kemudian hanya berlaku di wilayah mereka masing-masing sesuai dengan tradisi desa mereka yang masih dipercayai (desa mawacara).37
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2824 K/Pdt/2017, dapat dilihat bagaimana kedudukan wanita dalam sistem pewarisan masyarakat adat Bali yang tinggal di luar Provinsi Bali, tepatnya masyarakat adat Bali di Banyuwangi. Dalam putusan tersebut, dijelaskan bahwa tiga anak wanita yang merupakan tergugat mengajukan gugatan balik serta berargumen bahwa mereka, wanita yang telah menikah, tetap memiliki hak untuk mewarisi harta warisan, yaitu setengah bagian dari hak warisan anak laki-laki. Menurut mereka Keputusan MUDP Bali telah membuat terobosan baru terhadap hukum pewarisan adat Bali, yang secara tegas menyatakan hak warisan bagi anak perempuan. Untuk memperkuat argumen mereka, mereka juga merujuk kepada Putusan Mahkamah Agung Nomor 4766K/Pdt/1998, yang berdasarkan pendapat mereka mengonfirmasi bahwa anak wanita di Bali memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan orang tua mereka. Namun, Pengadilan Negeri Banyuwangi menolak keberatan dan gugatan balik yang diajukan oleh tergugat mengenai hak pewarisan anak perempuan. Pengadilan memutuskan bahwa hanya anak laki-laki (penggugat) yang memiliki hak menjadi pewaris dari harta peninggalan orang tua mereka. Dalam banding putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Surabaya. Kecewa terhadap hasil tersebut, tergugat selanjutnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Tergugat/pemohon kasasi mengklaim bahwa Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi Surabaya telah melakukan kelalaian karena telah menolak hak warisan anak wanita dan tidak mengimplementasikan Keputusan MUDP Bali. Tergugat memohon kepada Mahkamah Agung untuk mengadili perkara ini berdasarkan Keputusan MUDP Bali, yang merupakan hukum baru dalam pewarisan hukum adat Bali. Akan tetapi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Surabaya tidak melakukan kelalaian dan sudah mengimplementasikan hukum yang sesuai. Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya memberikan penafsiran singkat terkait hukum pewarisan adat Bali. Menurut penafsiran tersebut, sistem pewarisan masyarakat Bali/Hindu yaitu dengan musyawarah yang melibatkan Swadharma dan Swadikara, yang dimana menekankan keseimbangan kewajiban dan hak-hak yang berfokus pada garis patrilineal atau keturunan laki-laki (purusa). Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa anak wanita akan menerima hibah dari orang tua mereka saat akan kawin keluar.
Sehingga terkait kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik yaitu salah satunya adalah akta waris haruslah berdasarkan hukum yang berlaku bagi kliennya. Di Indonesia terdapat beberapa hukum waris yang diakui secara sah yaitu hukum waris adat, hukum waris berdasarkan KUHPerdata (BW), dan hukum waris Islam. Hukum adat beserta kearifan lokalnya masih diakui sebagai salah satu norma yang mempunyai kekuatan mengikat dan juga sanksi.38 Dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan hukum adat masih diakui oleh negara selama tidak bertentangan dengan prinsip Negara Indonesia. Pasal 67 UU No. 39 Tahun 1999 mengatakan hukum tidak tertulis terkait HAM wajib dipatuhi oleh setiap orang atau masyarakat Indonesia. Hukum tidak tertulis yang dimaksudkan adalah hukum adat. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut hukum adat Bali masih diakui sampai sekarang dan merupakan pedoman bagi setiap masyarakat adat Bali dalam bertingkah laku.
Hukum waris adat Bali ialah suatu hukum adat mengenai pewarisan yang masih diakui oleh masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian waris. Dalam pembuatan akta waris, Notaris dapat memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum adat yang dianut oleh kliennya, sehingga dalam pembuatan akta waris bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia haruslah berdasarkan hukum waris adat Bali yang tetap dipercaya dan diterapkan hingga saat ini di dalam bermasyarakat. Keputusan MUDP Bali tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia, hal itu dikarenakan putusan tersebut hanya berlaku bagi masyarakat adat Bali di Provinsi Bali saja dan masyarakat Desa Wia-Wia belum mengakui keputusan tersebut.
Peran Notaris dalam pembagian waris sangatlah penting untuk membantu masyarakat adat Bali dalam mendapatkan kepastian serta perlindungan hukum. Sebagai
perbandingan peran Notaris di Republik Makedonia Utara sangatlah sentral dan penting dalam penetapan waris pewarisan. Prosedur pewarisan yang dilakukan oleh Notaris selaku wali amanat dimulai setelah perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan yang berwenang mempercayakan prosedur ini kepada Notaris, dalam waktu delapan hari sejak kasusnya terdaftar di pengadilan. Notaris selanjutnya memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan dan mengambil keputusan dalam prosedur pewarisan, dengan memperhatikan hukum yang berlaku. Dalam menetapkan ahli waris serta bagiannya, Notaris harus memperhatikan hukum yang berlaku. Namun para ahli waris juga dapat mengusulkan ke Notaris untuk menentukan sendiri tentang cara pembagian serta hak ahli waris berdasarkan kesepakatan, selama hal itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Di Republik Makedonia Utara hal ini diatur dalam Undang-Undang Prosedur Non-Contentious.39 Lalu bagaimana peran Notaris di Indonesia, dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum, hal itu karena Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan waris.
Ketika Notaris membuat akta, maka akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum, karena akta tersebut dapat dijadikan sebagai bukti yang sah di pengadilan. Hal ini disebabkan karena akta otentik memiliki kemampuan untuk membuktikan secara lahiriah, materiil dan formal.40 Notaris telah memperoleh kepercayaan yang besar dari masyarakat dan lembaga pemerintahan seperti Kantor Pertanahan melalui akta waris yang dibuatnya. Akta tersebut memungkinkan identifikasi ahli waris dari almarhum sehingga memungkinkan mereka untuk menerima harta tidak bergerak sebagai warisan. Kemudian Bank yang memiliki simpanan dari almarhum dapat mengetahui siapa yang berhak untuk mengambilnya. Akta waris dapat memberikan keterangan kepada siapapun untuk dapat tahu dengan pasti, siapa yang mempunyai hak mewarisi harta peninggalan pewaris.41
Menurut bapak I Wayan Putra Santika walaupun di masyarakat hukum adat sangat kuat tetapi dalam menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap ahli waris, pembagian waris perlu dibuatkannya akta waris dihadapan Notaris, hal ini dilakukan agar terhindar dari sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari. Tidak menutup kemungkinan dikemudian hari setelah waris itu dibagikan akan terjadi permasalahan di antara para ahli waris. Sehingga apabila hal itu terjadi dapat diselesaikan dengan akta waris yang merupakan bukti telah dilaksanakan pembagian waris dan telah disepakati oleh para ahli waris. Sehingga hal tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi.42
Notaris ialah seorang pejabat publik yang mendapat otoritas umum dari undang-undang untuk membuat suatu akta otentik. Pejabat lain mempunyai wewenang serupa,
tidak mempunyai wewenang seluas Notaris. Kewenangan dari pejabat lain hanyalah sebatas kewenangan tertentu saja, seperti akta otentik oleh Pegawai Dukcapil. Sehingga apabila ada dalam Undang-Undang diatur mengenai perbuatan hukum seseorang harus dibuat dalam bentuk akta otentik, maka hanya dapat dilakukan oleh Notaris. Terkecuali diatur dalam Undang-Undang bahwa selain Notaris, pejabat umum lain juga memiliki kewenangan atau hanya dia yang berwenang. Notaris dalam dalam kewenangannya membuat akta terhadap semua perjanjian, perbuatan dan penetapan haruslah berdasarkan peraturan yang berlaku atau yang memiliki kepentingan untuk itu.43
Pembuatan akta waris oleh Notaris hanya sebatas menuangkan keterangan atau kehendak para pihak yang menghadapnya serta meminta untuk dibuatkan akta waris oleh Notaris dan juga Notaris melaksanakan pengecekan ke Daftar Pusat Wasiat Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal itu untuk memastikan apakah pewaris meninggalkan wasiat sehingga dapat mempengaruhi akta waris yang dibuat oleh Notaris.44 Peran Notaris dalam memberi kepastian serta perlindungan hukum terhadap masyarakat adat Bali sangatlah dibutuhkan. Kepercayaan masyarakat terhadap akta yang dibuat oleh Notaris menjadikan Notaris sebagai tujuan masyarakat untuk menuangkan kehendak mereka mengenai pewarisan berdasarkan hukum waris adat Bali yang mereka percayai. Sudah seharusnya Notaris yang merupakan pejabat umum dapat melayani setiap masyarakat yang membutuhkan jasanya untuk menuangkan kehendak mereka ke dalam suatu akta otentik, guna mendapatkan kepastian serta perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka.
-
4. Kesimpulan
Sistem pewarisan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia pasca Keputusan MUDP Bali, masih menganut sistem kepercayaan patrilineal yaitu ahli waris diberikan kepada anak purusa (laki-laki) dan anak pradana (wanita) tidak mendapatkan waris. Namun orang tua dapat membekali anak wanitanya dengan pendidikan atau uang asalkan pemberian tersebut bukan berasal dari harta pusaka. Akan tetapi pemberian tersebut tidak dipaksakan tergantung kemampuan ekonomi dan keikhlasan dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan Keputusan MUDP Bali yang mengatur bahwa wanita dapat mewaris tidak serta merta mengikat masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia, sebelum keputusan tersebut disepakati keberlakuannya dan/atau dituangkan ke dalam bentuk hukum adat yang tercatat di lingkungan masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia. Berdasarkan hal tersebut, maka Keputusan MUDP Bali tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum oleh Notaris di dalam pembuatan akta waris bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia. Dengan demikian, peran Notaris dalam pembuatan akta waris bagi masyarakat adat Bali di Desa Wia-Wia adalah terbatas pada tindakan menuangkan kehendak masyarakat Adat Bali di Desa Wia-Wia yang menghadapnya dengan turut mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat Bali yang masih dianutnya hingga saat ini.
Daftar Pustaka
Jurnal
Al-Haolandi, S. Q., & Sukarmi, S. (2018). Peran Notaris Dalam Pembagian Waris
Berdasarkan Hak Waris Barat Dengan Peran Pengadilan Agama Dalam Pembagian Waris Berdasarkan Hak Waris Islam. Jurnal Akta, 5(1), 117.
https://doi.org/10.30659/akta.v5i1.2539
Amitasari, N., Prawitasari, M., & Akmal, H. (2021). Potret Kehidupan Masyarakat Transmigran Bali di Desa Sumber Makmur Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu. Prabayaksa: Journal of History Education, 1(1), 1.
https://doi.org/10.20527/prb.v1i1.3086
Ariani, N. K. R., & Sudiana, A. A. Kt. (2022). Kedudukan Ahli Waris Dalam Hak Milik Atas Tanah Warisan Dari Perspektif Hukum Adat Bali. Jurnal Hukum Mahasiswa, 2(2), 521–534. https://doi.org/10.36733/jhm.vli2
Arta, I. K. K., Sudiatmaka, K., & Artha Windari, R. (2020). Realisasi Keputusan
Pesamuhan Agung III MUDP Bali terhadap Pewarisan Anak Perempuan Bali Aga di Kabupaten Buleleng. Jurnal Komunitas Yustisia, 1(1), 33.
https://doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28658
Atmaji, M. D. N., & Darori, M. I. (2022). Peranan Notaris Terhadap Perjanjian Waris Yang Dibuat Berdasarkan Hukum Adat. Prosiding Seminar Nasional Program Doktor Ilmu Hukum, 60–73.
Barlian, A. E. A. (2016). Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Hierarki Perundang-Undangan Dalam Perspektif Politik Hukum. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(4), 605–622.
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v10no4.801
Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen
Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20–33.
https://doi.org/10.14710/gk.2020.7504
Burhanudin, A. A. (2021). Eksistensi Hukum Adat di Era Modernisasi. Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, 2(4), 96-113.
Dewi, N. K. P., Budiartha, I. N. P., & Ujianti, N. M. P. (2021). Keabsahan Surat Keterangan Hak Mewaris yang dibuat oleh Notaris. Jurnal Analogi Hukum, 3(3), 272–276. https://doi.org/10.22225/ah.3.3.2021.272-276
Jordi, W., Lahae, K., & Susyanti, S. (2022). Kedudukan Anak Perempuan Sebagai Anak Tunggal Dalam Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Adat Bali ( The Position Of Daughter As The Only Children In The Inheritance System In Balinese Society ). Jurnal Ilmiah Advokasi, 10(1), 52–66. https://doi.org/10.36987/jiad.v10i1.2270
Maheresty A.S, R., Aprilianti, & Kasmawati. (2018). Hak Anak Perempuan Dalam Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Adat Bali (Studi di Banjar Tengah Sidorejo
Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur). Pactum Law Journal, 1(2), 137–144.
Mahresi, D. S., & Khisni, A. (2018). The Comparison of Adopted-Children and Biological-Children in Inheritance According to “Mbaham” Tribe The Customary Law and Islamic Law of as Well as The Role of The Notary in The Making of Inheritance Agreement. Jurnal Akta, 5(3), 591. https://doi.org/10.30659/akta.v5i3.3171
Manangin, M. S. A., Nurmala, L. D., & Martam, N. K. (2020). Pengalihan Atas Harta Warisan Di Indonesia. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 16(2), 177–189.
https://doi.org/10.30996/dih.v16i2.3345
Nurhidayat, F., Prasetyo, M. F. D., & Rahima, D. (2022). Perkembangan Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan Beda Kasta Pada Adat Bali. Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial, 1(3), 224–231. https://doi.org/10.55606/jhpis.v1i3.923
Pramono, D. (2015). Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(3), 248–258.
Pratiwi, N. P. I., Sudibya, D. G., & Karma, N. M. S. (2021). Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010). Jurnal Analogi Hukum, 3(1), 116–121. https://doi.org/10.22225/ah.3.1.2021.116-121
Putra, G. W. A., Ardhya, S. N., & Sudiatmaka, K. (2021). Implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Nomor: 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 Terhadap Pewarisan Wanita Hindu Bali (Studi Kasus Desa Adat Jinengdalem). Jurnal Komunitas Yustisia, 4(2), 473–480.
https://doi.org/10.23887/jatayu.v4i2.38112
Rahman, A. (2023). Nyentana: Sistem Perkawinan Suku Bali Di Desa Uraso Kecamatan Mappedeceng Kabupaten Luwu Utara. Jurnal Pendidikan Dasar dan Sosial Humaniora, 2(4), 519-528.
Rata, K. D. (2021). Kedudukan Dan Hak Mewaris Anak Dari Anak Angkat Seorang Pradana Dalam Hukum Waris Adat Bali. Acta Comitas, 5(3), 611.
https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i03.p15
Saliu, X., & Fjolla Ismaili, K. (2022). Inheritance and the Role of Notaries in Inheritance Procedure in the Republic of North Macedonia. European Journal of Social Science Education and Research, 9(2), 50. https://doi.org/10.26417/556liz78
Senoaji, G. (2010). Dinamika sosial dan budaya masyarakat baduy dalam mengelola hutan dan lingkungan. Bumi Lestari, 10(2).
Sholahudin, U. (2017). Pendekatan Sosiologi Hukum Dalam Memahami Konflik Agraria. DIMENSI-Journal of Sociology, 10(2). https://doi.org/10.21107/djs.v10i2.3759
Subekti, M. R., Wibowo, D. C., & Triani, S. (2021). Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Tema 2 Selalu Berhemat Energi dan Subtema 1 Sumber Energi Pada Siswa Kelas IV SD Negeri
23 Menyumbung Sintang Tahun Ajaran 2019/2020. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 4(1), 39-48.
Sudradjat, D. D. (2020). Pembuatan Akta/Surat Keterangan Waris Oleh Notaris Bagi Masyarakat Adat Bali. Veritas et Justitia, 6(2), 450–475.
https://doi.org/10.25123/vej.v6i2.3796
Suhaimi. (2018). Problem Hukum Dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum Normatif. Jurnal Yustitia, 19(2), 203–210. http://dx.doi.org/10.53712/yustitia.v19i2.477
Sukerti, N. N. (2011). Perkembangan Hak Perempuan Di Bidang Waris Dalam Hukum Adat Bali. Masalah-Masalah Hukum, 40(1), 86–92.
https://doi.org/10.14710/mmh.40.1.2011.86-92
Susanta, Y. K. (2019). Sentana Rajeg Dan Nilai Anak Laki-Laki Bagi Komunitas Bali Diaspora Di Kabupaten Konawe. Harmoni, 18(1), 504–518.
https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.336
Thontowi, J. (2015). Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya. Pandecta: Research Law Journal, 10(1). https://doi.org/10.15294/pandecta.v10i1.4190.
Utami, A., Astuti, P., & Turtiantoro. (2014). Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga Dan Suku Lampung Desa Agom Kabupaten Lampung Selatan). Journal of Politic and Government Studies, 3(2), 126–135.
Warsana, I. M. (2021). Implikasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 6(2), 362-370. https://doi.org/10.17977/um019v6i2p362-370
Wijayanti, A., Madion, B., & Tira, A. (2022). Analisis Sosio-Yuridis Terhadap Hak Mewaris Perempuan Menurut Hukum Bali. Clavia, 20(2), 157–169.
https://doi.org/10.56326/clavia.v20i2.1578
Wintari, M. E., & Suparta, G. A. (2022). Sistem Kewarisan: Hak Wanita Dalam Hukum Adat Bali. Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu, 6(1), 67.
https://doi.org/10.55115/pariksa.v6i1.2241
Yanthi, G. A. D. I., Budiartha, I. N. P., & Sukadana, I. K. (2021). Keberadaan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 di Desa Adat Lambing. Jurnal Interpretasi Hukum, 2(1), 37–42.
https://doi.org/10.22225/juinhum.2.1.3110.37-42
Zazili, A. (2016). Pengakuan Negara Terhadap Hak-Hak Politik (Right To Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No.47-81/PHPU.A-VII/2009), Jurnal Konstitusi, 9(1) 135. https://doi.org/10.31078/jk916.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4)
Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor: 01/KEP/PSM3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
284
Discussion and feedback