PERSEPSI PELAKU USAHA (COFFEE SHOP) TERHADAP KEBIJAKAN PEMBATASAN KEGIATAN MASYARAKAT DI KOTA DENPASAR
on
Arc. Com. Health • agustus 2022
p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620
Vol. 9 No. 2: 251 - 270
PERSEPSI PELAKU USAHA (COFFEE SHOP) TERHADAP KEBIJAKAN PEMBATASAN KEGIATAN MASYARAKAT DI KOTA DENPASAR
Kadek Dwi Widyantari Utami1, Ni Komang Ekawati1*
1Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jalan P.B. Sudirman Denpasar, Bali, 80232
ABSTRAK
Pelanggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga saat ini masih terjadi. Banyak Coffee Shop tidak mengindahkan kebijakan PPKM sehingga berisiko meningkatkan penyebaran Covid-19. Tujuan penelitian untuk mengetahui persepsi pelaku usaha (Coffee Shop) terhadap PPKM di Kota Denpasar. Desain penelitian yaitu deskriptif kualitatif. Informan penelitian yaitu tujuh orang pelaku usaha (Coffee Shop) di mal dan luar mal di Kota Denpasar. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara mendalam dan observasi. Teknik analisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian yaitu pelaku usaha mempersepsikan Coffee Shop tidak rentan menjadi kluster Covid-19 dikarenakan sudah menerapkan pola hidup sehat dan protokol kesehatan. Persepsi manfaat, pelaksanaan PPKM tidak memberikan manfaat dari segi profit melainkan dari segi perilaku kesehatan masyarakat. Persepsi hambatan pelaksanaan PPKM lebih banyak dirasakan oleh Coffee Shop yang berdiri sendiri bukan di mal yaitu tidak adanya sosialisasi kebijakan secara langsung. Adapun dorongan dari pelaku usaha menerapkan PPKM yaitu mempertahankan keberlangsungan usaha dan membangun images positif. Penerapan PPKM di mal lebih baik daripada di luar mal karena sosialisasi dan monitoring langsung yang diberikan oleh pihak mal. Bagi dinas terkait agar melakukan sosialisasi terkait Covid-19 serta urgensi kebijakan PPKM dalam upaya kolaborasi penanggulangan Covid-19. Bagi pihak mal atau desa adat terkait agar melakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan PPKM.
Kata Kunci: Covid-19, Coffee Shop, Persepsi, PPKM, Health Belief Model
ABSTRACT
Violations of the Implementation of Community Activity Restrictions (PPKM) are still happening. Many Coffee Shops do not heed the PPKM policy so they risk increasing the spread of Covid-19. The purpose of the study was to determine the perception of business actors (Coffee Shop) on PPKM in Denpasar City. The research design is descriptive qualitative. Research informants are seven business people (Coffee Shop) in malls and outside malls in Denpasar City. Data collection techniques are in-depth interviews and observation. The analysis technique uses thematic analysis. The results of the study are that business actors perceive that Coffee Shops are not vulnerable to being a Covid-19 cluster [u1] because they have implemented a healthy lifestyle and health protocols. Perceived benefits, the implementation of PPKM does not provide benefits in terms of profit but in terms of public health behavior. The perception of barriers to implementing PPKM is felt more by coffee shops that stand alone, not in malls, namely the absence of direct policy socialization. The encouragement from business actors to implement PPKM is to maintain business continuity and build positive images. The implementation of PPKM in malls is better than outside malls because of socialization and direct monitoring provided by the mall. Relevant agencies are required to carry out socialization related to Covid-19 and the urgency of PPKM policies in collaborative efforts to overcome Covid-19. For the relevant mall or traditional village to carry out monitoring and evaluation related to the implementation of PPKM.
Key Words: Covid-19, Coffee Shop, Perception, PPKM, Health Belief Model
PENDAHULUAN
Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-Cov 2 dan menyerang saluran pernafasan. Penyebaran virus sangat mudah dan cepat
sehingga terus terjadi peningkatan kasus positif. Covid-19 sudah ditetapkan sebagai penyakit yang darurat per tanggal 31 Maret 2021 ditandai dengan penandatanganan Keppres No 11 tahun
2020 mengenai Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh Presiden.
Covid-19 telah berdampak terhadap seluruh negara di dunia dan telah mengancam seluruh aspek kehidupan terutama kesehatan dan ekonomi. Dalam menanggulangi Covid-19, pemerintah pun menerapkan berbagai upaya atau kebijakan salah satunya kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Upaya Penanganan Covid-19 tertanggal 31 Maret 2020. Kebijakan PSBB ini dilakukan untuk memutus rantai penularan Covid-19 dengan membatasi aktivitas masyarakat di rumah saja.
Hingga memasuki bulan Januari 2021, pemerintah pusat semakin memperketat protokol kesehatan khusunya di daerah Jawa-Bali pada 11-25 januari 2021. Kebijakan ini bukan lagi dinamakan PSBB melainkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Istilah ini sesuai dengan yang tercantum dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2021 yang ditujukan untuk kepala daerah di sebagian daerah Jawa-Bali. Tujuan dari diterapkannya pembatasan kegiatan ini yaitu untuk membatasi kegiatan tertentu dan mobilitas setiap orang dalam rangka penanganan Covid-19, antisipasi penyebaran Covid-19, dan menangani dampak sosial atau ekonomi dalam masa pandemi.
PPKM dilaksanakan secara bertahap, namun pada pelaksanaan masih
belum menunjukan hasil yang besar dan belum terlihat secara signifikan penurunan kasus positif Covid-19 akibat masih adanya pelanggaran oleh masyarakat. Pada berbagai media pun memuat berita pelanggaran kebijakan PPKM ini, mulai dari pelanggaran protokol kesehatan, pelanggaran jam operasional tempat usaha, serta masih banyaknya kegiatan yang menciptakan kerumunan (Prasetia, 2020).
Keberhasilan kebijakan PPKM di suatu wilayah tidaklah mudah apabila tidak melibatkan berbagai unsur masyarakat termasuk pelaku usaha, perkantoran, maupun pusat perbelanjaan. Dalam hal ini, khususnya pelaku usaha UMKM sebagai pelaku utama dalam ekonomi dan pilar perekonomian bangsa pun harus disiplin dan ikut memastikan bahwa kesehatan menjadi prioritas utama dalam menjalankan usaha dalam kondisi saat ini. Disisi lain dikalangan pelaku usaha muncul pro dan kontra terhadap pemberlakuan kebijakan PPKM ini. Ada yang beranggapan bahwa PPKM disebut dapat meredupkan sektor ekonomi. Adanya pembatasan jam operasional dan kapasitas yang berlaku membuat beberapa pusat perekonomian menutup usahanya (Haikal, 2020). Kesadaran dan kerja sama dari pelaku usaha dan pemerintah akan mendukung keberhasilan PPKM.
Salah satu trend usaha UMKM yang berkembang saat ini yaitu Kedai Kopi atau Coffee Shop. Menurut riset independen Toffin, hingga tahun 2019 terdapat sebanyak lebih dari 2.950 gerai yang mencakup gerai-gerai berjaringan di kota-kota besar di Indonesia. Angka tersebut meningkat hampir 3 kali lipat
dibandingkan tahun 2016. Perkembangan Coffee Shop yang pesat hingga saat ini mengancam penyebaran Covid-19 yang semakin luas. Coffee Shop yang erat kaitannya dengan budaya berkumpul masyarakat dapat menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 (Haikal, 2020). Seperti yang dilansir cnbcindonesia.com, di Korea Selatan, Coffee Shop starbucks sempat diberitakan menjadi sarang infeksi dan kluster baru akibat salah satu pengunjung wanita positif Covid-19 dan tidak mengenakan masker. Wanita ini berhasil menulari lebih dari 30 pelanggan lain yang juga tidak mengenakan masker.
Di Bali, Coffee Shop banyak menjamur di beberapa wilayah salah satunya Kota Denpasar. Sedangkan, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali hingga tanggal 17 Agustus 2021, Denpasar memiliki angka kasus positif tertinggi di Bali yaitu sebanyak 33.253 kasus dengan 4.249 masih dalam perawatan, 28.371 sembuh, dan 663 meninggal dunia. Sebagai wilayah dengan struktur masyarakat heterogen dan mobilitas yang cukup tinggi, kondisi ini semakin memperbesar potensi penyebaran Covid-19 di Denpasar (Prasetia, 2020).
Kota Denpasar juga menerapkan PPKM dan diawal penerapannya ditemukan beberapa kendala mengingat kepatuhan masyarakat terhadap regulasi ini dirasa masih sangat minim. Kondisi ini juga diperkirakan karena adanya desakan ekonomi yang mendorong masyarakat mengabaikan protokol kesehatan (Prasetia, 2020). Menurut penelitian Pujaningsih (2020) di Kota Denpasar, walaupun telah dilakukan pengawasan
pembatasan kegiatan masyarakat yang intensif dan ketat masih terdapat pedagang atau pelaku usaha yang sembunyi-sembunyi tetap buka lebih dari jam operasional yang berlaku dan menimbulkan kerumunan sehingga selain pengawasan dari petugas diperlukan kesadaran dari masyarakat terutama pelaku usaha agar mematuhi kebijakan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana persepsi pelaku usaha (Coffee Shop) terhadap kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Kota Denpasar.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Informan dalam penelitian ini yaitu pemilik dan manager operasional usaha Coffee Shop di Kota Denpasar berjumlah tujuh orang yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Informan dipilih berdasarkan kriteria inklusi yaitu Coffee Shop yang masih beroperasi selama pandemi Covid-19, menyediakan layanan dine-in dengan kapasitas minimal 25 orang, berada di mal atau berdiri sendiri dan memiliki acara entertain rutin khususnya bagi Coffee Shop yang berdiri sendiri.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur dibantu pedoman wawancara yang telah disusun serta penyusunan transkrip wawancara dan observasi. Dalam proses wawancara yang dilakukan dengan tatap muka, peneliti juga menggunakan alat berupa tape recorder dan selama wawancara berlangsung tetap menerapkan protokol kesehatan
pencegahan Covid-19 yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan menggunakan sabun pada air mengalir. Durasi wawancara masing-masing informan kurang lebih selama 20 menit dan dilakukan pada tujuh orang pemilik Coffee Shop di Kota Denpasar yang telah memenuhi kriteria inklusi informan penelitian.
Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi terselubung agar objek dapat bersikap natural sesuai yang sebenarnya. Peneliti melakukan observasi terselubung dengan pengamatan di Coffee Shop kurang lebih selama satu hingga dua jam, yang dilakukan beberapa hari sebelum wawancara berlangsung dengan melihat suasana Coffee Shop, ketersediaan dan pelaksanaan protokol kesehatan di Coffee Shop seperti menggunakan masker, mencuci tangan, pengaturan jarak kursi, termasuk juga respon pelaku usaha apabila terjadi pelanggaran protokol kesehatan oleh pelanggan.
Analisis data penelitian ini dilakukan secara manual dengan menggunakan analisis tematik. Tahapan analisis data mencakup (1) Pengumpulan data; peneliti mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi, menggabungkan data, membaca dan membaca kembali hasil yang diperoleh. (2) Reduksi data; peneliti menyusun data menjadi transkrip wawancara dan melakukan koding. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebanyak 20 open coding yang selanjutnya dikelompokan menjadi 10 kategori sehingga terbentuk 2 tema utama penelitian. (3) Penyajian data; data disajikan dalam bentuk bagan,
gambar, dan teks atau narasi sehingga data yang telah diperoleh mudah dipahami dan (4) Penarikan kesimpulan atau verifikasi; peneliti membuat kesimpulan yang didukung dengan bukti pada tahap pengumpulan data. Kegiatan ini adalah kegiatan penafsiran terhadap hasil analisis dan interpretasi data.
Strategi validasi data yang digunakan yaitu triangulasi sumber data dan metode, serta peer debriefing. Triangulasi Sumber dilakukan untuk membandingkan keadaan dan pandangan Coffee Shop yang berdiri di mal serta yang berdiri sendiri. Triangulasi Metode, yaitu dilakukan dengan mengecek kembali hasil wawancara mendalam dengan observasi yang didapatkan peneliti dari hasil pengamatan langsung sebelum wawancara berlangsung. Peer debriefing dilakukan untuk mendapatkan kritik, saran maupun petanyaan dari orang yang tidak terlibat dalam penelitian ini, agar pandangannya lebih netral dan objek. Dalam penelitian ini, orang yang akan dimintai kritik, saran maupun pertanyaan oleh peneliti adalah dosen pembimbing dari peneliti sendiri. Dengan cara membicarakan hasil sementara atau hasil akhir yang didapatkan dalam bentuk deskriptif dengan dosen pembimbing termasuk dalam penyusunan ijin dan etik penelitian.
HASIL
Karakteristik Lokasi Penelitian
Kota Denpasar memiliki luas wilayah sebesar 127,78 km2 atau sebesar 2,18% dari luas keseluruhan Pulau Bali, terletak pada posisi 08°35’31” sampai 08°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23”
sampai 115°16’27” Bujur Timur dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Kota Denpasar adalah ibukota Provinsi Bali dan menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri, dan pusat pariwisata. Batas wilayah Kota Denpasar bagian utara, selatan, dan barat berbatasan dengan kabupaten Badung, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar.
Secara administrasi Kota Denpasar terdiri dari 4 wilayah kecamatan yaitu Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Barat, dan Denpasar Selatan dengan total 43 desa/kelurahan yang terdiri dari 27 desa dan 16 kelurahan.
Tabel 1. Luas Wilayah Kota Denpasar Per-Kecamatan Tahun 2019
No |
Kecamatan |
Luas (km2) |
1 |
Denpasar Utara |
31.42 |
2 |
Denpasar Barat |
24.06 |
3 |
Denpasar Timur |
22.31 |
4 |
Denpasar Selatan |
49.99 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota
Denpasar, 2019
Selain itu, Badan Pusat Statistik juga mendata bahwa Kota Denpasar memiliki total 604 Restoran dan Rumah Makan pada tahun 2012-2020. Jumlah tersebut merupakan peringkat ketiga setelah Kabupaten Gianyar dengan 952 gerai dan Kabupaten Badung dengan 823 gerai.
Disisi lain, per tanggal 17 Agustus 2021, Denpasar memiliki angka kasus positif tertinggi di Bali yaitu sebanyak 33.253 kasus dengan 4.249 masih dalam perawatan, 28.371 sembuh, dan 663 meninggal dunia.
Karakteristik Informan
Dalam penelitian ini terdapat tujuh Coffee Shop yang bersedia untuk menjadi informan dan diwawancarai. Keseluruhan informan membuka usaha Coffee Shop di wilayah Kota Denpasar yang beroperasi saat pandemi. Coffee Shop yang diteliti terdiri dari Coffee Shop yang berdiri sendiri dan beberapa Coffee Shop beroperasi di dalam mal atau pusat perbelanjaan.
Berikut adalah karakteristik informan penelitian yang disusun dalam bentuk tabel.
Tabel 2. Karakteristik Informan
No |
Kode Informan |
Usia |
Jenis Kelamin |
Lokasi |
Nama Coffee Shop |
Menu yang dijual |
Entertain Musik |
1. |
I-01 |
26 Tahun |
Laki-Laki |
Denpasar Timur |
LC |
Minuman Coffee, non alcohol, dan makanan ringan |
Ada |
2. |
I-02 |
43 tahun |
Perempuan |
Denpasar Barat |
SkC |
Minuman Coffee, non alcohol, dan makanan ringan |
Ada |
3. |
I-03 |
25 Tahun |
Laki-Laki |
Denpasar Utara |
TN |
Minuman Coffee, non alcohol, dan makanan ringan |
Ada |
4. |
I-04 |
51 Tahun |
Laki-Laki |
Denpasar Timur |
KS |
Minuman Coffee, non alcohol, makanan ringan, dan makanan berat |
Ada |
5. |
I-05 |
21 Tahun |
Laki-laki |
Denpasar Timur |
SjC |
Minuman Coffe, non alcohol, dan makanan ringan |
Ada |
6. |
I-06 |
30 Tahun |
Laki-Laki |
Mal (Denpasar Barat) |
SC |
Minuman Coffe, non alcohol, dan makanan ringan |
Tidak |
7. |
I-07 |
25 Tahun |
Laki-Laki |
Mal (Denpasar Selatan) |
JJ |
Minuman Coffe, non alcohol, dan makanan ringan |
Tidak |
Berdasarkan tabel diatas, informan terdiri dari tujuh orang yang dimana satu orang berjenis kelamin perempuan dan enam orang berjenis kelamin laki-laki dengan usia informan tertera pada tabel. Informan sebagian besar merupakan pemilik Coffee Shop. Pada penelitian ini informan yang dipilih yaitu lima orang pemilik Coffee Shop yang berdiri sendiri dan dua orang manager operasional Coffee Shop yang berada di mal atau pusat perbelanjaan.
Gambaran Implementasi Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Pelaksanaan PPKM di Indonesia dilakukan secara bertahap dengan adanya perubahan perubahan beberapa poin kebijakan pembatasan yang memengaruhi keberlangsungan UMKM yang berdiri sendiri maupun berdiri di mal. Dalam menerapkan PPKM, seluruh pihak khususnya pelaku usaha (Coffee Shop) harus memahami definisi dari PPKM. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan pemahaman informan tentang kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang berlaku di Kota Denpasar yaitu PPKM adalah kebijakan yang merupakan kewajiban pemerintah untuk menanggulangi Covid-19 dan wajib diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan pernyataan.
“….PPKM itu efek dari berkembangnya situasi pandemi, PPKM ini kewajiban pemerintah untuk mengatur, membatasi masyarakat dengan aturan yang ada” (I-04)
“…PPKM ya kebijakan pemerintah, pembatasan masyarakat yang wajib diikuti dan
berdampak terutama usaha kecil menengah” (I-07) (I-06)
Selain itu, informan lainnya menyatakan bahwa PPKM adalah pembatasan gerak masyarakat yang meliputi pengaturan jarak kursi, pembatasan keramaian dan jam operasional, serta penerapan protokol kesehatan yang ketat dalam usaha sesuai dengan pernyataan.
“…Kebijakan PPKM untuk pembatasan gerak, pemerintah membatasi gerak masyarakat, tidak hanya kegiatan tapi ekonomi / jual beli yang berhubungan dengan pertemuan. Di awal pastinya adalah jam berapa boelh buka jam berapa tutup itu yang jadi pertanyaan waktu itu” (I-02)
“…Kebijakan PPKM kan sebenernya keberlanjutannya di jam operasional yang saya rasakan, jam 9 malam, 8 malam, 10 malem, sempat jam 10 tp dine in jam 8 batasnya, pembatasan waktu ya pastinya supaya gak nyebar corona nya lagi, tapi pengaruh banget sama penjualan” (I-03)
“…PPKM itu keramainannya dibatasi, berlaku jarak antar kursi, jam operasional dikurangi, dan protokol kesehatan” (I-05) (I-01)
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman informan tentang PPKM secara umum yaitu suatu kebijakan pemerintah yang wajib diikuti dan meliputi beberapa aturan seperti pembatasan jarak dan jam operasional, serta penerapan protokol kesehatan. Dalam hal pemahaman terhadap PPKM, informan Coffee Shop yang ada di mal menyatakan PPKM ini adalah suatu upaya yang baik untuk
menanggulangi Covid-19 dan wajib untuk diikuti. Sedangkan, bagi informan Coffee Shop yang berdiri sendiri lebih menekankan pada pengaturan jam operasional karena dinilai paling berpengaruh terhadap penurunan penghasilan dalam usaha.
Informasi terkait kebijakan PPKM didapatkan oleh informan melalui beberapa sumber, terkhusus untuk Coffee Shop di mal informasi didapatkan dengan sosialisasi langsung pihak mal maupun melalui memo kepada seluruh outlet di mal. Seperti pernyataan informan berikut.
“…Disini ikut instruksi pihak mal, biasanya diinfokan via memo atau langsung, kalau saya lihat pelaksanaan di mal ini baik ya, pengunjung sangat kooperatif menjalankan prokes” (I-06) (I-07)
Beda halnya dengan informan Coffee Shop berdiri sendiri yang mendapatkan informasi melalui surat himbauan. Surat himbauan tersebut diberikan langsung oleh petugas atau desa adat sebagai pembuat kebijakan local. Pemilik usaha harus mengikuti sesuai surat himbauan tersebut. Menurut informan selain surat himbauan, tidak ada sosialisasi yang jelas sebelumnya terkait aturan tersebut, sesuai dengan pernyataan berikut.
“…Pelaksanaannya ya kita ikutin sesuai surat, jam 8 sempet, 9, jam 10. Tidak ada sosialisasi sebelumnya, dan melihat tempat atau toko disekitar buka tutup seperti biasa, akhirnya kami buka sampai jam 11. Awal awal pasti ada surat dari pecalang, himbauan dari satgas, terakhir sudah tidak ada” (I-01)
“…Biasanya dikasi surat tapi lama sampe nya, alurnya dari pusat, provinsi, kota,
desa, baru banjar. Terakhir beberapa bulan lalu ga ada surat lagi yang biasa dikasi sama pecalang atau kelian” (I-03)
Selain itu, ditemukan pula bahwa tidak semua informan Coffee Shop yang berdiri sendiri mendapatkan surat himbauan dari desa adat bersangkutan.Informan tersebut pun mengakses informasi secara mandiri melalui media sosial serta aktif bertanya kepada kelian atau pihak desa adat terkait. Hal ini diperlukan agar informan tidak ketinggalan informasi terutama terkait aturan PPKM yang berlaku.
“…Untuk info PPKM, tidak ada surat yang diberikan, jadi agar dpt info kita ada iuran banjar, kita ga langsung bayar sebulan, mending per malam bayar sekian untuk update info, kalau kurang jelas langsung WA pak kelian, kalau saya lihat disini pelaku usaha harus aktif menanyakan jam buka, yang boleh atau tidak” (I-02)
“…Kalau kita pastinya jalanin PPKM, biasanya kita diinfokan tidak dengan bersurat, langsung dari kelurahan dan desa adat, mereka datang langsung tapi termasuk telat karena sudah tau sebelumnya dari sosial media. Sebagai pelaku usaha tidak bisa menunggu harus menjemput informasi istilahnya dari segala media” (I-04)
“…Yang kita jalani disini, kita ikutin prosedur kesehatan yang berlaku, HS, masker, cuci tangan kita ikutin, tapi masih susah kontrol itu keramaian, untuk Info PPKM yang datang langsung jarang, biasanya saya cari info di instagram, cari tahu sendiri, tanya temen, owner lain. Kadang dari banjar ga mau infoin dlu, kalau kita melanggar baru datang” (I-05)
Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa akses informasi oleh informan Coffee Shop di mal lebih mudah dan cepat karena adanya sosialisasi langsung oleh pihak mal. Berbeda halnya dengan informan Coffee Shop yang berdiri sendiri, akses informasi berasal dari berbagai sumber yaitu surat himbauan atau media sosial sehingga pelaku usaha dituntut aktif untuk mencari informasi terkait kebijakan saat ini.
Dampak Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat terhadap Operasional Coffee Shop
PPKM dilaksanakan dengan membatasi aktivitas masyarakat termasuk pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini membawa dampak terutama bagi pelaku usaha Coffee Shop. Dampak yang dirasakan khususnya terkait ekonomi yaitu penurunan omzet yang drastis karena daya beli dan kunjungan pelanggan yang berkurang. Seperti penyataan informan berikut.
“…terkait ekonomi jujur berat, bingung harus ngelakuin apa, untuk biaya operasional ada staff, listrik, pajak, dll, jam operasional karyawan tetap dan kasian juga kalau harus potong gaji. Selain itu cash flow customer berubah karena pembatasan jam operasional, daya beli berkurang juga” (I-03) (I-02)
“…PPKM ngaruh banget, awal masih rame, PPKM pertama redup dari keramaian berkurang, omset menurun, ya tapi kita coba usaha promosi di sosial media biar rame, sekarang sudah perlahan baik mungkin karena jenuh di rumah” (I-05)
Dampak tersebut dirasakan bagi Coffee Shop yang berdiri sendiri maupun yang berada di mal. Penurunan sales dan
penjualan ini menjadi dampak yang paling dirasakan khususnya bagi Coffee Shop di mal yang modal nya lebih besar.
“…Kalau saya di mal mungkin sama seperti Coffee Shop lain, sales kita dibawah harapan, agak sulit karena sedikit pengunjung. Saat awal dilonggarkan, trafic masih bagus karena daya beli ada dr konsumen, tp jalan satu dua minggu daya beli menurun drastis sehingga harus memotong pegawai dan ada pembagian shift kerja” (I-06)
“…Awal pandemi mal mati, ga ada pengunjungnya, masyarakat pada takut keluar rumah, sempat longgar saat new normal sales masih cukup tinggi, tapi PPKM saat diperketat sales turun drastis dan cost juga meningkat, sedih karena modal outlet di mal nya juga besar” (I-07)
Dampak lain yang dirasakan yaitu terkait pengaturan jam operasional khususnya bagi informan Coffee Shop yang berdiri sendiri menyebabkan waktu berkunjung pelanggan juga ikut berubah, seperti yang disampaikan informan berikut.
“…PPKM sangat terasa pembatasaannnya apalagi jam operasional nya, jauh berbeda saat belum ada istilah PPKM. Karena anak anak muda biasanya nongkrong diatas jam 8 tapi dipaksa tutup jam 8 ya mau gimana” (I-04)
“…Tentunya customer berkurang, banyak yang takut dan nanya sampai jam berapa buka, trus flow customer juga berubah”( I-01)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan dampak yang dialami oleh informan Coffee Shop yang berdiri sendiri, selain terkait penurunan omzet usaha juga berdampak terhadap flow
customer yang berubah dan berkurang akibat pembatasan jam operasional. Hal ini dikarenakan pelanggan cenderung mengunjungi Coffee Shop terutama yang berdiri sendiri di malam hari berbeda dengan Coffee Shop yang berada di mal. Gambaran Persepsi Pelaku Usaha Coffee Shop terhadap PPKM
Persepsi terhadap kerentanan menjadi kluster Covid-19
Coffee Shop yang identik dengan budaya berkumpul masyarakat dapat menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Dalam hal ini persepsi terkait kerentanan pelaku usaha (Coffee Shop) penting diketahui karena berkaitan dengan perilaku pencegahan yang akan dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara, informan Coffee Shop yang berdiri sendiri tidak merasa rentan tertular atau Coffee Shop nya menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 karena telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam usahanya sesuai aturan PPKM yang berlaku serta keyakinan diri telah menerapkan pola hidup yang baik, seperti yang disampaikan informan berikut.
“…Kalau saya sendiri ga begitu takut, karena selama ini buka, hampir setiap hari ketemu sama orang baru, dan ya baik baik saja, kuncinya makan tidur yang cukup, istirahat, vitamin, ya pola hidup yang dijaga. Disini juga sudah ada tempat cuci tangan, tisu, kadang juga menyemprotkan disinfektan” (I-01)
“…Kalau saya biasa saja ya karena saya concern dengan kebersihan alat, meja, kursi dan kalau customer pada prinsipnya mereka ngumpul, pasti sudah mengamankan diri masing-masing sudah yakin mereka
aman” (I-04)
“...Ya udah lah yang penting pake masker, cuci tangan, kita percaya aja kalau masih aman gitu, kalau tempat lain sama aja sih” (I-02) (I-05)
Sama halnya seperti informan Coffee Shop di mal yang merasa tidak rentan menjadi kluster penyebaran karena sudah mengikuti aturan pemerintah menerapkan protokol kesehatan yang ketat serta didukung pelanggan mal yang kooperatif.
“...Awalnya mungkin iya, tapi selama kami tetap melakukan protokol kesehatan yang ketat, aman saja” (I-06)
“...Dimana aja bisa terjadi, saya percaya sama Covid-19 tetapi tidak terlalu mencekam. Kita ikutin aja sesuai aturan pemerintah pake masker HS, kita sudah jalankan sesuai aturan, trus juga customer disini kooperatif semua” (I-07)
Berdasarkan hasil observasi penelitian didapatkan hasil bahwa Coffee Shop yang menjadi setting penelitian seluruhnya sudah menyediakan sarana cuci tangan, hand sinitizer, masker dan juga menempelkan informasi terkait Covid-19. Akan tetapi beberapa Coffee Shop tidak mengatur jarak antar kursi serta membiarkan pelanggan berkerumun dan duduk berdekatan.
Persepsi terhadap manfaat pelaksanaan PPKM
Dari segi manfaat yang dirasakan, dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek profit dan aspek kesehatan. Seluruh informan menyatakan tidak mendapatkan manfaat dari segi profit usaha. Seluruh informan merasa dirugikan selama masa
pendemi termasuk saat diterapkannya PPKM.
“…Kalau dari sisi bisnis jelas ga ada, mungkin dari sisi keamanan, pegawai kita juga aman, ga pernah sakit karena ga buka terlalu sampe malem orang orang juga lebih aware kesehatan dan lebih waspada” (I-01)
“…Manfaat ga ada, omset turun, cost meningkat, disamping itu tidak ada keringanan terkait operasional juga. Tapi kalau kesehatan mungkin ada” (I-03)
Disisi lain, informan lebih merasakan manfaat PPKM dari segi perilaku kesehatan masyarakat. Masyarakat dirasa menjadi semakin peduli terhadap kesehatan seperti manaati protokol kesehatan untuk memutus rantai penularan Covid-19 dan waktu kerja pegawai juga tidak sampai larut malam sehingga semakin fit dalam bekerja.
“…Ya kalau manfaat mungkin kita nya jadi lebih care dengan kesehatan, protokol kesehatan” (I-05)
Berdasarkan pernyataan tersebut, informan hanya fokus terhadap manfaat jangka pendek yaitu manfaat dari segi profit dan belum sepenuhnya melihat manfaat jangka panjang dari kebijakan ini yaitu penurunan Covid-19.
Persepsi terhadap hambatan dalam pelaksanaan PPKM
Berdasarkan hasil wawancara, beberapa informan terutama Coffee Shop yang berada di mal menyatakan tidak menemui hambatan dibagian operasional usaha dalam melaksanakan atau mematuhi PPKM hanya dampak terhadap operasional yang paling dirasakan.
“...Hambatan tidak ada, lebih ke dampak kepada kita, kita mengikuti aja ,
dampak penurunan customer, peningkatan cost (I-04)
“…Ga ada karena sepi dan kita tetap proaktif untuk pemerintah, karena untuk kebaikan bersama, balik lagi ke kesadaran individu nya utamanya taat protokol”(I-06)
“…Ga adaa kita sah sah ajaa, kita ikutin aja” (I-07)
Beberapa informan lainnya terutama pada Coffee Shop yang berdiri sendiri menyatakan bahwa hambatan dalam pelaksanaan PPKM yang dirasakan datang dari pelanggan yang tidak mengindahkan aturan PPKM seperti tidak menaati protokol kesehatan, tidak memakai masker, tidak menjaga jarak, dan tidak mengikuti jam operasional yang berlaku.
“…Hambatannya mungkin kita ga bisa maksain orang untuk duduk jauh jauhan atau pakai masker terus” (I-01)
Walaupun sudah menegur pelanggar tersebut, teguran dari pelaku usaha kerap tidak direspon baik, beberapa pelaku usaha memilih untuk membiarkan pelanggan agar tidak ada masalah atau berimbas pada perusahaan dikemudian hari.
“…mungkin kalau malam biasanya agak ramai, pengunjung dtg rame2 dominan utk nongkrong bareng temen2, kita kurang bisa kontrol, customer disini cuek ga terlalu ikutin klo ada sidak baru pake masker, jaga jarak, sebenernya dari kita gak risih dan udah coba tegur atau ingetin, “kak pake masker, jaga jarak” ada yang ngerti dengerin mau, ada juga yang tetep aja, aku diemin aja ga mungkin juga untuk ngusir” (I-05)
“…Kalau melanggar, kita kasi tau
pake masker, jangan berkerumun, kalau tidak mau tidak apa, bagi saya yang penting ga cari masalah, siapa yang pingin dibatasi, imbas jelek ke perusahaan” (I-03)
Ada pula pelaku usaha yang ikut melibatkan orang lain dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam hal ini kelian adat atau babinsa seperti pernyataan salah satu informan berikut.
“…Hambatan balik ke customer, ada yang sudah tutup tapi masih duduk, kita himbau pulang ga mau, pernah sampai di cari babinsa karena sempat penuh banget, sampai saya telepon kelian adat , akhirnya babinsa yang datang.” (I-03)
Berbeda hal nya dengan Coffee Shop yang berada di mal yang jumlah pelanggaran cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan Coffee Shop yang berdriri sendiri, Coffee Shop di mal akan bersikap tegas terhadap pelanggan yang melanggar.
“untuk kebaikan konsumen dan kebaikan bersama jika ada yang melanggar tetap dihimbau berkali kali, tp itu dia ada yang mau ada yang tidak ya risiko nya kita kekurangan sales, kita terima” (I-06)
“customer disini kooperatif semua, mungkin ada satu dua yang bandel ya kita tegur tolong saling menjaga karena ada yang pro ada yang kontra kan, kita yang punya tempat kan biar customer lain nyaman juga, trus kalau jam berkunjung orang2 juga tau jam tutup mal jadi ga ada yang stay sampai subuh” (I-07)
Hambatan lain yang dirasakan bagi Coffee Shop yang berdiri sendiri yaitu informasi yang simpang siur, salah satunya diakibatkan oleh akses infomasi dari berbagai arah. Hal ini menyebabkan
ambiguitas karena ditemukan perbedaan antar desa adat yang satu dan lainnya sehingga pelaku usaha tidak dapat memberikan kepastian jam operasional kepada pelanggan, seperti pernyataan berikut.
“…pemerintah ambigu ngasi himbauan, klo larang ya larang aja, kalau stop stop aja kasi peringatan, dan ternyata ada perbedaan jam operasional yang dibolehin antar banjar A dan B, perbedaan jam saat ini riskan jadi kecemburuan sosial antar pelaku usaha itu tinggi” (I-02)
“…PPKM publikasi terlalu mendadak, setidaknya sounding dulu, jangan besok ppkm baru keluar suratnya hari ini. Kasi nilai yang pasti jangan tarik ulur, kita siap untuk kebaikan banyak orang. kalau saya lebih seneng kalau tutup tutup aja, kasi waktu yang tepat kapan boleh buka, saya pelaku bisnis dan masyarakat biasa ngerasain lbh baik ditutup diawal bakal lock down ya udah lockdown tp bener2 sudah ada planning 1 bulan bakal turun jadi brp persen, dr berapa persen dibuka lagi dan normal lagi, daripada sekarang PPKM lagi ilang lagi diperketat, orang bakal bosen” (I-03)
Berdasarkan pernyataan informan dapat dilihat bahwa hambatan dalam pelaksanaan PPKM lebih sedikit dirasakan oleh Coffee Shop yang berada di mal dibandingkan dengan Coffee Shop yang berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan sosialisasi terkait PPKM di mal lebih baik dibandingkan desa adat sehingga akses informasi lebih mudah dan cepat. Selain itu, berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, pelanggan mal lebih kooperatif dan taat prokes jika dibandingkan dengan pelanggan Coffee Shop di luar mal yang
sebagian besar berkerumun serta tidak menggunakan masker.
Dorongan Pelaku Usaha untuk menjalankan PPKM
Dari dampak yang dirasakan, informan tetap melaksanakan PPKM dikarenakan PPKM adalah kebijakan pemerintah dan sebagai pelaku usaha harus mengikuti agar usaha tetap berjalan dan tidak bermasalah seperti pernyataan.
“…Karena mau ga mau, ga bisa bodo amat juga” (I-01)
“…Kalau jujur karena ikutin regulasi pemerintah, agar tidak ada masalah, usaha berjalan dengan baik” (I-02) (I-03) (I-06)
“…Sebenernya harapan kita sama supaya semua cepet kelar, corona ilang, gatau cara apa yang bisa dilakuin, ikutin aja ppkm ini, yang penting bisa sama sama jalan, usaha jalan, peraturan juga tetep jalan, biar cepet kelar” (I-05)
Beberapa informan juga menyatakan PPKM ini dilaksanakan untuk membentuk images yang baik di mata customer seperti pernyataan berikut.
“…Percaya dengan pemerintah, kita dukung kegiatan pemerintah, kita juga ga mau ambil risiko, dapat surat peringatan / pelanggaran seperti beberapa tempat, kita coba mengikuti untuk jaga images di masyarakat, sekarang psikologi masyarakat juga nyari tempat nongkrong yang nyaman aman” (I-04)
“…Ini bagian dari kebijakan, selain itu customer di mal ini juga memberi apresiasi dan kepercayaan lebih juga dengan kami menerapkan prokes disini, kadang kasi tip juga (I-07)
Images positif terhadap usaha dilihat dari kepercayaan pelanggan untuk
datang kembali dan apresiasi salah satunya memberikan reward berupa tip kepada pegawai.
PEMBAHASAN
Perkembangan Coffee Shop kian menjamur dimasyarakat khususnya Denpassar. Hal ini menjadi perhatian dikarenakan Coffee Shop sudah menjadi lifestyle dan identik dengan budaya nongkrong anak muda berisiko menjadi kluster penyebaran Covid-19 (Nurikshan, 2019) Di masa pandemi ini, pemerintah sudah mengupayakan berbagai cara salah satunya menerapkan kebijakan
pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, masih ditemukan pelanggaran
pelanggaran oleh pelaku usaha diberbagai sumber media berita. Pelaku usaha warung, café, angkringan terkesan abai dan tidak mematuhi protokol kesehatan. Persepsi pelaku usaha menjadi salah satu hal yang perlu diteliti lebih lanjut. Persepsi terakit erat dengan frame of experience, yaitu kerangka pengalaman yang dialami serta frame of reference, yaitu kerangka pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, bacaan, dll (Fitharizby, 2020) Gambaran Implementasi Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya, pelaku usaha sudah memahami dan mengetahui aturan aturan yang ditentukan dalam kebijakan PPKM terkait usaha yang dijalankan seperti membatasi kapasitas pengunjung dan jam operasional, mengatur jarak antar kursi,
penyediaan fasilitas cuci tangan, hand sanitizer, serta penerapan protokol kesehatan. Pemahaman tersebut sudah sesuai dengan pengertian PPKM yang merupakan singkatan dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. PPKM adalah kebijakan pemerintah yang mengatur terkait pembatasan masyarakat seperti kegiatan perkantoran, kegiatan belajar mengajar, kegiatan pusat perbelanjaan/mal, restoran (termasuk pengaturan kapasitas dan jam operasional), kegiatan konstruksi, tempat ibadah, kegiatan sosial budaya, transportasi umum, resepsi pernikahan, kegiatan di fasilitas umum, serta pembatasan mobilitas keluar masuk wilayah/ perjalanan domestik, dan pengetatan protokol kesehatan. PPKM ini dilakukan untuk membatasi interaksi, pertemuan, yang diharapkan dapat mengurangi penularan Covid-19 (Inmendagri, 2021)
Aturan tersebut sebagian besar sudah diterapkan oleh pelaku usaha sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti diantaranya sudah tersedianya fasilitas cuci tangan, hand sanitizer, masker, dan lain sebagainya. Akan tetapi beberapa Coffee Shop tidak mengatur jarak antar kursi serta membiarkan pelanggan berkerumun dan duduk berdekatan. Sedangkan, dari sisi akses Informasi terkait PPKM diperoleh pelaku usaha melalui surat himbauan, dan sebagian besar melalui media sosial. Hasil ini sesuai dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa media sosial adalah sumber informasi yang paling sering diakses dalam memperoleh informasi
Covid-19 karena kemudahan akses dan kecepatan informasi yang tersedia (Yunus. 2021)
Pengetahuan menjadi dasar pemahaman dalam menerapkan dan menjalankan perilaku yang baik. Persepsi merupakan pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa, serta kesimpulan terhadap informasi dan menafsirkan pesan. Proses pembentukan persepsi diperoleh dari penerimaan rangsangan berbagai sumber (Idyawati, 2021) Dampak Kebijakan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat terhadap
Operasional Coffee Shop
Dampak yang dirasakan pelaku usaha baik Coffee Shop di mal maupun berdiri sendiri diantaranya mengalami penurunan omzet, penjualan yang turun drastis, serta cost operasional mengalami peningkatan selama pandemi.
Berdasarkan survey lembaga McKinsey yang ditulis oleh Potia & Dahiya (2020) hampir seluruh sektor bisnis yang berkaitan dengan food and beverages terkena dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya PPKM ini, pendapatan bersih kegiatan operasionam dipastikan menurun secara drastis. Menurut Kurniawan (2020) ada sebanyak lima hingga sembilan puluh persen omzet penjualan bisnis kopi menurun baik dari layanan Coffee Shop yang menerima dine-in atau dari outlet.
Banyak upaya yang dilakukan hingga harus mengurangi jumlah karyawan, memotong gaji dan membagi shift kerja, serta untuk tetap eksis selalu berusaha promosi terutama sosial media. Menurut penelitian Rafiah, 2020 terdapat
tiga hal yang dapat menguatkan bisnis kedai kopi sehingga dapat bertahan di masa pandemi yaitu memanfaatkan social media advertising, memperkuat
kolaborasi dengan jasa pengantar dan perusahaan e-money, serta berkolaborasi dengan influencer.
Gambaran Persepsi Pelaku Usaha (Coffee Shop) terhadap PPKM
Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya ditemukan bahwa antara Pelaku Usaha Coffee Shop yang berdiri di mal dan berdiri sendiri memiliki beberapa persamaan persepsi terhadap PPKM. Pelaku usaha sama sama mempersepsikan bahwa Coffee Shop bisa saja menjadi tempat penyebaran Covid-19 tetapi tidak merasa rentan atau khawatir tertular Covid-19. Pelaku usaha pun
mempersepsikan tidak adanya manfaat kebijakan PPKM dari segi profit usaha yang dijalankan, namun terdapat hambatan dan dorongan Coffee Shop dalam menjalankan kebijakan PPKM.
Persepsi terhadap kerentanan menjadi kluster Covid-19
Seluruh informan tidak
menyangkal bahwa bisa saja Coffee Shop miliknya menjadi kluster penyebaran baru. Akan tetapi pelaku usaha tidak merasa rentan tertular Covid-19 dikarenakan menurut mereka selalu menerapkan pola hidup sehat seperti istirahat yang cukup, konsumsi vitamin, dan lain sebagainya. Selain itu penerapan protokol kesehatan dalam usaha juga berperan penting dalam risiko penularan yang semakin kecil.
Persepsi terhadap manfaat pelaksanaan PPKM
Pelaku usaha menyatakan kebijakan PPKM tidak memberikan manfaat bagi bisnis yang dijalankan melainkan memberikan dampak merugikan dari segi profit usaha. Manfaat PPKM yang lebih dirasakan dari segi kesehatan secara umum. Pelaku usaha menyatakan individu atau kelompok menjadi lebih perduli terhadap kesehatan diri dan keluarga. Seperti hasil penelitian yang menyatakan bahwa perilaku masyarakat terhadap kesehatan mengalami perubahan sejak adanya Covid-19. Misalnya masyarakat lebih mejalankan pola hidup sehat dan bersih sebagai hal wajib yang mau tak mau diterapkan terutama terhadap protokol kesehatan (Emayanti, 2020)
Persepsi terhadap hambatan dalam pelaksanaan PPKM
Beberapa pelaku usaha dalam penelitian ini mempersepsikan tidak ada hambatan dalam menjalankan kebijakan PPKM. Beberapa pelaku usaha menyatakan hambatan yang muncul yaitu pada pelanggan atau individu yang mengabaikan protokol kesehatan saat berkumpul di Coffee Shop sesuai dengan penelitian Permadhi (2020) salah satu kendala atau problematika Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Kota Denpasar yaitu kesadaran dan kepatuhan individu, masih ada sebagian masyarakat yang tidak bermasker dan berkerumun terlepas dari gencarnya sosialisasi hingga pemberian tindakan sangsi disiplin oleh petugas. Pelaku usaha sudah berupaya untuk memberikan teguran tetapi tidak direspon baik oleh beberapa pelanggan hingga ikut melibatkan orang lain yang
kedudukannya lebih tinggi seperti kelian adat atau babinsa.
Hambatan lainnya yaitu kesimpang siuran informasi yang diperoleh, tidak adanya sosialisasi secara langsung serta isi kebijakan yang tidak konsisten dan ambigu. Pelaku usaha memerlukan kejelasan dan solusi berupa fasilitas yang dapat pemerintah sediakan selama kebijakan berlangsung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aquarini (2020) bahwa kepatuhan terhadap suatu kebijakan akan meningkat apabila pemerintah mampu memberikan solusi atas kebijakan tersebut, seperti memberikan tunjangan langsung tunai, atau kelonggaran kepada pengusaha agar tetap menjalankan bisnis dengan menjalankan protokol kesehatan.
Disisi lain, ketaatan setiap individu warga masyarakat dipengaruhi dan didorong oleh beberapa hal, yakni pilihan antara tidak peduli atau menyelamatkan diri dengan taat pada protokol kesehatan dengan menjaga jarak antara satu dan yang lainnya (social distancing) serta adanya sanksi hukum yang mengancam. Pendisiplinan yang pada tahap awal hanya berupa himbauan dan anjuran dilanjutkan dengan peringatan dan Presiden pun memerintahkan penegakan hukum untuk mendisiplinkan masyarakat saat pandemi. Setiap warga masyarakat akan taat jika penegakan aturan hukum dilaksanakan secara serius oleh aparat penegak hukum tetapi diimbangi juga dengan upaya tindakan persuasif dengan menanamkan kesadaran warga negara. (Arditama, 2021)
Secara umum terdapat 3
pendekatan dasar untuk melakukan perubahan perilaku yaitu pendekatan enforcement atau pendekatan “paksaan”, pendekatan regulasi yang mengandalkan kekuatan hukum positif dengan berlakunya sanksi bagi pelanggarnya dan petugas penegak pelaksanaan aturan, serta pendekatan education yang memunculkan pemahaman dan kesadaran suatu perilaku perlu dipraktekkan. Pendekatan education menghasilkan perubahan perilaku yang lebih menetap dan berdasarkan kerelaan walaupun prosesnya lebih lama dari 2 strategi lainnya (Aditya, 2013)
Dorongan pelaku usaha untuk menjalankan PPKM
Secara umum dorongan pelaku usaha menjalankan PPKM yaitu harapan agar Covid-19 segera berakhir. Sesuai dengan penelitian Mujani (2020) yang menyatakan bahwa warga bersikap positif pada kebijakan pemerintah dalam bentuk PSBB untuk mencegah semakin luasnya penyebaran Covid-19 di tanah air dengan skor rerata sebesar 2,64 dalam skala 1-3 dari indeks sikap patuh terhadap PSBB, yang berarti secara umum sebagian besar warga setuju dengan kebijakan PSBB tersebut. Selain itu, dorongan lainnya yaitu demi mempertahankan keberlangsungan usahanya. Sanksi terhadap pelanggaran PPKM berupa sanksi administratif, peringatan tertulis, teguran lisan, penutupan sementara, hingga pencabutan izin usaha yang cenderung merugikan pelaku usaha menjadi dorongan pelaku usaha untuk memenuhi kewajibannya melaksanakan PPKM. Terdapat pula beberapa pelaku
usaha juga mempersepsikan bahwa dengan menjalankan PPKM dengan patuh dapat membangun images positif bagi pelanggan dikarenakan saat ini pelanggan juga memperhatikan kebersihan, kenyamanan, dan keamanan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan adanya pergeseran minat beli masyarakat yang mulai memperhatikan sanitasi dan lingkungan kerja, sanitasi pekerja, serta tidak hanya memperhatikan kualitas rasa kopi, hal ini seirig dengan merebaknya virus Covid-19 (Apostolopoulos, 2020).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini yaitu masih terdapat informasi yang harus digali tapi kurang digali lebih dalam terutama dalam hal persepsi pelaku usaha dan kepatuhannya terhadap kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang berlaku. Selain itu, keterbatasan lain yaitu peneliti melakukan wawancara dengan manager operasional Coffee Shop di mal bukan bersama pemilik usaha dikarenakan Coffee Shop tersebut merupakan usaha franchisee dan pemilik usaha tidak berada di lokasi penelitian (luar kota).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pelaku usaha (Coffee Shop) mempersepsikan tidak rentan menjadi kluster Covid-19 dikarenakan keyakinan sudah menerapkan pola hidup sehat dan menerapkan protokol kesehatan dalam usaha. Pelaku usaha (Coffee Shop) mempersepsikan PPKM tidak memberikan manfaat dari segi profit terhadap bisnis yang dijalankan.
Hambatan pelaksanaan PPKM lebih banyak dirasakan oleh pelaku usaha (Coffee Shop) yang berdiri sendiri karena power yang dimiliki lebih lemah jika dibandingkan Coffee Shop yang berada di mal. Dorongan pelaku usaha (Coffee Shop) melaksanakan PPKM yaitu untuk mempertahankan keberlangsungan
usahanya dan membangun images positif dalam penerapan prokes terhadap pelanggan. Coffee Shop yang berada di mal lebih patuh terhadap PPKM jika dibandingkan dengan Coffee Shop yang berdiri sendiri karena akses informasi terkait kebijakan lebih mudah dan cepat. SARAN
Bagi Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali agar dapat melakukan sosialisasi terkait kasus Covid-19 kepada pelaku usaha (Coffee Shop) serta urgensi kebijakan PPKM dalam upaya kolaborasi untuk penanggulangan Covid-19. Bagi pihak mal atau desa adat terkait agar dapat melakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan PPKM terhadap pelaku usaha (Coffee Shop). Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat melakukan penelitian terkait pelaksanaan PPKM atau persepsi dari profesi yang berbeda tidak hanya pelaku usaha Coffee Shop.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, penguji, keluarga, sahabat, seluruh informan, serta seluruh pihak yang mendukung penelitan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggito, Albi, Johan Setiawan. 2018.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa
Barat : CV Jejak
Arditama, E. and Lestari, P. (2020). Jogo Tonggo: Membangkitkan
Kesadaran Dan Ketaatan Warga Berbasis Kearifan Lokal Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Jawa Tengah, Jurnal Pendidikan Undiksha, 8(2), pp. 157–167.
Attamimy, H. B. and Qomaruddin, M. B. (2018). Aplikasi Health Belief Model pada Perilaku Pencegahan Demam Berdarah Dengue, Jurnal PROMKES, 5(2), p. 245. doi:
10.20473/jpk.v5.i2.2017.245-255.
Aquarini. (2020). Pengaruh Kebijakan Politik Terhadap Kepatuhan Physical Distancing Mencegah Penyebaran Covid-19. Anterior Jurnal, Volume 19 Issue 2, June 2020, Page 86 – 93 p-ISSN: 14121395; e-ISSN: 2355-3529. Available at: http://journal.umpalangkaraya.ac.i d/index.php/anterior
Bidang Perencanaan, Data, Analisa dan Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020). Kajian Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, pp.1–44. Kabupaten Kebumen : Bidang Perencanaan, Data, Analisa dan Pakar
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2021. Perkembangan Akumulatif Covid-19 Provinsi Bali. Bali : Dinas Kesehatan Provinsi Bali
Efrizal, W. (2020). Persepsi dan Pola Konsumsi Remaja Selama Pandemi Covid-19. EKOTONIA: Jurnal
Penelitian Biologi, Botani, Zoologi Dan Mikrobiologi, 5(2), 43-48.
Ermayanti et al. (2020). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Masyarakat Sumatera Barat Dalam Mematuhi Protokol Kesehatan, (September), pp. 1–70.
Fahriyani, I. D., Megawati, A., Tangketasik, C., & Alfiansyah, Y. (2021). Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Berdasarkan Perspektif Aliran Legal
Positivism. Jurnal
Jurisprudence, 10(2), 216-232.
Fauzi, A., Punia, I. N. and Kamajaya, G. (2017). Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafe (Tinjauan Gaya Hidup Anak Muda di Kota Denpasar). Jurnal Ilmiah Sosiologi (SOROT), 3(5), pp. 40–47. Available at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/so rot/article/view/29665.
Febriasari, S. G. (2019). Kepercayaan Dan Perilaku Pencegahan Demam Berdarah Dengue Pada Ibu Rumah Tangga Berdasarkan. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(1), pp. 41– 56.
Gunartin, G. (2017). Penguatan Umkm Sebagai Pilar Membangun
Ekonomi Bangsa. Eduka: Jurnal
Pendidikan, Hukum, Dan Bisnis, 2(2).
Haikal, H., & Sevtiyani, I. (2020). Analisis Kebutuhan terhadap Aplikasi “Warkop-Peduli Covid” Pada Warkop Tarakan Brewing
House. Pena Medika Jurnal
Kesehatan, 10(2), 15-23.
Hasanah, H. (2017). Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode pengumpulan data
kualitatif ilmu-ilmu sosial). At-
Taqaddum, 8(1), 21-46.
Hastuti, P., Harefa, D. N. and Napitupulu, J. I. M. (2020). Tinjauan Kebijakan Pemberlakuan Lockdown, PHK, PSBB Sebagai Antisipasi
Penyebaran Covid-19 Terhadap
Stabilitas Sistem Moneter. Prosiding WEBINAR Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Medan, pp. 57– 70.
Heriyanto, H.. (2018). Thematic Analysis sebagai Metode Menganalisa Data untuk Penelitian Kualitatif’, Anuva, 2(3), p. 317. doi:
10.14710/anuva.2.3.317-324.
Indonesia, P. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Jakarta: Republik
Indonesia.
Instruksi Menteri. 2021. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2021
Jayanti, F. and Arista, N. T. (2019) ‘Persepsi Mahasiswa Terhadap Pelayanan Perpustakaan Universitas
Trunojoyo Madura’, Competence: Journal of Management Studies,
12(2), pp. 205–223. doi:
10.21107/kompetensi.v12i2.4958.
Kurniawan, C. N., Wahyu, E. E., &
Nurbaya, S. (2020, October). REView Integratif Mengenai Pandemi Covid-19 Dan
Dampaknya Terhadap Industri Minuman Kopi. In SENABISMA: Prosiding Seminar Nasional Bisnis dan Manajemen (Vol. 5, pp. 21-30).
Kusbiyanto, A. H., & Qalyubi, I. (2021). Perilaku Nongkrong Generasi Milenial Terhadap Perkembangan Bisnis Kafe Di Masa Pandemi Covid-19 Di Kota Palangka RAYA. Daun Lontar: Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, 7(1), 155-168.
Latif, A., Syafar, M., Yusuf, A., & Asmi, A.
S. (2021). Analisis Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Pengunjung Warkop Pada Protokol Kesehatan Covid-19. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2), 380389.
Lomboan, M. V., Rumayar, A. A., &
Mandagi, C. K. (2020). Gambaran Persepsi Masyarakat Tentang Pencegahan Covid-19 Di
Kelurahan Talikuran Utara
Kecamatan Kawangkoan
Utara. KESMAS, 9(4).
Mujani, S., & Irvani, D. (2020). Sikap dan Perilaku Warga terhadap
Kebijakan Penanganan Wabah Covid-19. Politika: Jurnal Ilmu
Politik, 11(2), 219-238.
Nugrahani, F., & Hum, M. (2014). Metode penelitian kualitatif. Solo: Cakra
Books.
Nugrahani, R. R., Budihastuti, U. R., & Pamungakasari, E. P. (2017). Health belief model on the factors associated with the use of hpv vaccine for the prevention of cervical cancer among women in Kediri, East Java. Journal of
Epidemiology and Public Health, 2(1), 70-81.
Nurikhsan, F., Indrianie, W. S., & Safitri, D. (2019). Fenomena Coffee Shop Di Kalangan Konsumen
Remaja. Widya Komunika, 9(2), 137144.
Pakpahan, A. K. (2020). Covid-19 dan implikasi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 59-64.
Permadhi, P. L. O., & Sudirga, I. M. (2020).
Problematika Penerapan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (Pkm) Kota Denpasar Berbasis Adat Dalam Upaya Penanganan Covid-19. Prosiding Webinar
Nasional Universitas Mahasaraswati Denpasar 2020, 55-60.
Prasetia, I. M. H. and Paramartha, I. G. N.
D. (2020) ‘Efektivitas Peranan Satuan Tugas (Satgas) Gotong Royong Berbasis Desa Adat dalam Rangka Pencegahan Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Kelurahan Padangsambian, Kota Denpasar’, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), pp. 36–43.
Pujaningsih, N. N. (2020). Penerapan Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (Pkm) Dalam
Penanggulangan Wabah Covid-19 Di Kota Denpasar. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6(3), 458470.
Purnamasari, I., & Raharyani, A. E. (2020). Tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Wonosobo tentang Covid-19. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10(1), 33-42.
Rafiah, K. K. (2020). Review Strategi Pemasaran Efektif Untuk UMKM Kedai Kopi Dalam menghadapi Masa Pandemi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan, 16(2), 30-38.
Shambodo, Y. (2020). Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Khalayak Mahasiswa Pendatang UGM Terhadap Siaran Pawartos
Ngayogyakarta Jogja TV. Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial, 1(2), 98-110.
Walgito, B. (2013) Pengantar Psikologi Umum, Rajawali Perss.
*) e-mail korespondensi: [email protected]
270
Discussion and feedback