PEMETAAN DISTRIBUSI KEJADIAN STREPTOCOCCUS SUIS DAN PENJUAL MAKANAN TRADISIONAL (LAWAR BARAK, SATE, DAN KOMOH) DI KOTA DENPASAR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
on
Arc. Com. Health • Desember 2023
p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620
Vol. 10 No. 3 : 521 - 536
PEMETAAN DISTRIBUSI KEJADIAN STREPTOCOCCUS SUIS DAN PENJUAL MAKANAN TRADISIONAL (LAWAR BARAK, SATE, DAN KOMOH) DI KOTA DENPASAR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Ni Luh Putu Listyawati, Made Subrata*
Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana Jalan P.B Sudirman Denpasar, Bali, 80232
ABSTRAK
Masyarakat Bali memiliki tradisi yang disebut mebat yakni proses mengolah dan memasak makanan tertutama daging babi. Salah satu hidangan yang sering disajikan saat mebat yakni Lawar Barak, Sate, dan Komoh. Konsumsi makanan yang kurang atau tidak matang merupakan faktor risiko untuk tertularnya Streptococcus suis. Merujuk pada rekam medis pasien RSUP Sanglah tahun 2014 – 2017, Kota Denpasar menduduki peringkat pertama sebagai kasus tertinggi. Penggambaran Streptococcus suis dan penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) bermanfaat untuk mengetahui pola penyebaran kejadian Streptococcus suis dengan faktor – faktor yang mempengaruhi di Kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif deskriptif dengan menampilkan data primer sebaran penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) dan data sekunder sebaran kasus Streptococcus suis dengan pengolahan data menggunakan aplikasi Quantum GIS 3.24. Hasil penelitian menggambarkan kasus Streptococcus suis tertinggi berada di Denpasar Selatan. Hal tersebut didukung dengan tingginya pula jumlah penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di wilayah tersebut, selain itu penjual yang mulai berjualan sejak tahun 2013 juga ditemukan di Denpasar Selatan. Disarankan untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan uji laboratorium pada makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar.
Keywords: Peta, Streptococcus suis, Lawar Barak, Sate, Komoh
ABSTRACT
Balinese people have a tradition called mebat which is the process of preparing and cooking food, especially pork. One of the dishes that are often served when mebat is Lawar Barak, Sate, and Komoh. Consumption of undercooked food is a risk factor for contracting Streptococcus suis. Referring to the medical records of patients at Sanglah Hospital in 2014 – 2017, Denpasar City was ranked first as the highest case. The depiction Streptococcus suis and traditional food sellers (Lawar Barak, Sate, and Komoh) using GIS (Geographical Information System) is useful to determine the pattern of distribution of Streptococcus suis with the influencing factors in Denpasar City. This study was uses a descriptive quantitative design it describe the distribution of traditional food sellers (Lawar Barak, Sate, and Komoh) and the distribution of Streptococcus suis in Denpasar City using the Quantum GIS 3.24. The results showed that the highest cases of Streptococcus suis were in South Denpasar. This is supported by the high number of traditional food sellers (Lawar Barak, Sate, and Komoh) in that area, besides that sellers who have started selling since 2013 are also found in South Denpasar. It is recommended for further research to conduct laboratory tests on traditional foods (Lawar Barak, Sate, and Komoh) in Denpasar City.
Keywords: Mapping, Streptococcus suis, Lawar Barak, Sate, Komoh
PENDAHULUAN
Streptococcus suis merupakan
pathogen zoonosis yang biasa ditemukan pada babi dan dapat menyebabkan infeksi sistemik pada manusia terutama meningitis,tetapi perbedaan yang terdapat pada meningitis Streptococcus suis adalah gangguan pendengaran. (Nguyen, et al., e-mail korespondensi : [email protected]
2021).
Perkembangan kasus Streptococcus suis di International pertama kali dilaporkan oleh dokter hewan di Denmark pada tahun 1954, setelah wabah meningitis, septicemia, dan artritis purulent terjadi di antara anak babi (Wertheim et al., 2009). Empat belas tahun kemudian kasus
Arc. Com. Health • Desember 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 manusia pertama Streptococcus suis dilaporkan di Denmark dan menyebar di negara – negara Eropa lainnya dan Hong Kong. Jumlah orang yang terinfeksi Streptococcus suis semakin meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, dengan 409 orang yang terinfeksi Streptococcus suis pada tahun 2007 kemudian meningkat kembali di tahun 2009 sebanyak 700 kasus dengan sebagian besar kasus berasal dari Asia Tenggara (Wertheim, et al., 2009). Kasus tertinggi dari Streptococcus suis meningitis terjadi di Vietnam, hal tersebut dikaitkan dengan industri babi yang besar pada negara tersebut. Industri tersebut tercatat menghasilkan lebih dari 26 juta babi pada tahun 2013 (Nguyen, et al., 2021).
Di Indonesia kasus pertama Streptococcus suis diterbitkan dalam laporan kasus oleh (Adnyana, et al., 2020) dan ditemukan bahwa Streptococcus suis di Indonesia memiliki riwayat menjual daging babi dalam empat hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Banyak kasus Streptococcus suis telah dilaporkan di Indonesia. Namun pelaporan kasus Streptococcus suis bukanlah persyaratan hukum mengingat Streptococcus suis adalah kelompok pathogen yang menyebabkan penyakit produksi yang tidak dilaporkan mengakibatkan kurangnya data dan bahkan ketika didaftarkan hasilnya tidak dapat dibandingkan karena kurangnya definisi kasus yang umum (VanderWaal & Deen, 2018). Perkembangan Streptococcus suis di Bali, yang mana Bali merupakan provinsi di Indonesia yang penduduknya sering kontak dengan babi dan produknya menjadikan Bali sebagai tujuan utama e-mail korespondensi : [email protected]
deteksi kasus Streptococcus suis. Populasi babi meningkat setiap tahun di seluruh negara bagian indonesia, di Bali sendiri terdapat 669.565 ekor babi pada tahun 2018 dan meningkat di tahun 2019 sebanyak 762.409 ekor babi (BPS, 2020). Hal itu disebabkan pula karena Bali merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia, dengan banyak makanan tradisional yang berbahan dasar daging babi, adapun contohnya seperti Lawar Barak, Sate, dan Komoh. Dalam penelitian (Susilawathi, et al., 2019) mengumpulkan beberapa rekam medis pasien dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari tahun 2014 hingga 2017 yang terkonfirmasi meningitis Streptococcus suis, didapatkan kasus Streptococcus suis terbanyak yang terkonfirmasi berasal dari 3 kabupaten/kota yakni Denpasar 28 kasus (64%), Badung 5 kasus (11%), dan Gianyar 4 kasus (9%). Maka berdasarkan data tersebut peneliti memilih Kota Denpasar untuk dijadikan wilayah penelitian dikarenakan Denpasar mendapatkan posisi pertama dengan kasus Streptococcus suis terbanyak di Provinsi Bali.
Tanda – tanda klinis dari Streptococcus suis yang tercatat dalam penelitian (Susilawathi, et al., 2019) ada 4 gejala klinis yang paling sering dilaporkan oleh pasien yakni demam, leher kaku, perubahan status mental dan sakit kepala. Yang mana 4 gejala klinis ini merupakan gejala klinis yang sering dilaporkan secara global. Selain itu terdapat empat (9%) pasien yang melaporkan gangguan pendengaran. Hal ini serupa dengan penelitian (Nguyen, et al., 2021) yang mana ditemukan setengah dari pasien yang terkonfirmasi terinfeksi Streptococcus suis di Vietnam Utara
Arc. Com. Health • Desember 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 mengalami gangguan pendengaran.
Konsumsi produk hewani yang kurang matang merupakan faktor risiko yang berpotensi kuat untuk memperoleh banyak penyakit menular. (Huong, et al., 2014) Pada beberapa penelitian sebagian besar kasus Streptococcus suis disebabkan oleh konsumsi produk hewani yang kurang matang. Pernyataan ini didukung oleh penelitian (Huong, et al., 2014) yang mengindentifikasikan konsumsi hidangan darah mentah babi atau hewan lain atau biasa dikenal dengan tiet canh yang merupakan makanan tradisional Vietnam adalah faktor risiko utama untuk tertular Streptococcus suis. Masyarakat Vietnam memiliki kebiasaan tradisi konsumsi tiet canh. Yang mana babi sering disembelih di rumah keluarga yang mengadakan perayaan. Adapun terdapat keyakinan tentang potensi manfaat kesehatan dari makan tiet canh, seperti mencegah anemia. Namun, peserta tidak sepenuhnya memahami risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh agen infeksi atau kontaminan dan risiko yang sengaja untuk diabaikan. Begitu pula hal yang sama terjadi di Bali, darah mentah dikonsumsi dalam hidangan yang dikenal sebagai Lawar Barak, Sate, dan Komoh. Belum ada penelitian yang mengaitkan konsumsi Lawar Barak, Sate dan Komoh dengan kejadian Streptococcus suis yang terjadi di Bali. Maka peneliti mengasumsikan bahwa adanya kemiripan antara makanan tradisonal Vietnam tiet canh dengan makanan tradisional di Bali Lawar Barak, Sate, dan Komoh dengan kejadian Streptococcus suis yang terjadi di Bali sehingga perlu dilakukannya penelitian. e-mail korespondensi : [email protected] 523
Peta adalah representasi atau gambaran elemen atau fitur abstrak yang dipilih dari atau terkait dengan permukaan bumi yang biasanya ditampilkan pada bidang dan diperbesar maupun diperkecil. Peta yang dapat memberikan kondisi epodemiologis untuk suatu peristiwa dapat digambarkan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu jenis visualisasi epidemilogi yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran berupa peta distribusi suatu kondisi berdasarkan analisis kewilayahan (Nalendra, et al., 2019). Kejadian Streptococcus suis serta faktor risiko dari Penjual Lawar Barak, Sate dan Komoh yang terjadi di Denpasar perlu ditampilkan melalui perspektif kewilayahan agar pengambil kebijakan dapat dengan mudah melihat pola sebaran Penjual Lawar Barak, Sate dan Komoh dengan kejadian Streptococcus suis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui kaitan Penjual Lawar Barak, Sate, dan Komoh dengan kejadian Streptococcus suis di Kota Denpasar melalui perspektif kewilayahan.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif deskriptif karena ingin menggambarkan potensi penyebaran kejadian Streptococcus suis dengan faktor risiko dari penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan di Kota Denpasar dari Bulan Februari hingga Juni 2022. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah populasi wilayah yakni Kota Denpasar
dalam batasan administratif dengan sampel seluruh jumlah kasus Streptococcus suis dan penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar. Data yang dikumpulkan dalam merupakan data primer pada plotting lokasi penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar dan data sekunder pada kasus Streptococcus suis dari Residen Neurology RSUP Sanglah. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi pengolahan peta dalam proses SIG. Penelitian ini telah memenuhi kelaikan etik oleh Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana No: 1060/UN14.2.2. VII.14/LT/2022 tertanggal 11 Mei 2022.
HASIL
Distribusi Kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar
Berdasarkan data sekunder kasus Streptococcus suis dari tahun 2015 hingga 2022 yang didapatkan dari Residen Neurology RSUP Sanglah diketahui bahwa persebaran kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar memiliki besaran yang bervariasi di masing – masing kecamatan yang ada di Kota Denpasar. Namun sayangnya dikarenakan sedikitnya kasus Streptococcus suis yang terjadi di Kota Denpasar mengakibatkan banyak desa yang tidak terjangkit oleh penyakit ini yang mana sebenarnya itu adalah hal yang baik. Berikut ini adalah peta choropleth distribusi kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar dari tahun 2015 – 2022.
Gambar 1. Peta Distribusi Kejadian Streptococcus suis Tahun 2015 - 2022 di Kota Denpasar
Berdasarkan peta tersebut dapat dilihat bahwa desa – desa yang tidak terjangkit kasus Streptococcus suis terlihat tidak dominan pada peta di Kota Denpasar. Dapat dilihat pada peta diatas polygon yang berwarna merah merupakan wilayah yang memiliki kasus Streptococcus suis sementara polygon yang berwarna putih merupakan wilayah yang tidak memiliki kasus Streptococcus suis. Namun dikarenakan data yang digunakan berasal dari RSUP Sanglah mengakibatkan data yang tertera belum tentu valid jumlah kasus yang terdata ataupun tidak adanya kasus pada wilayah tersebut, yang mana adanya kemungkinan bahwa pasien yang terinfeksi Streptococcus suis memilih untuk berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan pengobatan ataupun tidak sama sekali untuk melakukan pengobatan. Sehingga menjadikan data kasus yang tertera pada peta belum tentu valid dengan jumlah kasus Streptococcus suis yang ada sebenarnya dilapangan. Namun jika dilihat
kembali pada peta persebaran kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar hampir berada diseluruh desa yang ada dapat dilihat bagian wilayah selatan tepatnya pada Desa Sesetan kasus Streptococcus suis ditemukan sebanyak 6 kasus yang mana dalam hal ini merupakan kasus terbanyak yang ditemukan di Kota Denpasar berdasarkan data sekunder Residen Neurology RSUP Sanglah kemudian diikuti oleh Desa Tonja, Desa Pemogan, dan Desa Ubung Kaja ditemukan sebanyak 4 kasus lalu di Desa Kesiman Petilan, Desa Pemecutan, Desa Sanur ditemukan sebanyak 3 kasus kemudian diikuti oleh Desa Dauh Puri Kangin, Desa Padangsambian, Desa Padangsambian Kaja, Desa Pemecutan Kelod, dan Desa Renon ditemukan sebanyak 2 kasus lalu Desa Dauh Puri Kauh, Desa Sidakarya, Desa Sumerta Kaja, Tegal Kertha, Sumerta, Peguyangan, Sumerta Kelod, Pedungan, Kesiman, Panjer, Penatih, Peguyangan Kaja, dan Dauh Puri Kelod hanya ditemukan sebanyak 1 kasus, Sedangkan hanya terdapat beberapa desa di bagian tengah Denpasar yang tidak memiliki kasus Streptococcus suis yakni Desa Dangin Puri Kauh, Desa Pemecutan Kaja, Desa Dangin Puri Kangin, Desa Ubung, Desa Dauh Puri Kaja, Desa Padangsambian Kelod, kemudian di wilayah timur yakni Desa Peguyangan Kangin, Desa Kesiman Kerthalangu, Desa Penatih Dangin Puri, Desa Dangin Puri, Desa Sumerta Kauh, Desa Dangin Puri Kelod, serta di wilayah selatan yakni Desa Selatan, dan Desa Sanur Kaja.
Mengacu pada data sekunder kasus Streptococcus suis dari tahun 2015 hingga e-mail korespondensi : [email protected]
2022 yang didapatkan dari Residen Neurology RSUP Sanglah, Kasus
Streptococcus suis tertinggi terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 18 kasus, kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Barat dengan kasus sebanyak 13 kasus, lalu Kecamatan Denpasar Utara sebanyak 11 kasus dan yang paling sedikit di Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 8 kasus. Terlihat pula terdapat ketimpangan jumlah kasus Streptococcus suis yang cukup besar antara dua kecamatan dengan kasus tertinggi (Denpasar Selatan dan Denpasar Barat) dengan dua kecamatan lainnya (Denpasar Utara dan Denpasar Timur). Yang mana diketahui pula berdasarkan hasil plotting lokasi penjualan Lawar barak, Sate dan Komoh di Kota Denpasar paling banyak ditemukan di wilayah selatan Kecamatan Denpasar Selatan. Hal ini bisa menjadi potensi alasan mengapa di Kecamatan Denpasar Selatan menjadi wilayah tertinggi kasus Streptococcus suis ditemukan pada data sekunder kasus Streptococcus suis dari Residen Neurology RSUP Sanglah. Walaupun begitu perlu dilakukannya uji Lab lebih lanjut terhadap penjual dari makanan tradisonal yang menggunakan daging babi mentah maupun darah mentah babi seperti Lawar Barak, Sate dan Komoh terhadap penyebaran kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar. penularan Streptococcus suis di Kota Denpasar dari Tahun 2015 hingga 2022 sebagian besar berjenis kelamin Laki – Laki yakni sebesar 80% dan yang berjenis kelamin perempuan hanya berkisar 20%.
Distribusi Penjual Makanan Tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota
Denpasar
Berdasarkan data primer yang dilakukan oleh peneliti dalam mendapatkan titik koordinat dari setiap penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) diketahui bahwa sebaran distribusi para penjual di Kota Denpasar cukup merata. Kota Denpasar terdiri dari empat kecamatan, yaitu: Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat. Dapat dilihat pada peta choropleth distribusi penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar.
Gambar 2. Peta Distribusi Kasus
Streptococcus suis dan Penjual Makanan Tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar
Berdasarkan peta tersebut dapat dilihat bahwa Penjual Makanan Tradisional berupa Lawar Barak, Sate dan Komoh
cenderung lebih banyak ditemukan di Kecamatan Denpasar Utara sebanyak 38 penjual, kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 32 penjual, e-mail korespondensi : [email protected]
kemudian diikuti Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 29 penjual dan paling sedikit adalah Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 27 penjual. Namun perlu diingat bahwa keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data titik koordinat dari penjual makanan tradisional tersebut ada beberapa kawasan yang tidak peneliti lalui sehingga adanya kemungkinan penjual makanan tradisional yang tidak dapat ditemukan oleh peneliti. Jika dilihat dari jumlah penjual pada masing – masing Kecamatan tidak berbeda jauh hal ini memungkinkan bahwa peminat dari mengkonsumsi makanan tersebut sangat banyak sehingga penjual yang hadir pun cukup merata di berbagai daerah. Dapat dilihat pula pada peta bahwa polygon yang berwarna merah mengartikan adanya kasus Streptococcus suis disana pula terdapat penjual makanan tradisional tersebut, artinya dimana ada penjual disana pula terdapat kasus Streptococcus suis. Seperti yang dapat dilihat pada peta di Desa Penatih terlihat yang paling banyak ditemukannya penjual makanan tradisional, yakni sebanyak 10 penjual dan dapat dilihat pula bahwa di desa tersbeut juga ditemukannya kasus Streptococcus suis, kemudian hal yang sama juga terjadi di Desa Sesetan yakni ditemukannya 5 penjual makanan tradisional serta ditemukannya pula kasus Streptococcus suis di wilayah tersebut. Namun ada juga beberapa desa yang ditemukannya penjual makanan tradisional namun tidak terdapat kasus Streptococcus suis.
Selanjutnya jika dilihat distribusi makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) berdasarkan penjual dapat
ditemukan melalui Aplikasi Online, Google Maps, maupun pinggir jalan berikut peta tematik distribusi penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar berdasarkan akses
berjualan.
Gambar 3. Peta Distribusi Kasus Streptococcus suis dan Penjual Makanan Tradisonal (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar berdasarkan akses berjualan
Berdasarkan Gambar 3 mengenai distribusi penjual makanan tradisional di kota Denpasar berdasarkan akses berjualan dapat dilihat bahwa titik berwarna kuning terlihat mendominasi pada peta tersebut yang artinya penjual yang dapat ditemukan melalui Pinggir Jalan sekaligus dapat ditemukan di Google Maps lebih banyak digunakan oleh para penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) dalam memperoleh konsumen. Kemudian diikuti oleh titik berwarna hijau yang mengartikan penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) dapat ditemukan melalui Aplikasi Online, Google Maps, dan Pinggir Jalan terlihat mendominasi kedua dari peta tersebut dan yang paling sedikit yakni titik berwarna biru yang mengartikan penjual makanan
tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) hanya dapat ditemukan di pinggir jalan. Untuk memperjelas presentase dari jumlah masing-masing tempat berjualan dari para penjual makanan tradisional tersebut dapat digambarkan menggunakan diagram sebagai berikut.
Penjual yang dapat ditemukan melalui Pinggir Jalan sekaligus dapat ditemukan di Google Maps lebih banyak digunakan oleh para penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) yakni dengan presentase sebesar 60%, kemudian diikuti oleh penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) yang dapat ditemukan melalui Aplikasi Online, Google Maps, dan Pinggir Jalan dengan presentase sebesar 23% dan yang paling sedikit penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) yang hanya dapat ditemukan di pinggir jalan dengan presentase sebesar 17%.
Penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Utara yang paling banyak menggunakan Google Maps dan pinggir jalan dalam akses berjualan yakni sebanyak 27 penjual, kemudian diikuti para penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Selatan terbanyak kedua dalam menggunakan Google Maps dan pinggir jalan dalam akses berjualan yakni sebanyak 17 penjual dan yang paling sedikit yakni penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Barat yang menggunakan Google Maps dan pinggir jalan dalam akses berjualan yakni sebanyak 15 penjual.
Kemudian bagi penjual makanan
tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) yang menggunakan Aplikasi Online, Google Maps, dan pinggir jalan yang paling banyak digunakan berada di kecamatan Denpasar Barat dan Denpasar Selatan yakni sebanyak 9 penjual, kemudian diikuti oleh penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) kecamatan Denpasar Utara yakni sebanyak 6 penjual, dan yang paling sedikit penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Timur sebanyak 5 penjual. Selanjutnya dilihat dari penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) yang menggunakan pinggir jalan sebagai akses berjualan dapat dilihat berdasarkan gambar 6 bahwa penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Timur yang paling banyak menggunakan pinggir jalan sebagai akses berjualan yakni sebanyak 7 penjual, kemudian diikuti oleh penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 6 penjual, lalu diikuti penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Utara sebanyak 5 penjual, dan yang paling sedikit penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di kecamatan Denpasar Barat sebanyak 3 penjual.
Selanjutnya dilihat dari tahun penjual mulai berjualan dapat dilihat melalui peta tematik distribusi penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar berdasarkan tahun mulai berjualan di bawah ini.
Gambar 4. Peta Distribusi Kasus
Streptococcus suis dan Penjual Makanan Tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar berdasarkan Tahun Mulai Berjualan
Berdasarkan Gambar 4 mengenai Distribusi penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar berdasarkan tahun mulai berjualan terlihat cukup menyebar merata dari tahun ke tahun di berbagai wilayah. penjual yang mulai berjualan tahun 2019 paling banyak yakni sebesar 26% kemudian diikuti oleh tahun 2018 dengan besar presentase 20%, lalu tahun 2020 dengan presentase sebesar 14%, tahun 2017 dengan presentase sebesar 12%, tahun 2021 dengan besar presentase 9%, tahun 2016 dengan besar presentase 8%, tahun 2015 dan 2014 dengan besar presentase 5%, dan yang paling sedikit mulai berjualan pada tahun 2013 dengan besar presentase 1%.
Penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2013 hanya berada di Denpasar Selatan dengan besar sebanyak hanya 1 penjual yang ditemukan sudah berjualan
Arc. Com. Health • Desember 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 sejak 2013, kemudian penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2014 terlihat lumayan besar muncul di Denpasar Selatan yakni sebanyak 5 penjual yang kemudian juga ditemukan di Denpasar Utara sebanyak 2 penjual. Lalu penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2015 hanya ditemukan di 2 kecamatan yakni Denpasar Selatan dan Denpasar Utara yang memiliki jumlah yang sama yakni 3 penjual. Di tahun 2016 penjual sudah ditemukan di berbagai kecamatan, namun yang paling banyak ditemukan di Denpasar Barat dengan
jumlah sebesar 4 penjual kemudian diikuti oleh Denpasar Selatan sebanyak 3 penjual lalu Denpasar Timur dengan 2 penjual dan yang paling sedikit ditemukan di Denpasar Utara sebanyak 1 penjual.
Selanjutnya di tahun 2018 juga sudah banyak penjual yang ditemukan di berbagai kecamatan dengan masing – masing jumlah, di Denpasar Utara terlihat paling banyak ditemukan penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2018 yakni dengan jumlah 9 penjual kemudian diikuti oleh kecamatan Denpasar Barat dan Denpasar Timur dengan jumlah yang sama yakni 6 penjual dan yang paling sedikit ditemukan di Denpasar Selatan yakni sebanyak 4 penjual. Pada tahun 2019 juga terjadi hal yang serupa dimana penjual sudah ditemukan di berbagai kecamatan dan dapat terlihat berdasarkan diagram diatas bahwa penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2019 paling banyak ditemukan di Denpasar Timur yakni sebanyak 13 penjual lalu diikuti oleh kecamatan Denpasar Utara ditemukan sebanyak 8 penjual lalu di Denpasar Barat ditemukan sebanyak 7 penjual dan yang paling sedikit e-mail korespondensi : [email protected]
ditemukan di Denpasar Selatan yakni sebanyak 5 penjual.
Kemudian penjual yang sudah berjualan sejak tahun 2020 paling banyak ditemukan di Kecamatan Denpasar Selatan yakni sebanyak 6 penjual lalu diikuti oleh kecamatan Denpasar Utara sebanyak 5 penjual, Denpasar Barat sebanyak 4 penjual ditemukan dan yang paling sedikit yakni di Denpasar Timur sebanyak 3 penjual yang ditemukan sudah berjualan sejak tahun 2020. Yang terakhir penjual yang ditemukan sudah berjualan sejak tahun 2021 juga sudah menyebar di berbagai kecamatan dan yang paling banyak ditemukan di kecamatan Denpasar Utara, Denpasar Timur, dan Denpasar Barat dengan jumlah yang sama yakni sebanyak 3 penjual yang ditemukan dan di Denpasar Selatan sebanyak 2 penjual yang ditemukan sudah berjualan sejak tahun 2021.
Berikutnya dilihat berdasarkan jenis makanan yang dijual dapat dilihat melalui peta tematik dibawah ini.
Gambar 5. Peta Distribusi Kasus
Streptococcus suis dan Penjual Makanan
Tradisonal (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di
Kota Denpasar berdasarkan Jenis Makanan yang dijual
Berdasarkan gambar 5 dapat dilihat dot berwarna hijau yang diartikan sebagai penjual yang menjual Lawar Barak dan Sate serta dot berwarna coklat yang diartikan sebagai penjual yang menjual Sate terlihat sama rata mendominasi pada peta diatas. Dapat dilihat pula dot berwarna biru yang diartikan sebagai penjual yang menjual Lawar Barak, Sate dan Komoh terlihat paling sedikit tidak menyebar rata ke seluruh wilayah di Kota Denpasar.
Penjual yang menjual Lawar Barak dan Sate dengan penjual yang hanya menjual Sate terlihat hampir sama banyaknya di Kota Denpasar dengan presentase 49% dari penjual yang hanya menjual Sate dan 46% dari penjual yang menjual Lawar Barak serta Sate. Dapat dilihat pula bahwa penjual yang menjual ketiganya cukup langka ditemukan oleh peneliti di Kota Denpasar sehingga hanya dapat ditemukan sebesar 5% penjual yang menjual ketiganya yakni Lawar Barak, Sate dan Komoh.
Penjual yang menjual Sate menyebar diseluruh kecamatan di kota Denpasar, dan yang terlihat paling banyak ditemukan menjual Sate berada di Denpasar Utara dengan jumlah sebanyak 27 penjual kemudian diikuti oleh Denpasar Barat dengan jumlah sebanyak 19 penjual, Denpasar Timur dengan jumlah sebanyak 15 penjual dan yang paling sedikit ditemukan di Denpasar Selatan yakni sebanyak 2 penjual. Selanjutnya penjual yang menjual Lawar Barak dan Sate paling banyak ditemukan di Denpasar Selatan dengan jumlah sebanyak 28 penjual, e-mail korespondensi : [email protected]
kemudian diikuti oleh Denpasar Timur dengan jumlah sebanyak 13 penjual, Denpasar Utara sebanyak 10 penjual, dan yang paling sedikit ditemukan di Denpasar Barat dengan jumlah sebanyak 7 penjual. Kemudian penjual yang menjual ketiganya yakni Lawar Barak, Sate dan Komoh terlihat memiliki jumlah yang sama sedikitnya ditemukan oleh peneliti yakni Denpasar Timur dan Denpasar Selatan ditemukan sebanyak 2 penjual lalu Denpasar Barat dan Denpasar Utara ditemukan sebanyak 1 penjual.
DISKUSI
Distribusi Kasus Streptococcus suis di Kota Denpasar
Seperti yang disebutkan pada penelitian (Nguyen, et al., 2021) bahwa Streptococcus suis merupakan pathogen zoonosis yang biasanya ditemukan pada babi yang hal ini berisiko bagi mausia yang berhubungan erat pada produk babi dan olahannya baik penyembelihan maupun mengkonsumsi produk babi tersebut. Bali merupakan provinsi yang sebagian besar masyarakatnya berhubungan erat dengan produk babi maupun olahannya, berdasarkan penelitian (Susilawathi, et al., 2019) menemukan bahwa kota Denpasar menduduki peringkat pertama ditemukannya kasus Streptococcus suis berdasarkan rekam medis pasien RSUP Sanglah tahun 2014 – 2017.
Berdasarkan data sekunder kasus Streptococcus suis Residen Neurology RSUP Sanglah yang didapatkan oleh peneliti dapat dilihat pada peta 1 mengenai peta distribusi kejadian Streptococcus suis tahun 2015 - 2022 di Kota Denpasar terlihat
hampir diseluruh desa yang berada di Kota Denpasar memiliki kasus Streptococcus suis, yang mana ditemukan di Desa Sesetan paling banyak ditemukannya kasus Streptococcus suis yakni sebanyak 6 kasus, kemudian diikuti oleh Desa Tonja, Desa Pemogan, dan Desa Ubung Kaja ditemukan sebanyak 4 kasus lalu di Desa Kesiman Petilan, Desa Pemecutan, Desa Sanur ditemukan sebanyak 3 kasus kemudian diikuti oleh Desa Dauh Puri Kangin, Desa Padangsambian, Desa Padangsambian Kaja, Desa Pemecutan Kelod, dan Desa Renon ditemukan sebanyak 2 kasus lalu Desa Dauh Puri Kauh, Desa Sidakarya, Desa Sumerta Kaja, Tegal Kertha, Sumerta, Peguyangan, Sumerta Kelod, Pedungan, Kesiman, Panjer, Penatih, Peguyangan Kaja, dan Dauh Puri Kelod hanya ditemukan sebanyak 1 kasus, Sedangkan hanya terdapat beberapa desa di bagian tengah Denpasar yang tidak memiliki kasus Streptococcus suis yakni Desa Dangin Puri Kauh, Desa Pemecutan Kaja, Desa Dangin Puri Kangin, Desa Ubung, Desa Dauh Puri Kaja, Desa Padangsambian Kelod, kemudian di wilayah timur yakni Desa Peguyangan Kangin, Desa Kesiman Kerthalangu, Desa Penatih Dangin Puri, Desa Dangin Puri, Desa Sumerta Kauh, Desa Dangin Puri Kelod, serta di wilayah selatan yakni Desa Selatan, dan Desa Sanur Kaja.
Namun dikarenakan data yang digunakan berasal dari RSUP Sanglah mengakibatkan data yang tertera belum tentu valid jumlah kasus yang terdata ataupun tidak adanya kasus pada wilayah tersebut, yang mana adanya kemungkinan bahwa pasien yang terinfeksi Streptococcus e-mail korespondensi : [email protected]
suis memilih untuk berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan pengobatan ataupun tidak sama sekali untuk melakukan pengobatan. Sehingga menjadikan data kasus yang tertera pada peta belum tentu valid dengan jumlah kasus Streptococcus suis yang ada sebenarnya dilapangan.
Dilanjutkan dengan klasifikasi jenis kelamin dari pasien yang terinfeksi Streptococcus suis yang didapatkan dari data sekunder Residen Neurology RSUP Sanglah tahun 2015 – 2022 bahwa pasien yang terinfeksi Streptococcus suis paling banyak ditemukan pada pasien berjenis kelamin laki – laki sebesar 80% dan pasien yang berjenis kelamin perempuan ditemukan sebesar 20%. Hasil temuan ini mirip dengan penelitian (Susilawathi, et al., 2019) yang menemukan sebagian besar pasien yang terinfeksi Streptococcus suis sebesar 88% berjenis kelamin Laki – Laki. Hal serupa juga terjadi pada penelitian di Thailand (Takeuchi, et al., 2012) yang menemukan sebagain besar pasien Streptococcus suis terjadi pada pasien yang berjenis kelamis Laki – Laki dengan presentase sebesar 64,5%.
Distribusi Kasus Streptococcus suis dan Penjual Makanan Tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) di Kota Denpasar
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Vietnam mengenai makanan tradisional Vietnam yang bernama Tiet Canh yang mana bahan makanan tersebut disajikan dengan darah dan daging mentah babi, makanan tradisional ini pun biasanya disajikan dalam perayaan besar keluarga dan dikonsumsi bersama – sama (Huong,
et al., 2014). Hal ini pula yang mengakibatkan Vietnam pernah
menduduki posisi terbesar dalam tingginya kasus meningitis Streptococcus suis pada tahun 2013 (Nguyen, et al., 2021).
Berdasarkan hal itu peneliti pun mengaitkan hal yang sama kejadian Streptococcus suis yang terjadi di Bali, yang mana masyarakatnya pun juga memiliki tradisi unik yang dikenal dengan mebat. Mebat merupakan tradisi masyarakat Bali yang dilakukan beberapa orang dalam keluarga melakukan proses penyembelihan babi, memotong hingga memasak babi dan menjadikannya suatu hidangan yang akan disantap bersama – sama dengan keluarga. Adapun hidangan yang disajikan yang berkaitan dengan babi adalah Lawar Barak, Sate, dan Komoh. Diketahui pula bahwa ketiga hidangan tersebut berbahan dasar darah serta daging babi mentah. Yang mana menurut beberapa penelitian mengkonsumsi makanan yang kurang matang ataupun tidak matang merupakan faktor risiko utama untuk terinfeksinya Streptococcus suis ke manusia (Huong, et al., 2014). Namun saat ini selain masyarakat Bali mengkonsumsi ketiga hidangan itu dalam perayaan upacara adat kini masyarakat dapat menkonsumsi ketiga hidangan tersebut dalam kehidupan sehari – hari. Hal ini dikarenakan saat ini sudah banyak masyarakat di Bali yang menjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) tersebut. Tentunya hal ini akan menjadi potensi besar dalam meningkat kejadian Streptococcus suis di Bali khususnya di Kota Denpasar. Maka dari itu peneliti melakukan pemetaan terhadap kasus Streptococcus suis dan penjual e-mail korespondensi : [email protected]
makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) yang berada di Kota Denpasar untuk melihat distribusi penyebaran infeksi pathogen penyakit tersebut.
Berdasarkan hasil plotting yang dilakukan peneliti terhadap makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) yang berada di Kota Denpasar didapatkan bahwa penjual makanan tradisional tersebut sudah menyebar cukup merata di seluruh kecamatan di Kota Denpasar. Diketahui berdasarkan hasil plotting tersebut ditemukan di Kecamatan Denpasar Utara sebanyak 38 penjual, kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 32 penjual, kemudian diikuti Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 29 penjual dan paling sedikit adalah Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 27 penjual. Selain itu dapat dilihat pula pada gambar 2 mengenai peta distribusi kasus Streptococcus suis dan penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar bahwa wilayah yang berwarna merah artinya memiliki kasus Streptococcus suis dan wilayah yang berwarna putih artinya tidak memiliki kasus Streptococcus suis yang mana data ini didapatkan berdasarkan data sekunder Residen Neurology RSUP Sanglah. Dapat dilihat berdasarkan peta tersebut sebagian besar terlihat dimana ada penjual disana pun juga terdapat manusia yang terinfeksi Streptococcus suis hal ini dapat dihubungkan bahwa adanya penjual makanan tradisional tersebut dapat menjadi potensi dalam meningkatkannya kasus Streptococcus suis pada wilayah tersebut. Jika dihubungkan tingginya kasus Streptococcus suis dengan banyaknya
Arc. Com. Health • Desember 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 penjual yang ada dimasing – masing kecamatan. Dapat diketahui bahwa Kecamatan Denpasar Utara dengan banyaknya penjual sebanyak 38 penjual dan jumlah kasus sebanyak 11 orang, kemudian di Kecamatan Denpasar Barat ditemukan penjual sebanyak 27 penjual dan jumlah kasus Streptococcus suis
sebanyak 13 orang, lalu di Denpasar
Selatan ditemukan penjual sebanyak 32 penjual dan kasus Streptococcus suis
sebanyak 18 orang, Kecamatan Denpasar Timur ditemukan penjual sebanyak 29 penjual dan kasus Streptococcus suis sebanyak 8 orang. Dari data ini kita dapat melihat bahwa dari tersebarnya penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) dapat ditemukan pula kasus Streptococcus suis, namun jika diperhatikan adanya ketimpangan besaran jumlah penjual terbanyak dengan jumlah kasus terbanyak di Kota Denpasar. Seperti yang dapat dilihat pada peta bahwa bagian utara tepatnya di Kecamatan Denpasar Utara terlihat lebih dominan wilayah yang berwarna putih atau tidak ditemukannya kasus Streptococcus suis diwilayah tersebut namun dapat dilihat pula diwilayah tersebut dapat paling banyak
ditemukannya penjual makanan tradisional tersebut.
Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan karena masyarakat yang terinfeksi Streptococcus suis wilayah tersebut tidak mengkonsumsi hidangan tersebut di wilayah tempat mereka berdomisili melainkan dapat membelinya atau mengkonsumsinya ditempat lain. Jika dihubungkan dengan kalsifikasi penjual berdasarkan akses berjualan ditemukan e-mail korespondensi : [email protected]
bahwa 23% penjual sudah menggunakan aplikasi online untuk menjangkau para konsumen mereka. Seperti yang disebutkan dalam penelitian (Sunardi, et al., 2021) yang menyebutkan dalam hasil penelitian bahwa peserta UMKM dalam pendampingan pelatihan untuk memajukan usaha dengan menggunakan aplikasi online dapat meningkatkan distribusi penjualan mereka. Dalam kasus penelitian ini dengan meningkatnya distribusi dari penjualan makanan tradisonal (Lawar Barak, Sate dan Komoh) maka semakin meningkat pula potensi penyebaran kejadian Streptococcus suis kepada masyarakat. Dari data yang dihasilkan sebanyak 23% penjual sudah menggunakan aplikasi online untuk menjangkau lebih luas konsumen mereka yang mengartikan pula sebanyak 23% penjual berpotensi meningkatkan kejadian Streptococcus suis di masyarakat.
Selain hal tersebut ada pula kemungkinan terjadinya ketimpangan besaran jumlah penjual terbanyak dengan jumlah kasus terbanyak di Kota Denpasar yakni mengenai tingkat keamanan pangan, efek dari tingkat keamanan yang rendah dapat menimbulkan berbagai macam penyakit yang ditimbulkan dari pengolahan makanan yang tidak benar (Hadi, et al., 2021). Yang mana diketahui bahwa proses pembuatan Lawar Barak, Sate dan Komoh sebagian besar masih dengan sanitasi yang buruk saat proses pengolahan hidangan tersebut. Jika dilihat kembali saat proses mebat biasanya para keluarga menggunakan alat dan tempat yang seadanya dalam proses pengolahan hidangan (Aryasa, et al., 2020). Begitupula hal yang sama terjadi di penjual makanan
tradisional tersebut, berdasarkan data yang dikumpulkan sebagian besar penjual masih berjualan di pinggir jalan atau biasanya disebut dengan pedagang kaki lima. Secara umum masyarakat Indonesia memilih pedagang kaki lima sebagai destinasi kuliner mereka, hal ini dikarenakan penjual tersebut menjalankan usaha berjualan makanan yang mudah ditemui di pinggir jalan yang menggunakan lapak, gerobak, atau pikulan dengan harga yang relatif murah. Namun, kehadiran pedagang kaki lima ini sering dikaitkan dengan rendahnya sanitasi dalam mengolah maupun menghidangkan makanan tersebut ke masyarakat (Hadi, et al., 2021). Hal ini pula yang terjadi pada penjual makanan tradisional yang berada di Kota Denpasar yang sebagian besar masih dalam kriteria pedagang kaki lima, sehingga dapat dikaitkan bahwa penyebaran kejadian Streptococcus suis terhadap penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate dan Komoh) bukan dikarenakan tempat ditemukannya penjual melainkan karena proses pengolahan makanan tradisional tersebut dengan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian Streptococcus suis di masyarakat khususnya dalam penelitian ini di Kota Denpasar.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Peta distribusi kejadian Streptococcus suis dan penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) di Kota Denpasar dapat diketahui bahwa dimana ada penjual disana pula terdapat kasus Streptococcus e-mail korespondensi : [email protected]
suis. Yang mana hal ini mengartikan dengan adanya penjual dapat
meningkatkan kejadian Streptococcus suis di wilayah tersebut.
Ketimpangan antara besaran kasus Streptococcus suis dan jumlah penjual yang ditemukan di Kota Denpasar dapat diakibatkan karena dua hal yakni, yang pertama bedanya tempat masyarakat dalam membeli atau mengkonsumsi hidangan tersebut dari tempat masyarakat tersebut berdomisili kemudian yang kedua dikarenakan proses pengolahan terhadap hidangan tersebut masih dengan sanitasi yang buruk sehingga dapat meningkatkan pula dari kejadian Streptococcus suis dimasyarakat.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka hal yang dapat disarankan kepada oleh peneliti yakni kepada para penjual makanan tradisional (Lawar Barak, Sate, dan Komoh) agar dapat lebih memperhatikan sanitasi hygiene dalam proses pengolahan hidangan tersebut agar tidak menimbulkan penyakit khususnya Streptococcus suis yang disebabkan karena mengkonsumsi
hidangan tersebut. Kemudian diharapkan selanjutnya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dilakukan uji laboratorium pada makanan tradisional yang terindikasi dapat berpotensi menyebabkan kejadian Streptococcus suis seperti Lawar Barak, Sate, dan Komoh di Kota Denpasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Program Studi Sarjana Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah
memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan topik tersebut. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Residen Neurology Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah yang telah membantu peneliti dalam pemberian data untuk keperluan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, O., Susilawathi, N. M.,
Indradewi, A. A., Yaputra, F., Asih,
M. W., Budayanti, N. N., & Maliawan, S. (2020). Case Report: Meningitis Streptococcus suis Presented with spondylodiscitis in Bali. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 1-3.
Arikunto, S. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. AdiMahasatya.
Aryasa, I. A., Widiasari, N. P., Susilawathi, N. M., Fatmawati, N. N., Adnyana, I. M., Sudewi, A. A., & Tarini, N. M.
(2020). Streptococcus suis meningitis related to processing and consuming raw pork during. Medical Journal of Indonesia, 88-92.
BPS. (2020). Populasi Babi menurut
Provinsi 2009-2019. From BPS (Badan Pusat Statistik): https:// bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/ 1026
Huong, V. T., Hoa, N. T., Horby, P., Bryant, J. E., Kinh, N. V., Toan, T. K., & Wertheim, H. F. (2014). Raw pig blood consumption and potential risk for Streptococcus suis infection, Vietnam. Emerging infectious diseases, 1895-1898.
Indonesia, P. R. (2019). Indonesia Patent No. 86.
Nguyen, N. T., Luu, Y. T., Hoang, T. D., Nguyen, H. X., Dao, T. D., Bui, V. N., & Gray, G. C. (2021). An epidemiological study of Streptococcus suis prevalence among swine at industrial swine farms in Northern Vietnam. One Health, 100254.
Putra, P. C., & Devi, S. (2020). PENGARUH BAHAN BAKU, MANAGEMENT SUPPLAY CHAIN, DAN MODAL TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG SATE DI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG TAHUN 2020. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, 597-606.
Sunardi, N., Marpuah, S., Putri, S., Selinvia, S., Surya, P., & Faruq, A. (2021). Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Meningkatkan Penjualan UMKM di Pasar Modern Intermoda BSD City Kota Tangerang Selatan di Tengah Pandemi Covid-19. Pengabdian Kepada Masyarakat, 66-72.
Susilawathi, N. M., Tarini, N. M., Fatmawati, N. N., Mayura, P. I., Suryapraba, A. A., Subrata, M., . . . Mahardika, G. N. (2019).
Streptococcus suis-associated meningitis, Bali, Indonesia, 2014-2017. Emerging Infectious Diseases, 2235-2242.
Takeuchi, D., Kerdsin, A., Pienpringram, A., & Luangsuk, P. (2012).
Population-Based Study of Streptococcus suis Infection in Humans in Phayao Province in Northern Thailand. Plos One.
Tarini, N. M., Setiabudy, M., Susilawathi, N., NND, F., IPB, M., EA, D., & NKA, S. (2019). Misidentification of S. suis as a Zoonotic Agent. Open access Macedonian journal of medical sciences, 2309-2312.
VanderWaal, K., & Deen, J. (2018). Global trends in infectious diseases of swine. Norway: Proceedings of the National Academy of Sciences of the United Sstates of America.
Wertheim, H. F., Nghia, H. D., Taylor, W., & Schultsz, C. (2009). Streptococcus suis: An Emerging Human Pathogen. Clinical Infectious Diseases, 617-625.
WHO. (2006). PROMOTING SAFE FOOD HANDLING. From WHO:
https://www.who.int/activities/prom oting-safe-food-handling
e-mail korespondensi : [email protected]
536
Discussion and feedback