Arc. Com. Health • Desember 2023

p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620

Vol. 10 No. 3 : 468 - 486

GAMBARAN KEBIASAAN MAKAN DAN FAKTOR EKOLOGI WANITA USIA SUBUR DI KECAMATAN SIDEMEN KABUPATEN KARANGASEM BALI

I Putu Okta Diwian Jaya Putra, Ni Wayan Arya Utami*

Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jalan PB. Sudirman, Denpasar, Bali 80232

Abstrak

Wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu kelompok risiko tinggi mengalami anemia. Anemia pada WUS disebabkan oleh faktor langsung (asupan nutrisi dan penyakit infeksi) dan faktor tidak langsung (faktor ekologi). Penelitian faktor ekologi kejadian anemia pada WUS di Bali masih kurang dan hasilnya bervariasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran faktor ekologi WUS di Kecamatan Sidemen Kabupaten Karangasem Bali. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross-sectional yang dilakukan di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Sampel dipilih secara total sampling. Total responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 186 orang. Data faktor ekologi dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur sedangkan data pola konsumsi dengan food frequency questionnaire (FFQ). Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan secara naratif. Hasil karakteristik sosiodemografi menunjukan bahwa WUS paling banyak berada pada kelompok usia 20-35 tahun (51,8%), tamat SD/MI (46,7%), pekerjaan wiraswasta (55,9%), dan memiliki penghasilan <UMK Kab. Karangasem (Rp. 2.555.469,09) (93,5%). Sumber bahan pangan, fasilitas kesehatan, dan sumber air yang paling mudah diakses adalah warung (99%), puskesmas (81,7%), dan mata air (51,4%). Sebanyak 55,4% WUS tidak pernah mengakses informasi terkait anemia, 68,2% WUS memiliki frekuensi konsumsi protein jarang dan 82,3% kebiasaan makan tidak beragam.

Kata Kunci: Faktor Ekologi, Wanita Usia Subur, Kecamatan Sidemen

Abstract

Women of Reproductive Age (WUS) are one of the high-risk groups for anemia. Anemia in WUS is caused by direct factors (nutritional intake and infectious diseases) and indirect factors (ecological factors). Research on the ecological factors of the incidence of anemia in WUS in Bali is still lacking and the results vary. The purpose of this study was to describe the consumption habits and ecological factors of women of childbearing age (WUS) in Sidemen District, Karangasem Regency, Bali. This study is a descriptive study with a cross-sectional design conducted in Sidemen District, Karangasem Regency. The sample was selected by total sampling. The number of respondents who met the inclusion and exclusion criteria was 186 people. Ecological data factors were collected by interview using a structured questionnaire, while consumption pattern data was collected using a food frequency questionnaire (FFQ). Data were analyzed descriptively and presented narratively. The results of sociodemographic characteristics show that the majority of WUS are in the age group of 20-35 years (51.8%), graduated from SD/MI (46.7%), are self-employed (55.9%), and have income <UMK Kab. Karangasem (Rp 2,555,469.09) (93.5%). The most accessible sources of food, health facilities, and water sources are food stalls (99%), puskesmas (81.7%), and springs (51.4%). As many as 55.4% of WUS have never accessed information related to anemia, 68.2% WUS have less frequent protein consumption, and 82.3% eating habbits is not diverse Keywords: Ecological Factor, Women of Reproductive Age, Sidemen Regency

PENDAHULUAN

Terdapat sejumlah faktor ekologi pada wanita usia subur, dan beberapa faktor tersebut menjadi penyebab terjadinya anemia (Balarajan et al., 2011). Anemia adalah masalah kesehatan global terutama pada negara berkembang dan miskin (WHO, 2012). Pada tahun 2011, secara global 528,7 juta (29,4%) wanita usia subur (15-49 tahun) mengalami anemia dan

20,2 juta wanita usia subur diantaranya mengalami anemia berat (WHO, 2015). Kasus anemia dapat terjadi pada setiap kelompok umur dan wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu kelompok dengan risiko yang tinggi untuk mengalami anemia (Sudikno, 2016). Status gizi yang kurang baik dan anemia pada WUS dapat berdampak pada generasi yang dilahirkannya nanti. Kondisi tersebut juga

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin saat hamil, serta memiliki potensi menimbulkan terjadinya komplikasi saat hamil atau persalinan yang dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan bayi baru lahir (Wijayanti dan Fitriani, 2019).

World Health Organization (WHO) menargetkan penurunan prevalensi anemia pada WUS sebesar 50% pada tahun 2025 (WHO, 2012). Prevalensi terjadinya anemia pada negara maju diperkirakan sebesar 9% dan pada negara berkembang sebesar 43% (WHO, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukan bahwa prevalensi anemia pada wanita usia subur (15-49 tahun) di Indonesia adalah 25,3% (Kemenkes, 2018) dan termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat sedang (20,0-39,9%) (WHO, 2015). Provinsi Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih mengalami kejadian anemia (23,9%-26,7%:95% CI) (Utami et al., 2020). Salah satu wilayah dengan kejadian anemia yang tinggi di Bali adalah di kabupaten Karangasem (23,9%-26,7%:95% CI) (Utami et al., 2020) dengan Kecamatan Sidemen yang merupakan satu dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Karangasem, yang memiliki kejadian anemia sebesar 62,35% pada wanita prakonsepsi (Ani et al., 2018).

Penelitian tentang faktor ekologi anemia pada WUS sudah banyak dilakukan, namun masih terjadi perbedaan dari hasil penelitian tersebut. Beberapa penelitian menemukan bahwa kejadian anemia memiliki hubungan yang signifikan dengan asupan zat besi, vitamin A, dan protein (Merrill et al., 2017; Sufyan dan Mardiana, 2019), asam folat (Nguyen et

al., 2015), vitamin C (Utama et al., 2013) dan penyakit infeksi (Merrill et al.,  2017).

Namun penelitian yang dilakukan oleh Sudikno (2016) serta Wijayanti dan Fitriani (2019) menemukan hal yang sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ani et al. (2018) menemukan bahwa paritas berhubungan dengan kejadian anemia, namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2016). Status gizi juga menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada WUS (Sufyan dan Mardiana, 2019; Utami et al., 2020), yang selanjutnya hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Ani et al., (2018).

Faktor ekologi penyebab tidak langsung terjadinya anemia yaitu akses terhadap pelayanan kesehatan dan intervensi, pendidikan dan pengetahuan terkait anemia, serta akses terhadap air bersih dan sanitasi (Utami et al., 2020).

Sedangkan faktor mendasar anemia adalah pendidikan, penghasilan dan norma sosial serta perilaku (Balarajan et al,,  2013;

Hidayah, 2016; Sudikno, 2016). Penelitian lain menemukan bahwa status sosial ekonomi memiliki hubungan terhadap konsumsi daging dan kadar feritin wanita usia subur (Nguyen et al., 2015). Beberapa penelitian menemukan bahwa faktor lain yang memiliki hubungan dengan kejadian anemia adalah karakteristik demografi seperti umur dan pendidikan dari wanita usia subur (Nguyen et al., 2015; Merrill et al., 2017; Utami et al.,  2020). Tetapi, hal

tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ani et al. (2018) yang menemukan bahwa faktor sosiodemografi tersebut tidak berhubungan dengan anemia pada wanita usia subur.

Anemia merupakan suatu kadaan saat kadar hemoglobin (Hb) dalam tubuh seseorang dibawah nilai normal (kadar Hb <12g/dL untuk wanita usia subur) (Kemenkes, 2013). Penyebab paling umum dari semua anemia secara global adalah faktor ekologi berupa kekurangan gizi besi, tetapi kekurangan zat gizi lainnya (termasuk folat dan vitamin B12), peradangan akut dan kronis, infeksi parasit, dan kelainan bawaan yang dapat memperngaruhi produksi hemoglobin, sel darah merah, atau kehilangan sel darah merah juga dapat menyebabkan anemia (WHO, 2015).

Program pemerintah yang telah dilakukan hingga saat ini untuk memerangi anemia di Indonesia adalah dengan melakukan pemberian makanan tambahan, fortifikasi bahan makanan dan tablet tambah darah (TTD). Pada tahun 2019 telah tercatat cakupan pemberian tablet tambah darah 90 tablet di Bali telah mencapai 95,7% dan pemberian makanan tambahan telah mencapai 99,9% (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2019). Meskipun demikian, anemia masih saja tetap menjadi salah satu permasalahan kesehatan dengan tingkatan sedang hingga serius.

Berdasarkan latar belakang yang telah di sampaikan dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ani et al. (2018), masih terdapat perbedaan hasil dari berbagai penelitian, serta masih perlu diketahuinya gambaran faktor ekologi anemia dari WUS. Saat ini penelitian yang memfokuskan kepada faktor ekologi WUS di Bali masih kurang. Hal tersebutlah menyebabkan peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran kebiasaan makan dan faktor ekologi wanita usia subur

(WUS) di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif     dengan     menggunakan

rancangan     cross-sectional.     Penelitian

dilaksanakan selama bulan Juni-Juli 2021. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 186 wanita usia subur di Desa Telaga Tawang, Kecamatan     Sidemen,     Kabupaten

Karangasem yang terpilih menggunakan total sampling. Dengan kriteria inklusi berdomisili dan tinggal di wilayah dusun/desa terpilih, sudah menikah dan pernah melahirkan, berusia 15-49 tahun, mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tertulis, dan bersedia ikut serta sebagai subyek penelitian dan menandatangani informed consent, serta syarat eksklusi sedang hamil dan memiliki penyakit kronis seperti kelainan genetik Hb, kanker, penyakit jantung, dan lainnya (berdasarkan keterangan yang diberikan responden). Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dengan teknik consecutive sampling dan door to door. Data yang dikumpulkan berupa karakteristik WUS (usia, pekerjaan, pekerjaan suami, kepesertaan JKN/KIS) dan faktor ekologi (tingkat penghasilan keluarga, akses ke pelayanan kesehatan, akses ke informasi dan pengetahuan terkait anemia, akses ke sumber makanan, akses ke air bersih, dan kebiasaan makan). Data dianalisis secara deskriptif menggunakan aplikasi pengolah data pada komputer.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden meliputi umur, pekerjaan ibu, pekerjaan suami, dan kepemilikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS). Rentang umur responden terbanyak adalah 20-35 tahun (51,8%) dengan usia termuda 15 tahun, usia tertua 49 tahun, dan rata – rata usia 33,48; tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SD/MI yaitu

91 responden (46,7%); pekerjaan responden terbanyak wiraswasta sejumlah 104 responden (55,9%); pekerjaan suami responden terbanyak sejumlah 109 responden yaitu petani/buruh tani (58,6%); serta sebagian besar responden (95,7%) memiliki kepesertaan JKN/KIS. Karakteristik Responden secara rinci dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Karakteristik Responden

Karakteristik

n (N=186)

%

Umur

<20

1

0,5

20-35

108

51,8

>35

77

41,4

Tingkat Pendidikan WUS

Tidak Tamat SD

8

4,1

SD/MI

91

46,7

SMP/SLTP

45

23,1

SMA/SLTA

33

16,9

D1/D2/D3

4

2,1

S1/S2/S3

5

2,6

Pekerjaan WUS

Tidak Bekerja/Dirumahkan

35

18,8

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD

1

0,5

Pegawai Swasta

9

4,8

Wiraswasta

104

55,9

Petani/Buruh Tani

26

14,0

Buruh/Sopir/ART

5

2,7

Lainnya

6

3,2

Pekerjaan Suami

Tidak Bekerja/Dirumahkan

5

2,7

PNS/ TNI/ Polri/ BUMN/BUMD

3

1,6

Pegawai Swasta

23

12,4

Wiraswasta

31

16,7

Petani/Buruh Tani

109

58,6

Buruh/ Sopir/ Asisten rumah tangga

10

5,4

Lainnya

Kepemilikan JKN/KIS

Memiliki

Tidak Memiliki

5

2,7

178

95,7

8

4,3


Faktor ekologi responden pada penelitian ini ditinjau berdasrkan tingkat penghasilan keluarga, askes pelayanan kesehatan, akses ke informasi dan pengetahuan terkait anemia, akses ke sumber makanan, askes air bersih, serta pola konsumsi responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 174 responden memiliki penghasilan keluarga <UMK (Rp.2.555.469,09) Kabupaten Karangasem (93,5%). Fasilitas kesehatan terdekat yang dapat di akses responden adalah puskesmas dengan waktu tempuh <10 menit menggunakan kendaraan bermotor (81,7%). Dokter praktik, klinik kesehatan, dan rumah sakit terdekat dapat ditempuh oleh sebagian besar responden selama 1045 menit menggunakan kendaraan bermotor dengan proporsi 73,7%, 70,4%, dan 67,2%. Lebih dari setengah jumlah responden tidak pernah memperoleh informasi dan pengetahuan terkait anemia, yaitu sebanyak 103 responden (55,4%). Responden tersebut tidak mengetahui definisi anemia sebanyak 47,8%. Dari 83 responden yang pernah mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait anemia, sumber informasi terbanyak adalah puskesmas (46,9%) diikuti media sosial (20,5%). Sumber Pangan yang ada di sekitar Desa Telaga Tawang adalah 40 buah warung / toko kelontong. Sumber pangan terdekat yang dapat di akses responden adalah warung, sebagian besar responden dapat mengakses warung e-mail korespondensi: [email protected]

dengan waktu tempuh <10 menit menggunakan kendaraan bermotor (99,0%). Pasar, minimarket, dan supermarket dapat ditempuh oleh sebagian besar responden selama 10-45 menit menggunakan kendaraan bermotor dengan proporsi responden masing – masing 57,9%, 70,8%, dan 72,8%.

Tabel  2.  Distribusi  Frekuensi

Ekologi Responden

Faktor

Faktor Ekologi

n

(N=186)

%

Tingkat     Penghasilan

Keluarga

174

93,5

< UMK Kab. Karangasem

12

6,5

≥ UMK Kab. Karangasem

Akses   ke   Pelayanan

Kesehatan

Rumah Sakit

24

12,9

<10 menit

125

67,2

10-45 menit

37

19,9

>45 menit

Puskesmas

<10 menit

152

81,7

10-45 menit

33

17,7

>45 menit

1

0,5

Dokter Praktik Swasta

<10 menit

19

10,2

10-45 menit

137

73,7

>45 menit

30

16,1

Klinik Kesehatan Swasta

<10 menit

27

14,5

10-45 menit

131

170,4

>45 menit

28

15,1

472


Akses ke Informasi dan

Super Market

Pengetahuan     Terkait

<10 menit                    18     9,2

Anemia

83

44,6

10-45 menit                   138    70,8

Memperoleh   informasi

103

55,4

>45 menit                    30     15,4

terkait anemia

Mini Market

Pernah

<10 menit                     11      5,6

Tidak Pernah

10-45 menit                   142    72,8

Sumber informasi (N=83)

>45 menit                    33     16,9

Saat menjadi pelajar

12

14,5

Puskesmas

39

46,9

Tabel 3 menunjukan sumber air yang

Dokter Praktik

3

3,6

paling banyak digunakan oleh responden

Surat Kabar

2

2,5

untuk setiap kegiatan yang menggunakan

Media Sosial

17

20,5

air. Kegiatan yang menggunakan air antara

Internet

2

2,5

lain  memasak,  mandi,  mencuci,  dan

Lainnya

7

8,5

kebersihan (mengepel, mencuci motor, dan

Pengetahuan     Terkait

lainnya). Secara kumulatif, sumber air

Anemia

97

52,2

bersih yang paling banyak digunakan

Tahu

89

47,8

adalah  mata   air   (51,4%)   dan   air

Tidak Tahu

ledeng/PAM (44,8%). Sumber mata air yang

Akses    ke    Sumber

digunakan oleh masyarakat Desa Telaga

Makanan

Tawang bersumber dari dataran tinggi

Pasar

48

24,6

wilayah setempat seperti pada gambar 1.

<10 menit

113

57,9

Namun pada aliran air irigasi dan sungai

10-45 menit

25

12,8

dekat jalanan utama, air tercemar oleh

>45 menit

sampah seperti pada gambar 2. Hal

Warung

tersebut disebabkan oleh sungai tersebut

<10 menit

184

99,0

juga mendapat aliran air dari sumber yang

10-45 menit

1

0,5

lainnya.

>45 menit

1

0,5

Tabel 3. Akses ke Air Bersih

Kegiatan

Jenis Air

Masak

Mandi

Mencuci  Kebersihan    n     %

Air Kemasan Bermerk

1

1

-             1                    3     0,3

Air Isi Ulang

1

-

1            2                 4    0,5

Air Ledeng/PAM

90

87

85         84             346   44,8

Sumur Gali Pribadi

2

2

1            1                   6     0,8

Mata Air

97

99

101        100            397   51,4

Penampung Air Hujan

-

1

-              -                     1      0,1

Air  Permukaan  (Danau,

2

5

7           2                 16    2,1

Sungai, Irigasi)

Jumlah

193

195

195

190

773

100,0


Gambar 1. Sumber Mata Air Desa Telaga Tawang


Gambar 2. Aliran air sungai dan irigasi Desa Telaga Tawang yang tecemar oleh sampah

Tabel 4 menunjukan distribusi frekuensi keberagaman konsumsi yang dimiliki responden. Didapatkan sebagian besar responden memiliki konsumsi yang tidak beragam (82,3%).

Tabel 4. Keberagaman Konsumsi Responden


pangan yaitu padi dan serealia, umbi – umbian, pangan hewani, kacang – kacangan, buah dan sayur, serta lain – lain. Sebagian besar kelompok pangan memiliki frekuensi jarang dikonsumsi yaitu padi dan serealia (52%), umbi – umbian (60,1%), pangan hewani (68,2%), kacang-kacangan (47,3%), sayur dan buah (53,4%) dan lain lain (49,8%).


Keberagaman

n

%

Konsumsi

(N=186)

Tidak Beragam

153

82,3

Beragam

33

17,7

Tabel 5 menunjukkan hasil analisis distribusi frekuensi konsumsi kelompok

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Konsumsi Kelompok Pangan

Kelompok Pangan

Sering

Frekuensi Konsumsi

Kadang

Jarang

n

%

n

%

n

%

Padi     dan

350

26,9

275

21,1

677

52,0

serealia

(N=1302)

Umbi      –

115

15,4

182

24,5

447

60,1

umbian

(N=744)

Pangan

395

16,3

374

15,5

1649

68,2

Hewani

(N=2418)

Kacang     –

487

37,4

199

15,3

616

47,3

kacangan

(N=1302)

Sayur    dan

1179

26,4

901

20,2

2384

53,4

buah (N=4464)

Lain  –  lain

228

40,7

53

9,5

277

49,8

(N=558)

Tabel 6. menunjukan tabulasi silang

wiraswasta  (52,7%),  pekerjaan  suami

karakteristik dengan tingkat penghasilan.

petani/butuh tani

(52,0%),

dan memiliki

Pengasilan <UMK terbanya pada kelompok

JKN/KIS (89,2%).

umur  25-35  tahun  (43,5%),

tingkat

pendidikan  SD/MI

(47,8%),

pekerjaan

Tabel 6. Tabulasi Silang Karakteristik dengan Tingkat Penghasilan Keluarga Responden

Karakteristik

Tingkat Penghasilan

<UMK

%

≥UMK

%

Umur

<20

1

0,5

0

0,0

20-35

103

55,4

5

2,7

>35

70

37,6

7

3,8

Tingkat Pendidikan WUS

Tidak Tamat SD

7

3,8

1

0,5

SD/MI

87

46,8

4

2,2

SMP/SLTP

44

23,7

1

0,5

SMA/SLTA

29

15,6

4

2,2

D1/D2/D3/D4

3

1,6

1

0,5

S1/S2/S3

4

2,2

1

0,5

Pekerjaan WUS

Tidak Bekerja/Dirumahkan

PNS/TNI/Polri/ BUMN/BUMD

Pegawai Swasta

Wiraswasta

34         18,3           1        0,5

-           0,0              1        0,5

8          4,3             1        0,5

98         52,7           6       3,2

Petani/Buruh Tani

Buruh/Sopir/ART

Lainnya

Pekerjaan Suami

Tidak Bekerja/Dirumahkan

PNS/TNI/Polri/ BUMN/BUMD

Pegawai Swasta

Wiraswasta

25         13,5           1        0,5

4          2,2             1        0,5

5          2,7             1        0,5

5          2,7             -        0,0

3          1,6             -        0,0

21         11,3           2       1,1

26         14,0           5       2,7

Petani/Buruh Tani Buruh/Sopir/ ART Lainnya

Kepemilikan JKN/KIS

Memiliki

106        57,0           3       1,6

10          5,4             -        0,0

3          1,6             2        1,1

166        89,2          12      6,5

Tidak Memiliki

8          4,3             -        0,0

Tabel 7 menunjukan tabulasi silang karakteristik dengan keberagaman konsumsi. Sebagian besar WUS dengan kategori konsumsi yang tidak beragam

(46,8%), memiliki tingkat pendidikan SD/MI (43,5%), pekerjaan wiraswasta (50,5%), pekerjaan suami petani (51,1%), dan memiliki kepesertaan JKN/KIS (78,5%).

berada pada rentang usia 20-35 tahun

Tabel 7. Tabulasi Silang Karakteristik dengan Keberagaman Konsumsi

Karakteristik

Keberagaman Konsumsi

Tidak Beragam

%

Beragam

%

Umur

<20

-

0,0

1

0,5

20-35

87

46,8

21

11,3

>35

66

35,5

11

5,9

Tingkat Pendidikan WUS

Tidak Tamat SD

8

4,3

-

0,0

SD/MI

81

43,5

10

5,4

SMP/SLTP

30

16,1

15

8,1

SMA/SLTA

27

14,5

6

3,2

D1/D2/D3/D4

3

1,6

1

0,5

S1/S2/S3

4

2,2

1

0,5

Pekerjaan WUS

Tidak Bekerja/Dirumahkan

PNS/TNI/Polri/ BUMN/BUMD

Pegawai Swasta

Wiraswasta

Petani/Buruh Tani

Buruh/Sopir/ART

Lainnya

Pekerjaan Suami

Tidak Bekerja/Dirumahkan

PNS/TNI/Polri/ BUMN/BUMD

Pegawai Swasta Wiraswasta

Petani/Buruh Tani Buruh/Sopir/ ART Lainnya

Kepemilikan JKN/KIS

Memiliki

Tidak Memiliki

26          14,0                9         4,8

-             0,0                    1           0,5

8            4,3                   1           0,5

94          50,5               10         5,4

18          9,7                  8          4,3

4            2,2                   1           0,4

3            1,6                   3           1,6

5            2,7                   -           0,0

2            1,1                   1           0,5

17          9,1                  6          3,2

21          11,3               10         5,4

95          51,1               14         7,5

9            4,8                   1           0,5

4            2,2                   1           0,5

146         78,5               32         17,2

7            3,8                   1           0,5

Hasil tabulasi silang tingkat penghasilan keluarga dengan keberagaman konsumsi responden menunjukan, sebesar 77,4% WUS dengan tingkat penghasilan keluarga dibawah UMK Kab. Karangasem memiliki kategori konsumsi yang tidak beragam. Secara kumulatif sebagian besar WUS dengan keberagaman konsumsi tidak beragam memiliki akses ke pelayanan kesehatan dengan tingkat sedang (49,9%), tidak pernah mengakses informasi dan pengetahuan terkait anemia (48,9%), serta secara kumulatif memiliki akses ke sumber makanan dengan waktu tempuh sedang (45,6%).

Beraga      m

m

Tingkat

Penghasila    144    77,     30     16,

n Keluarga           4             1

<UMK ≥UMK        9    4,8     3     1,6

Akses ke

Pelayanan     161    21,     61     8,2

Kesehatan           6

Dekat

Sedang        371    49,     55     7,4

Jauh           80    9       16     2,1

10, 7

Akses ke

Tabel 8. Tabel 8. Tabulasi Silang Faktor

Ekologi dengan Keberagaman Konsumsi

Faktor     Keberagaman Konsumsi

Ekologi   Tidak   %   Beraga  %

Informasi

dan            62    33,     21     11,

Pengetahu           3            3

an Anemia

Pernah

Tidak

Pernah

91

48, 9

12

6,5

Akses ke

Sumber

Makanan

Dekat

204

27, 4

57

7,7

Sedang

339

45,

55

7,4

Jauh

69

6

9,3

20

2,7

DISKUSI

Gambaran Karakteristik Responden

Menurut Novianti dan Aisyah (2018), kejadian anemia pada ibu hamil berkaitan dengan tingginya risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Guspaneza dan Martha (2019) menyatakan bahwa usia WUS atau ibu yang melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun memiliki risiko kehamilan yang lebih tinggi (1,658 OR; p=0,067). Hasil penelitian ini menunjukan, sebagian besar responden berada pada kelompok umur 20-35 tahun (51,8%) atau dapat dikatakan sebagian besar WUS di Kecamatan Sidemen memiliki usia dengan risiko kehamilan yang lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Chapman (2006), dimana faktor risiko preeklampsia lebih banyak terjadi pada ibu yang memiliki usia dibawah 25 tahun atau lebih dari 35 tahun.

Berdasarkan tingkat pendidikan responden, mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan SD/MI (46,7%). Rendahnya pendidikan WUS dapat mempengaruhi risiko terjadinya anemia, karena faktor pendidikan berpengaruh terhadap sulit mudahnya seseorang memahami informasi terkait gizi.

Kurangnya informasi atau pengetahuan seseorang terkait gizi merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian anemia (95% CI; p=0,038) (Lestrina, 2014).

Sebagian besar WUS mendapatkan penghasilan dengan berwiraswasta (55,9%). Menurut BPS (2020), masyarakat Kecamatan Sidemen banyak yang menggeluti industri kerajinan rumah tangga. Pada Riskesdas (2007), mendapatkan bahwa ibu rubah tangga memiliki resiko dan prevalensi anemia yang lebih tinggi daripada ibu dengan pekerjaan lainnya. Hal tersebut menunjukan sebagian besar WUS pada penelitian ini memiliki resiko anemia yang lebih rendah karena bukan merupakan ibu rumah tangga. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sudikno (2016), yang menunjukan tidak terdapat hubungan antara pekerjaan WUS dengan kejadian anemia

Gambaran Faktor Ekologi Responden

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar tingkat penghasilan keluarga WUS berada di bawah UMK Kab. Karangasem (89,2%). Tingkat penghasilan yang rendah dapat menyebabkan daya beli makanan menjadi rendah dan berisiko terjadinya anemia (RR=1,25; CI=95% 1,231,27) (Balarajan et al., 2011). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Nisa (2017), dimana tingkat pendapatan beruhungan signifikan dengan kejadian anemia pada WUS (p=<0,001) (Nisa, 2017).

Fasilitas kesehatan yang dapat diakses dengan cepat dan mudah adalah Puskesmas (77,9%) yaitu Puskesmas Sidemen. Meski demikian, masih terdapat responden yang membutuhkan waktu 10-

45 menit (16,9%) dan >45 menit (0,5%) untuk sampai ke Puskesmas. Hal tersebut karena wilayah geografis Desa Telaga Tawang berada di daerah perbukitan memiliki jarak yang jauh untuk menuju fasilitas kesehatan manapun dan harus melalui jalanan yang naik - turun serta berliku untuk mencapai jalan utama. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2017), menemukan adanya hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang anemia (p=0,020). Namun penelitian yang dilakukan oleh Fitarina (2014), akses ke pelayanan kesehatan merupakan faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian anemia (p=0,532).

Pengetahuan merupakan faktor yang penting dalam membetuk perilaku seseorang, termasuk perilaku untuk menentukan bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan WUS (Lestrina, 2014). Pada penelitian ini responden yang tidak pernah memperoleh informasi terkait anemia (55,4%) lebih banyak daripada yang pernah memperoleh informasi terkait anemia (44,6%). Walaupun demikian, responden yang mengetahui definisi anemia lebih banyak yaitu sebesar 52,2% dan tidak tahu sebesar 47,8%. Hasil ini didukung oleh penelitian Fitarina (2014) yang mendapatkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian anemia (p=0,002). Serta pada penelitian yang dilakukan oleh Lestrina (2014), yang menemukan pengetahuan terkait anemia merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya anemia pada WUS (p=0,038; α=0,05).

Sumber pangan yang dapat dijangkau masyarakat Desa Telaga Tawang

dengan mudah adalah warung, tersebar 40 warung klontong di setiap penjuru desa, sebesar 99% responden dapat mengakses sumber makanan pada warung dengan mudah dan cepat karena jarak yang dekat. Dibandingkan dengan warung klontong, pasar memiliki bahan makanan yang lebih bervariasi untuk dipilih oleh masyarakat. Namun untuk menuju ke pasar, lebih dari setengah (57,9%) responden membutuhkan waktu 10-45 menit dan 12,8% membutuhkan waktu >45 menit. Hal tersebut menunjukan lebih sedikit responden yang dapat dengan mudah mengakses sumber pangan yang lebih bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdini (2019), menemukan adanya hubungan yang signifikan antara akses pangan dengan kejadian anemia (CI=95%; p=0,004).

Gambaran Kebiasaan makan Responden

Salah satu faktor langsung yang mempengaruhi anemia pada wanita usia subur (WUS) adalah pola konsumsi (CI=95%; p=0,001) (Hidayah, 2016). Pada penelitian ini, sebagian besar responden memiliki pola konsumsi tidak beragam dan memiliki frekuensi konsumsi jarang pada setiap kelompok pangan. Hal tersebut berarti sebagian besar WUS di Desa Telaga Tawang memiliki risiko kekurangan zat gizi yang lebih tinggi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia. Seperti pada penelitian Simanungkalit (2019), yang menemukan adanya hubungan antara kecukupan energi dan protein dengan kejadian anemia pada WUS (CI=95%; p=0,023). Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Utami et. al., (2015), yang menemukan adanya

hubungan antara pola makan dengan kejadian anemia (OR=5,400; p=0,002).

Sebagian besar WUS pada penelitian ini memiliki frekuensi konsumsi dengan kategori jarang pada setiap kelompok pangan. Hal tersebut dapat diartikan sebagian besar WUS Desa Telaga Tawang jarang mengonsumsi makanan – makanan yang dapat mengurangi defisiensi zat – zat gizi yang dibutuhkannya. Kandungan gizi pada nasi, umbi dan serealia didominasi oleh karbohidrat (Manampiring, 2008), selain itu nasi dan umbi – umbian juga memiliki bioavailabilitas zat besi (Fe) yang tergolong sedang (Sari, 2018). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri et al. (2016) di kota Tanggerang, yang menemukan adanya hubungan signifikan antara konsumsi nasi dengan kecukupan zat besi (p=0,000).

Kelompok pangan hewani merupakan sumber pangan yang mengandung 40% zat besi (heme) dengan bioavailabilitas yang tinggi (Du dalam Fitri et al., 2016). Selain itu, pangan hewani jugu merupakan sumber pangan tinggi protein yang menjadi sumber zat besi yang dapat lebih mudah diserap oleh tubuh (National Institutes of Health, 2011). Penelitian Fitri et al. (2016) menemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi lauk hewani dengan kecukupan zat besi (p=0,028). Konsumsi kacang – kacangan merupakan faktor yang secara signifikan berhubungan dengan tingkat kecukupan zat besi ibu (Fitri et al., 2016). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Amalia (2016), yang menemukan adanya pengaruh pemberian kacang hijau terhadap peningkatan kadar Hb (p-value 0,000). Penelitian Ekafitri dan Isworo (2014) memanfaatkan kacang –

kacangan sebagai sumber protein utama dalam pembuatan food bar dan mendapatkan hasil kadar protein yang sesuai dengan standar protein pangan darurat yang dianjurkan (10-15%). Kacang – kacangan sendiri merupakan kelompok makanan yang mendominasi sumber makanan nabati, yang merupakan sumber zat besi utama yang berkontribusi 80% lebih terhadap total asupan zat besi (Banjari et. al., 2013). Hal ini menunjukan sebagian besar WUS di Desa Telaga Tawang berisiko mengalami defisiensi zat besi karena jarang mengonsumsi pangan hewani dan kacang – kacangan.

Sayuran mengandung berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, berupa vitamin A, B, C, E, dan K, zat besi, mangan, fosfor, seng, protein, purin, lemak, karbohidrat, flavonoid, amarantin, kalium, selenium, nuacin, beta karoten, asam lemak, omega-3, serat, neoxathin, violaxathin, antioksidan, dan masih banyak lagi (Nuraini, 2014). Menurut penelitian Simanungkalit (2019), WUS yang kurang mengonsumsi sayur lebih banyak yang mengalami anemia daripada WUS yang cukup mengonsumsi sayuran (p=0,028). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Rahayu dan Suryani (2018), yang menemukan adanya hubungan konsumsi sayuran hijau dengan kejadian anemia (p=0,004). Buah – buahan memiliki kandungan serat dan vitamin yang tinggi, yang dapat membantu penyerapan zat besi (Fe) di dalam tubuh (Wijaya, 2012). Buah juga sebaiknya dikonsumsi satu porsi per harinya (Proverawati, 2011), karena merupakan sumber vitamin, mineral, dan protein yang memiliki peran menjaga normalnya tekanan darah, gula darah,

sebagai antioksidan, dan mengurangi risiko sembelit dan kegemukan (Kemenkes RI, 2014). Penelitian Simanungkalit (2019), menemukan adanyan hubungan yang signifikan antara asupan buah dengan kejadian anemia pada WUS di Kelurahan Paluh Kemiri (95% CI; p=0,028).

Responden juga banyak mengonsumsi penghambat penyerapan zat besi seperti kopi dan teh. Dimana hal tersebut sesuai dengan penelitian Masthalina (2015), yang menemukan bahwa teh dan kopi merupakan salah satu faktor inhibitor (penghambat) penyerapan Fe. Sebanyak 68,3% responden mengonsumsi kopi dan 32,3% responden mengonsumsi teh lebih dari tiga kali dalam seminggu, dimana hal tersebut dapat mengurangi penyerapan zat besi dan meningkatkan risiko WUS Desa Telaga Tawang untuk mengalami defisiensi zat besi, serta anemia.

Tabulasi Silang Karakteristik dengan Kebiasaan makan dan Faktor Ekologi Responden

Pada penelitian ini, sebagian besar WUS dengan tingkat penghasilan keluarga <UMK Kab. Karangasem berada pada kelompok usia 20-35 (55,4%). Tingkat penghasilan keluarga merupakan salah satu faktor tidak langsung dari anemia, serta mempengaruhi daya beli dan pola konsumsi. Disamping hal tersebut, kelompok umur 20-35 tahun berada pada rentang usia yang dianjurkan dimana seorang wanita untuk hamil atau tidak berisiko melahirkan BBLR (95%CI; p=0,008) (Tazkiah, et. al., 2013). Sebagian besar WUS memiliki latar belakang pendidikan SD/MI (46,7%), sehingga tingkat pendidikan yang

lebih rendah mengakibatkan kurangnya pemahaman jika diberikan pengetahuan terkait gizi ataupun anemia (Paramata dan Sandalayuk, 2019). Tingkat pengetahuan juga mempengaruhi penanganan keluarga dalam memilih makanan yang bergizi (Oktaviani, 2011). Hal tersebut menunjukan WUS di Desa Telaga Tawang dengan rentang usia 20-35 dimana rentang usia tersebut yang dianjurkan untuk hamil, tidak memiliki faktor pendukung yang memadai seperti tingkat penghasilan dan pengetahuan yang sesuai.

WUS dalam penelitian ini dengan kategori konsumsi yang tidak beragam sebagian besar berada pada rentang usia 20-35 tahun dan memiliki tingkat pendidikan SD/MI. Penelitian yang dilakukan Utami et. al. (2015) menemukan bahwa pola makan memiliki hubungan yang signifikan dengan anemia (5,400 OR; p=0,002), sedangkan anemia sendiri merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia (p=0,000) (Muliana, 2014). Disamping itu menurut penelitian Kurniasari dan Arifandini (2015), wanita dengan usia <20 tahun dan >35 tahun 15,51 kali lebih berisiko mengalami preeklampsia daripada wanita yang berada pada rentangan umur 20-35 tahun (95% CI, p=0,000). Hal ini menunjukan sebagian besar WUS di Desa Telaga Tawang berada pada rentang usia dengan risiko kehamilan rendah, namun berisiko mengalami anemia karena pola konsumsinya tidak beragam. Tingkat pendidikan ibu yang rendah menjadi salah satu faktor penentu BBLR (Ningsih,et al., 2018). WUS yang memiliki pendidikan rendah kurang dapat mengatur pola konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan

sehingga meningkatkan risiko kekurangan zat gizi dan anemia yang selanjutnya berlanjut pada komplikasi saat hamil atau melahirkan dan berujung pada lahirnya bayi BBLR (Efriza dalam Ningsih, et. al., 2018). Tingkat pendidikan yang lebih rendah mengakibatkan kurangnya pemahaman jika diberikan pengetahuan terkait gizi ataupun anemia (Paramata dan Sandalayuk, 2019). Tingkat pengetahuan juga mempengaruhi penanganan keluarga dalam memilih makanan yang bergizi (Oktaviani, 2011). Hal tersebut berbanding lurus dengan penelitian Alfiati (2018), yang menemukan adanya hubungan antara umur dan tingkat pendidikan ibu dengan pola konsumsi keluarga (95% CI, p=0,000).

Tabulasi Silang Faktor Ekologi dengan Kebiasaan makan Responden

Pada penelitian ini, sebagian besar wanita usia subur (WUS) dengan tingkat penghasilan keluarga kurang dari UMK memiliki pola konsumsi yang tidak beragam (77,4%). Rendahnya pendapatan berarti memperkecil peluang untuk membeli pangan keluarga, dengan kuantitas dan kualitas yang lebih rendah, begitu pula sebaliknya (Oktaviani, 2011). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Alfiati (2018), menemukan adanya hubungan antara pendapatan dengan pola konsumsi (95% CI; p=0,001), namun berbeda Angraini (2018) yang tidak menemukan adanya hubungan antara penghasilan keluarga dengan kejadian kurang energi pada WUS (95% CI; p=0,5). Penelitian ini menunjukan sebagian besar WUS dengan pola konsumsi tidak beragam memiliki akses ke pelayanan kesehatan sedang (49,9%). Dimana faktor konsumsi

merupakan hal yang berhubungan dengan anemia Utami et. al. (2015), serta akses ke pelayanan kesehatan juga merupakan faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu terkait anemia menurut penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2017) (95% CI; p=0,001). Sejalan dengan hasil penelitian ini, dimana didapatkan sebagian besar WUS dengan pola konsumsi tidak beragam menyatakan tidak pernah mengakses informasi dan pengetahuan terkait anemia (48,9%). Menurut Lestrina (2014), pengetahuan terkait gizi merupakan faktor yang berhubungan dengan anemia pada WUS (95%CI; p=0,038), sedangkan menurut Utami et. al. (2015) salah satu faktor yang berhubungan dengan anemia adalah pola konsumsi (5,400 OR; p=0,002). Tingkat pengetahuan gizi dalam keluarga mempengaruhi penanganan keluarga itu sendiri dalam memilih makanan yang bergizi (Oktaviani, 2011). Hal ini menunjukan WUS di Desa Telaga Tawang dengan pola konsumsi tidak beragam diperkirakan mendapatkan pengaruh oleh faktor kurangnya informasi atau pengetahuan yang dimilikinya.

Hasil tabulasi silang antara akses ke sumber makanan dengan pola konsumsi pada penelitian ini menunjukan sebagian besar WUS dengan pola konsumsi tidak beragam (45,6%) secara kumulaif memiliki akses ke sumber makanan yang sedang. Menurut penelitian Nurdini (2019), akses menuju pangan hewani merupakan faktor yang secara signifikan berhubungan dengan anemia (95%CI, p=0,004), selain itu pola konsumsi juga merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia (Utami et. al., 2015). Akses ke

sumber makanan merupakan salah satu faktor tidak langsung dari anemia (Balarajan, et. al., 2013). Dimana WUS di Desa Telaga Tawang sudah dapat mengakses sumber makanan dalam waktu 10-45 menit, namun tidak memiliki daya beli yang cukup karena memiliki tingkat penghasilan keluarga dibawah UMK Kabupaten Karangasem. Rendahnya pendapatan berarti memperkecil peluang untuk membeli pangan keluarga yang bervariatif, pangan yang mudah diakses keluarga tersebut hanyalah pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih rendah, begitu pula sebaliknya (Oktaviani, 2011).

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara survei langsung ke rumah penduduk memungkinkan sejumlah responden memberikan respon dengan intervensi dari anggota keluarga lain yang tinggal bersama responden dan hadir serta mengikuti proses wawancara, pengumpulan data konsumsi menggunakan kuesioner FFQ tidak didahului oleh survei pasar, wawancara dilakukan di tempat berbeda yaitu posyandu dan langsung ke rumah (door to door) diperkirakan dapat mempengaruhi hasil, terdapat beberapa variabel lain yang berpengaruh pada anemia namun tidak diteliti, serta penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional sehingga tidak dapat mencari hubungan antar variabel.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan mengenai gambaran

faktor ekologi wanita usia subur di Kecamatan     Sidemen     Kabupaten

Karangasem Bali, didapatkan kesimpulan bahwa WUS di Desa Telaga Tawang sebagian besar berada pada rentang usia yang dianjurkan untuk hamil, memiliki latar belakang pendidikan SD/MI, 95,7% WUS memiliki kepesertaan JKN/KIS, 93,5% memiliki tingkat penghasilan dibawah UMK. Kab Karangasem (Rp. 2.555.469,09); Sebagian besar WUS memiliki kebiasaan makan tidak beragam (82,3%) dan memiliki frekuensi konsumsi jarang pada setiap kelompok pangan. Jenis pangan yang paling sering dikonsumsi pada kelompok padi dan serealia   adalah

nasi/beras putih (100%), kelompok protein hewani adalah telur ayam (78%%), kelompok kacang – kacangan adalah tahu (86,6%%) dan tempe (86,6%), kelompok sayuran     adalah     pakis     (61,8%),

sertakelompok buah adalah pepaya (50%) dan pisang (52,21%). Sebanyak 74,2% WUS sering mengonsumsi kopi yang merupakan penghambat penyerapan zat besi; Sebagian besar WUS di Desa Telaga Tawang belum memiliki akses yang mudah atau dekat terhadap sumber makanan yang lebih bervariasi seperti Pasar; Pelayanan kesehatan yang paling mudah diakses adalah Puskesmas dengan akses <10 menit (77,9%); WUS yang tidak pernah mengakses informasi dan pengetahuan terkait anemia sebesar 52,8%; Sumber air yang paling banyak digunakan oleh WUS untuk setiap kegiatan adalah mata air (51,4%).

SARAN

Penentu Kebijakan yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem dan

Puskesmas   Sidemen   agar   dapat

meningkatkan penyuluhan gizi tentang pola makan seimbang dan beragam, khususnya makanan yang tinggi protein, serat, dan vitamin C seperti daging, telur, bayam, jeruk dan jambu biji dan mengurangi   konsumsi   penghambat

penyerapan zat besi berupa kopi dan teh.

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel lain berupa pemeriksaan hemoglobin, norma, budaya, dan perilaku, kerentanan fisiologis WUS, sanitasi, paparan dan respon terhadap penyakit infeksi, serta gangguan hemoglobin; melakukan survei pasar; meningkatkan skala penelitian pada tingkat Kecamatan atau Kabupaten; serta meningkatkan metode analisis hingga uji multivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel ataupun metode penelitian berupa kualitatif sehingga didapatkan gambaran faktor ekologi yang lebih mendalam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sebelum, selama, dan sesudah penelitian ini dilakukan hingga dapat di publikasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfiati, S. (2018) ‘Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga’, 2, pp. 76–83.

Amalia, A. (2016) ‘Efektifitas Minuman Kacang Hijau Terhadap Peningkatan Kadar Hb’.

Angraini, D. I. (2018) ‘Hubungan Faktor Keluarga dengan Kejadian Kurang Energi Kronis pada Wanita Usia Subur di Kecamatan Terbanggi

Besar’, Jurnal Kesehatan Unila, 2(2),

pp. 146–150.

Ani, Luh Seri et al. (2018) ‘Anemia In Preconception Women In Sidemen Sub District Karangasem Regency, Bali-Indonesia’, Gineco.eu, 14(4), pp.

131–134. doi: 10.18643/gieu.2018.131.

Ani, L.S. et al. (2018) ‘Program Pencegahan Anemia Bagi Wanita Masa Prakonsepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidemen Kabupaten Karangasem’,    Buletin    Udayana

Mengabdi, 17(3), pp. 145–151. doi: 10.24843/bum.2018.v17.i03.p26.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2007) ‘Laporan Nasional Riskesdas 2007’, Laporan Nasional 2007,  pp.   1–384.  Available at:

http://kesga.kemkes.go.id/images/pe doman/Riskesdas 2007 Nasional.pdf.

Balarajan, Y. et al. (2011) ‘Anaemia In Low-Income    And    Middle-Income

Countries’, The   lancet.   Elsevier,

378(9809), pp. 2123–2135.

Balarajan, Y. S., Fawzi, W. W. and Subramanian, S. V. (2013) ‘Changing Patterns of Social Inequalities in Anaemia Among Women in India: Cross-sectional     Study    Using

Nationally Representative Data’, BMJ Open,  3(3). doi: 10.1136/bmjopen-

2012-002233.

Banjari, I., KENJERIĆ, D. and MANDIĆ, M. L. (2013) ‘Iron Bioavailability in Daily Meals of Pregnant Women.’, Journal of Food & Nutrition Research, 52(4).

Chapman, V. (2006) ‘Asuhan Kebidanan: Persalinan & Kelahiran’, in. EGC.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2019) ‘Profil Kesehatan Profinsi Bali Tahun 2019’.

Ekafitri, R. and Isworo, R. (2014)

‘Pemanfaatan     Kacang-Kacangan

sebagai Bahan Baku Sumber Protein Untuk Pangan Darurat’, Pangan, 23(2), pp. 134–145.

Fitarina (2014) ‘Faktor - faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Kotabumi II Lampung Utara’, Jurnal Keperawatan, VII(1), pp. 19–25.

Fitri, Y. P. et al. (2016) ‘Tingkat Kecukupan dan Bioavailabilitas Asupan Zat Besi pada Ibu Hamil di Kota Tanggerang’, 12(3), pp. 185–191.

Guspaneza, E. and Martha, E. (2019) ‘Analisis Faktor Penyebab Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Indonesia (Analisis Data SDKI 2017)’, Oktober, 5(2), pp.  399–406.  Available at:

http://www.ejournal.unmuha.ac.id/in dex.php/JKMA/article/view/735.

Hidayah, N. (2016) ‘Analysis of Risk Factros of Anaemia Among Women in Reproductive Age in Jepang Pakis Village Kudus District’, pp. 70–78.

Karangasem, B. P. S. (2020) ‘Kecamatan Sidemen Dalam Angka’, p. 105.

Kemenkes (2018) ‘Hasil Utama Riset Kesehata Dasar Tahun 2018 (RISKESDAS 2018)’, Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), p.     22.     doi:     10.1088/1751

8113/44/8/085201.

Kemenkes RI (2014) Profil Kesehatan Indonesia.

Kurniasari, D. and Arifandini, F. (2015) ‘Hubungan Usia, Paritas Dan Diabetes Mellitus Pada Kehamilan Dengan Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten’,

Ejurnalmalahayati.Ac.Id, 9(3), pp. 142– 150.           Available           at:

http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.p hp/holistik/article/view/232.

Lestrina,    D.    (2014)    ‘Hubungan

Pengetahuan Gizi Dan Asupan Vitamin C Dengan Status Anemia Pada Wanita Usia Subur’, Wahana Inovasi, 3(2).

Litbang Kemenkes (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)’, 7(5), p. 256. doi: 10.1517/13543784.7.5.803.

Lubis, M. E. (2017) ‘Hubungan Sosio Ekonomi dan Akses Pelayanan ANC dengan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia di Jalan Kawat VI-Kawat VII Keluarahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli’, Jurnal Ilmiah  Simantek,  1(2), pp.  31–39.

Available                          at:

http://sciencemakarioz.org/jurnal/ind ex.php/SIMANTEK/article/view/85.

Manampiring, A. E. (2008) ‘Prevalensi Anemia dan Tingkat Kecukupan Zat Besi pada Anak Sekolah Dasar di Desa Minaesa Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara’.

Masthalina, H. (2015) ‘Pola Konsumsi (Faktor Inhibitor dan Enhancer Fe) Terhadap Status Anemia Remaja Putri’, KEMAS:  Jurnal Kesehatan

Masyarakat, 11(1), pp. 80–86.

Merrill, R. D.  et al. (2017) ‘Factors

Associated With Inflammation in

Preschool Children and Women of Reproductive Age:   Biomarkers

Reflecting    Inflammation    and

Nutritional Determinants of Anemia (BRINDA) project’, The American Journal of Clinical Nutrition, 106, pp. 348S-358S.                        doi:

10.3945/ajcn.116.142315.

Muliana, I. (2014) ‘Hubungan Anemia dengan Preeklampsia dan Eklampsia pada Pasien Ruang Rawat Kebidanan RSUD DR. Zainoel ABidin Tahun 2011’, ETD Unsyiah.

National Institutes of Health (2011) ‘Your Guide to Anemia’.

Nguyen, P. H. et al. (2015) ‘Multicausal Etiology of Anemia Among Women of Reproductive Age in Vietnam’, European Journal of Clinical Nutrition. Nature Publishing Group, 69(1), pp. 107–113. doi: 10.1038/ejcn.2014.181.

Ningsih, D. A., Sanisahuri and Agustin, D. (2018) ‘Profil Wanita Usia Subur Penyebab Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di Asia Tenggara Tahun   2005-2014’,   Jurnal Sains

Kesehatan, 26(2), pp. 21–29.

Nisa, S. (2017) ‘Hubungan Status Sosioekonomi dan Status Gizi dedngan Kejadian Anemia pada Wanita Usia Subur di Kecamatan Terbanggi    Besar    Kabupaten

Lampung Tengah’. UNIVERSITAS LAMPUNG.

Novianti, S. and Aisyah, I. S. (2018) ‘Hubungan Anemia Pada Ibu Hamil dan BBLR’, 4(1), pp. 6–8.

Nuraini, D. N. (2014) ‘Aneka Daun Berkhasiat Untuk Obat cetakan 1’, Yogyakarta: Penerbit GAVA Media. Hal, 106.

Nurdini, E. D. (2019) ‘Hubungan Akses Pangan Hewani Dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan Anemia Pada Ibu Hamil Di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban’. Universitas Airlangga.

Oktaviani, W. (2011)  ‘Hubungan Pola

Makan  dengan Gastritis  pada

Mahasiswa S1 Keperawatan Program A FIKKES UPN “Veteran’, Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Paramata, Y. and Sandalayuk, M. (2019) ‘Kurang Energi Kronis pada Wanita Usia Subur di Wilayah Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo’, Gorontalo Journal of Public Health, 2(1), pp. 120–125.

Proverawati, A. (2011) ‘Anemia dan Anemia kehamilan’, Yogyakarta: Nuha Medika, pp. 136–137.

Rahayu, L. D. P. and Suryani, E. S. (2018) ‘Hubungan Konsumsi Sayuran Hijau Dengan Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga’, Bidan Prada: Jurnal Publikasi Kebidanan Akbid YLPP Purwokerto, 9(1).

Sari, M. P. (2018) ‘Pola Konsumsi dan Kebiasaan makan Tablet Tambah Darah (TTD) dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMKN 1 Manggis, Kabupaten Karangasem’. JURUSAN GIZI.

Simanungkalit, M. E. (2019) ‘Hubungan Pola Konsumsi Protein, Sayur dan Buah, dan Aktivitas Fisik dengan Status Anemia pada Wanita Usia Subur di Kelurahan Paluh Kemiri’. POLTEKKES KEMENKES MEDAN.

Sudikno, S. (2016) ‘Prevalensi Dan Faktor Risiko Anemia Pada Wanita Usia Subur Di Rumah Tangga Miskin Di Kabupaten Tasikmalaya Dan Ciamis, Provinsi Jawa Barat’, Jurnal Kesehatan Reproduksi,          7(2).          doi:

10.22435/kespro.v7i2.4909.71-82.

Sufyan, D., Oy, S. and Mardiana, S. (2019)

‘Hubungan antara Kecukupan Energi dan Protein dengan Prevalensi Anemia pada Wanita Usia Subur di Kecamatan Ciampea Bogor Program Studi Ilmu Gizi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jakarta Associations between Energy and Protein Adequacy with Prev’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 11, pp. 232–237.

Tazkiah, M., Wahyuni, C. U. and Martini, S. (2013) ‘Determinan Epidemologi Kejadian BBLR  pada Daerah

Endemis  Malaria  di Kabupaten

Banjar Provinsi Kalimantan Selatan’, Jurnal Berkala Epidemologi, 1(2), pp.

266–276.

Utama, T. A., Listiana, N. and Susanti, D. (2013) ‘Perbandingan Zat Besi dengan dan Tanpa Vitamin C terhadap Kadar Hemoglobin Wanita Usia Subur’, Kesmas: National Public Health  Journal,  7(8), p. 344. doi:

10.21109/kesmas.v7i8.19.

Utami, B. N., Surjani and Mardiyaningsih,

E. (2015) ‘Hubungan Pola Makan dan Pola Menstruasi dengan Kejadian Anemia Remaja Putri’, 10(2), pp. 67– 75.

Utami, P. S. et al. (2020) ‘Determinants of Anemia in Women of Reproductive Age in Indonesia: Secondary Data Analysis of the 2018 Indonesia Basic Health Research’, 8(2), pp. 86–91. doi: 10.15562/phpma.v8i2.261.

WHO (2012) ‘Anaemia Policy Brief’, (6), pp. 1–7.           Available           at:

http://www.who.int//iris/bitstream/1 0665/148556/1/WHO_NMH_NHD_14 .4_eng.pdf.

WHO (2015) ‘The Global Prevalence of Anaemia in 2011’, World Health Organization, pp. 1–48.

Wijaya, K. A. (2012) ‘Pengantar Agronomi Sayuran’, Prestasi Pustaka. Jakarta.

Wijayanti, E. and Fitriani, U. (2019) ‘Profil Konsumsi Zat Gizi Pada Wanita Usia Subur Anemia’, Media Gizi Mikro Indonesia,  11(1), pp. 39–48. doi:

10.22435/mgmi.v11i1.2166.

e-mail korespondensi: [email protected]

487