Arc. Com. Health • April 2023

p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620

Vol. 10 No. 1 : 141 - 156

HUBUNGAN IKLIM KESELAMATAN KERJA TERHADAP PERILAKU TIDAK AMAN PEKERJA PROYEK RENOVASI PT X DI NUSA DUA

Revita Dea Sari, I Nyoman Sutarsa*

Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Jalan P. B. Sudirman, Kec. Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali 80234

ABSTRAK

Sektor konstruksi merupakan kontributor peningkatan angka kecelakaan dan gangguan akibat kerja. Perilaku tidak aman di proyek merupakan salah satu perilaku keselamatan yang berhubungan langsung dengan kecelakaan kerja. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku tidak aman adalah persepsi pekerja terhadap iklim keselamatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan iklim keselamatan terhadap perilaku tidak aman pekerja pada proyek renovasi PT X di Nusa Dua. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross-sectional analitik. Responden pada penelitian berjumlah 200 orang yang dipilih dengan metode block sampling. Penelitian ini menemukan bahwa proporsi responden berperilaku tidak aman sebesar 60,5%. Perilaku tidak aman ditemukan berhubungan secara signifikan dengan manajemen pemberdayaan keselamatan (p=0,042), komitmen pekerja (p=0,012), prioritas dan tidak ditoleransinya risiko (p=0,007), dan komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan (p=0,040). Dalam analisa multivariat, responden yang memiliki persepsi baik terhadap komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan berpeluang 2,63 kali menurunkan perilaku tidak aman dibanding resonden yang memiliki persepsi cukup. Sebagai upaya meningkatkan perilaku keselamatan, pekerja diharapkan lebih peduli dengan risiko bahaya di tempat kerja dengan mematuhi program K3.

Kata Kunci: pekerja konstruksi, perilaku tidak aman, iklim keselamatan

ABSTRACT

The construction sector is a contributor to increase number of accidents and occupational illness. Unsafe behavior in the workplace is directly related to work accidents. One of the factors that can influence unsafe behavior is the worker's perception of the safety climate. This study aims to analyze the correlation between perceptions of safety climate and unsafe behavior of construction workers on the renovation project of PT X in Nusa Dua. Quantitative research was conducted using an analytical cross-sectional approach. Respondents in the study are 200 people who were selected by the block sampling method. This study found that the proportion of respondents behaved unsafely was 60.5%. Unsafe behavior was found to be significantly related to safety empowerment management (p=0.042), worker commitment (p=0.012), priority and risk tolerance (p=0.007), and communication and trust in implementation (p=0.040). In multivariate analysis, respondents who have good perceptions of communication and trust in implementation had a 2.63 times chance of reducing unsafe behavior compared to who had sufficient perceptions. As an effort to increase safety behavior, workers are expected to be more concerned with the risk of hazards in the workplace by complying with occupational safety health programs.

Keywords: the construction workers, unsafe behavior, perception of safety climate

PENDAHULUAN

Jasa konstruksi milik pemerintah maupun swasta telah terbukti memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dan kemajuan ekonomi bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, struktur konstruksi dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami *e-mail korespondensi: sutarsa@unud.ac.id

peningkatan yang cukup signifikan. Pada kuartal III/2018, porsi konstruksi dalam perekonomian Indonesia mencapai 10,36%. Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan posisi empat tahun lalu untuk kontribusi sektor konstruksi bekisar 9% (BPS, 2018). Namun, sektor konstruksi juga merupakan kontributor peningkatan angka kecelakaan dan gangguan akibat kerja

Arc. Com. Health • April 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 (Soputan dkk., 2014).

Hasil riset National Safety Council (NCS) menunjukkan sebesar 88% penyebab kecelakaan kerja disebabkan karena adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition, dan 2% tidak diketahui penyebabnya (Ayuning Mutia dkk., 2017). Berdasarkan hasil riset tersebut, perilaku tidak aman erat hubungannya dengan kejadian kecelakaan kerja, karena tindakan atau perilaku pekerja     selama     bekerja     dapat

mempengaruhi keselamatan pekerja. Ketika seorang pekerja tidak melakukan proteksi diri terhadap bahaya di sekitar tempat kerja, hal tersebut akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja, begitu pula sebaliknya (Primadianto dkk., 2018). Adapun faktor pekerja melakukan perilaku tidak aman antara lain pengaruh bercanda, tidak bersemangat dalam bekerja, dikejar produksi, tidak memasang rambu peringatan, kurang informasi tentang peralatan yang digunakan, tidak lancar membaca prosedur penggunaan alat, kurang motivasi, dan stress kerja.

Dalam pelaksanaannya, proyek renovasi PT X di Nusa Dua tidak luput dari karakteristik khas dari proyek konstruksi, seperti lokasi kerja terbuka dan terpengaruh oleh cuaca, waklu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta penggunaan sejumlah besar personel yang tidak terampil, dapat dikaitkan dengan perilaku tidak aman dan secara tidak langsung dapat menimbulkan kecelakaan kerja (Ramdan dkk., 2016).

Perilaku tidak aman dapat dicegah melalui perilaku aman yang ditunjukkan

oleh manajer dengan benar-benar memahami dan menerapkan konsep dan praktik keselamatan di tempat kerja (Larisca dkk., 2019). Persepsi yang positif terhadap iklim keselamatan kerja di tempat kerja merupakan sarana yang tepat untuk membangkitkan suasana yang dapat mendorong munculnya semangat dan mendorong para pekerja untuk berperilaku aman. Menurut Kines dkk (2011), iklim keselamatan kerja mencerminkan persepsi pekerja tentang nilai keselamatan yang sebenarnya dalam organisasi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Neal, dkk (2000) menunjukkan bahwa iklim keselamatan kerja (safety climate) dapat digunakan untuk memprediksi perilaku aman dalam bekerja (safety behavior). Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayuning Mutia, dkk (2017) bahwa terdapat hubungan antara iklim keselamatan kerja dengan perilaku tidak aman pada pekerja di Departemen Produksi PT X. Iklim keselamatan kerja merefleksikan prioritas keselamatan kerja yang diyakini dan persepsi tersebut memprediksi perilaku yang akan terlihat.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara iklim keselamatan manajemen dan iklim keselamatan pekerja terhadap perilaku tidak aman pada pekerja konstruksi di proyek renovasi PT X di Nusa Dua. Selain itu, adanya perbedaan hasil penelitian terdahulu, menjadikan pertimbangan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk mengonfirmasi kembali hubungan antara iklim keselamatan manajemen dan iklim

Arc. Com. Health • April 2023

p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 keselamatan pekerja terhadap perilaku tidak aman dengan penambahan variabel baru yang di analisis (umur, pendidikan, dan pengalaman kerja).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian    kuantitatif    menggunakan

pendekatan cross-sectional analitik untuk menganalisis     iklim     keselamatan

manajemen dan iklim keselamatan pekerja serta hubungannya dengan perilaku tidak aman pada pekerja proyek renovasi PT X di Nusa Dua tahun 2022. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pekerja konstruksi yang bekerja di proyek renovasi PT X di Nusa Dua. Jumlah sampel pada penelitian ini 200 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik block sampling.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner untuk mengukur perilaku tidak aman sebagai variabel tergantung dan Nordic Occupational Safety Climate Questionnaire untuk mengukur iklim keselamatan sebagai variabel bebas. Selain itu, peneliti menghubungkan karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, dan masa kerja menggunakan kuesioner sebagai variabel perancu. Seluruh kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah teruji validitas dan realibitasnya. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti menggunakan metode wawancara pada pekerja yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian di proyek renovasi PT X di Nusa Dua, dilakukan selama dua minggu terhitung mulai dari minggu kedua hingga minggu ketiga pada Bulan Mei 2022 (hingga

terpenuhi besar sampel minimal) dengan rata-rata data yang didapat berkisar 14 responden per harinya.

Analisis kuantitatif data dilakukan dengan analisis univariabel untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari variabel tergantung yaitu perilaku tidak aman pada pekerja dan variabel bebas yaitu iklim keselamatan manajemen yang terdiri dari (1) manajemen prioritas, komitmen dan kompetensi keselamatan; (2) manajemen pemberdayaan keselamatan; (3) manajemen kesetaraan keselamatan. Sedangkan pada iklim keselamatan pekerja yaitu (1) komitmen pekerja; (2) prioritas dan tidak ditoleransinya risiko; (3) komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan; dan (4) tingkat kepercayaan pada efektivitas sistem (Kines dkk., 2011). Selain itu, peneliti juga menganalisis karakteristik responden sebagai variabel confounding yang terdiri umur, pendidikan, dan pengalaman kerja.

Analisis bivariabel bertujuan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara tiga variabel yang diteliti dengan uji chi-square antara variabel tergantung (perilaku tidak aman), variabel bebas (iklim keselamatan manajemen dan pekerja), dan variabel confounding (karakteristik responden).

Analisis multivariabel digunakan untuk mengetahui hubungan lebih dari satu variabel bebas dengan variabel tergantung. Melalui analisis ini akan diketahui pengaruh murni dari variabel-variabel bebas terhadap variabel tergantung dan variabel confounding dengan uji binary logistic regression.

Penelitian ini telah diperiksa sesuai

ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Litbang FK Unud/RSUP Sanglah dengan nomor 2022.01.1.0481 tertanggal 11 Mei 2022.

HASIL

Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada Tabel 1, umur

responden pada penelitian ini paling banyak berada pada umur 17-25 tahun dan 26-35 tahun (36,5%). Mayoritas tingkat pendidikan responden lulusan SLTA/SMA/STM (43,5%) dengan pengalaman kerja ≥ 5 tahun merupakan proporsi yang paling banyak (53,5%).

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden

Karakteristik Responden

Frekuensi (n)

Proporsi (%)

Mean

SD

Umur

31,08

9,63

17-25 tahun

73

36,5

26-35 tahun

73

36,5

36-45 tahun

35

17,5

46-55 tahun

15

7,5

56-65 tahun

4

2

Pendidikan

-

-

Tidak Sekolah

7

3,5

SD

30

15

SMP

70

35

SLTA/SMA/STM

87

43,5

Perguruan Tinggi

6

3

Pengalaman Kerja

6,38

6,45

< 5 tahun

93

46,5

≥ 5 tahun

107

53,5

Gambar 1. menunjukkan dari tujuh determinan iklim keselamatan pada pekerja atau responden, terdapat tiga determinan yang termasuk dalam kategori kurang yaitu manajemen prioritas, komitmen, dan kompetensi keselamatan dengan rata-rata skor adalah 2,62, prioritas keselamatan dan tidak ditoleransinya risiko (2,5), dan tingkat kepercayaan pada efektivitas sistem dengan rata-rata skor adalah (2,62). Sedangkan determinan lainnya yaitu

manajemen pemberdayaan keselamatan (2,8), manajemen kesetaraan keselamatan (2,79), komitmen pekerja (2,71), serta komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan keselamatan keselamatan (2,94) termasuk dalam kategori cukup.

2,62

2,62

Komunikasi dan

Kepercayaan dajegι Pelaksanaan

Manajemen 2,79 Kesetaraan

Keselamatan

Tingkat Kepercayaan pada Efektivitas Sistem

Prioritas Keselamatan dan Tidak ditoleransinya Risiko

Manajemen Prioritas Komitmen, dan Kompetensi Keselamatan

Manajemen

2 gPemberdayaan ' Keselamatan

2,71

Komitmen Pekerja


Gambar 1. Kondisi Iklim Keselamatan

Pada Tabel 2 didapati bahwa dari 200 responden, terdapat 60,5% yang berperilaku tidak aman saat bekerja

sehingga gambaran perilaku tidak aman pekerja lebih tinggi dibandingkan perilaku aman.

Tabel 2. Gambaran Perilaku Tidak Aman Responden

Kategori

Frekuensi (n)

Proporsi (%)

Perilaku Aman

79

39,5

Perilaku Tidak Aman

121

60,5

Tabel 3. Hubungan Perilaku Tidak Aman dengan Karakteristik Responden

Perilaku Tidak Aman Responden (n=200)

Karakteristik Responden

Perilaku Aman (n=79)

Perilaku Tidak Aman (n=121)

Total

PR

95% CI

p

Umur

0,69-1,49

0,956

Dewasa

72

110

182

(17-45

(39,56%)

(60,44%)

(100%)

tahun)

Lansia    (46-65

7

11

18

1,01

tahun)

Pendidikan

(38,89%)

(61,11%)

(100%)

0,61-0,98

0,026*

Pendidikan

35

73

108

Rendah

(32,41%)

(67,59%)

(100%)

0,77

Pendidikan

44

48

92

Tinggi

Pengalaman Kerja

(47,83%)

(52,17%)

(100%)

0,62-0,97

0,025*

Baru (<5 tahun)

29

64

93

(31,18%)

(68,82%)

(100%)

0,77

lama (≥5 tahun)

50

57

107

(46,73%)

(53,27%)

(100%)

*) berpengaruh signifikan secara statistik (p<0,05)

Berdasarkan hasil uji bivariabel dengan chi-square pada perilaku tidak aman terhadap karakteristik responden, ditemukan dua variabel confounding yang memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman responden yaitu

pendidikan (p=0,026) dan pengalaman kerja (p=0,025). Sedangkan umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku tidak aman responden (p≥0,05).

Tabel 4. Hubungan Iklim Keselamatan dengan Perilaku Tidak Aman

Determinan Iklim Keselamatan Manajemen

Perilaku Tidak Aman Responden (n=200)

Perilaku Aman (n=79)

Perilaku

Tidak Aman (n=121)

Total    PR   95% CI

p

Manajemen prioritas,komitmen, dan kompetensi keselamatan

Cukup

76 (38,97%)

119 (61,03%)

0,22-1,93

195 (100%)  0,68

0,342

Arc. Com. Health • April 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620

Vol. 10 No. 1 : 141 - 156

Perilaku Tidak Aman Responden

Determinan Iklim

(n=200)

Keselamatan

Perilaku

Perilaku

Manajemen

Aman

Tidak Aman

Total

PR

95% CI

p

(n=79)

(n=121)

Baik

3 (60%)

2 (40%)

5 (100%)

Manajemen pemberdayaan keselamatan

0,58-1,01

0,042*

Cukup

48 (34,78%)

90 (65,22%)

138 (100%)

0,77

Baik

Manajemen kesetaraan keselamatan

31 (50%)

31 (50%)

62 (100%)

0,67-1,12

0,249

Cukup

Baik

50 (36,76%)

29 (45,31%)

86 (63,24%)

35 (54,69%)

136 (100%)

64 (100%)

0,86

Komitmen

Pekerjaan

0,48-0,96

0,012*

Cukup

54 (34,84%)

101 (65,16%)

155 (100%)

0,68

Baik

Prioritas dan tidak ditoleransinya risiko

25 (55,56%)

20 (44,44%)

45 (100%)

1,13-1,72

0,007*

Baik

68 (44,74%)

84 (55,26%)

152 (100%)

1,39

Cukup

Komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan

11 (22,92%)

37 (77,08%)

48 (100%)

0,62-1,00

0,040*

Cukup

Baik

36 (33,03%)

43 (47,25%)

73 (66,97%)

48 (52,75%)

109 (100%)

91 (100%)

0,79

Tingkat kepercayaan pada efektivitas sistem

0,52-1,56

0,678

Cukup

74 (39,15%)

115 (60,85%)

189 (100%)

Baik

5 (45,45%)

6 (54,55%)

11 (100%)

0,90

*) berpengaruh signifikan secara statistik (p<0,05)

Berdasarkan  hasil  uji  bivariabel

dengan perilaku tidak aman responden

dengan chi-square pada iklim keselamatan

yaitu persepsi manajemen pemberdayaan

terhadap perilaku tidak aman, ditemukan

keselamatan (p=0,042), persepsi komitmen

hanya empat variabel iklim keselamatan

pekerja (p=0,012), persepsi prioritas dan

yang  memiliki  hubungan  bermakna

tidak ditoleransinya risiko (p=0,007), dan

persepsi komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan (p=0,040). Sedangkan variabel lainnya persepsi yang lainnya yaitu persepsi manajemen prioritas, komitmen, dan tidak ditoleransinya risiko, manajemen kesetaraan keselamatan, dan persepsi

tingkat kepercayaan pada efektivitas sistem tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku tidak aman responden (p≥0,05).

Tabel 5. Analisis Multivariabel pada Iklim Keselamatan dan Karakteristik Responden Terhadap Perilaku Tidak Aman

Variabel

Model Akhir

Adjusted          95% CI for OR            p

OR        Lower        Upper

Pengalaman kerja

Baru

Lama

Komitmen pekerja

Cukup

Baik

Komunikasi dan kepercayaan pada efektivitas sistem

Cukup

Baik

0,26               0,88         0,018*

Ref

0,48

0,19               0,78         0,008*

Ref

0,38

0,27              0,89        0,020*

Ref

0,49

*) berpengaruh signifikan secara statistik (p<0,05)

Hasil model akhir pada analisis pada analisis multivariabel menyatakan iklim keselamatan yang paling berhubungan dengan perilaku tidak aman adalah komitmen pekerja (OR=0,38; 95% CI=0,19-0,78; p=0,009). Jika dilihat dari nilai adjusted OR, responden yang memiliki persepsi baik terhadap determinan komitmen pekerja berpeluang 2,63 kali menurunkan perilaku tidak aman saat bekerja dibandingkan responden yang memiliki persepsi cukup terhadap komitmen pekerja.

DISKUSI

Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa proporsi perilaku tidak aman lebih *e-mail korespondensi: sutarsa@unud.ac.id

besar yaitu 60,5% daripada proporsi perilaku aman. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Larisca dkk (2019) yang pada penelitiannya menemukan proporsi pekerja yang berperilaku tidak aman lebih banyak yaitu 70,1%. Terdapat beberapa perilaku kerja tidak aman dengan proporsi tertingginya pekerja yang bekerja dengan kurang konsentrasi, seperti berbicara dengan pekerja lain saat proses pekerjaan berlangsung sebanyak 115 pekerja sering melakukannya (57,5%) dan sebanyak enam

Arc. Com. Health • April 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 pekerja selalu melakukan tindakan tidak aman tersebut (3%). Sedangkan proporsi terendah terdapat pada pekerja yang merokok pada saat bekerja sebanyak enam pekerja sering melakukan tindakan tidak aman tersebut (3%).

Beda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Qolbi & Muliawan, (2020) yang pada penelitiannya menyebutkan 54,63% responden yang patuh akan peraturan K3 di tempat kerja. Perbedaan hasil dapat didasari oleh keberagaman data terkait karakteristik setiap responden, perbedaan jenis dan risiko pekerjaan, karakteristik pekerjaan responden yang telah memasuki tahap akhir proyek (finishing), maupun keadaan lingkungan di tempat responden bekerja.

Didapatkan hasil analisis bahwa variabel iklim keselamatan yang pertama yaitu manajemen prioritas, komitmen, dan kompetensi keselamatan dengan nilai p=0,342 (PR=0,68; 95% CI=0,22-1,93) tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku tidak aman pekerja. Salah satu bentuk komitmen dapat dilihat dari penyebaran informasi keselamatan sebagai upaya   mengutamakan   keselamatan

daripada pekerjaan dinilai sudah baik. Dapat dilihat dari adanya sarana penyampaian informasi berupa safety induction dan toolbox meeting. Namun, belum keseluruhan pekerja beranggapan bahwa manajemen telah mendahulukan keselamatan daripada produksi. Hal ini berbeda   dengan   pendapat   yang

dikemukakan oleh Nur Afifah dkk (2018) yang menyebutkan bahwa determinan

manajemen prioritas, komitmen, dan kompetensi keselamatan (p=0,001) memiliki hubungan yang bermakna dengan kematangan budaya K3. Budaya K3 tersebut terdiri dari sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk melakukan sesuatu, serta usaha manajemen dalam mengupayakan keselamatan dan kesehatan kerja di suatu organisasi.

Persepsi manajemen pemberdayaan keselamatan dengan nilai p=0,042 (PR=0,77; 95% CI=0,58-1,01) memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman responden di proyek renovasi PT X di Nusa Dua. Pemberdayaan manajemen keselamatan pekerja dapat dilihat dari keterlibatan pekerja dalam keselamatan dan jaminan dari manajemen agar pekerja memiliki kompetensi, seperti identifikasi potensi bahaya dan risiko bahaya. 20,5% pekerja pada proyek ini tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keselamatan. Hal ini dikarenakan posisi pekerja yang berada di bawah mandor, sehingga mandor lebih dilibatkan dan dijadikan sebagai perpanjangan tangan antara manajemen dengan pekerja. Hasil yang sama ditunjukan oleh Nur Afifah,dkk (2018) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa persepsi manajemen pemberdayaan keselamatan (p=0,029) memiliki hubungan bermakna dengan perilaku pekerja (budaya K3).

Persepsi manajemen kesetaraan keselamatan dengan nilai p=0,249 (PR=0,86; 95% CI=0,67-1,12) tidak memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman responden pada proyek ini. 6% pekerja

pada proyek ini mengatakan manajemen memperlakukan pekerja yang terlibat dalaman kecelakaan tidak adil. Aspek keadilan organisasional menjadi sangat penting dalam kehidupan organisasi di proyek, karena jika tidak ada keadilan, maka dapat menyebabkan turunnya komitmen, terjadinya tindak kriminal di lingkungan kerja, dan adanya keinginan untuk melakukan protes. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nopiyanti, dkk (2020) yang menunjukkan hasil statistik pada penelitiannya menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara manajemen kesetaraan keselamatan dengan budaya keselamatan di proyek Citra Tower Kemayoran (p=1,000).

Persepsi komitmen pekerja memiliki hubungan bermakna (PR=0,68; 95% CI=0,48-,96; p=0,012) dengan perilaku tidak aman pekerja. Keseluruhan pekerja bersama-sama berusaha keras untuk mencapai tingkat keselamatan kerja yang tinggi. Pekerja yang memiliki komitmen baik dalam melakukan pekerjaannya akan menunjukan perilaku yang baik juga sehingga dapat meningkatkan kinerjanya terutama dalam hal keselamatan. Hasil yang sama ditunjukan oleh Ashafahany (2017) yaitu komitmen keselamatan memiliki pengaruh positif terhadap perilaku keselamatan kerja.

Persepsi prioritas keselamatan dan tidak ditoleransinya risiko merupakan determinan yang memiliki hubungan bermakna (PR=1,39; 95% CI=1,13-1,72; p=0,007) dengan perilaku tidak aman pada pekerja. Sebagian besar responden tidak mau mengambil risiko yang berbahaya saat bekerja yang ditunjukan dengan tidak mau *e-mail korespondensi: sutarsa@unud.ac.id

melanggar aturan keselamatan demi menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Hal ini menunjukan semakin tinggi kesadaran pekerja akan risiko kecelakaan yang akan ditemukan saat bekerja maka semakin tinggi pula perilaku aman yang ditunjukan pada saat bekerja. Hasil yang sama ditunjukan oleh Indah Setiawan dkk (2017) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa persepsi pada determinan ini memiliki hubungan bermakna dengan safety behavior pada pekerja konstruksi.

Persepsi komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan juga merupakan determinan yang memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman pada pekerja proyek ini, dengan nilai p=0,040 (PR=0,79; 95% CI=0,62-1,00). Sebagian besar responden pada penelitian memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan satu sama lain untuk menjamin keselamatan. Pekerja yang memiliki interaksi kesalamatan yang baik dengan rekan kerjanya maka akan memiliki persepsi keselamatan lebih baik sehingga menunjukan perilaku lebih aman ketika melakukan pekerjaan (Inouye, 2014). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ashafahany (2017), dalam penelitiannya, determinan ini memiliki tingkat signifikansi yaitu 0,000, sehingga komunikasi pekerja memiliki pengaruh positif dengan perilaku keselamatan.

Variabel bebas yang terakhir yaitu persepsi tingkat kepercayaan pada efektivitas sistem keselamatan variabel ini tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku tidak aman dikarenakan berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai p=0,678 (PR=0,90; 95% CI=0,52-1,56).

Hal ini juga ditunjukan pada nilai skor rata-rata pada determinan ini yang masuk dalam kategori kurang yang disebabkan oleh lebih banyak pekerja dengan persepsi cukup yang berperilaku tidak aman saat bekerja (61,9%). Hal ini bisa saja disebabkan karena beberapa pekerja tidak diwajibkan mengikuti beberapa program K3 di proyek seperti briefing pagi dan beberapa kegiatan pelatihan keselamatan yang belum diikuti oleh pekerja baru. Selain itu, Nopiyanti dkk (2020) menunjukan hasil yang sama yaitu persepsi responden terhadap kepercayaan pekerja terhadap sistem keselamatan kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap budaya keselamatan di Proyek Citra Tower Kemayoran.

Variabel confounding yang diteliti dalam penelitiannya ini yaitu umur. Berdasarkan perhitungan statistik nilai koefisien korelasi antara perilaku tidak aman dan umur adalah 0,956 (PR=1,01; 95% CI=0,69-1,49) artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku tidak aman dengan umur. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2015) bahwa berdasarkan perhitungan statistik nilai koefisien korelasi antara umur dan unsafe action memiliki kuat hubungan sangat lemah (p=0,090) sehingga dikatakan tidak ada hubungan antara umur dengan unsafe action.

Berdasarkan perhitungan statistik nilai koefisien korelasi antara perilaku tidak aman dan pendidikan adalah 0,026 (PR=0,77; 95% CI=0,61-0,98) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku tidak aman dengan pendidikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Notoatmodjo yang menyebutkan bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik pula pola pikirnya dalam mencerna informasi-informasi yang dapat mendasari pola perilaku orang tersebut.

Karakteristik responden yang terakhir adalah pengalaman kerja. Berdasarkan perhitungan statistik nilai koefisien korelasi antara perilaku tidak aman dan masa kerja adalah 0,025 (PR=0,77; 95% CI=0,62-0,97) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku tidak aman dengan masa kerja. Hasil serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sholehudin (2013) bahwa semakin bertambahnya masa kerja maka akan semakin rendah persentase pekerja tersebut untuk melakukan unsafe action.

Berdasarkan hasil analisis multivariabel, didapatkan hasil akhir bahwa variabel komitmen kerja, komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan, dan pengalaman kerja memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku tidak aman pada pekerja proyek renovasi PT X di Nusa Dua.

Pada variabel komitmen pekerja menunjukan bahwa responden yang memiliki persepsi baik terhadap determinan komitmen pekerja berpeluang 2,63 kali menurunkan perilaku tidak aman saat bekerja dibandingkan responden yang memiliki persepsi cukup terhadap komitmen pekerja (OR=0,38; 95% CI=0,19-0,78; p=0,008). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Indah Setiawan dkk (2017) yang dalam penelitiannya menyebutkan responden yang memiliki persepsi kurang baik

Arc. Com. Health • April 2023 p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620 mempunyai peluang 2,5 kali untuk melakukan   perilaku   tidak   aman

dibandingkan responden yang memiliki persepsi yang baik (OR=2,50;  95%

CI=1,23-5,08; p=0,017).

Pada persepsi  komunikasi dan

kepercayaan     dalam     pelaksanaan

ditemukan  bahwa  responden  yang

memiliki persepsi baik terhadap determinan komunikasi dan kepercayaan dalam pelaksanaan berpeluang 2,04 kali menurunkan perilaku tidak aman saat bekerja dibandingkan responden yang memiliki persepsi cukup terhadap manajemen pemberdayaan keselamatan (OR=0,49; 95% CI=0,27-0,89; p=0,020). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Indah Setiawan dkk (2017) yang dalam penelitiannya menyebutkan responden yang memiliki persepsi kurang baik mempunyai peluang 2,46 kali untuk melakukan   perilaku   tidak   aman

dibandingkan responden yang memiliki persepsi yang baik (OR=2,46;  95%

CI=1,20-5,03; p=0,021).

Variabel yang terakhir yang masuk dalam model akhir analisis multivariabel dan juga sebagai confounder dalam penelitian ini adalah pengalaman kerja. Pengalaman kerja dikatakan sebagai confounder dalam penelitian ini dikarenakan pengalaman kerja merupakan variabel confounding yang memiliki hubungan dengan variabel dependen yaitu perilaku tidak aman. Hasil menunjukkan bahwa responden dengan pengalaman kerja lama berpeluang 2,08 kali menurunkan perilaku tidak aman saat bekerja dibandingkan responden dengan masa kerja baru dan didapatkan nilai adjusted OR 0,48 dan nilai *e-mail korespondensi: sutarsa@unud.ac.id

p=0,018 (95% CI=0,26-0,88). Hasil serupa juga didapatkan oleh Diah Listyaningsih dan Feri Harianto (2021) bahwa berdasarkan hasil uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan perilaku kepatuhan penggunaan APD (p=0,000), keeratan hubungan didapat dari nilai POR = 0,044 (95% CI=0,008-0,240) artinya responden yang masa kerja lama berpeluang 0,044 kali untuk tidak menggunakan APD (menunjukan perilaku tidak aman) dibandingkan dengan responden dengan masa kerja baru.

Permasalahan yang didapat pada penelitian ini berdasarkan komponen pada determinan iklim keselamatan diantaranya adalah kurangnya inovasi dalam mendesain kegiatan K3 seperti pelaksanaan safety talk, sistem pelaporan terkait temuan bahaya dari pekerja dan kecelakaan ringan maupun nearmiss yang kurang efektif dilaksanakan, kurangnya diskusi terkait isu-isu keselamatan, dan perhatian khusus bagi pekerja yang masuk dalam kelompok rentan. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan terhadap pekerja konstruksi dan pihak manajemen proyek renovasi PT X di Nusa Dua, memberikan pemahaman dan manfaat tentang perilaku aman yang dapat diterapkan di tempat kerja dan menjadi masukan kepada pihak kontraktor atau pelaksana proyek pembangunan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku tidak aman pada pekerja di sebuah proyek pembangunan atau konstruksi.

Namun, adapun beberapa keterbatasan yang terdapat pada penelitian

ini yaitu pengukuran iklim keselamatan menggunakan   NOSACQ-50   jarang

digunakan pada penelitian terdahulu sehingga membuat peneliti    sulit

mendapatkan literatur yang relevan dalam menunjang penelitian ini. Selanjutnya, pada variabel perilaku tidak aman, pengukuran hanya berdasarkan hasil kuesioner tanpa melakukan observasi langsung. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksesuaian     jawaban     dengan

kenyataan yang dilakukan oleh responden di lapangan. Lalu, pengambilan data dilakukan pada sebagian besar tahap akhir dan proses percepatan sehingga data yang dihasilkan bisa saja berbeda jika pengambilan data dilakukan pada tahap awal proyek. Keterbatasan yang terakhir yaitu penelitian ini tidak difokuskan pada satu jenis pekerjaan dimana jenis pekerjaan yang satu dengan lainnya memiliki risiko pekerjaan yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perbedaan persepsi antar pekerja.

SIMPULAN

Berdasarkan    pemaparan    hasil

tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar pekerja berumur 17-35 tahun, sebagian besar bersekolah (lulus SMA/sederajat), dan memiliki pengalaman kerja rata-rata enam tahun. Terdapat empat variabel iklim keselamatan yang memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman yaitu manajemen pemberdayaan keselamatan (p=0,042), komitmen pekerja (p=0,012), prioritas dan tidak ditoleransinya risiko (p=0,007),    dan    komunikasi    dan

kepercayaan dalam pelaksanaan (p=0,040).

Karakteristik responden yaitu pendidikan (p=0,026) dan pengalaman kerja (p=0,025) terbukti memiliki hubungan bermakna dengan perilaku tidak aman pada pekerja. pengalaman kerja merupakan confounder pada penelitian ini yang memiliki hubungan dengan perilaku tidak aman pekerja yaitu adjusted OR=0,048. Selain itu, persepsi komitmen pekerja merupakan determinan iklim keselamatan yang paling berpengaruh terhadap perilaku tidak aman pada pekerja yaitu p=0,015.

SARAN

Saran yang dapat diberikan kepada responden yaitu pekerja konstruksi selaku responden dalam penelitian ini diharapkan lebih peduli dengan risiko yang akan ditemui di tempat kerja sehingga dapat meningkatkan perilaku keselamatan di tempat kerja, diharapkan lebih memperhatikan kondisi fisik saat pekerja, seperti tidak memaksakan bekerja saat kondisi fisik buruk, kelelahan, stress, atau kantuk. Selian itu, hendaknya responden meningkatkan kesadaran terkait dibuatnya program K3 di tempat kerja dengan mengikuti kegiatan, memahami, dan menunjukan perubahan perilaku.

Saran yang dapat diberikan kepada pihak manajemen yaitu hendaknya meningkatkan inovasi dalam mendesain kegiatan K3 seperti pelaksanaan safety patrol yang rutin, pengawasan saat bekerja atau pemantauan kesehatan bagi pekerja dengan kelompok rentan (lansia), dan menyediakan media komunikasi efektif bagi pekerja dengan rekan kerjanya ataupun dengan pihak manajemen sehingga meningkatkan hubungan kedua

pihak tersebut. membuat sistem pelaporan terkait temuan bahaya dari pekerja dan kecelakaan ringan maupun nearmiss. Ketiga yaitu manajemen hendaknya menyediakan papan informasi yang berisi tujuan keselamatan, jumlah dan penyebab kecelakaan, pencegahan, serta isu keselamatan lainnya. Keempat adalah manajemen hendaknya memberikan reward and punishment kepada pekerja yang menunjukan perilaku patuh atau melanggar program K3. Selain itu, manajemen hendaknya melakukan seleksi pada pekerja dengan mempertimbangkan pengalaman pekerja sebelumnya untuk disesuaikan dengan jenis pekerjaan.

Diharapkan peneliti selanjutnya melakukan penelitian di proyek yang dimulai dari tahap awal hingga akhir proyek untuk mendapatkan hasil persepsi yang lebih komprehensif, dapat meneliti faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku pekerja seperti faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor penguat serta melakukan metode observasi dan wawancara agar data yang didapat lebih akurat. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat melakukan mixed methods yang merupakan paduan dari kuantitatif dan kualitatif dengan teknik pengumpulan data test, kuesioner participant observation, in depth interview, dokumentasi, dan triangulasi agar data yang didapat lebih akurat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih peneliti tujukan kepada pekerja proyek renovasi PT X di Nusa Dua yang sudah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ashafahany, M. Z. W. A. (2017). Kekuatan Komunikasi     sebagai     Faktor

Penunjang Keselamatan Kerja pada Industri Manufaktur. Institut Agama Islam Negeri Surakarta.

Ayuning Mutia, A., Wahyuni Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja, I., & Kesehatan Masyarakat, F. (2017). Analisis     Faktor-Faktor     yang

Berhubungan dengan Perilaku Tidak Aman pada Pekerja di Departemen Produksi PT. X (Vol. 5). http://ejournal3.undip.ac.id/index.ph p/jkm

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2018. Indikator Konstruksti Triwulan III-2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.

Christina, W. Y., Djakfar, L., & Thoyib, A. (2012).      Pengaruh      Budaya

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Terhadap Kinerja Proyek Konstruksi.

Diah Listyaningsih, & Feri Harianto. (2021). Iklim Keselamatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Surabaya. Paduraksa: Jurnal Teknik Sipil Universitas Warmadewa,      10(1),      70–83.

https://doi.org/10.22225/pd.10.1.2247. 70-83

Indah Setiawan, C., Nopiyanti, E., & Joko Susanto, A. (2017). Analisis Hubungan Safety Climate dengan Safety Behavior pada Pekerja Konstruksi Proyek Apartemen El-Centro, PT Totalindo Eka Persada, Bogor. In Jurnal Kesehatan Masyarakat (Vol. 1, Issue 1). http://ejournal.urindo.ac.id/index.ph

p/jukmas

Inouye, J. (2014). Risk Perception: Theories, Strategies, And Next Steps. Itasca, Il: Campbell Institute National Safety Council.

Kines, P., Lappalainen, J., Mikkelsen, K. L., Olsen, E., Pousette, A., Tharaldsen, J., Tómasson, K., & Törner, M. (2011). Nordic Safety Climate Questionnaire (Nosacq-50): A New Tool For Diagnosing Occupational      Safety      Climate.

International Journal Of Industrial Ergonomics,     41(6),     634–646.

https://doi.org/10.1016/j.ergon.2011.0 8.004

Larisca, N., Widjasena, B., Kurniawan Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja, B., & Kesehatan Masyarakat, F. (2019). Hubungan Iklim Keselamatan Kerja dengan Tindakan Tidak Aman pada Proyek Pembangunan Gedung X Semarang (Vol. 7, Issue 4). http://ejournal3.undip.ac.id/index.ph p/jkm

Nasyrah, S. I. (2015). The Awereness Level Of Behavior Based Safety (BBS) in Construction Industry. Malaysia.

Neal, A., Griffin, M. A., & Hart, P. M. (2000). The Impact of Organizational Climate on Safety ClimateaAnd Individual Behavior. Safety Science, 34(1–3),   99–109.

https://doi.org/10.1016/s0925-7535(00) 00008-4

Nopiyanti, E., Muttaqin, A., Studi, P., Masyarakat, K., & Kesehatan, I. (2020). Hubungan Iklim   Keselamatan

dengan Budaya K3 di Proyek Citra Tower Kemayoran. In Jurnal Bidang Ilmu Kesehatan (Vol. 10, Issue 1).

http://ejournal.urindo.ac.id/index.ph p/kesehatan

Notoatmojo, S.    (2003). Pengantar

Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offset.

Nur Afifah, A., Hadi, S., Jakarta, M., Studi Magister Kesehatan Masyarakat, P., & Kedokteran dan Kesehatan, F. (2018). Analisis Budaya K3 dengan Nordic Occupational      Safety      Climate

Questionnaire dan Safety Culture Maturity Model. In Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat (Vol. 12, Issue 2).

Pratama, A. K. (2015). Hubungan karakteristik pekerja dengan unsafe action pada tenaga kerja bongkar muat di PT. Terminal Petikemas Surabaya. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 4(1), 64-73.

Primadianto, D., Putri, S. K., & Alifen, R. S. (2018). Pengaruh Tindakan Tidak Aman (Unsafe Act) dan Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition) Terhadap Kecelakaan Kerja Konstruksi. Jurnal Dimensi Pratama Teknik  Sipil, 7(1),

77-84.

Qolbi, A. N., & Muliawan, P. (2020).

Hubungan     Persepsi     Iklim

Keselamatan dengan Kepatuhan Pekerja Konstruksi pada Program K3 di Proyek X. Arc. Com. Health, 7(No.1), 1–10.

Ramdan, I. M., & Handoko, H. N. (2016). Kecelakaan Kerja pada Pekerja Konstruksi Informal di Kelurahan “X” Kota Samarinda Work Accident Of Informal Construction Workers In District “X” Samarinda City. In Jurnal

Mkmi (Vol. 12, Issue 1).

Sholehudin, M. (2013). Hubungan Personal Factor dengan Unsafe Action di Unit X- PT. Baja X. Jurnal. Surabaya, Adln Perpustakaan Universitas Airlangga.

Soputan, G. E. M., Sompie, B. F., & Mandagi, R. J. M. (2014). Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)    (Study    Kasus    Pada

Pembangunan Gedung SMA Eben Haezar). Jurnal Ilmiah Media

Engineering, 4(4), 229–238.

Sutanto, M. J. (2021). Hubungan Persepsi Iklim Keselamatan dengan Unsafe Action dan Unsafe Condition pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kassi-Kassi Selama Masa Pandemi Tahun 2021 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).

*e-mail korespondensi: sutarsa@unud.ac.id

156