JURNAL ILMIAH WIDYA SOSlOPOLmKA

E-ISSN 2685-4570

TREN DONASI DIGITAL BAGI GEN ‘Z’ MAHASISWA BALI

Penny Kurnia Putri

Adi P. Suwecawangsa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana

email: [email protected]

Article Info            ABSTRACT

Article History:

Received:

Jan/2023

Accepted:

Juli/2023

Published:

Juli/2023

Keywords:

Bali student, crowd funding, digital donation, gene z, online donation, social entrepreneurship, social capital


Digital donation activities become popular recently due to the Covid-19 pandemic. Billions of rupiahs have been collected from millions of “good people” who are willing to set aside their income to help others. The use of technology is the main factor for this social action to achieve success. Students as representatives of Gen 'Z' in Society 5.0 should be considered for their existence when referring to Sustainable Development Goals (SDG’s). This research aims to determine the potential of social entrepreneurship in Bali through digital donation trends. Student participation in donating or initiating donation activities can be the basis for mapping the prospects for government programs related to entrepreneurship, and here is to identify the social activists who can be relied on sustainable development. The analysis was conducted qualitatively based on data from a combination questionnaire, group discussions and interviews. The results of this research indicate that the majority of Balinese students (84%) are become social capital assets. In the mapping of student behavior, researchers identified about 25 percent who are able to seize opportunities to develop social entrepreneurship, therefore they are called Active Agents. While the rest (later referred as Passive Agents), the majority have internal constraints, such as low self-confidence. Therefore, the researchers compiled several recommendations that could be considered by the institution to generate the social entrepreneurship potential in a sustainable manner.

PENDAHULUAN

Terhitung sejak diumumkannya masa awal pandemi Covid-19 di Indonesia hingga tepatnya pada Mei 2020, jumlah total donasi yang berhasil terkumpul melalui platform kitabisa.com mencapai Rp 130 miliar (Tempo.co, 15/5/2020). Angka ini terbilang fantastis mengingat masa pandemi yang baru berlangsung dua bulan saja. Bisa dibayangkan berapa jumlah rupiah pada bulan-bulan berikutnya jika diakumulasikan dengan total donasi di beberapa platform serupa, seperti donasionline.id, benihbaik.com, wecare.id, aksiamal.com, dan masih banyak lagi. Berdasarkan fakta tersebut, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Tren menggunakan media donasi digital di dalam negeri mulai merangkak naik memasuki tahun 2017. Hal ini ditengarai karena penggunaan akun media sosial yang juga kian masif. Kemudahan mendapat dan berbagi informasi atas peristiwa sehari-hari secara real-time turut memengaruhi perilaku sosial masyarakatnya. Perilaku sosial untuk aksi penggalangan dana tidak lagi menjadi eksklusif, karena kini dapat diinisiasi secara mandiri oleh siapapun dan dimanapun melalui kehadiran media donasi digital.

Ditelusuri dari kehadirannya ditengah era globalisasi saat ini, media donasi digital merupakan implementasi dari gagasan mengenai social entrepreneurship (SE). Gagasan ini menawarkan bentuk inovasi perilaku entrepreneurial (sifat usahawan) terhadap fenomena sosial dalam masyarakat. Para pelaku SE ini umumnya mempromosikan bidang-bidang kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan. Secara tradisional, social entrepreneurs dipahami sebagai orangorang yang bergerak dalam sektor suka-rela (voluntary action), menggerakkan organisasi non profit, dengan tujuan menolong sesama. Jika dahulu dibutuhkan tenaga profesional untuk mengakomodasi aksi suka-rela tersebut, maka sekarang dengan fasilitas yang ditawarkan revolusi industri 4.0, setiap orang seharusnya dapat menjadi aktivis yang mampu menginisiasi perubahan sosial. Berdasarkan asumsi tersebut, tulisan ini menargetkan kelompok masyarakat (kategori mahasiswa) di wilayah Bali dalam aktifitas kewirausahaan sosial.

Pendekatan kewirausahaan terhadap fenomena sosial menjadi sebuah inovasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Implementasi kewirausahaan sosial menawarkan kultur baru dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. Integrasi keduanya (komponen wirausaha dan sosial) secara tidak langsung melibatkan proses (re)konversi dan (re)produksi antara kapital ekonomi dan kapital sosial. Secara umum, bisa dipahami bahwa kewirausahaan sosial adalah tentang menghubungkan simpul-simpul kapital tersebut ke dalam sebuah jejaring kolaborasi sumber daya, serta mentransformasikan seperangkat rangkaian tersebut menjadi layaknya sebuah perusahaan (Penrose dalam Stryjan, 2006: 51).

Memasuki era Revolusi Industri 4.0, implementasi kewirausahaan sosial mengalami percepatan yang signifikan karena kehadiran teknologi internet. Permasalahan sosial di seluruh penjuru dunia, sekarang dapat dengan mudah diselesaikan oleh siapa saja dan dimana saja. Apabila ditelusuri lebih jauh, skema

kewirausahaan sosial ini secara tidak langsung muncul seiring dengan pertumbuhan sistem ekonomi yang juga semakin modern. Bagi beberapa pihak, kompetisi ekonomi global yang kian ketat menciptakan dilema pertumbuhan ekonomi, yaitu membuat mereka dengan sumber daya terbatas akhirnya tidak mampu bersaing. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran di negara-negara berkembang. Ditengah maraknya keterpurukan tersebut, konsep kewirausahaan di bidang sosial hadir sebagai penyeimbang ketimpangan tersebut. Tujuannya adalah meringankan atau menyelesaikan isu, dengan harapan masyarakat nantinya akan dapat berkontribusi kembali ke dalam sistem sosialnya. Layaknya dalam ekonomi, kewirausahaan sosial menawarkan peluang untuk membentuk komunitas sosial sebagai kapitalnya. Semakin banyak yang berpartisipasi, maka semakin besar pula kapital sosialnya. Kolaborasi antara teknologi dan kegiatan kewirausahaan sosial menciptakan peluang bagi komunitas lokal bisa bersaing dalam ekonomi global.

Masyarakat dunia saat ini memasuki era Society 5.0. Hal ini secara khusus merujuk pada terminologi manusia modern yang hidup berdampingan dengan teknologi. Artinya, mereka memiliki akses serta mampu memanfaatkan teknologi (khususnya internet) menjadi bagian dari hidupnya sebagai manusia. Masifnya penggunaan akses internet, secara ideal direpresentasikan melalui eksistensi Society 5.0, yang awam dikenal dengan sebutan generasi milenial dan generasi ‘Z’. Survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center pada Maret 2022 menyimpulkan bahwa Gen-Z adalah generasi yang paling aktif menggunakan internet dengan hasil tertinggi kategori durasi 4-6 jam, 7-10 jam, 11-13 jam, dan >13 jam (DataIndonesia.id, 29/06/2022). Peringkat tersebut masih sama seperti Survei Nasional Kompas tahun 2021 tentang durasi penggunaan internet, bahwa sebanyak 32,1% Gen-Z hampir setiap jam (selalu) mengakses media sosial di ponsel (Kompas.id, 08/02/2021). Sebagai informasi, generasi milenial adalah mereka yang terlahir dalam rentang tahun 1980-1995. Sementara generasi ‘Z’ adalah kelompok masyarakat yang lahir antara tahun 1996-2015, sehingga pada tahun 2023 maksimal usia Gen-Z adalah 27 tahun. Gen-Z merupakan generasi yang memiliki prospek luas dalam menentukan tatanan kehidupan pada masa mendatang. Berdasarkan rentang usia produktif dan tingginya akses internet Gen-Z, maka klaster mahasiswa (18-24 tahun) menjadi relevan untuk target penelitian.

Sejak lama mahasiswa dipandang sebagai agen perubahan. Peran ini melekat terutama setelah gerakan mahasiswa mampu mengawal perubahan sistem sosial dan politik dalam negeri pada beberapa periode, baik melalui reformasi maupun revolusi. Keistimewaan mahasiswa terletak pada kemampuannya dalam memobilisasi massa atas dasar solidaritas. Dengan kata lain, mahasiswa sebenarnya memiliki sumber daya untuk membangun kapital sosial. Namun selama ini, aksi solidaritas tersebut hanya identik dengan protes dan demonstrasi. Jika dikelola secara tepat, maka kapital sosial bisa menjadi aset berharga yang dapat menyongsong perubahan sosial. Menyikapi kondisi saat ini, yakni dengan adanya percepatan teknologi serta masa pandemi, Pemerintah Indonesia menumpukan proses pemulihan ekonomi kepada kegiatan kewirausahaan. Artinya, paling tidak dalam sepuluh tahun ke depan program kewirausahaan dipandang sebagai survival venture yang dapat diandalkan untuk pembangunan

berkelanjutan. Beranjak dari isu mengenai tren donasi digital, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi mahasiswa di Bali (sebagai masyarakat masa depan) dalam mengembangkan sumber dayanya ke arah aksi kewirausahaan sosial, sebagai bentuk sokongan percepatan ekonomi sekaligus upaya pembangunan berkelanjutan.

METODE PENELITIAN

Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan teknik kuesioner, diskusi kelompok, dan wawancara. Melalui kuesioner awal, peneliti menjaring sebanyak 210 responden dari beberapa perguruan tinggi di dua kabupaten (Badung, Buleleng) dan satu kota (Denpasar) di Bali. Kuesioner dilakukan dalam rentang bulan Agustus 2021, dan berisi sepuluh pertanyaan kombinasi (terbuka dan tertutup), sebagai berikut.

  • 1.    Apakah anda pernah berdonasi melalui platform online?

  • 2.    Di platform online apa biasanya anda memberikan donasi?

  • 3.    Rata-rata berapa kali anda berdonasi dalam 1 bulan?

  • 4.    Berapa besaran nominal yang biasa anda donasikan?

  • 5.    Tema donasi seperti apa yang biasanya menarik minat anda?

  • 6.    Apa alasan anda melakukan donasi?

  • 7.    Selain sebagai donatur, apakah anda pernah menginisiasi kegiatan penggalangan dana serupa (melalui online)?

  • 8.    Sebutkan penggalangan dana untuk apa?

  • 9.    Apa alasan anda menginisiasi penggalangan dana tersebut?

  • 10.    Apa visi anda ke depan terhadap platform penggalangan dana yang sudah anda inisiasi?

Pertanyaan dengan nomor 1, 3, 5, dan 7 adalah jenis pertanyaan tertutup (Ya/Tidak) dan beberapa pilihan ganda lainnya, yang bertujuan untuk memetakan kecenderungan responden terkait isu penelitian. Sedangkan pertanyaan terbuka diakomodasi oleh nomor 8-10.

Melalui hasil kuesioner, peneliti membuat kategorisasi “agen aktif” dan “agen pasif” dari responden. Ketimpangan perilaku pasif dan aktif yang teridentifikasi, selanjutnya dianalisis lebih dalam melalui diskusi kelompok terbatas, serta wawancara. Peneliti mengacak responden dari beberapa perguruan tinggi dalam sebuah forum diskusi untuk bisa brainstorming. Pada tahap ini, peneliti memperdalam tiap pertanyaan serta mengamati interaksi peserta dalam kapasitas mereka sebagai Generasi-Z. Semua data yang dikumpulkan kemudian akan diinterpretasikan secara kualitatif oleh peneliti untuk mendapatkan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan kewirausahaan (entrepreneurship) dikenali sebagai bagian dari unit manajemen bisnis. Pertumbuhan wirausahawan (entrepreneur) dinilai sebagai

sumber potensial untuk mengakselerasi pembangunan, sehingga lambat-laun indikator pembangunan tidak lagi bergantung pada peran negara dan komunitas tradisional. Hal ini dipengaruhi oleh paradigma neoliberal yang menitikberatkan pada self-regulating market dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterkaitannya dengan aspek bisnis membuat aktivitas kewirausahaan dianggap selalu bermuara pada pembangunan ekonomi. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa para aktor privat ini membuat keputusan lebih baik ketika bersinergi dalam level ekonomi mikro daripada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, kegiatan produksi dan distribusi dalam kerangka pembangunan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan maksimal jika lingkungan (ekonomi) pasar tidak mendukung atau ada ketimpangan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengentaskan ketimpangan tersebut agar kesejahteraan secara utuh dapat dicapai. Keyakinan ini menggiring pemikiran bahwa sektor privat kewirausahaan juga dapat bergerak dalam bidang sosial dan terlibat di dalam upaya memperbaiki taraf kehidupan, sehingga akhirnya masyarakat dapat bersaing dalam pasar global. Selanjutnya, aktivitas aktor privat ini menjadi elemen krusial yang dikenal mengedepankan pertumbuhan dan perubahan sosial (terutama menyasar bidang kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan/ekosistem) yang kemudian kita ketahui sebagai social entrepreneurship (kewirausahaan sosial).

Konsep kewirausahaan sosial yang manifestasinya terkait erat dengan aspek perubahan sosial dan pembangunan ekonomi, fokus pada kerangka mobilisasi sumber daya beserta pengelolaannya dari waktu ke waktu. Menurut Yohanan Stryjan, seorang Profesor Ilmu Sosial di Universitas Södertörn Swedia, terdapat empat elemen yang saling berinteraksi (mode of action) dalam proses konversi dan reproduksi kapital (Stryjan, 2006: 53-54), seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Model Konversi dan Reproduksi Kapital Sumber: Stryjan, 2006

Proses Konversi diterjemahkan melalui peralihan perilaku sosial menuju kapital ekonomi. Stryjan mencontohkannya dengan praktik pinjaman lunak, kesukarelaan, kehendak baik, dan sebagainya. Artinya, proses ini memiliki (produk) luaran berupa perbaikan ekonomi atau pembangunan kapital ekonomi. Sebaliknya, proses Rekonversi berangkat dari pijakan ekonomi ke arah kapital sosial. Beberapa praktiknya, seperti pemberian donasi, sponsor, dan pembelian produk tertentu, memberikan gambaran terjadinya proses pertukaran (kembali) antara elemen ekonomi menuju pembangunan kapital sosial sebagai (produk) luarannya. Sedangkan pergerakan kedua proses tersebut (konversi dan rekonversi), hanya bisa berjalan berkesinambungan jika disokong oleh kapital sosial yang kokoh dan strategi kelola kewirausahaan. Disisi lain, aset kapital sosial bisa didapatkan dengan mereproduksi elemen sosial melalui praktik pembangunan jejaring, upaya pemeliharaan, pengadopsian nilai-nilai umum, dan masih banyak lagi. Sederhananya, kewirausahaan sosial dapat disebut sebagai aksi pengorganisasian kapital sosial melalui sistem pengelolaan ekonomi. Sosok wirausahawan sosial itu sendiri lebih ditekankan pada identifikasi atas komunitas, dibandingkan terhadap kontribusinya mengatasi isu tertentu. Praktik donasi maupun sukarelawan dapat menjadi batu loncatan menuju afiliasi sosial, namun yang paling penting bagi seorang aktor wirausaha sosial adalah bagaimana melakukan pengorganisasian sosial kapital sehingga dapat menciptakan komunitas mandiri yang memiliki sumber daya berkelanjutan. Tugas mendefinisikan, menyusun dan memelihara/memodifikasi komunitas melalui ‘mekanisme penggabungan dan pemisahan yang menentukan batas-batas kepercayaan dan afiliasi sosial’ terletak dalam inti kewirausahaan sosial (Granovetter, 1992 dalam Stryjan, 2006: 55).

Gagasan kewirausahaan sosial pun terlihat cukup paradoksial. Figur pengusaha yang dekat dengan makna profit seeking dalam sektor swasta, ternyata harus dikolaborasikan dengan tema kesejahteraan sosial dalam satu terminologi social entrepreneurship. Secara mandiri, aspek sosial dimaknai sebagai aset kapital sosial, yang meliputi hubungan (relationship), jaringan (networks), kepercayaan (trust), dan kerja sama (co-operation), dimana semua hal tersebut memberikan akses terhadap realitas dan finansial (kapital ekonomi). Sedangkan pengusaha (entrepreneur) merupakan pihak yang unggul dalam mempertemukan kedua sisi “kebutuhan” tersebut dengan cara memobilisasi masing-masing sumber daya (Leadbeater, 2001: 11). Mereka memiliki misi sekaligus inovator handal. Aktivitas kewirausahaan sosial membutuhkan sektor sukarela (voluntary) agar implementasinya ideal. Selain itu, sektor publik dan privat juga turut menjadi bagian harmonisasi ekosistem kewirausahaan ini agar bisa dilakukan berkelanjutan.


Gambar 2. Model Sektor Wirausaha Sosial

Sumber: Leadbeater, 2001: 10

Model irisan ragam sumber daya menunjukkan sektor-sektor yang memengaruhi keberlangsungan ekosistem Kewirausahaan Sosial. Jika Stryjan fokus pada proses pembentukan kapital, maka Leadbeater fokus pada sumber daya yang membentuk ekosistem tersebut. Secara sederhana, ekosistem Leadbeater terdapat pada setiap proses peralihan kapital Stryjan, atau ekosistem Leadbeater selalu memengaruhi proses peralihan kapital Stryjan.

Sebelum menganalisis proses konversi, re-konversi, dan re-produksi kapital sosial dalam sektor kewirausahaan sosial, maka perlu dilakukan pemetaan awal potensi wirausaha sosial mahasiswa di Bali yang diperoleh dari jawaban kuesioner. Tujuannya adalah mengategorikan perilaku aktif dan pasif mahasiswa melalui perannya dalam sebuah aksi sosial/kemanusiaan. Kuantifikasi hasil akan dideskrisikan melalui persentase tiap pertanyaan yang tercantum dalam beberapa diagram berikut.

Gambar 3. Hasil Kuesioner No. 1 & 2

Sumber: Data diolah penulis


Lainnya:

-My Telkomsel -

-Tokopedia

-change org

-Gojek

-Indonesiadennawan. id

-OrifIame Care

-kebaikanummat.org

-bantoo.id

-rumahzakat.com

-sos.or.id

-saweria.co

-lindungihutan.com

-supportunicefindonesia.org

-arknights global

Sebagai kelompok Gen ‘Z’, responden mengonfirmasi kecakapan penggunaan teknologi di era digital dengan jumlah 84% dalam pemanfaatannya untuk kegiatan kemanusiaan. Hal ini sekaligus menjawab tujuan penelitian pertama mengenai

pengukuran animo responden yang tinggi terkait partisipasinya dalam berdonasi melalui platform digital. Dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi lebih efektif menjaring kelompok Gen ‘Z’ untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan. Salah satu platform donasi digital yang paling awam digunakan oleh responden adalah kitabisa.com. Inovasi menjadi poin utama platform penggalangan dana, khususnya dalam hal kemudahan akses dan persyaratan untuk bisa turut berpartisipasi, pasif maupun aktif. Selain itu, tingginya intensitas kemunculan di media sosial yang sering digunakan oleh masyarakat (seperti instagram) juga memengaruhi perilaku penggunanya.

Gambar 4. Hasil Kuesioner No. 3 & 4

Sumber: Data diolah penulis

Berdasarkan data, dapat dikatakan semua responden (minimal satu kali) pernah melakukan donasi digital. Intensitas yang paling sering dilakukan adalah 1-5 kali (97%), dalam sebulan. Secara tidak langsung, hal ini menegaskan adanya kesinambungan (sustainability) dalam berperilaku sosial. Melalui data tersebut, peneliti mengidentifikasi peluang munculnya bibit-bibit wirausahawan sosial dalam masyarakat. Dimana menurut Stryjan dalam model konversi dan reproduksi kapital pada bab dua (hal 4), bahwa pengorganisasian kapital sosial dapat menciptakan komunitas mandiri yang memiliki sumber daya berkelanjutan. Besaran nominal bukanlah prioritas dalam berdonasi, karena proses pembangunan kapital sosial terpaut pada kuantitas partisipatornya. Poin utama pertanyaan ini adalah untuk mengetahui rata-rata kemampuan ekonomi responden dalam berdonasi. Disini, peneliti mampu mengidentifikasi kelas menengah (10k s.d.

<50k) yang justru menjadi poros utama sebuah kapital sosial. Atau secara makro dapat dikatakan rata-rata tingkat kesejahteraan responden adalah masuk kategori kelas ekonomi menengah.

Tema donasi seperti apa yang biasanya menarik minat anda?


Selain sebagai donatur, apakah anda pernah menginisiasi kegiatan penggalangan dana serupa (melalui online)?


Gambar 4. Hasil Kuesioner No. 5 & 7

Sumber: Data diolah penulis

Data menunjukkan bahwa responden cenderung memilih berdonasi untuk hal-hal keselamatan, seperti bencana alam dan/atau perang (42%). Selanjutnya, terkait kondisi pandemi, tema kesehatan menjadi peringkat kedua untuk dipilih (sebesar 31%). Namun jumlah ini bercampur dengan tema pengobatan lainnya, seperti yayasan kanker, pengobatan lansia, dan donasi untuk biaya operasi orang-orang yang tidak mampu. Sedangkan untuk tema pendidikan, lingkungan, dan ekonomi ada di peringkat tiga terbawah dengan persentase tertinggi hanya 10%. Secara garis besar, alasan responden (no.6) memilih tema keselamatan adalah karena rasa kasihan/iba (simpati/empati). Pendapat lainnya mengatakan karena kewajiban (sebagai manusia), merasa senang, bentuk kepedulian, ingin berbagi, ingin bermanfaat, wujud rasa syukur, prinsip tat twam asi, memiliki uang lebih, dan nilai relijius. Sedangkan jawaban dari pertanyaan nomor tujuh mengonfirmasi bahwa hanya sebagian saja yang pernah menginisiasi kegiatan penggalangan dana serupa. Dapat dilihat bahwa mayoritas responden (74%) hanya berperan pasif dalam skema kewirausahaan sosial ini. Sedangkan untuk membuatnya berkelanjutan, dibutuhkan partisipator yang aktif menciptakan “produk-produk” sosial sehingga bisa menjaring lebih banyak orang dan membentuk kapital sosial yang lebih solid pada masa mendatang. Data ini sekaligus memberikan gambaran tujuan kedua penelitian bahwa sebanyak kurang lebih seperempat mahasiswa (26%) telah mampu memanfaatkan peluang penggalangan dana digital, hal ini dinilai sebagai upaya untuk memperluas dan mempercepat kinerja sistem kewirausahaan sosial itu sendiri.

Berdasarkan pemetaan hasil kuesioner yang telah dideskripsikan, maka analisis perilaku pasif-aktif dalam proses konversi, rekonversi dan reproduksi kapital dapat dimulai dari identifikasi perbedaan antara “melihat” peluang dan “meraih” peluang. Konsep kewirausahaan secara umum dipahami sebagai proses yang menyajikan seperangkat sumber daya kapital untuk mengejar peluang tersebut. Apapun kegiatan kewirausahaan yang dijalankan akan memengaruhi munculnya keberlangsungan usaha bertahan hidup. Kewirausahaan sosial dapat didefinisikan sebagai “upaya” mengejar peluang untuk menciptakan nilai sosial dan mengatalisasi (mempercepat) perubahan sosial. Tidak seperti kegiatan

wirausaha lain yang berbasis ekonomi pasar, kewirausahaan sosial memberikan konteks yang berbeda secara kualitatif dalam hal misi, respon terhadap kegagalan pasar (market failure), mobilisasi sumber daya, dan pengukuran kinerja (Stevenson & Skillern, 2006; dalam Hu et.al., 2019: 2).

Adanya kesenjangan jumlah agen pasif yang lebih besar dibandingkan agen aktif dalam aksi donasi digital penelitian ini, menurut Stryjan mengindikasikan proses Konversi (from social to economic capital) yang rendah/terbatas. Artinya, sektor voluntary-nya rendah (dalam Leadbeater). Sedangkan proses Rekonversi (from economic to social capital) yang terjadi adalah sangat tinggi. Artinya, sektor publiknya tinggi (dalam Leadbeater). Di sini posisi agen pasif (yang bertindak sebagai donatur saja) dinilai sebagai aset kapital sosial. Artinya, dari segi proses pembentukan kapital sosial, maka kinerja praktik kewirausahaan sosial di wilayah sasaran penelitian bisa dikatakan berhasil. Di satu sisi, praktik donasi digital telah mampu menciptakan nilai sosial sehingga membentuk aset kapital sosial yang besar pula. Namun di sisi lain, kegiatan ini belum cukup untuk mengatalisasi perubahan sosial karena minimnya “agen aktif” yang mau (bertindak) memobilisasi aset (sumber daya) tersebut. Pembahasan pada sub bab ini sekaligus mengeksplorasi jawaban dari pertanyaan kuesioner no 810.

Melalui diskusi kelompok, peneliti mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan mahasiswa “enggan” bertindak aktif menginisiasi kewirausahaan sosial, antara lain:

  • -    kurangnya kepercayaan diri; mahasiswa umumnya merasa tidak mampu atau takut untuk memulai atau melakukannya sendiri.

  • -    kurangnya referensi isu sosial; mahasiswa tidak mengetahui akan membantu siapa dan dimana, atau bisa dikatakan mereka bingung menentukan tujuan kegiatan.

  • -    rendahnya literasi digital; mahasiswa tidak aktif mencari tahu prosedural untuk memanfaatkan platform penggalangan dana digital tersebut.

Aktivitas donasi digital adalah salah satu cara yang paling mudah diaplikasikan oleh khususnya para Generasi ‘Z’ saat ini. Stryjan dalam model proses konversinya, secara teoritis hanya menunjukkan proses peralihan kapital tersebut. Namun dengan penerapan teknologi informasi pada era sekarang, akselerasi proses peralihan kapital dapat terjadi dengan sangat dinamis. Bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok “agen pasif”, sebenarnya memiliki posisi yang kurang lebih ideal jika dilihat berdasarkan prinsip ekonomi supply and demand. Namun konteks kewirausahaan ini sejak awal memiliki prinsip nilai sosial dan membawa misi perubahan sosial yang dapat diandalkan ketika sistem ekonomi pasar komersil suatu saat mengalami kegagalan. Maka dari itu, percepatan dengan membuat siapa saja aware akan pentingnya berperan aktif atas perubahan sosial, dapat menciptakan mekanisme pertahanan diri yang kondusif dan berkelanjutan.

Bagi kelompok yang masuk kategori “agen aktif” dalam penelitian ini menceritakan pengalaman mereka menginisiasi penggalangan dana bantuan melalui platform digital. Platform digital dinilai sangat efektif dan efisien, terutama dari segi perolehan kuantitas dana. Selain itu, donasi digital sangat membantu aktivis yang memiliki keterbatasan personil, atau bisa juga dilakukan

secara mandiri. Tema yang paling banyak mendapat respon dari donatur adalah bidang keselamatan/bencana dan kesehatan. Selain itu, donatur juga banyak merespon ketika ada faktor kedekatan (proximity) antara dirinya dengan tema yang ditawarkan, serta timing dari isu tersebut. Dalam teori Hirarki Kebutuhan milik Abraham Maslow (1943), perilaku ini dapat dikategorikan dalam puncak piramida hirarki aktualisasi diri, yang untuk mencapainya harus melewati empat tahap kebutuhan secara berturut-turut, yakni physiological, safety, social, dan esteem. Namun teori hirarki ini telah diperbarui oleh beberapa cendikia yang memasukkan unsur kemungkinan pemikiran strategis dalam pencapaian kepuasan (aktualisasi diri) yang tidak harus mengikuti tahapan hirarki Maslow, yakni bahwa manusia akan lebih cenderung mengikuti strategi yang seimbang dalam memenuhi kebutuhan mereka akan cinta, kepemilikan, dan harga diri (Rojas, et.al., 2023).

Berdasarkan hasil forum diskusi, mayoritas penggalangan dana yang mahasiswa lakukan adalah atas nama pribadi. Meski beberapa mengatakan jika memakai nama instansi akan lebih memiliki sharing effect yang positif, namun ternyata tidak semua instansi pendidikan mengijinkan mereka untuk menggunakannya. Hal ini pernah dialami oleh Erica (Mahasiswa UNUD), pihak sekolahnya dulu (SMA) menolak keinginannya untuk memakai nama instansi dalam aktivitas penggalangan dana yang ia dan teman-temannya lakukan, namun ketika kegiatan itu berhasil dan membawa hal positif, pihak sekolah baru memberi dukungan. Peneliti mengidentifikasi kasus yang dialami Erica bahwa instansi (sektor privat) justru menjadi pihak yang kurang bekerja sama (kontradiktif) alih-alih memberikan dukungan sejak awal. Praktik seperti ini sebenarnya sangat sering terjadi (klise), yakni ketika upaya pemajuan harus terbentur dengan birokrasi lembaga. Analisis dari kasus ini adalah adanya sektor (privat) dalam ekosistem kewirausahaan sosial yang berjalan kurang harmonis.

Merujuk pada kondisi tersebut, upaya mengelola potensi mahasiswa dalam skema kewirausahaan sosial penting untuk diperhatikan. Aspek utama yang selalu menjadi alasan bagi semua mahasiswa yang terlibat di penelitian ini, ketika mereka turut berpartisipasi dalam donasi digital adalah rasa kemanusiaan (simpati/empati) dan nilai moral. Mereka juga menyatakan tetap melakukan aktivitas donasi pada waktu-waktu mendatang dengan intensitas yang berbeda-beda. Faktor kemudahan berdonasi secara digital yang otomatis membuat mahasiswa menjadi bagian dari kapital sosial, ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang mau menginisiasi donasi secara aktif. Berdasarkan penjelasan yang sudah dilakukan oleh peneliti pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa kendala kelompok “agen pasif” rata-rata disebabkan oleh faktor internal. Maka dari itu, diperlukan tindakan implementatif untuk melatih kebiasaan berwirausaha sosial. Sebagai langkah awal, pihak institusi (perguruan tinggi) dapat melakukan sosialisasi dan pelatihan dengan tema kewirausahaan sosial. Apabila dirasa kurang, maka dapat merancang program perkuliahan kewirausahaan dan memasukkannya ke dalam kurikulum. Saran dari mahasiswa adalah mengintegrasikan skema kewirausahaan sosial ini ke dalam program wajib KKN Mahasiswa dan/atau pada saat Student Day penerimaan

mahasiswa baru. Harapannya adalah mahasiswa mendapat pengalaman praktis sekaligus mengeliminasi kendala internal tersebut.

Dalam diskusi, peneliti mencoba mengukur kepekaan mahasiswa terhadap isu sosial yang ada di lingkungan sekitar mereka. Hasilnya adalah rata-rata mahasiswa (sebenarnya) mampu mengidentifikasi isu sosial tersebut. Apa yang kemudian membuat mereka tidak mengeksekusi masalah adalah karena minimnya dukungan dan kepercayaan diri. Oleh sebab itu, pembinaan dan pelatihan praktis adalah solusi yang tepat untuk membuatnya aktif. Berikut adalah contoh identifikasi isu yang dilakukan mahasiswa.

“Sekarang kan masih pandemi Covid 19, saya sendiri tinggal di Desa Pejaten, Tabanan dimana banyak tempat pembuatan gerabah keramik, patung dan lainnya. Karena pandemi, pembeli menurun drastis jadi banyak pengusaha yang tutup karena Covid-19. Oleh karena itu saya ingin membantu usaha mereka lewat open donasi.” (Ryana, UNUD)

Pembinaan dan pelatihan juga penting dilakukan kepada “agen aktif” mahasiswa. Namun, lebih khususnya pihak perguruan tinggi sudah harus mulai merancang wadah inkubasi untuk menampung aset-aset ini. Mefasilitasi ide-ide kewirausahaan (sosial) mahasiswa dengan sarana, prasarana serta regulasi yang ramah dapat menjadi katalisator proses pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, agen mahasiswa aktif dan pasif dapat berkolaborasi untuk memperluas jangkauan kewirausahaan (skala nasional dan/atau inovasi kegiatan), sekaligus sebagai upaya mencetak lebih banyak agen aktif kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi pada masa mendatang.

SIMPULAN

Program kewirausahaan sosial menjadi salah satu tumpuan dalam menyukseskan peta jalan pembangunan berkelanjutan. Era Revolusi Industri 4.0 dan kehadiran Society 5.0 merupakan target utama pencapaian tujuan pembangunan tersebut. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap perilaku tren donasi digital mahasiswa Bali, peneliti menyimpulkan bahwa Gen ‘Z’ mahasiswa di Bali memiliki prospek yang besar (menjanjikan) dalam mengembangkan aksi kewirausahaan sosial. Hal ini dikonfirmasi dengan 84 persen responden yang otomatis menjadi bagian dari kapital sosial saat mereka berpartisipasi dalam donasi digital. Selanjutnya, dari jumlah tersebut peneliti mengidentifikasi seperempat mahasiswa yang telah/mampu memanfaatkan platform donasi digital sebagai peluang untuk kewirausahaan sosial lainnya. Kelompok mahasiswa ini tidak hanya menjadi bagian kapital sosial, tetapi sekaligus mampu menambah nilai dirinya dalam interaksi kapital ekonomi. Peneliti menyebutnya sebagai Agen Aktif. Sedangkan untuk potensi dari keseluruhan responden mahasiswa, peneliti menyimpulkan jika Agen Pasif dapat mengikuti jejak Agen Aktif dengan mengeliminasi hambatan internal (seperti kepercayaan diri, kepekaan isu, dan literasi digital) atau berkolaborasi dengan agen aktif dalam suatu wadah inkubasi yang disponsori oleh institusi beserta

stakeholders. Agen aktif dalam hal ini juga dapat memperluas jangkauan aksi dengan menggandeng agen-agen pasif agar aktivitas kewirausahaan sosial ini dapat berkelanjutan.

Melalui penelitian ini, penulis juga menyusun beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di lingkungan perguruan tinggi di Bali, antara lain: mengadakan sosialisasi dan/atau pelatihan rutin mengenai kewirausahaan sosial yang melibatkan pakar tertentu. memasukkan CPL kewirausahaan sosial ke dalam kurikulum masing-masing prodi, mengolaborasikan praktik kewirausahaan sosial ke dalam program KKN Mahasiswa dan/atau Student Day, dan membuat wadah inkubasi yang dapat mendukung dan mengeksekusi ide/gagasan mahasiswa tentang kewirausahaan sosial. Rekomendasi berfokus pada peningkatan sumber daya manusia civitas akademika, khususnya mahasiswa dalam memperoleh pengalaman praktis melalui program kewirausahaan sosial, serta dapat dipakai sebagai kerangka strategi program pengembangan kewirausahaan sosial. Selain mendukung program pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan, hal ini termasuk investasi jangka panjang perguruan tinggi dalam mencetak SDM lulusan yang berdaya saing, serta mampu meningkatkan akreditasi institusi.

REFERENSI

Agustina, Susanti. (2021). ‘Generasi Z dan Y Dominasi Media Daring,’ Kompas.id, 8 februari

2021, Retrieved from https://www.kompas.id/baca/riset/2021/02/08/generasi-z-dan-y-dominasi-media-daring, diakses tanggal 11 Juni 2023.

Hu, Xiaoti (et.al.). (2019). ‘Understanding Opportunities in Social Entrepreneurship: A

Critical Realist Abstraction,’ Sage Journals, DOI: 10.1177/1042258719879633, hal 1-25.

Johnson, Matthew & Schaltegger, Stefan. (2019). ‘Entrepreneurship for Sustainable Development: A Review and Multilevel Causal Mechanism Framework,’ Sage Journals, DOI: 10.1177/1042258719885368, hal 1-33.

Leadbeater, Charles. (2001). The Rise of the Social Entrepreneur. Demos, UK.

Linder, Christian (et.al.). (2019). ‘Many Roads Lead to Rome: How Human, Social, and Financial Capital Are Related to New Venture Survival,’ Sage Journals, DOI: 10.1177/1042258719867558, hal 1-24.

Mahmudan, Ali. (2022). ‘Survei: Generasi Z Indonesia Paling Gandrung Gunakan Internet,’

DataIndonesia.id, 29 Juni 2022, Retrieved from

https://dataindonesia.id/internet/detail/survei-generasi-z-indonesia-paling-gandrung-gunakan-internet, diakses tanggal 11 Juni 2023.

Riana, Friski. (2020). ‘Total Donasi di Kitabisa.com Mencapai Rp 130 Miliar Saat Pandemi,’

Tempo.co, 15 Mei 2020, Retrieved from

https://nasional.tempo.co/amp/1342578/total-donasi-di-kitabisa-com-mencapai-rp-

130-miliar-saat-pandemi, diakses tanggal 11 Maret 2021.

Rojas, Mariano (et.al.). (2023). ‘The Hierarchy of Needs Empirical Examination of Maslow’s Theory and Lessons for Development,’ ELSEVIER World Development, Vol.165, May 2023, 106185, https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2023.106185

Steyaert, Chris & Hjorth, Daniel (eds.). (2006). Entrepreneurship as Social Change. Edward Elgar Publishing Limited, UK.

Stryjan, Yohanan. ‘The Practice of Social Entrepreneurship: Notes Toward a ResourcePerspective’, dalam Steyaert, Chris & Hjorth, Daniel (eds.). (2006). Entrepreneurship as Social Change. Edward Elgar Publishing Limited, UK.

14

E-ISSN 2685-4570

VOL. 5 NO. 1, JULI 2023