JEJAK DAN PENGARUH DIPLOMASI PUBLIK CINA MASA LALU PADA MASYARAKAT BALI
on
JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA
E-ISSN 2685-4570
JEJAK DAN PENGARUH DIPLOMASI PUBLIK CINA MASA LALU PADA MASYARAKAT BALI
GPB Suka Arjawa
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Email : suka_arjawa@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan jejak diplomasi publik Cina dan pengaruhnya pada kehidupan masyarakat di Bali. Diplomasi publik saat ini sering menjadi sorotan di kancah politik dan kebudayaan karena memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial di negara lain. Penelitian ini dilakukan di berbagai tempat di Bali yang mempunyai jejak pengaruh Cina seperti di pantai di Singaraja bagian timur, Pura Besakih, Pura Batur dan menyelusuri tulisan-tulisan yang ada yang memuat tentang pengaruh kebudayaan Cina di Bali. Metode yang dipakai adalah kualitatif eksploratif serta melakukan wawancara dan penggalian sumber sejarah di buku dan tulisan yang ada. Hasil yang didapatkan adalah bahwa Cina sesungguhnya telah sejak berabad lalu telah menanamkan diplomasi publik di Bali karena warga Cina telah ada yang mendarat di sejak berabad lalu. Diplomasi ini dilakukan secara langsung oleh orang Cina dan membawa pengaruhnya di Bali. Ini dilihat pada pemukiman penduduk Cina di pegunungan bagian tengah di Bali, pengaruh kebudayaan yang terlihat pada tempat sembahyang, Pura Ratu Subandar, serta berbagai unsur seni yang ada di Bali.
Kata Kunci: Diplomasi Publik, Cina, Bali, Ratu Subandar
ABSTRACT
This study aims to explain the footsteps of Chinese public diplomacy and its influence on the lives of people in Bali. Public diplomacy is now often in the spotlight on the political and cultural scene because it has an influence on social life in other countries. This research was conducted in various places in Bali which have traces of Chinese influence such as on the coast in eastern Singaraja, Pura Besakih, Pura Batur and explore the writings that contain the influence of Chinese culture in Bali. The method used is exploratory qualitative and conducting interviews and extracting historical sources in existing books and writings. The results obtained are that China actually has since centuries ago implanted public diplomacy in Bali because Chinese citizens have landed since centuries ago. This diplomacy is carried out directly by the Chinese and brings its influence in Bali. This is seen in Chinese settlements in the central mountains of Bali, cultural influences seen in places of worship, Ratu Subandar Temple, and various elements of art in Bali.
Key Words: Public Diplomacy, Chinese, Bali, Ratu Subandar
PENDAHULUAN
Diplomasi mempunyai peranan penting dalam hubungan antar negara, baik di masa lalu maupun sekarang. Dengan diplomasi yang baik, negara akan mempunyai banyak sahabat dalam pergaulan internasional yang memudahkan melakukan kerjasama di bidang apapun. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan diplomasi. Secara tradisional, hal itu dilakukan dengan menempatkan perwakilan di luar negeri yang tugasnya mengurus berbagai kepentingan negara. Perkembangan diplomasi kemudian memperlihatkan bahwa tidak hanya negara yang harus mengirimkan perwakilan untuk mencapai tujuan, akan tetapi dapat dilakukan oleh aktor lain seperti individu, perusahan, atau lembaga lain bukan negara. Ini yang pada masa sekarang dikenal dengan sebutan diplomasi publik.
Namun demikian, apabila dilihat jejaknya ternyata diplomasi seperti itu juga pernah dilakukan oleh Cina jauh berabad-abad yang lalu, termasuk ke Indonesia. Di Bali, pengaruh tersebut terasa dalam kehidupan sosial masyarakat sampai sekarang.
Cina dikenal sebagai negara yang mempunyai pengaruh besar secara global. Sejarah mencatat bahwa kontak antara Cina dengan Jawa (Je-pho-ti) melalui perjalanan ziarah pendeta Budha, Fa Hien pada abad ke-5 Masehi. Perjalanan It-sing ke India menyinggahi Mo-lo-you (Melayu) dan Sant-fot-si (Sriwijaya) pada abad ke-7 (Sulistyowati, 2011: 26). Kontak ini terjadi pada dinasti Tang yang berkuasa antara tahun 618 sampai 906. Ketika dinasti Sung (Song) yang berada di bagian selatan Cina (960-1279) berkuasa, perdagangan dari negeri ini berkembang. Perdagangan yang berkembang pada waktu itu memungkinkan bagi warga dari dinasti ini untuk melakukan kontak dengan warga dari tempat lain.
Saat ini dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 1 milyar, masyarakat Cina berada hampir di seluruh penjuru dunia. Dalam konteks hubungan internasional kontemporer, negara ini mempunyai hubungan dekat dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, India, termasuk juga Rusia. Fenomena ini juga terjadi di masa lalu, dimana Cina telah melakukan kontak dengan daerah atau wilayah yang secara geografis letaknya ribuan kilometer dari negeri tersebut.
Di Indonesia, peninggalan dan pengaruh Cina tersebut tidak saja dapat dilihat di Jawa tetapi juga di Bali. Sebagai sebuah pengaruh, maka hal ini dapat dipandang sebagai bagian dari upaya diplomasi Cina yang dilakukan di wilayah lain. Di Bali pengaruh Cina ini sangat terasa sampai sekarang dalam bentuk kebudayaan maupun sikap sosial. Pengaruh tersebut memberikan dukungan dan sikap positif. Secara sosial, tingkat pengaruh itu bahkan telah menyatu dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya penggunaan uang kepeng yang dipakai pada upacara keagamaan. Saat ini seni ukir maupun pahat yangberkembang di Bali juga dipengaruhi oleh unsur dari Cina.
Tulisan-tulisan yang mengupas hubungan antara Cina masa lalu dengan Bali lebih banyak mengupas hubungan kebudayaan serta berbagai pengaruhnya di kalangan masyarakat Bali, sampai kepada kehidupan sosial modern sekarang. Akan tetapi, berbagai tulisan tersebut tidak ada yang mengupas dari sudut diplomasi. Dikaitkan dengan perkembangan diplomasi yang ada sekarang, maka dapat dikatakan bahwa interaksi warga Cina dengan masyarakat Bali di masa lalu itu merupakan diplomasi
yang sifatnya publik. Artinya adanya upaya penjalinan hubungaan yang bermanfaat antar dua warga dari negara yang berlainan. Mereka datang ke Bali dengan membawa nilai-nilai dan kebudayaan yang ada di wilayahnya, untuk kemudian diperkenalkan kepada masyarakat Bali.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat nilai-nilai dan kebudayaan Cina yang dipakai masyarakat Bali saat ini sebagai bentuk keberhasilan diplomasi yang dilakukan para pedagang Cina di masa lalu.
Sulistyowati dalam bukunya “Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia” (2011: 18) menyatakan bahwa Cina mempunyai pengaruh besar dalam kebudayaan Bali. Ini dapat dilihat dari berbagai segi seperti ukir-ukiran, lukisan, sarana persembahyangan sampai dengan cerita rakyat. Kesenian tari terlihat pada Baris Cina yang ada di Desa Sanur dan Renon. Jejak pengaruh itu juga terlihat di berbagai tempat persembahyangan yang ada di berbagai pura besar di Bali. Persembahyangan yang disebut dengan Ratu Gede Subandar atau Ratu Ayu Subandar merupakan bukti adanya penghormatan dan pengaruh Cina pada ritual masyarakat Hindu di Bali. Disamping itu, tarian Barong Landung lanang wadon, merupakan bukti lain dari pengaruh itu.
Tulisan Sulistyawati yang lain, “Akulturasi Budaya Bali dan Tionghoa dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana Kuta” (2011: 43) lebih menekankan bagaimana kedua budaya tersebut menyatu, dimana konsep-konsep bangunan Bali juga dipakai di dalam tempat persembahyangan masyarakat Tionghoa. Sulistyowati misalnya menyebutkan bahwa pada akulturasi tata ruang dari Griya Kongco Dwipayana tersebut memakai konsep tri mandala. Konsep ini sebenarnya merupakan konsepsi tata ruang masyarakat Bali yang membagi wilayah ke dalam tiga wilayah (mandala).
Dalam tulisan lain, Bandem dan juga Sulistyawati mencoba memaparkan pengaruh hubungan internasional antara masyarakat Tionghoa dengan dunia luar. Dalam tulisannya yang berjudul “Barong Landung Perspektif Sejarah, Fungsi dan Pergelaran (dalam Sulistyowati, 2011: 85) Bandem melihat adanya pengaruh dari dinasti-dinasti di Cina seperti Dinasti Sung (Song), Tang dan mencoba mengaitkannya dengan kemunculan tarian Barong landung di Bali (h. 95). Pada pihak lain Sulistyowati mencoba menjelaskan hal yang sama terhadap pengaruh dinasti Tang (618-906), Dinasti Sung (960-1279) serta dinasti Ming (1368-16440 sampai dinasti Yuan (12801368) terhadap pengaruh penggunaan uang kepeng di Bali (Sulistyowati, 2011; 25).
Tulisan yang dipaparkan di bawah ini, mempunyai perbedaan dengan apa tulisan diatas karena lebih menekaankan pada temuan adanya jejak diplomasi publik yang dilakukan oleh Cina, jauh berabad-abad yang lalu melalui di Bali. Disamping itu juga akan dipaparkan bagaimana pengaruh kontak kedua masyarakat tersebut terhadap kehidupan sosial masyarakat Bali, yang terlihat sampai sekarang.
Cina yang dimaksudkan disini adalah sebutan untuk wilayah dimana di masa lalu menjadi tempat wilayah kekuasaan dari berbagai dinasti di Cina, terutama dinasti Tang, Song dan Ming yang memberikan puncak kejayaan ekonomi, sosial dan maritim Cina. Berbagai tulisan yang mengupas tentang kejayaan dinasti-dinasti itu, juga menyebutkan kata Cina sebagai ungkapan penjelas. Artinya ketika disebutkan tentang
keberhasilan dinasti membuat bubuk miseu, juga disebutkan sebagai keberhasilan Cina. Demikian juga dengan asal dari Laksamana Cheng He yang berkeliling dunia pada masa dinasti Ming, disebutkan juga berasal dari Cina. Jadi yang dimaksudkan Cina dalam tulisan ini adalah pengaruh dari masyarakat dari dinasti-dinasti tersebut.
Sedangkan yang dimaksudkan jejak pada judul tulisan ini adalah pertanda adanya kontak antara masyarakat lokal Bali dengan masyarakat Cina di masa lalu. Tanda-tanda itu dapat dilihat dan kemudian dijelaskan dalam berbagai bidang. Misalnya pada tempat persembahyangan ada tempat sembahyang yang disebut Ratu Subandar. Pada bidang ekonomi, ada uang kepeng yang digunakan masyarakat. Pada bidang sosial, di Bali djumpai adanya topeng Barong Landung dan sebagainya. Juga ditemuai pemukiman-pemukiman Cina di pegunungan Bali bagian tengah dan utara, serta nama-nama desa yang berasal dari bahasa Cina di daerah Kintamani. Catatan tentang bagaimana bentuk pertemuan, kesepakatan antar ke dua masyarakat, atau bentuk perjanjian tertulis sebagai bukti adanya diplomasi itu, sulit ditemukan di Bali pada saat ini. Memerlukan kajian yang lebih lama dan mendalam untuk hal itu.
METODE PENELITIAN
Diplomasi publik (public diplomacy), merupakan konsepsi yang menyatakan bahwa sebuah diplomasi tidak mesti harus dilakukan dengan pola state-centre diplomation. Artinya diplomasi itu tidak harus berupa perwakilan tetap yang dikirim oleh negara, menetap di negara lain dan bertugas secara formal atas nama negara. Diplomasi publik dapat dilakukan oleh aktor-aktor bukan negara dan dilakukan di negara lain. Itu misalnya dapat dilakukan oleh organisasi non pemerintah, kelompok dan juga oleh individu (Melissen, 2005: 12). Paul Sharp menyebutkan bahwa diplomasi publik merupakan merupakan proses langsung yang dilakukan rakyat suatu negara yang ingin memperluas nilai dan kepentingan yang dimilikinya (Mellisen, 2005: 11).
Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa diplomasi demikian dapat dilakukan oleh aktor-aktor di luar negara yang mempunyai kepentingan di luar negeri. Dilihat dari perkembangan teknologi, terutama komunikasi, di jaman sekarang, diplomasi publik di jaman sekarang tidak harus dilakukan secara langsung di luar negeri oleh sang aktor. Pencapaian tujuan dan pengenalan nilai itu dapat dilakukan dari dalam negeri, dengan menggunakan teknologi informasi yang modern.
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam diplomasi publik tersebut. Bahwa diplomasi publik itu dilakukan di luar negeri dengan strategi berbeda dengan apa yang dilakukan diplomasi di dalam negeri. Diplomasi publik itu dapat dilakukan untuk kepentingan politik, investasi, mendirikan hubungan sosial atau hubungan kelompok sampai dengan melakukan peredaan konflik. Kegiatan-kegiatan seperti ini dapat dilakukan juga oleh individual yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu (Mellisen, 2005: 14-25). Cull menyebutkan bahwa ada lima hal yang mesti diperhatikan dalam diplomasi publik yang resmi. Kelima fungsi tersebut adalah mendengar (listening), penasihatan (advocacy), diplomasi kebudayaan, diplomasi dengan pertukaran, dan pengenalan diri secara internasional (internasional broadcasting) (Smith, 2015: 127).
Pada pihak lain, Nye menyebutkan bahwa diplomasi publik ini bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar pada lingkungan pergaulan (Smith 2015; 126).
Dapat dikatakan, pendapat dari Cull dan Nye ini menekankan bahwa diplomasi publik lebih ingin menyempurnakan dilomasi tradisional yang telah berlaku sebelumnya. Diplomasi kebudayaan, merupakan salah satu unsur yang mampu memberikan manfaat yang lebih besar tersebut.
Di Cina, pemahaman tentang diplomasi publik tersebut bergeser dari diplomasi yang berpusat pada aktivitas pemerintah menuju pada hubungan yang dilakukan antar masyarakat, lembaga-lembaga kebudayaan, kelompok akademisi, professional dan sebagainya. Dimana pandangan tentang diplomasi tersebut bersumber pada teori harmonisasi dunia. Artinya ingin menciptakan dunia yang harmonis (d,Hogghe, 2011, 6-10).
Menurut Cowan dan Arsenault (2008) dalam Murti dan Zaharna (2014: 9), ada tiga hal yang mesti dipertimbangkan oleh praktisi diplomasi. Ketiga itu adalah aliran informasi yang tunggal atau yang tidak diarahkan (monologue or unidirectional information flow), informasi dua arah atau aliran informasi yang datang dari segala arah (dialogue or flow information in multiple directions) dan kolaborasi yang didasarkan atas kerjasama serta kemitraan dengan sasaran yang sudah dituju (collaborations based on cooperation and partnerships with targeted audiences). Disebutkan, kolaborasi yang dimaksudkan itu bisa saja dalam bentuk gabungan kerjasama proyek atau berbagai bidang yang menghasilkan. Akan tetapi, dalam studi yang dilakukan oleh Zaharna tahun 2013 dan 2014 menyebutkan bahwa kolaborasi tersebut bisa dalam bentuk kreasi ilmu pengetahuan atau membentuk pengetahuan baru (Murti & Zaharna, 2015: 13). Disebutkan bahwa mengkreasi pengetahuan baru dan inovasi merupakan bagian penting dari kolaborasi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode konten analisis, yaitu dengan meneliti bacaan-bacaan yang ada tentang diplomasi publik dan tentang pengaruh kebudayaan Cina di Bali. Disamping itu juga dengan melakukan kunjungan lapangan melihat peninggalan-peninggalan pengaruh pada tempat persembahyangan, seperti di Pura Ratu Gde Subandar di Pura Besakih, Karangasem Bali. Dari pengumpulan data tersebut kemudian, dengan memakai metode hermeneutik, ditafsirkan segala fenomena yang didapatkan, untuk kemudian secara induktif dibuat kesimpulan-kesimpulan dalam rangkaian pemikiran yang saling menjalin.
Tulisan-tulisan yang membahas pengaruh Cina di Bali, banyak menyebutkan bahwa pengaruh empat dinasti di Cina, yaitu Tang, Song, Yuan dan Ming cukup kuat melalui temuan-temuan yang ada. Temuan itu misalnya porselin, uang kepeng serta berbagai bentuk nilai kebudayaan. Untuk menemukan bukti sejarah yang lebih dalam soal ini, cukup sulit di Bali karena itu diungkapkan secara umum tentang bagaimana kebijakan luar negeri dari berbagai dinasti tersebut yang dalam perjalanannya memungkinkan untuk singgah di Pulau Bali.
Tang
Di bawah Dinasti Tang, Cina memperoleh status dengan reputasi baik secara internasional. Dengan status seperti ini, dalam dunia internasional Cina menjadi pusat pertukaran ekonomi dan kebudayaan. Perdagangan maritim dan lalu lintas perdagangan laut mancanegara juga telah dilakukan. Disinilah kemudian dibuka jalur pelayaran menuju Asia Tenggara, termasuk Indonesia, disamping juga menuju Asia barat, Mesir dan Afrika Timur. Dengan kemajuan dan kesejahteraan sosial seperti itu ada sekitar 70 negara yang melakukan kontak dengan dinasti Tang dan kota Chang’an (sekarang Xian) menjadi kota metropolis internasional. Orang asing yang datang ke Cina, disamping menjadi pedagang juga untuk belajar kebudayaan dan perwakilan negara asing juga tercatat di sana (travelchinaguide.com, diakeses tanggal 13 Mei 2017, jam 09.30). Salah satu hasil ekspor Cina pada masa ini adalah barang kerajinan dari besi, sutera, porselin, kertas sampai jade (China’s Contacts with Outside worlds. Teachers curriculum Institute, Chapter 19.). Lee (2015: 15) menyebutkan bahwa keemasan dari dinasti Tang merupakan kebalikan dari masa gelap di Eropa. Pada masa Dinasti Tang, Cina menjalin hubungan diplomasi dengan negara yang jauh dari wilayahnya, seperti menjamu para pangeran dari Persia, pedagang Yahudi serta misionaris dari Tibet dan India.
Kuningan sebagai bahan logam telah dipakai sejak awal di Cina. Akan tetapi kuningan dalam bentuknya sebagai koin baru ditemukan pada jumlah yang besar pada masa dinasti Sui (581-618 AD) dan dinasti Tang (619-917 AD). Ini terjadi setelah adanya pengaruh Budha dari India. Tetapi, produksi dari seng atau timah dijumpai pada masa pertengahan dinasti Ming (sekitar abad-ke 16) (Deshpande, 1996: 277)
Song
Di Indonesia sebagian sarjana menuliskan dinasti ini dengan sebutan Sung, yang berkuasa dari tahun 960-1279. Pada masa ini, Cina juga berada pada masa keemasan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan. Temuan-temuan teknologi penting tercatat, misalnya kertas dan bubuk miseu termasuk juga penunjuk arah, kompas. Dengan ditemukannya kertas, Dinasti Song memelopori adanya catatan perbankan dan adanya uang kertas membuat perekonomian menjadi berkembang sampai ke seluruh Cina. Buku-buku banyak diterbitkan dan ilmu pengetahuan, matematika maupun filsafat berkembang pesat. Meskipun sempat mengalami kemunduran akibat serangan orang-orang Manchu dari utara yang membuat ibukota Kaifeng jatuh pada 1127, akan tetapi setelah itu tetap dapat bangkit kembali. Kejatuhan ini membuat dinasti Song memindahkan ibukotanya ke selatan ke Hangzhou, yang kini disebut dengan Shanghai. Meskipun demikian, masyarakat yang berada di bawah kontrol dinasti Song tetap sejahtera dan bahkan jumlah penduduk Cina berlipat ganda pada saat ini. Yang paling penting dilihat bahwa pada masa ini, dinasti Song membangun dan memperkuat angkatan laut, membangun kapal-kapal laut serta memperkuat angkataan bersenjata dengan menggunakan serbuk mesiu sebagai senjata. Dengan diperkuatnya angkatan laut dan kapal laut, dalam hubungan internasional
dinasti Song mampu melakukan pergangan jarak jauh. Pada saat ini juga tercatat adanya pelaut Cina yang sampai singgah mengunjungi Indonesia (Ringmar, 2016:13)
Yuan-Ming
Meskipun mampu menundukkan dinasti Song secara spektakular, orang-orang Mongol yang menguasai Dinasti Yuan hanya bertahan kurang dari satu abad untuk seterusnya dikuasai oleh dinasti Ming. Hal penting dilihat adalah kembali dihidupkannya nilai-nilai konfusian yang lebih bersifat filsafat. Kemajuan ekonomi dan kebudayaan juga tercatat pada masa ini. Akan tetapi saat dinasti ini berkuasa muncul adanya kecurigaan-kecurigaan pada pada pedagang asing. Pada saat inilah dibangun Tembok Cina yang terkenal itu. Laksamana Cheng He (Ho) muncul pada era dinasti Ming. Dia memimpin ribuan kapal laut dan ribuan pelaut untuk melakukan penjelajahan ke Malaysia, Indonesia, semenajung Arab, India, samudra Hindia sampai dengan pantai bagian timur Afrika. Akan tetapi karena Cheng He bukan penganut konfusian, ketika datang dari penjelajahannya itu, oleh penguasa dinasti Ming, semua kapal-kapalnya dihancurkan dan orang-orang asing yang dibawa dilarang masuk (Ringmar 2016: 14).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reputasi Cina dalam hubungan luar negeri telah tercatat selama berabad-abad. Dalam hubungaan laut mereka sudah melakukan kontak sampai dengan wilayah-wilayah di benua Afrika. Kontak dengan Indonesia telah terjalin senak jaman dinasti Tang, Song sampai dengan dinasti Ming. Dengan kemajuan di bidang pelayaran, barang-barang produksi Cina, kebudayaan dan pengetahuan sangat dimungkinkan di bawa pada saat itu. Demikian pula halnya kontak dengan masyarakat Bali. Pada waktu itu, menurut Ardana (Sulistyowati, 2011: 25), di masa lalu, pelabuhan yang paling berkembang di Bali yang pada saat itu ada di Julah, Manasa di Buleleng Timur. Kemudian barulah berkembang di wilayah selatan Bali di pelabuhan Blanjong, Sanur. Posisi desa dan banjar-banjar yang mempunyai latar belakang nama Cina di wilayah pegunungan di Kintamani, berada pada bagian timur Singaraja. Sedangkan di Sanur dan Renon, sampai saat ini ditemukan tarian baris yang namanya Baris Cina. Sanur adalah daerah pantai yang berlokasi di bagian timur Denpasar, dan Renon merupakan desa yang berdekatan dengan Sanur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peninggalan fisik Cina di Bali dapat diidentifikasi sebagai berikut, pertama adalah Nekara. Di Pura Penataran Sasih di Pejeng, Kabupaten Gianyar, Bali, ada sebuah nekara perunggu yang merupakan peninggalan Cina. Pada nekara tersebut, tertulis huruf Cina yang sampai sekarang tidak ada yang menerjemahkan arti dari huruf tersebut. Akan tetapi, nekara tersebut dipajang di sebuah tempat persembahyangan bagi umat Hindu, yaitu di Pura Penataran Sasih. Posisi nekara ini mendapatkan tempat yang istimewa, yaitu dibuatkan tempat tinggi, mirip dengan balai kulkul, pada masyarakat Bali tradisionil. Kulkul adalah kentongan yang pada masa lalu difungsikan sebagai peringatan dan pengingat bagi masyarakat tentang kegiatan atau peristiwa tertentu
dengan cara memukulnya. Karena itu agar didengar oleh masyarakat banyak, kulkul ini dibuatkan bangunan tinggi sehingga suaranya akan didengar oleh masyarakat.
Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini dibuatkan tempat seperti balai kulkul tersebut, dengan dibuatkan tempat khusus yang tinggi. Akan tetapi, dalam konteks tempat persembahyangan, letak posisi nekara ini justru lebih strategis dibanding dengan balai kulkul karena di tempatkan di dalam pura, berdampingan dengan tempat-tempat sembahyang utama masyarakat Hindu di Bali. Sedangkan balai kulkul ada di luar tempat sembahyang utama.
Masyarakat tradisionil Bali menyebutkan nekara yang ada di Pejeng tersebut dengan bulan karena penampakan sisinya mirip dengan bulan (seperti sisi kendang). Karena dipandang sebagai bulan, maka fungsinya dipandang sebagai juru penerang dankarena itulah kemudian posisi nekara tersebut ditaruh di dalam lingkungan tempat sembahyang inti dari Pura Penataran Sasih. Dari sebutan bulan terhadap nekara yang ada di Pejeng itu, kemudian muncul cerita rakyat “Maling Meguna”, dimana disebutkan bahwa bumi sesungguhnya di masa lalu mempunyai dua satelit, yaitu bulan yang dikenal sekarang dan bulan yang ada di Pejeng. Karena dicuri oleh pencuri yang disebut “Maling Meguna”, akhirnya salah satu bulan bumi jatuh di Pejeng.
Kedua yakni uang kepeng. Uang kepeng merupakan bukti peninggalan Cina yang lain di Bali. Uang kepeng ini oleh masyarakat Bali dikenal dengan pis bolong atau uang bolong karena bagian tengah dari uang ini berlobang segi empat. Masyarakat tradisional Bali memakai uang ini sebagai alat tukar, baik di pasar-pasar maupun oleh masyarakat. Sampai dengan dekade tujuhpuluhan, sebagian masyarakat di Bali masih menggunakan uang ini sebagai alat tukar. Uang kepeng ini berbahan kuningan, dan secara jelas mencantumkan huruf Cina di dalam sisi uang tersebut. Disamping sebagai alat tukar, uang kepeng ini juga dipakai sebagai sarana persembahyangan. Uang kepeng dipakai sebagai perlengkapan upacara agama Hindu di Bali.
Ketiga tempat persembahyangan. Pura Ratu Gde Subandar merupakan salah satu tempat persembahyangan umat Hindu dan umat Cina Bali yang ada di Pura Besakih. Pura Besakih ini merupakan kompleks tempat persembahyangan terbesar di Bali, dimana masing-masing kelompok atau klan di Bali, mempunyai tempat persembahyangan. Ratu Gde Subandar mempunyai identitas unik karena warna kain yang dipakai sebagai perhiasan, dominan warna merah. Tempat persembahnyangan ini juga mempunyai satu identitas lain, yaitu sebuah bangunan simbolis yang mirip dengan menara laut penjaga pantai yang letaknya berdampingan dengan gedongan sebagai tempat persembahyangan utama masyarakat Hindu. Sebagian besar dari masyarakat yang sembahyang di tempat ini adalah mereka yang keturunan Tionghoa atau mempunyai kaitan dengan etnik Cina seperti menikah dengan pasangan yang beretnik Tionghoa. Posisi Pura Ratu Gde Subandar berdekatan dengan kompleks tempat persembahyangan utama Besakih yang disebut dengan Padma Tiga. Kata Subandar ini berasal dari kata Syahbandar, yang menandakan di masa lalu masyarakat Cina di Bali menjadi pengendali perdagangan lewat laut.
Di beberapa pura di Bali, seperti di Pura Dalem Balingkang, di Kintamani, Kabupaten Bangli, ada tempat pemujaan dewi Cina, Kang Ching Wie. Dalam mitologi
Bali yang lahir sebelum abad ke-10, penguasa Kerajaan Balingkang, Jaya Pangus mempunyai istri yang berasal dari Cina, yaitu Kang Ching Wie. Permaisuri inilah yang kemudian dibuatkan tempat persembahyangan di Pura Dalem Balingkang tersebut (Tempo, 20 Juli 2014, hal 74-75). Di Pura Batur, yang juga berada di Kintamani, ada tempat persembahyangan yang khusus untuk masyarakat Cina.
Danau Buyan yang ada di Bedugul Bali, nama aslinya menurut I Gusti Ngurah Agung Dharma Wirata, adalah buliyan yang merupakan bahasa Cina. Bu mempunyai arti bumi, li berarti cantik dan an berarti aman dan tenteram. Bulian mempunyai arti bumi yang cantik aman dan tenteram (Tempo, 13 November 2016, hal. 89).
Selain peninggalan fisik, terdapat pula jejak diplomasi Cina yang berpengaruh pada masyarakat Bali yang dijelaskan sebagai berikut. Dengan konteks demikian, maka di masa lalu sesungguhnya Cina telah melakukan missi diplomasi publik, seperti halnya pengertian yang dipakai pada jaman sekarang. Diplomasi publik lebih mengedepankan aktor bukan negara yang memperkenalkan nilai-nilai atau kebudayaan yang berasal dari masyarakat tersebut kepada masyarakat yang berada di luar negaranya. Meskipun pada masa lalu Cina belum membentuk negara akan tetapi, bahwa kemudian banyak peninggalan dari berbagai dinasti itu di Bali, itu merupakan tanda bahwa mereka telah bepergian ke luar dari wilayahnya sendiri dengan jarak yang jauh. Pada masyarakat Bali, jejak diplomasi publik ini didapatkan terutama pada kesenian dan uang sebagai alat tukar bidang ekonomi.
Pada bidang ekonomi, peninggalan yang paling terkenal adalah pada uang kepeng yang di Bali disebut dengan pipis bolong, karena di bagian tengah dari penampang uang ini, ada lubang sehingga disebut dengan bolong. Akan tetapi pengaruh Cina tersebut sangat jelas karena pada bagian muka dan belakang dari uang kepeng tersebut mempunyai tulisan dengan huruf Cina.
Disini dapat diartikan bahwa masyarakat Cina yang datang ke Bali dengan membawa uang kepeng dan memperkenalkannya kepada masyarakat Bali, memperkenalkan hasil kebudayaan mereka dan memberikan manfaat kemudahan bagi masyarakat Bali terutama dalam melakukan transaksi ekonomi. Sebelum adanya uang kepeng tersebut, masyarakat Bali memakai sistem barter untuk mendapatkan barang keperluan sehari-hari.
Dalam konteks diplomasi, ini merupakan pertemuan antara masyarakat sipil Cina dengan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali. Uang kepeng yang mirip dengan uang logam tersebut, memudahkan masyarakat Bali untuk melakukan pertukaran pada bidang ekonomi. Artinya mampu mengganti sistem barter. Pertukarang dengan uang kepeng ini di Bali, bahkan masih dapat dilihat dalam praktik ekonomi di pedesaan pada dekade tujuhpuluhan. Dengan demikian, nilai yang didapatkan dari adanya uang kepeng ini adalah kepraktisan yang memudahkan masyarakat untuk melakukan pertukaran ekonomi.
Secara sosial religius, adanya uang kepeng tersebut juga mempengaruhi ritual masyarakat Hindu di Bali, sampai sekarang. Dalam berbagai upacara, untuk memperlihatkan bakti kepada Tuhan, digunakan uang kepeng ini sebagai persembahan. Atau lebih tepatnya sebagai pelengkap persembahan. Uang kepeng, dengan demikian,
disamping sebagai alat pelengkap persembahan sesajen, juga menjadi penggangti persembahan barang yang bisanya dilakukan pada masyarakat Hindu Bali. Dengan adanya uang kepeng, barang yang seharusnya dipersembahkan dapat diganti dengan uang kepeng, tanpa memberikan nilai yang seharusnya. Masyarakat Hindu Bali menyebutnya dengan sesari. Ini merupakan simbol, bukti dan wujud terima kasih masyarakat Hindu Bali yang telah diberikan rahmat dalam menjalani kehidupan sosial. Keberhasilan memiliki barang, kesuburan tanaman, dapat digantikan dengan uang kepeng sebagai simbolis keberhasilan karena dengan menjual barang tersebut, didapatkan uang. Dalam hal ini adalah uang kepeng. Itulah yang kemudian dipakai sebagai alat persembahan kepada Tuhan. Pada masyarakat Hindu Bali, ungkapan syukur kepada Tuhan tersebut diungkapkan dengan cara mempersembahkan segala hasil cocok tanam. Maka, sesungguhnya dengan menggantikan hasil cocok tanaam dengan uang kepeng tersebut, dapat dikatakan menyederhanakan ritual keagamaan masyarakat.
Diplomasi pada hekekatnya adalah pengaruh. Dalam konteks ini, diplomasi publik memberikan pengaruh nilai dan kebudayaan kepada masyarakat dimana diplomasi itu dijalankan. Laut Bali Bali utara, di masa lalu merupakan tempat lalu lintas perdagangan sehingga wilayah ini menjadi lalu-lintas laut tempat keluar masuknya perdagangan lintas batas. Dari sinilah kemudian barang-barang Cina itu mulai mengalir ke seluruh Bali.
Pengaruh jalur perdagangan di Bali utara ini masih bisa dilihat sampai sekarang. Dari sisi sosial perdagangan antar wilayah tersebut meninggalkan penduduknya sehingga komunitas masyarakat Cina masih banyak dijumpai di wilayah-wilayah pegunungan yang berada di sisi tengah utara Pulau Bali. Masyarakat ini mengelompok di dalam banjar-banjar dan berpenghidupan sebagai petani, pekerjaan yang menjadi bagian dari masyarakat Bali pada umumnya. Masyarakat keturunan Cina ini dijumpai di daerah Siyakin, Pinggan, Songan, Lampu dan berbagai tempat lain di daerah pegunungan utara Bali. Di wilayah ini ada tempat sembahyang Cina yang disebut dengan Pura Dalem Balingkang. Di dalam pura ini ada tempat persembahnyangan untuk masyarakat keturunan Cina, yang digabungkan dengan tempat sembahyang umat Hindu.Kata Song-an yang artinya doa selamat sekarang menjadi desa Songan, Ping-an yang artinya selamat kini menjadi Desa Pinggan, Pa-ket-an yang artinya tempat perjudian, kini menjadi Desa Paketan, Sia-kin yang artinya diberkati rejeki, sekarang menjadi desa Siakin (Sulistyawati, 2011:26-27).
Raja Bali pada waktu itu memberikan hak kepada masyarakat keturunan Cina untuk mengatur lalu lintas perdagangan di wilayah pantai dan laut atau apa yang disebut dengan syah bandar. Lalu lintas perdagangan laut ini kemungkinan besar memberikan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat Bali. Artinya menguntungkan kedua belah pihak karenamendapatkan barang-barang impor dan sebaliknya mengekspor barang-barang dari Bali. Demikian bermanfaatnya perdagangan antar wilayah tersebut sehingga kemudian berpengaruh secara religius bagi masyarakat Bali sehingga dibuatkan tempat persembahyangan yang disebut dengan ratu Gde Subandar. Mayoritas warna yang dipakai di tempat persembahyangan
ini adalah merah dengan hiasan lampion dan pinggiran kuning keemasan. Ini berbeda dengan warna hiasan bagi tempat persembahyangan Hindu yang mayoritas berwarna kuning dan putih. Warna merah dengan lampion itu merupakan identitas dari budaya Cina. Ini menandakan bahwa masyarakat Bali mengakui keahlian dan keunggulan masyarakat Cina dalam mengelola perdagangan antar pulau. Di Singaraja tempat persembahyangan Ratu Gde Subandar tersebut, tepat ada di pelabuhan lama, sebuah pelabuhan masa lalu Bali yang menjadi tempat singgahnya kapal laut dari berbagai wilayah sebelum dibukanya pelabuhan di Bali bagian selatan.
Masyarakat keturunan Cina yang ada di wilayah pegunungan Bali bagian utara juga mempunyai tempat persembahyangan pribadi yang juga disebut dengan Ratu Subandar. Saat ini seluruh pura besar yang ada di Pulau Bali, yang menempati kedelapan penjuru mata angin, juga mendirikan Pura Ratu Gde Subandar. Di Pura Besakih, yang merupakan tempat persembahyangan terbesar di Bali, juga mendirikan tempat sembahyang yang disebut dengan Ratu Subandar. Bahkan dalam konteks ritual dan posisinya di dalam lingkungan tempatpersembahyangan tersebut, Ratu Gde Subandar menempati posisi yang istimewa karena berdamingan dengan teempat persembahyangan utama umat Hindu. Di Besakih, posisi pura ini berdampingan dengan Pura Penataran Agung yang merupakan pura utama di Besakih.
Referensi
Deshpande, Vijaya. 1996. A Note on Ancient Zinc-Smelting ini India and China. Indian Journal of History, 31 (3), 1996.
Lee, Yuen Ting. 2015.“Wu Zhao: Ruler of Tang Dynasty China”. Education About Asia, 20 (2), 2015.
Melissen, Jan. 2005. The New Public Diplomacy, Soft Power in International Relation. New York: Palgrave MacMillan
Murti, Bhattiprolu, Zaharna, R.S., 2014, “Indias’s Digital Diaspora Diplomacy: Operationalizing Collaborative Public Diplomacy Strategies for Social Media”. Exchange: The Journal of Public Diplomacy, Vol. 5 (1), Art. 3, 2014
Ringmar. 2016. History of International Relation: China and East Asia. Lund University
Smith, Daniel J, 2015, Public Diplomacy and the “Self” ini Regional Organization: A Network Approach to Identity Formation, Image Formation, and ASEAN Community Building”. Exchange: The Journal of Public Diplomacy, Vol. 5 (1), Art. 8, 2015
Sulistyowati. 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Denpasar: Universitas Udayana Press.
Tempo, 13 November 2016, hal. 89.
82
Discussion and feedback