KEBAYA DAN BUDAYA POPULER: PEMBENTUKAN IDENTITAS IDEOLOGIS PEREMPUAN MODIS OLEH KAPITALIS
on
JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA
E-ISSN 2685-4570
KEBAYA DAN BUDAYA POPULER: PEMBENTUKAN IDENTITAS IDEOLOGIS PEREMPUAN MODIS OLEH KAPITALIS
Rahmat Sewa Suraya 1)
Komang Wahyu Rustiani 2) Sandy Suseno 3)
Universitas Halu Oleo1)
email: [email protected]
Universitas Halu Oleo, Universitas Udayana2)
email: [email protected]
Universitas Halu Oleo, Universitas Indonesia3)
email: [email protected]
Article Info
Article History:
Received:
Sept/2023
Accepted:
Nov/2023
Published:
Dec/2023
Keywords:
Kebaya, Popular Culture, Women, Ideology, Capitalists.
ABSTRACT
Balinese Kebaya is a custom clothing used by women when there is a Yadnya ceremony and even used simultaneously by the community on Thursday and Tilem Purnama. Mode Kebaya very quickly changes; almost every week, a new mode appears. Balinese women do not realize that Kebaya in fact the form of adoption of an external culture that blends in the consequences of the past trade. Balinese women do not realize that there is capitalist ideology in the movement of fashion Kebaya in Bali. This research is important to do to reveal the psychology of women in use kebaya Bali and reveal fashion ideology kebaya towards Balinese women. This research is examined using postmodern theory with an ideology approach that is described descriptively and qualitatively. The results show that the following mode, kebaya, is a representation of social class among Balinese women. Balinese women tend to be prestige wearing monotone kebaya. If there is a large special ceremony like Odalan (usually implemented once a year), then Balinese women, especially in Padambulia, feel obliged to have a new kebaya by following the fashion that was trending at that time. The capitalists succeeded in building a fashionable ideology on women with a very rapid change of fashion in order to control the market.
PENDAHULUAN
Kebaya merupakan pakaian tradisional nusantara yang menandakan keanggunan, kelembutan dan mencerminkan perempuan Indonesia yang ideal. Bahan kebaya bisanya menggunakan kain yang tipis, lembut, dan menyerap keringat sehingga nyaman digunakan oleh perempuan nusantara dalam waktu yang lama. Kebaya sering digunakan dalam acara formal, semi formal, bahkan sekarang sering dikolaborasikan menjadi pakaian harian. Biasanya saat menggunakan kebaya selalu dipadukan dengan kain berbahan tipis, lembut dan disesuaikan dengan ciri khas di wilayah nusantara. Saat menggunakan kebaya yang dipadukan dengan kain dapat membatasi gerak perempuan. Ketika berkebaya perempuan otomatis menjadi terlihat sabar, lembut, anggun dan berkharismatik sesuai yang dinyatakan oleh (Fitria & Wahyuningsih, 2019) Bentuk kebaya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dari masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk wanita yang harus serba lembut. Mode kebaya yang diciptakan secara silih berganti, selalu bisa membuat perempuan tertarik untuk memilikinya. Pasar selalu mampu membaca kebutuhan perempuan nusantara khususnya Bali.
Kebaya kini sangat digandrungi oleh perempuan Bali apalagi sejak adanya Peraturan Gubernur No. 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali. Sebagian masyarakat Bali tidak menyadari bahwa sesungguhnya busana adat Bali (kebaya) tidak murni berasal dari Bali, melainkan hadir karena pengaruh budaya luar yang mengalir dan berbaur melalui politik perdagangan, penyebaran agama maupun penjajahan. Sesungguhnya kebaya terbentuk dari hibriditas budaya beragam bangsa (Trismaya, 2018). Namun, penggunaan Kebaya di Bali sedikit berbeda dengan pulau lainnya. Di Bali kebaya digunakan minimal seminggu sekali yakni setiap hari kamis. Kebaya di Bali sangat menguasai pasar karena selalu digunakan setiap upacara yadnya di Bali seperti persembahyangan, tiga bulanan, ngaben, maupun upacara yadnya lainnya. Bali sangat erat kaitannya dengan penggunaan kebaya Bagi perempuan.
Perempuan Bali khususnya di Desa Padangbulia cenderung ingin memenuhi hasratnya untuk berkebaya baru setiap ada upacara yadnya. Terkadang pembelian kebaya dijadikan sebagai pengingat atau untuk mengenang upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Laksmi Dewi bahwa, bosan menggunakan kebaya itu-itu saja, disamping itu biar ada yang diingat kalau kebaya A dibeli saat upacara A, Kebaya B dibeli saat ada upacara B dan begitu seterusnya. Jika dibongkar lebih dalam kebanyakan pakaian perempuan Bali didominasi oleh kebaya. Perempuan Padangbulia selalu ingin memenuhi hasratnya untuk membeli kebaya sesuai dengan mode terbaru pada masanya. Mereka selalu ingin tampil cantik dan modis, hal tersebut sangat tampak ketika ada upacara odalan di Pura, khususnya Pura yang ada di Desa Padangbulia, Buleleng Bali. Odalan dijadikan momentum dan ajang untuk membeli kebaya. Ketika upacara odalan perempuan Padangbulia minimal memiliki empat baju kebaya. Mereka rela merogoh uangnya untuk membeli kebaya baru demi memenuhi hasratnya. Arroisi, dkk. (2022)
mengungkapkan bahwa hasrat sesungguhnya hal yang postif atau negatif tergantung dari kekuatan dan kesadaran pengendalian individu itu sendiri.
Perempuan Padangbulia sudah mengatur penggunaan kebayaanya saat odalan. Mereka cenderung memilih kebaya terbaiknya untuk digunakan di pusat dan di puncak acara piodalan. Padahal kebaya lainnya masih banyak dan layak untuk digunakan, namun mereka lebih memilih untuk membeli yang baru.
Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk mengungkap ideology kapitalis dalam kebaya Bali dan faktor yang mendasari perempuan Bali menjadi masyarakat konsumtif. Untuk mengungkap permasalahan di atas maka peneliti menggunakan pendekatan dan teori kritis dalam membedahnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yakni menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam untuk memperoleh data di lapangan. Data yang diperoleh kemudian diolah dan diverifikasi untuk memperoleh data yang valid. Penelitian ini dilaksanakan di Buleleng karena wilayah ini merupakan lokasi yang sebagian besar memiliki jiwa muda yang rentan atau sangat mudah meniru maupun mengikuti perkembangan tren berpakaian. Masyarakatnya cenderung terbuka terhadap budaya baru khususnya di dalam berpakaian bisa dikatakan sebagai masyarakat konsumtif. (Mujahidah, 2020) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku seorang individu yang memiliki keinginan untuk membeli barang atau menggunakan jasa secara berlebih, tidak lagi mempertimbangkan asas manfaat dan fungsi dari barang dan jasa tersebut, mereka cenderung hanya ingin memenuhi keinginannya semata. Penelitian ini menggunakan teknik porposif sampling dalam menentukan informan karena peneliti paham dengan lokasi penelitian dan memahami objek penelitian sesuai yang dinyatakan oleh (Sugiyono, 2022) sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Penelitian ini difokuskan pada budaya popular perempuan Bali yakni ideologis modis terkait penggunaan kebaya. Budaya popular yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan masyarakat menggunakan kebaya mode baru secara masal sejalan dengan pendapat Barker (2014: 211) bahwa budaya popular bisa dilihat sebagai gugus makna dan praktik yang diproduksi oleh audiens pada saat (momen) konsumsi. Untuk mengungkap ideology penggunaan kebaya maka penelit menggunakan pendekatan ideology dan teori kapitalis. Pendekatan ideology maksudnya untuk mengungkap hal-hal yang mempengaruhi budaya massa yang telah dikonsumsi oleh perempuan Bali sesuai pernyataan (Barker, 2018) bahwa ideology mempunyai karakter ganda, yang mana keduanya berfungsi untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan sektoral dari kelas yang berkuasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada beberapa cara untuk mendefinisikan budaya popular yaitu yang (1) dilihat dari makna katanya (2) dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah) (3) menetapkannya sebagai budaya massa dan (4) budaya popular adalah budaya yang berasal dari “rakyat” sesuai dengan pendapat Storey dalam (Aprilia, 2005). Penelitian ini dalam melihat fenomena yang ada di Padangbulia merujuk pada defenisi ke tiga, yakni budaya popular ditetapkan sebagai budaya massa. Budaya popular sesungguhnya disebut juga dengan budaya massa. Sejalan dengan Yani & Simamora (2022: 1480-1481) mengatakan bahwa saat ini budaya popular adalah kreasi masyarakat industri yang hasilnya diwujudkan dalam sebuah budaya yang didukung oleh kemajuan teknologi produksi, kemudian produknya dinikmati dan diciptakan secara massal yang tujuannya agar mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya batasan ruang dan waktu, sehingga masyarakat merasa ketergantungan.
Budaya popular biasanya identik dengan meraih keuntungan yang berkaitan dengan berbagai aspek seperti aspek konsumsi, fashion, politik, dan lainnya. namun dalam penelitian ini budaya politik dikhususkan pada aspek fashion yakni pada pakaian kebaya di Bali. Kebaya dikatakan sebagai budaya popular karena disukai dann digunakan oleh banyak wanita di Bali dalam berbagai acara. Modelnya yang seragam, beragam, dan mudah dijiplak juga menjadi salah satu alasan menjadikannya sebagai budaya popular. Alasan lainnya karena mudah dinikmati dan diadopsi, serta ketika kebaya diprosuksi menghasilkan keuntungan besar bagi industry (kapitallisme). Sesungguhnya kebaya diproduksi oleh kaum kapitalis untuk menguasai pasar dan membentuk ideologis perempuan modis di Bali. Produksi massa namun terbatas yang dilakukan kapitalis membuat perempuan Bali berlomba untuk memiliki mode kebaya terkini. Kapitalis mampu membaca pasar bahwa yang paling sering menggunakan kebaya adalah perempuan Bali. Mereka cenderung bosan menggunakan baju yang monotone. Sejalan dengan Strianati dalam (Aprilia, 2005) juga dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi masa yang diharapkan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Makna modis bagi perempuan Padangbulia yang menjadi budaya massa, tidak terjadi begitu saja. Namun sesungguhnya semua yang mengatur agar makna itu diterima oleh banyak orang, ada yang mengatur mulai dari prosesnya hingga mekanisme pembentukan budaya modis itu sendiri. Mereka dibentuk dan diatur oleh kapitalis. Kaum kapitalis telah menciptakan suatu ‘standar’ perempuan Bali modis. Kaum kapitalis melakukannya dengan kekuatan modal. Modal yang dimiliki kapitalis digunakan untuk menciptakan kebutuhan kebaya perempuan Bali secara terus menerus dan menciptakan pergantian mode dengan sangat cepat agar apa yang mereka produksi secara masa bisa menguasai pasar sehingga tujuannya tercapai sejalan dengan pemikiran (Amarianti, 2020) yang mengatakan bahwa kapitaisme mengadakan produksi, yang mana dalam sistem kapitalisme orang mengadakan produksi tidak hanya untuk menutupi kebutuhan hidup tetapi dengan tujuan mencari laba. Laba yang diperoleh, sesudah dikurangi untuk
menutupi ongkos-ongkos yang dikeluarkan, dipergunakan pula untuk mengadakan perusahaan baru pula.
Pergantian mode yang sangat cepat dilihat pada gambar di bawah ini.
Mode Kebaya Tahun 2000an (Sumber: Google Image)
Mode Kebaya Terkini tahun 2022 (Sumber: Arin Bali Dwipa Kebaya)
Gambar 1. Perbandingan Mode Kebaya Bali
Gambar di atas merupakan sebagian kecil perubahan kebaya. Dahulu kebaya diajrit dan dibuat dengan model yang biasa dan sesuai adat istiadat serta norma kesopanan. Mode kebaya dahulu sangat sopan dan panjang, biasanya panjangnya selalu dibuat melewati pantat, dan depannya dibuat meruncing. Lehernya dibuat dengan model kotak yang menunjukkan keanggunan seorang wanita. Persepsi di era 2000an semakin panjang mode kebaya semakin bagus. Namun sangat berbeda dengan mode kebaya sekarang. Sekarang adanya gebrakan baru yakni kebaya yang dibuat lebih pendek, dan ditaburi payet. Lehernya di modif dengan berbagai variasi sesuai dengan keinginan dan ada yang ditambah kain transparan yang menyerupai kulit. Semua perubahan dan kebudayaan yang dibentuk secara seragam tanpa disadari dibangun oleh kaum kapitalis. Budaya yang kini menjadi tren adalah kebayanya makin pendek makin bagus. Terjadinya tren tersebut disebabkan karena adanya agen yang memang mengkonstruksinya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Budiman dalam (Aprilia, 2005) mengatakan bahwa budaya massa bukanlah suatu budaya sendirinya ada, ia adalah sebuah realitas yang memiliki hubungan-hubungan social dengan pelbagai realitas lain dalam perkembangan social dan kebudayaan masyarakat modern.
Ideology kapitalisme telah berhasil mencapai tujuannya terhadap perempuan Bali khususnya di Desa Padangbulia. Perempuan Padangbulia merasa bangga menggunakan mode kebaya terbaru ke pura saat odalan. Mereka merarsa percaya diri ketika menggunakan mode kebaya terbaru, padahal mode kebaya
selalu berubah hampir setiap minggu. Mode kebaya muncul silih berganti mulai dari kombinasi warna, motif, maupun jenis kainnya. Semua dipadu padankan dengan keunikan masing-masing yang memanjakan mata perempuan Bali khususnya Desa Padangbulia. Teknik produksi yang terbatas namun secara kontinyu membuat perempuan Bali selalu ingin mengkoleksi mode kebaya terbaru. Harga yang ditawarkan juga dianggap ramah di kantong. Perempuan Padangbulia merasa mampu membeli kebaya yang dijual dengan kisaran harga Rp 90.000 sampai dengan Rp 500.000. Mereka rela membeli kebaya yang kualitasnya lebih rendah namun motif, warna maupun modenya mirip dengan kebaya asli. Jika dilihat secara kasat mata perbedaan antara kebaya asli yang harga kainnya mencapai Rp 250.000 hampir tidak bisa dibedakan dengan produk yang dibuat lebih rendah dan dijual dengan harga Rp 150.000. Perempuan padangbulia disuguhi kesadaran palsu dan terhegemoni oleh mode kebaya yang selalu berubah yang dibuat oleh kaum kapitalis. Hal tersebut sejalan dengan (Barker, 2018) mengatakan bahwa idelogi merupakan ide-ide dari kelas yang berkuasa bahwa hal yang kita anggap karakter sejati dari relasi-relasi social dalam kapitalisme “pada kenyataannya” adalah mistifikasi pasar. Hal tersebut berarti bahwa kesaman yang digembor-gemborkan pasar pada kenyataannya justru mengaburkan struktur-struktur eksploitasi yang tidak kelihatan.
Penggunaan kebaya pada perempuan Padangbulia sebagai tanda status social antara kaya, miskin dan kelas menengah. Ada beberapa perempuan Padangbulia ingin terlihat memiliki selera tinggi dan berada dalam kelompok kelas atas. Mereka yang demikian rela mengeluarkan uang yang sengaja dikumpulkan hanya untuk membeli kebaya agar bisa digunakan saat odalan di Desa Padangbulia. Namun tidak sedikit juga perempuan padangbulia yang membeli kebaya imitasi namun sesungguhnya tidak nyaman digunakan.Model yang dibuat pun agak sedikit berbeda dan jauh dai pakem kebaya Bali yang sesungguhnya. Mereka cenderung ingin tampil berbeda dan seolah ingin mendapat pengakuan dari masyarakat lainnya bahwa mereka bisa menjadi terlihat cantik dan mengikuti mode kebaya terbaru. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Aprilia, 2005) mengatakan bahwa idelogi digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi penguasa dan kaum tertindas menggunakan ideology sebagai cara untuk menyembunyikan realitas tersubordinasi mereka yang lemah dan tidak menyadari bahwa mereka tengah ditindas atau dijajah.
Jika dicermati lebih dalam, maka penjual kebaya Bali kini kian gampang dijumpai oleh masyarakat. Mulai dari media social WhatssApp, Instagram, Facebook, Shopee, Tiktok dan masih banyak media social lainnya yang digandrungi oleh masyarakat. Perempuan padangbulia sangat gampang untu memperoleh akses dalam membeli kebaya sesuai dengan keinginanya. Mereka tidak perlu keluar rumah untuk memilih mode kebaya yang diinginkan. Media social memberikan segala kemudahan dan kesadaran palsu dalam memilih mode kebaya. Pemilik butik cenderung memasarkan barang dagangannya melalui media social, hal tersebut juga sebagai faktor pendorong keinginan perempuan padangbulia untuk segera memenuhi hasratnya. Mereka bisa memilih dan
memesan secara online, namun ketika ragu dengan ukuran dan modenya mereka akan datang langsung dan mencoba kebaya yang telah dipesannya. Pemilik modal atau kaum kapitalis sangat mampu membaca situasi pasar dan kebutuhan konsumen.
Pemilik modal memasarkan barang dagangannya dan memanjakan mata perempuan Padangbulia untuk menarik perhatiannya. Mereka cenderung menampilkan iklan yang terbaik dengan model yang tercantik. Kini kebaya Bali diiklankan oleh wanita pilihan yang berwajah cantik, mulus, dan berbody langsing. Hal tersebut dilakukan untuk menarik minat pembeli. Dengan menampilkan model yang cantik versi perempuan masa kini, maka pembeli atau konsumen akan merasa dirinya secantik model yang mengenakan kebaya tersebut. Hal terseut memberi kesadaran palsu bagi konsumen. Namun hal tersebut berhasil mengelabuhi konsumen. Padahal baju kebaya yang dikenakan oleh model yang cantik belum tentu bagus, namun hal tersebt mampu menarik perhatian dan minat pembeli. Melalui model iklan yang ditampilakn oleh kaum kapitalis sesungguhnya mereka mengekploitasi tubuh perempuan. Mereka menginginkan memberi image cantik kepada perempuan pengguna kebaya Bali seperti modelnya. Mereka menggunakan tekhnik tersebut dalam pemasaran dengan tujuan bahwa apa yang diproduksinya akan selalu dibutuhkan oleh perempuan Bali khususnya bagi perempuan Padangbulia. Iklan yang dijadikan sebagai media pemsaran digunakan sebagai propaganda kecantikan, iklan di tengah masyarakat kontemporer hari ini sesungguhnya tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang sifatnya komersial, melainkan lebih menekankan kepada kekuatannya memproduksi dan memproduksi citraan tentang sebuah realitas, yaitu citra tentang wanita “cantik dan modis”. Ikaln kini tidak hanya menawarkan produknya, tetapi menawarkan sebuah image (Aprilia, 2005).
Sesungguhnya prilaku konsumtif perempuan Padangbulia dipengaruhi dari dua sisi seperti mata uang yakni pengaruh internal dan eksternal yang sulit untuk dipisahkan. Secara eksternal dipengaruhi oleh lingkungan yakni media, kelas sosial, kelompok sosial dan keluarga. Keluarga sesungguhnya berperan penting terhadap pengambilan keputusan untuk mendorong hasrat perempuan Padangbulia untuk membeli kebaya terbaru. Jika tidak adanya dukungan dari keluarga maka keinginan untuk berkebaya dengan mode terbaru bisa dikendalikan. Media yang begitu berkuasa mampu mempengaruhi perempuan Padangbulia untuk berlomba menjadi pemilik kebaya dengan mode terbaru pada masanya. Kaum Kapitalis mampu membentuk kelompok sosial perempuan Padangbulia melalui kebaya yang digunakannya menjadi tiga golongan yakni golongan atas, golongan bawah dan golongan menengah. Prilaku konsumtif perempuan Padangbulia akan berbeda antara golongan, dilihat dari penggunaan mode terbaru yang paling pertama, ditinjau dari harga baju kebaya yang dikenakannya, penggunaan kebaya asli atau tiruan, dan ditinjau dari kepemilikan jumlah baju terbaru. Keempat kriteria tersebut dijadikan acuan untuk membedakan perempuan konsumtif terhadap kebaya. Semakin banyak memiliki kebaya dengan mode terbaru, selalu memiliki barang asli dan harganya yang mencapai di atas tiga ratus ribu digolongkan ke dalam perempuan konsumtif kelas atas. Namun sebaliknya jika tidak mengikuti
dan memiliki mode kebaya terbaru serta harga yang tidak fantastis digolongkan ke dalam masyarakat konsumtif kelas bawah. Ketiga kelas tersebut memiliki selera yang berbeda satu sama lainnya (Melinda dkk., 2022).
Faktor internal juga sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hasrat perempuan Padangbulia dalam memilih kebaya hingga menjadi budaya populer. Faktor internal yang dimaksud adalah psikologis dan Faktor Pribadi. Perempuan Padangbulia yang konsumtif dan dibentuk oleh kaum kapitalis telah terinternalisasi sehingga memiliki persepsi maupun persepsi yang berbeda. Ada yang menyadari ideology kapitalis karena perempuan Padangbulia mampu berfikir rasional sehingga pembelian kebaya sesuai dengan asas manfaat, kebutuhan dan keberfungsian. Namun sebaliknya, perempuan yang sudah terinternalisasi oleh kaum kapitalis dengan pembentukan perempuan modis maka kehilangan rasionalitas dalam menentukan pilihan ketika menjadi masyarakat yang konsumtif. Perempuan yang rasional cenderung memiliki sikap pendirian, dan kepercayaan diri dengan penggunaan kebaya sesuai dengan keberfungsiannya dan tidak terhegemoni oleh kaum kapitalis. Hal tersebut juga dipengaruh oleh faktor pribadi seperti usia, pekerjaan maupun keadaan ekonomi. Perempuan Padangbulia yang bekerja di kota cenderung merasa mapan dan memiliki perekonomian yang menengah ke atas secara otomatis terhegemoni oleh kaum kapitalis karena demi citra baik yang ingin ditonjolkan ketika bekerja ke luar desa. Perempuan pekerja kota cenderung melabeli dirinya perempuan karir yang berbeda dan tergolong pada kelas atas yang ditunjukkan melalui penggunaan kebayanya (Melinda dkk., 2022).
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulakan bahwa ideology kaum kapitalis membentuk perubahan mode secara cepat adalah untuk membentuk budaya massa yang selalu menjadi candu atau kebutuhan perempuan berkebaya. Kaum kapitalis secara sengaja selalu menciptakan mode dan perubahan yang seni dan estetis guna membangun kesadaran palsu perempuan Bali. Dengan demikian maka kebaya akan menjadi kebutuhan perempuan Bali dan selalu ingin mengoleksi yang baru. Setiap ada mode kebaya baru, maka perempuan Padangbulia selalu ingin memenuhi hasratnya untuk segera memilikinya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perempuan Bali pada umumnya dan Perempuan Padangbulia khususnya dipengaruhi oleh kesadaran palsu yang disuguhkan oleh kaum kapitalis. Selalu ada mode baru sehingga perempuan padangbulia selalu ingin memenuhi hasratnya. Perempuan bali terlalu sering menggunakan kebaya dalam ehidupan social bermasyarakat. Perempuan Padangbulia merasa gengsi ketika menggunakan kebaya yang monotone. adanya image modis ketika mampu mengikuti tren mode kebaya terkini. Kebaya dijadikan sebagai tanda untuk membedakan kelas social pada kaum Perempuan Padangbulia.
REFERENSI
Amarianti, I. (2020). Kapitalisme Sejarah, Bentuk dan Perkebangannya di Indonesia. Jurnal Udayana, 1-10.
Aprilia, D. R. (2005). klan dan Budaya Popular: Pembentu Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene). Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2), 41-68.
Arroisi, dkk..2022. Konsep Hasrat Perspektif Deleuze dan Al-Ghazali (Analisis Perbandingan Makna Hasrat dalam Psikologi. Jurnal Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam (Volume 23, No. 1), 63-83.
Barker, C. (2018). Kamus Kajian Budaya. Dalam C. Barker, & N. Arya (Penyunt.), Kamus Kajian Budaya (B. H. Putranto, Penerj., hal. 137-138). Yogyakarta: PT Kanisius.
Fitria, F., & Wahyuningsih, N. (2019). Kebaya Kontemporer sebagai Pengikat antara Tradisi dan Gaya Hidup Masa Kini. Artrat, 128-138.
Melinda dkk.. 2022. Perilaku Konsumtif dan Kehidupan Sosial Ekonomi Mahasiswa Rantau (Studi Kasus Mahasiswa Toraja di Universitas Sam Ratulangi Manado). Jurnal Ilmiah Society (Volume 2 No. 1; ISSN: 23374004). 1-12.
Sugiyono. (2022). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Dalam Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (hal. v-334). Bandung: Alfabeta.
Trismaya, N. (2018). Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi tentang Identitas. JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 6(2), 151-159.
Yani, Indah & Simamora, Irma Yusriani. 2022. Konflik Kepentingan dan Budaya Populer di Masyarakat. JIKEM: Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, dan Manajemen (Vol. 2 No. 2, E-ISSN: 2774-2075), 1477-1486.
VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2023
E-ISSN 2685-4570
198
Discussion and feedback