JURNAL ILMIAH WIDYA SOSIOPOLITIKA

E-ISSN 2685-4570

ANONIMITAS RUANG SIBER DAN PENGALAMAN REMAJA DALAM

MELAKUKAN PERUNDUNGAN DI MEDIA SOSIAL

Ade Devia Pradipta

Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana1

[email protected]

Article Info

ABSTRACT

Article History:

Received:

Nov /2023

Accepted:

Nov/2023

Published:

Dec/2023

A survey conducted by Polling Indonesia in collaboration with the Indonesian Internet Service Providers Association (APJII) found that around 49% of netizens had been the target of bullying on social media. Both traditional bullying and that occurred in cyberspace arose as a result of an imbalance of power between the perpetrator and the victim. The Uses and Gratification theory is used to see the reasons or motivations bullies have for cyberbullying. Data was collected using a survey method with an instrument in the form of a questionnaire. The data was then analyzed descriptively by looking at the average of each question item. The underlying motivation for perpetrators to bully on social media is anonymity; it is a fun thing to do, it relieves boredom and jealousy, and it is also a form of self-defense from unpleasant acts they experience on social media. The victim experiences bullying on social media and is being harassed by hurtful sentences in the form of hate speech, ridicule/insults, and sentences that make them uncomfortable. On the other hand, what bullies most often do is upload other parties' chats without the owner's permission

Keywords:

Adolescence, Cyberbullying, experience, social media, motivation, a

PENDAHULUAN

Pemberitaan mengenai remaja yang mengalami gangguan psikologis akibat mengalami perundungan di media sosial semakin meningkat beberapa tahun terakhir. Survey yang dilakukan oleh Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa sekitar 49% warganet pernah menjadi sasaran perundungan di media sosial. Lebih lanjut,

survey ini menemukan bahwa sebanyak 31,6% responden kerap membiarkan perlakuan tersebut dan tidak melakukan apa-apa. Sementara, sebanyak 7,9% membalas perlakuan tersebut dengan tindakan bullying yang serupa (APJII, 2018). Bauman (2010), menyatakan bahwa sebagian besar kasus perundungan maya tidak dilaporkan karena para korban takut akses terhadap gawai mereka akan dibatasi. Selain itu, orang-orang yang ada di sekitar korban tidak menyadari bahwa hal tersebut perlu untuk dilaporkan atau ditindaklanjuti.

Pencegahan dan penangangan perundungan yang dilakukan di dunia maya perlu dilakukan oleh semua pihak agar dampak dari perundungan dapat dikurangi. Namun, yang seringkali luput dari perhatian adalah motivasi para pelaku perundungan untuk melakukan tindakan tersebut. Perundungan, baik secara tradisional maupun yang terjadi di dunia maya timbul akibat adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Ketidakseimbangan ini bisa berupa atribut fisik, status sosial, status hirarki yang dimiliki, dan atribut lainnya yang membuat para pelaku merasa lebih berkuasa daripada korban (Barlett, dkk 2016). Lebih lanjut, Atlas, dkk (1988) menyatakan bahwa memamerkan kekuasaan merupakan salah satu motif utama dalam melakukan perundungan. Adanya anonimitas dalam dunia maya membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban menjadi tidak terlalu terlihat, namun terdapat banyak faktor yang mendorong pelaku untuk melakukan perundungan.

Perundungan maya muncul karena adanya perkembangan teknologi yang menyebabkan adanya bentuk perundungan di dunia maya atau yang sering disebut dengan cyberbullying. Para pelaku perundungan di dunia maya merupakan bagian dari khalayak dunia maya. Mereka memiliki alasan tersendiri untuk melakukan perundungan di dunia maya melalui aplikasi media sosial. Teori Uses and Gratification digunakan untuk melihat alasan atau motivasi apa yang dimiliki para pelaku perundungan untuk melakukan perundungan di dunia maya. Teori ini menyatakan bahwa individu secara aktif mencari media tertentu untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya (Katz, dkk, 1974). Semakin besar kebutuhan yang dimiliki, maka semakin besar atensi yang diberikan individu pada konsumsi media.

Terdapat lima asumsi dalam teori ini, yaitu: 1) Khalayak bersifat aktif; 2) khalayak berorientasi pada tujuan; 3) konsumsi media memberikan gratifikasi yang berbeda terhadap kebutuhan khalyak; 4) khalayak memiliki kesadara pribadi yang cukup untuk memahami dan menjelaskan alasan untuk memilih media tertentu; Hal ini diperkuat oleh Hu (2016), yang menyatakan bahwa manusia tidak hanya mengkonsumsi konten media untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi juga menggunakan bentuk media tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang agresif.

Perundungan maya secara umum didefinisikan sebagai bentuk perilaku mengancam orang lain yang disengaja, berulang yang menggunakan teknologi komunikasi seperti surat elektronik, pesan instan, blog, ruang chatting, game online dan sebagainya (Hu, 2016). Para pelaku perundungan maya lebih memilih jenis media dibandingkan isi dari media tersebut. Media sosial yang berbasis internet memiliki karakteristik unik, yaitu anonimitas, khalayak yang lebih luas, tidak ada batasan ruang dan waktu, umpan balik yang sedikit, dan pengawasan yang kurang ketat. Hal ini membuat banyak orang, terutama remaja menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Lebih luas lagi, penelitian ini berusaha untuk melihat kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh para pelaku perundungan dengan memperhatikan karakteristik unik yang dimiliki oleh Internet dan media sosial.

Pada perundungan maya, ketidakseimbangan kekuasaan antar pelaku dan korban tidak terjadi seperti pada perundungan tradisional, namun “ancaman” dari pelaku tetap bisa dirasakan oleh korban. Jika pada perundunggan tradisional ketidakseimbangan kekuasaan cenderung dalam bentuk fisik, dalam perundungan maya bentuknya adalah anonimitas dalam ruang siber. Bentuk-bentuk tindakan dalam perundungan baik maya maupun tradisional berupa menyebarkan rumor, mengancam orang lain dan name calling. Hal ini muncul karena peluang yang anonimitas yang ditawarkan oleh komunikasi elektronik, memiliki jangkauan khalayak yang luas, dan komunikasi dapat berjalan dengan cepat dan mampu menjangkau tempat yang jauh (Heiman dan Olenik Shemesh, 2015).

Patchin dan Hinduja (2006) menyatakan anonimitas di ruang siber, membuat perundungan maya lebih sulit untuk dihentikan. Lebih lanjut, Hu (2016)

menyatakan bahwa individu terlibat pada perundungan maya, pelaku lebih aktif dibandingkan pelaku perundungan tradisional. Menurut Ybrra dan Mitchell (2004), kemampuan seseorang untuk menyembunyikan identitasnya merupakan sebuah metode yang unik untuk menegaskan dominasinya, yang mana hal ini tidak didapatkan melalui perundungan konvensional. Secara lebih spesifik, internet membuat individu kurang memperhatikan ketidakseimbangan yang tampak. Ketika kemampuan untuk tetap menyembunyikan identitas ini dimiliki oleh pelaku, hal ini menunjukkan pelaku terus menambah kemampuannya untuk tetap tidak terlihat identitasnya. Internet juga memberikan karakteristik unik bagi perundungan maya. Karena karakteristik internet, perundungan maya mampu menjangkau jarak yang lebih jauh dan jumlah khalayak yang lebih banyak dan perilaku berulang yang lebih cepat.

Karakteristik internet yang memungkinkan individu untuk menyembunyikan identitasnya, jangkauan yang lebih luas, tidak ada batas ruang dan waktu, umpan balik yang lebih sedikit, serta rendahnya pengawasan memotivasi pelaku untuk melakukan perundungan maya (Hu, 2016). Konig (2010) menemukan bahwa korban pada perundungan tradisional yang melakukan perundungan maya cenderung memilih pelaku yang merundung mereka sebagai target pembalasan dendam. Gradinger, dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat empat pernyataan yang dianggap sebagai motivasi untuk melakukan perundungan maya, yaitu 1) untuk memperlihatkan saya lebih berkuasa; 2) agar dapat lebih diterima oleh teman; 3) karena menyenangkan; 4) dan karena sedang merasa marah.

Remaja di Kota Denpasar dipilih sebagai subjek penelitian karena berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019, sebanyak 74,04 penduduk Kota Denpasar yang berusia di atas 5 tahun mengakses internet, termasuk di dalamnya akses terhadap media sosial. Angka ini merupakan yang tertinggi di Provinsi Bali. Lebih lanjut, remaja dipilih karena berdasarkan survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2018, penetrasi internet pada usia 1014 sebanyak 66,2%, usia 15-19 sebanyak 91% dan rentang usia 20-24 sebanyak

5%. Selain itu, dari survey tersebut ditemukan bahwa sebanyak 18,9% menggunakan internet untuk berselancar di media sosial (APJII, 2018).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja di Kota Denpasar yang berusia 10-24 tahun yang dirujuk pada batas usia remaja menurut kriteria Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobabiltas, yang artinya tidak semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Teknik penentuan sampel menggunakan purposive sampling dengan kriteria 1) berdomisili di Kota Denpasar; 2) pernah menjadi pelaku perundungan maya; 3) aktif di media sosial; 4) berusia 10-24 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah sampel berada pada rentang 90-180 orang. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode survei dengan alat pengumpul data utama berupa kuisioner, yaitu pengumpulan data dengan menyebarkan daftar pertanyaan mengenai variabel-variabel penelitian kepada responden. Teknik ini dapat memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menjawab pertanyaan (Indriantoro dan Supomo, 2002: 154). Kuisioner didesain dengan bentuk pertanyaan campuran dengan menggunakan skala nominal. Pertanyaan pada kuisioner dilihat dengan menggunakan 20 indikator yang melihat dari sudut pandang korban maupun pelaku. Indikator yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Motivasi dan Pengalaman Cyberbullying

Variabel          Dimensi                          Indikator

Motivasi melakukan Perundunga n di Media sosial

  • 1.    Melakukan perundungan karena identitas dapat disembunyikan

  • 2.    Melakukan perundungan karena itu menyenangkan

  • 3.    Mendapatkan apresiasi karena melakukan hal tersebut

  • 4.    Melakukan perundungan untuk menunjukkan diri hebat

  • 5.    Melakukan perundungan karena pernah dirundung sebelumnya

  • 6.    Melakukan perundungan untuk mempertahankan diri

  • 7.    Melakukan hal tersebut untuk menolong orang lain yang diserang terlebih dahulu

  • 8.    Melakukan perundungan karena bosan

  • 9.    Mendapatkan perasaan yang lebih baik setelah melakukan perundungan

  • 10.    Melakukan perundungan karena iri terhadap korban

Pengalaman Perundunga n di Media Sosial

Pengalaman korban perundungan maya

  • 1.    Mendapatkan komentar kasar di secara online

  • 2.    Dipanggil dengan cara yang kasar

  • 3.    Digunakan sebagai alat bersenang-senang

  • 4.    Diganggu dengan cara yang menyakitkan

  • 5.    Dipaksa untuk melakukan hal yang tidak diinginkan

  • 6.    Selama 2 bulan terakhir pernah menerima pesan yang tidak senonoh

  • 7.    Selama 2 bulan  terakhir pernah menerima

foto/gambar yang intim

  • 8.    Terdapat rumor yang tidak benar tentang diri

  • 9.    Ditertawakan karena penampilan

  • 10.    Direndahkan sehingga tidak menghargai diri sendiri

  • 11.    Membuat merasa buruk terhadap diri sendiri

  • 12.    Mendapat kata-kata tidak senonoh

Pengalaman pelaku perundungan maya

  • 1.    Sering menulis komentar kasar untuk orang lain online

  • 2.    Sengaja “mengerjai” secara online orang lain dengan tujuan tertentu

  • 3.    Selama 2 bulan terakhir pernah mengirimkan pesan yang tidak senonoh

  • 4.    Selama 2 bulan terakhir pernah mengirimkan foto/gambar yang intim

  • 5.    Mengunggah pesan yang kasar dan menyakiti orang lain di media sosial

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah kuisioner disebarkan dan kembali pada peneliti, sebanyak 141 kuisioner dinyatakan valid dan bisa dilanjutkan pada tahap analisis data. Jumlah ini sesuai dengan rentang kuisioner yang berada pada kisaran 90-180 orang. Berdasarkan data tersebut media sosial yang paling banyak digunakan secara aktif oleh remaja adalah Instagram (92,2%) diikuti oleh Tiktok sebanyak 61%. Responden juga menyatakan bahwa durasi dalam sehari yang mereka habiskan untuk mengakses media sosial adalah lebih dari 5 jam (34,8%). Durasi ini mengalami peningkatan karena adanya pandemic Covid-19 yang membuat responden memperoleh banyak informasi juga berinteraksi melalui media sosial. Aktivitas yang paling sering dilakukan oleh responden adalah scrolling & membca informasi 76,6% dan hanya 2,1% menjawab memberikan like pada konten di media sosial. Lebih lanjut, sebanyak 63,8% responden menyatakan memiliki akun kedua (second account) dan 36,2 % menyatakan hanya memiliki satu akun di media sosial.

Motivasi Melakukan Perundungan Maya

Para pelaku memiliki motivasi tersendiri untuk melakukan di ruang siber dan mendapatkan kepuasan ketika melakukannya melalui media tertentu, dalam hal ini adalah media sosial. Gradinger, dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat empat pernyataan yang dianggap sebagai motivasi untuk melakukan perundungan maya, yaitu 1) untuk memperlihatkan saya lebih berkuasa; 2) agar dapat lebih diterima oleh teman; 3) karena menyenangkan; 4) dan karena sedang merasa marah. Dalam penelitian ini, indikator motivasi yang digunakan mengkombinasikan antara motif yang dikemukakan oleh Gradinger dan Baldry, Farrington, dan Sorrentino (2016). Beberapa motivasi tersebut antara lain:

  • a)    Anonimitas

Ybrra dan Mitchell (2004) berargumen bahwa kemampuan seseorang untuk menyembunyikan identitasnya merupakan sebuah metode yang unik menegaskan dominasinya. Hal ini hanya bisa dilakukan pada kasus perundungan maya, dan tidak terjadi pada perundungan tradisional. Hal ini ternyata sesuai dengan 29,1% responden yang menyatakan bahwa alasan mereka melakukan perundungan maya karena mudahnya menyembunyikan identitas. Internet membuat individu kurang

memperhatikan ketidakseimbangan yang tampak antara pelaku dan korban. Ketika kemampuan untuk menyembunyikan identitas ini dimiliki oleh pelaku, hal ini memunjukkan pelaku terus menambah kemampuannya untuk tetap tidak terlihat identitasnya. Uniknya, karakteristik internet memberikan ruang bagi perundungan maya untuk menjangkau jarak yang lebih jauh dan jumlah khalayak yang lebih banyak, serta perilaku berulang yang lebih cepat. Kemudahan untuk membuat akun kedua (second account) mampu memunculkan keinginan pelaku untuk merundung korban. Hal ini karena dengan adanya akun kedua, anonimitas pelaku terjaga dan mereka memiliki kebebasan untuk berkomentar kasar atau hal lainnya yang merugikan korban (Arisanty & Wiradharma, 2022). Menurut Zimbardo (dalamReimann & Zimbardo, 2011, anonim dapat menyebabkan perilaku deindividuasi, sehingga terdapat hubungan yang erat antara anonimitas perilaku deindividuasi cenderung mengarah pada kriminalitas. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mayer (2009) bahwa dengan hilangnya kesadaran diri, anonim, besarnya kelompok, dan adanya dorongan adalah faktor penyebab deindividuasi. Pada akhirnya, deindividuasi ini akan mendorong seseorang untuk dapat melakukan agresi tanpa merasa bersalah.

  • b)    Perundungan Maya Menyenangkan dan dapat Menghilangkan Kebosanan Beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya menemukan bahwa salah satu motivasi melakukan perundungan maya adalah bahwa tindakan tersebut menyenangkan untuk dilakukan. Hal tersebut diamini oleh 17,1% responden yang menyatakan bahwa perundungan yang mereka lakukan melalui media sosial adalah hal yang menyenangkan. Baldry, dkk (2016) dalam risetnya menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendasari seseorang melakukan perundungan maya karena hal tersebut membuat pelaku mendapat hiburan. Selain itu, salah satu motivasi pelaku perundungan maya adalah sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan. Sejumlah 17,3% responden menyatakan alasan mereka melakukan perundungan maya adalah untuk menghilangkan kebosanan dari aktivitas sehari-hari.

  • c)    Mekanisme Pertahanan Diri

Manusia memiliki mekanisme pertahanan diri secara fisik, verbal, maupun serangan di dunia maya. Menurut 34,8% responden, menyatakan bahwa perundungan yang mereka lakukan di dunia maya untuk mempertahankan diri serta menolong teman yang dirundung terlebih dahulu di dunia nyata maupun media sosial. Bentuk tindakan yang dilakukan adalah mengirimkan komentar/pesan kasar kepada korban serta menuliskan pesan yang mengandung kebencian. Tindakan tersebut mereka lakukan sebagai bentuk balas dendam atas hal-hal yang mereka alami di dunia maya. Adanya ketidakseimbangan kekuasaan di dunia nyata menimbulkan perundungan tradisional, yang secara tidak langsung memicu adanya perundungan maya. Berdasarkan jawaban responden, ketidakmampuan mereka untuk membalas perbuatan pelaku di dunia nyata mendorong mereka untuk merundung pelaku di dunia maya. Responden menyatakan mereka merasa lebih baik Ketika mampu mempertahankan diri mereka di dunia maya. Hal ini tidak hanya berlaku pada diri mereka sendiri, tetapi juga mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas pada peer group.

e) Merasa Iri pada Korban

Adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban memunculkan rasa iri atau cemburu pelaku pada korban. Sakban & Sahrul (2019) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying, salah satunya rasa iri atau kecemburuan pelaku terhadap korban. Kecemburuan ini muncul dari rendahnya pencapaian pelaku di dunia nyata yang berakibat munculnya keinginan untuk mempermalukan korban tanpa diketahui identitasnya. Hal tersebut terbukti dengan sebanyak 12% responden yang menyatakan bahwa mereka iri pada korban. Rasa iri ini kemudian dilampiaskan pada korban melalui media sosial dengan menyebarkan rumor, mengancam korban, ataupun melakukan name calling. Samnani & Singh (2021) menyatakan bahwa kemarahan, narsisme, dan kecemburuan pada orang lain menstimulai emosi moral dari pelaku yang nantinya mendorong mereka untuk melakukan perundungan. Perasaan iri yang mencakup komparasi sosial negatif mampu memprediksi perilaku aggresive individu . Hal ini disebabkan karena kecemburuan dan rasa iri pada korban melibatkan perasaan

inferior yang akhirnya akan menghasilkan kemarahan, rasa jijik, serta penghinaan terhadap korban yang dianggap sebagai sumber kecemburuan.

Tindakan dalam Perundungan Maya

Selain melihat motif yang mendasari pelaku untuk melakukan perundungan maya, penelitian ini juga melihat tindakan apa saja yang dilakukan pelaku perundungan di dunia maya. Tabel 1 menggambarkan Tindakan tersebut.

Tabel 2. Tindakan yang dilakukan dalam perundungan maya

No.

Tindakan yang Dilakukan

Persentase (%)

1.

Menulis komentar yang mengandung kebencian yang ditujukan kepada pihak tertentu

16,3

2.

Melakukan perbuatan iseng yang membuat beberapa pihak tidak nyaman

11,3

3.

Mengirimkan konten berbau pornografi/tidak sesnonoh kepada pihak tertentu

21,2

4.

Mengirimkan pesan/komentar kasar

32,6

5.

Mengunggah obrolan pihak lain tanpa seijin yang bersangkutan

47,4

6.

Menggunggah foto/gambar orang lain tanpa seijin pemilik

15,4

Sumber: olah data peneliti.

Tabel 1 menunjukkan tindakan yang dilakukan oleh pelaku perundungan maya terhadap korban. Berdasarkan jawaban responden, terlihat bahwa sebanyak 47,4% menyatakan mereka sering mengunggah potongan obrolan pihak lain tanpa seijin yang bersangkutan. Responden ternyata tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk Tindakan perundungan maya. Selanjutnya, sebanyak 32,6% menyatakan bahwa mereka pernah mengirimkan pesan berisi kata dan kalimat kasar kepada pihak tertentu melalui media sosial maupun aplikasi bertukar pesan.

Pengalaman Menjadi Korban Perundungan Maya

Selain melihat motivasi yang dilakukan para pelaku ketika melakukan perundungan maya, penelitian ini juga menemukan pengalaman para korban dalam perundungan maya.

Tabel 3. Distribusi jawaban responden tentang pengalaman sebagai

korban perundungan di media sosial

No.

Pengalaman Korban

Persentase (%)

1.

Mendapatkan komentar kasar

53,2

2.

Dipanggil dengan cara yang kasar dan tidak menyenangkan

58,2

3.

Digunakan sebagai bahan untuk bersenang-senang oleh orang lain

42,6

4.

Diganggu dengan kalimat yang menyakitkan

59,5

5.

Dipaksa untuk mengunggah konten yang tidak saya inginkan

22

6.

Pernah menerima pesan tidak senonoh (mengandung seksualitas, mengandung kekerasan dan kebencian) di media sosial selama 2 bulan terakhir

25,5

7.

Pernah menerima konten berbau pornografi di media sosial selama 2 bulan terakhir

30,5

8.

Menemukan pesan yang tidak benar tentang saya beredar di media sosial

34,8

9.

Pernah mendapat ejekan/cacian karena beredarnya konten tentang diri di media sosial

40,5

10.

Pernah merasa diri buruk karena menjadi bahan tertawaan di media sosial

48,2

11.

Merasa rendah diri karena menjadi bahan tertawaan dan mendapat ujaran kebencian di media sosial

41,8

Sumber : olah data, 2021

Beberapa tindakan yang dialami para korban antara lain mendapat komentar kasar, dipaksa melakukan Tindakan yang tidak menyenangkan, dan hal-hal yang terkait dengan pornografi. Secara rinci, pengalaman korban dapat dilihat pada Tabel 2. Dari 11 pengalaman yang pernah dialami korban, diganggu dengan kalimat yang menyakitkan merupakan hal yang paling sering dialami oleh para korban. Sebanyak 59,5% responden menyatakan bahwa mereka pernah mendapatkan kalimat dan tindakan menyakitkan di media sosial. Kalimat atau tindakan yang menyakitkan ini berupa ujaran kebencian, ejekan atau cacian, atau kalimat-kalimat yang mengintimidasi para korban melalui media sosial maupun aplikasi pengiriman

pesan. Selain itu, sebanyak 58,2% responden juga menyatakan bahwa mereka pernah dipanggil dengan cara yang kasar dan tidak menyenangkan di media sosial.

Pengalaman Menjadi Pelaku Perundungan Maya di Media Sosial

Secara lebih lanjut, penelitian ini juga melihat tindakan yang dilakukan para pelaku ketika melakukan perundungan maya di media social. Secara garis besar, tindakan yang dilakukan oleh para pelaku mencakup menulis komentar kasar, melakukan perbuatan iseng yang membuat pihak lain tidak nyaman, mengunggah konten berbau pornografi, serta mengunggah obrolan pihak lain tanpa seijin pemilik di media sosial. Lebih dalam, tindakan yang paling sering dilakukan oleh para pelaku di media social dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 menggambarkan hal-hal yang dilakukan oleh para pelaku perundungan di media sosial. Namun, meskipun instrument sudah dibuat anonim, sebagian responden tidak memberikan jawaban yang akurat terkait perundungan yang mereka lakukan. Selain karena tidak ingin dicap negatif, responden kurang memahami bahwa hal-hal yang mereka lakukan tersebut merupakan bagian dari perundungan maya. Dari hasil jawaban responden ditemukan bahwa sebanyak 47,4% menyatakan mereka pernah dan beberapa kali mengunggah pesan atau obrolan pihak lain tanpa seijin yang bersangkutan baik di media sosial maupun melalui aplikasi pesan.

Tabel 4. Distribusi jawaban responden tentang pengalaman sebagai pelaku perundungan di media sosial

No .

Pengalaman Korban

Persenta se (%)

1.

Pernah menulis komentar mengandung kebencian

yang ditujukan kepada pihak tertentu

16,3

2.

Pernah melakukan perbuatan iseng yang membuat

beberapa pihak tidak nyaman

11,3

3.

Pernah mengirimkan konten berbau pornografi kepada pihak tertentu

21,2

4.

Mengirimkan pesan yang kasar kepada pihak tertentu

32,6

5.

Mengunggah obrolan pihak lain tanpa seijin yang bersangkutan

47,4

Sumber: olah data peneliti

Responden tidak memahami bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk perundungan maya yang sering dilakukan tanpa sadar. Selain itu, sebanyak 32,6 responden menyatakan bahwa mereka pernah mengirimkan pesan berisi kata dan kalimat kasar kepada pihak tertentu melalui media sosial maupun aplikasi pesan. Data tersebut menjelaskan bahwa adanya peluang anonimitas di ruang siber menyebabkan tindakan yang dilakukan oleh pelaku sulit untuk dihentikan (Patchin & Hinduja, 2006). Para pelaku juga menjadi lebih aktif melakukan perundungan di dunia maya.

Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh pelaku cyberbullying adalah kurangnya empati (Steffen, dkk 2011). Empati merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat dari sudut pandang orang lain, dan juga memposisikan diri pada posisi orang lain. Kurangnya empati akan membuat seseorang dengan mudah mengambil kesimpulan terhadap situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya, terutama pada hal-hal yang diunggah di media social (Arisanty & Wiradharma, 2022).

Pelaku dengan cepat berkata kasar serta kalimat yang menyakitkan dengan dalih memberikan kritik bagi perbaikan diri korban. Kurangnya empati yang dimiliki oleh pelaku dan didukung dengan anonimitas ruang siber membuat pelaku semakin leluasa untuk melakukan hal-hal yang menegaskan posisinya terhadap korban. Beberapa hal yang dilakukan oleh pelaku bahkan hanya untuk mencari kesenangan dan seringkali yang menjadi target adalah orang yang tidak mereka kenal di dunia nyata.

Para pelaku juga menyatakan bahwa pengalaman mereka sebagai pelaku selain karena mereka tidak menyadarinya, gratifikasi yang mereka dapatkan di media sosial juga membuat mereka merasa nyaman untuk melakukan perundungan. Tidak adanya filter di media sosial dan dorongan emosional secara spontan membuat pelaku merasa bebas dan mudah untuk menulis komentar kasar, hujatan,

ataupun kebencian. Pengalaman dari sudut pandang pelaku ini memberi gambaran kepada seluruh pihak tentang bentuk-bentuk cyberbullying yang sering terjadi di media social. Pengalaman dari sudut pandang pelaku juga menggambarkan gratifikasi yang diperoleh di media social membuat pelaku merasa nyaman untuk melakukan cyberbullying.

SIMPULAN

Motivasi yang mendasari para pelaku melakukan perundungan di media sosial adalah adanya anonimitas di dunia maya. Selain itu, cyberbullying merupakan hal yang menyenangkan bagi pelaku untuk dilakukan, terutama jika pelaku merasa bosan sehingga cyberbullying merupakan aktivitas yang mereka lakukan untuk menghilangkan kebosanan. Riset juga menemukan bahwa cyberbullying dilakukan oleh pelaku karena mereka ingin membalas dendam atas apa yang dialaminya di dunia nyata. Ketidakmampuan pelaku untuk keluar dari masalah di dunia nyata dilampiaskan di dunia maya dengan menuliskan komentar kasar dan ujaran kebencian di media social. Lebih lanjut, kecemburuan pada korban akibat rendahnya pencapaian di dunia nyata juga memicu pelaku untuk merundung korban di media social.

Berbagai bentuk aktivitas dilakukan oleh pelaku ketika merundung korban di duni maya, seperti diganggu dengan kalimat yang menyakitkan berupa ujaran kebencian, ejekan/hinaan, dan kalimat yang membuat mereka tidak nyaman, bahkan hal-hal yang berbau pornografi. Sebaliknya hal yang paling sering dilakukan oleh para pelaku perundungan adalah mengunggah obrolan pihak lain tanpa seijin pemilik. Pelaku juga berbagi pengalaman bahwa mereka tidak menyadari beberapa hal seperti membagikan foto dan percakapan tanpa ijin merupakan bentuk cyberbullying.

REFERENSI

Arisanty, Melisa & Gunawan Wiradharma. 2022. “The motivation of flaming perpetrators as cyberbullying behavior in social media”. Jurnal Kajian Komunikasi. Vol; 10 No 2. Page: 215-227. https://doi.org/10.24198/jkkv10i2.39876.

Atlas, R. S., & Pepler, D. J. 1998. “Observations of bullying in the classroom”. The Journal of Educational Research. Vol:    92. No. 2. Page:    86-99.

DOI:10.1080/00220679809597580.

Baldry, A. C., Farrington D.P., Sorrentino A. 2016. “Cyberbullying in youth: A pattern of disruptive behaviour”. Psicología Educativa. Vol:  22. Page 19-26.

http://dx.doi.org/10.1016/j.pse.2016.02.001.

Barlett, C. P., Prot, S., Anderson, C. A., & Gentile, D. A. 2016. “An empirical examination of the strength differential hypothesis in cyberbullying behavior”. Psychology of Violence. Advance online publication. http://dx.doi.org/10.1037/vio0000032.

Bauman, S. 2010. “Cyberbullying in a rural intermediate school: An exploratory study”. The Journal of Early Adolescence. Vol: 30 No. 1. Page: 37-51.

Gradinger, P., Strohmeier, D., & Spiel, C. 2011. “Motives for bullying others in cyberspace”. In Q. Li, D. Cross, & P. K. Smith (Eds.), Cyberbullying in the global playground: Research from international perspectives (pp. 263-284). Malden, MA: Wiley-Blackwell.

Heiman, Tali and Dorit Olenik Shemesh. 2015. “Computer-based communication and cyberbullying involvement in the sample of Arab teenagers”. Education and Information Technologies. Vol: 21, Issue 5. Page: 1183-1196.

Hu, Sisi. 2016. “Why Cyberbullies choose cyberspace: From the perspective os uses and gratifications”. Graduate Theses and Dissertations. Iowa State University.

König, A., Gollwitzer, M., & Steffgen, G. 2010. “Cyberbullying as an act of revenge?”. Australian Journal of Guidance and Counselling. Vol: 20: No. 2. Page: 210- 224. http://dx.doi.org/10.1375/ajgc.20.2.210.

Patchin, J. W., & Hinduja, S. 2012. “Cyberbullying: An update and synthesis on the research. In J. W Patchin & S. Hinduja (Eds.). Cyberbullying prevention and response: Expert Perspectives. Page: 13-36. New York: Routledge.

Raskauskas, J., & Stoltz, A. D. 2007. “Involvement in traditional and electronic bullying among adolescents”. Developmental psychology. Vol: 43. No. 3. Page: 564-575. http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.43.3.564.

Reason, L., Boyd, M., & Reason, C. 2016. Cyberbullying in Rural Communities: Origin and Processing through the Lens of Older Adolescents. The Qualitative Report, 21(12),    2331-2348. Retrieved from

https://nsuworks.nova.edu/tqr/vol21/iss12/10Sticca, F., & Perren, S. 2013. “Is cyberbullying worse than traditional bullying? Examining the differential roles of medium, publicity, and anonymity for the perceived severity of bullying. Journal

of Youth and Adolescence. Vol: 42. No: 5. Page: 739-750.

Samnani, AK & Singh, P. 2016. “Workplace Bullying: Considering the Interaction Between Individual and Work Environment”. Journal of Business Ethics , December 2016, Vol. 139, No. 3 (December 2016), pp. 537-549.

Ybarra, M. L., & Mitchell, K. J. (2004) “Online aggressor/targets, aggressors, and targets: A comparison of associated youth characteristics”. Journal of child Psychology and Psychiatry. Vol: 45; No. 7. Page: 1308-1316.

Yemima, C.K. 2023. “The Forms of Cyberbullying Behavior among Teenage Students: A Systematic Literature Review”. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan. Vol: 07 No. 2. Page: 151-160.

E-ISSN 2685-4570

189

VOL.5 NO. 2 DESEMBER 2023