ANALYSIS OF FACTORS THAT EFFECT THE PERFOMANCE OF INSEMINATORS IN YHE IMPLEMENTATION OF THE UPSUSSIWAB PROGRAM IN BADUNG REGENCY
on
ISSN 2722-7286
Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: February 25, 2021
Accepted Date:April 5, 2021
Editor-Reviewer Article : A.A. Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA INSEMINATOR PADA PELAKSANAAN PROGRAM UPSUS SIWAB DI KABUPATEN BADUNG
Dwipayana, I G. M., I G. Suranjaya dan N. P. Sarini
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected] , Telepon: +62 85829624979
ABSTRAK
Inseminator merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan inseminasi buatan dalam program UPSUS SIWAB yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja inseminator dan keberhasilan inseminasi buatan (IB) dalam upaya menunjang program UPSUS SIWAB di Kabupaten Badung. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Adapun variabel yang diobservasi adalah faktor karakteristik inseminator meliputi: umur, lama menempuh pendidikan, jumlah keluarga, waktu kerja inseminator, lama sebagai inseminator, jarak operasional kerja dan lokasi serta Kinerja inseminator meliputi: jumlah IB per tahun, persentase keberhasilan IB satu kali, Conception Rate dan Calving Rate. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan metode multiple regression dan dilanjutkan dengan metode stepwise untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berperan. Hasil penelitian menunjukan kinerja inseminator secara bersama-sama dipengaruhi secara nyata (P<0,005) oleh faktor umur (X1), lama menempuh pendidikan (X2), jumlah anggota keluarga (X3), waktu kerja inseminator (X4), lama sebagai inseminator (X5), jarak operasional kerja (X6), dan lokasi (Di). Melalui analisis stepwise maka diperoleh jumlah ternak yang dapat di IB pertahun (Y1) secara nyata dipengaruhi oleh D1 dengan persamaan (Y1) = 1275,178 - 422,978 D1 dengan R2 = 0,420. Untuk keberhasilan satu kali IB (Y2) dipengaruhi oleh X1 dan X2 dengan persamaan Y2 = 71,770 + 1,038 X1 + 1,970 X2 dengan R2 = 0,701. Sementara untuk conception rate (Y3) dan calving rate (Y4) dipengaruhi oleh X1 dan X2 dengan persamaan Y3 =0,621 + 0,012 X1 + 0,023 X2 dengan R2 = 0,477, dan Y4 = 0,573 + 0,011 X1 + 0,017 X2 dengan R2 = 0,371. Dari beberapa faktor yang teridentifikasi, dapat disimpulkan bahwa peubah umur (X1) dan lama menempuh pendidikan (X2) yang paling berperan terhadap kinerja inseminator dalam menunjang keberhasilan IB pada pelaksanaan program UPSUS SIWAB di Kabupaten Badung.
Kata kunci: inseminator, inseminasi buatan, upsus siwab
ANALYSIS OF FACTORS THAT EFFECT THE PERFOMANCE OF INSEMINATORS IN YHE IMPLEMENTATION OF THE UPSUSSIWAB PROGRAM IN BADUNG REGENCY
ABSTRACT
Inseminators are one of the factors that play an important role in artificial insemination confidence in the UPSUS SIWAB program launched by the government to increase the cattle population in Indonesia. This study aims to determine the factors that influence inseminator performance and to believe artificial insemination (IB) in an effort to support the UPSUS SIWAB program in Badung Regency. This research was conducted by survey method and the sample was taken by purposive sampling..The variables sought are constituent factors including: age, length of education trip, number of families, compilers working time, length of time as a spreader, operational distance and location and compiler performance includes: number of IB per year, proportion of IB once, proportion of Conception Rate and proportion Calving Rate. Data analysis was carried out descriptively with multiple regression methods and explored using a stepwise method to identify the most influential factors. The results showed that the performance of the inseminator was jointly influenced significantly (P <0.005) by age (X1), length of study (X2), total family members (X3), work time of inseminator (X4), length of time as an inseminator (X5), working operational distance (X6), and location (Di). Through stepwise analysis, it is found that the number of livestock that can be AI per year (Y1) is significantly influenced by D1 with the equation (Y1) = 1275,178 -422,978 D1 with R2 = 0.420. For the success of one time AI (Y2) is influenced by X1 and X2 with the equation Y2 = 71.770 + 1.038 X1 + 1.970 X2 with R2 = 0.701. Meanwhile, for the conception rate (Y3) and the calving rate (Y4) are influenced by X1 and X2 with the equation Y3 = 0.621 + 0.012 X1 + 0.023 X2 with R2 = 0.477, and Y4 = 0.573 + 0.011 X1 + 0.017 X2 with R2 = 0.371. For the factors that identified, it turns out that the variables of age (X1) and length of study (X2) have the most role in the performance of the inseminator in supporting the success of AI in the implementation of the UPSUS SIWAB program in Badung Regency.
Key words: inseminator, artificial insemination, upsus siwab
PENDAHULUAN
Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan perkembangan tingkat ekonomi masyarakat, serta perbaikan tingkat pendidikan, menyebabkan terjadinya perubahan selera pola konsumsi pangan masyarakat kearah peningkatan konsumsi protein hewani, namun kondisi tersebut saat ini belum diimbangi dengan usaha penambahan produksi
untuk mencukupi kebutuhan akan daging yang terus meningkat. Kesenjangan tersebut terjadi tiap tahun. Berdasarkan data Susenas BPS (2011), tingkat kebutuhan konsumsi daging sapi bagi penduduk Indonesia (terbesar ke-4 dunia), rata-rata sebesar 1,83 kg/kapita/tahun atau meningkat dibanding tingkat konsumsi dari tahun sebelumnya sebesar 0,14 kg. Sedangkan jumlah total kebutuhan konsumsi daging sapi domestik selama tahun 2012 (tidak termasuk industri dan hotel, restoran serta katering) angkanya mencapai 441.605 ton.
Pemerintah dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi agar mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging Nasional mencanangkan program UPSUS SIWAB yaitu Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting. Program tersebut dituangkan dalam peraturan Menteri. Pertanian No. 48/ Permentan /PK. 210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditandatangani Menteri Pertanian pada tanggal 3 Oktober 2016. Program UPSUS SIWAB tujuannya untuk meningkatkan populasi sapi potong dan mengarah kepada swasembada daging sapi, termasuk dalam target yang ingin dicapai pada tahun 2026, (Suharno 2017). Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2017) mengungkapkan bahwa capaian program Upsus Siwab pada tahun pertama pelaksanaannya pada tahun 2016 adalah masih rendah yaitu rata-rata hanya tercapai 27,5% dari target 3 juta kelahiran pedet yang baru.
Kabupaten Badung membentuk suatu usaha pembibitan dan pengembangan sapi bali di sentra peternakan Sobangan di Desa Sobangan. Sentra ini dibangun untuk menjadi pusat pembibitan sapi bali yang ada di Bali khususnya di Kabupaten Badung dimana bibit unggul yang dihasilkan akan dikirim ke berbagai kelompok ternak dan beberapa instansi yang telah menjalin kerjasama. Tujuan lain dari sentra ini adalah untuk menjaga populasi sapi bali dan juga mewujudkan swasembada daging dan memenuhi kebutuhan protein hewani secara mandiri.
Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi yang digunakan dalam program Upsus Siwab, IB merupakan tindakan perkawinan buatan yang dilakukan pada hewan betina dimana sperma dari pejantan dimasukan kedalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat dan bantuan manusia sepenuhnya (Toelihere, 1993). Program IB yang baik diupayakan untuk dapat menghasilkan keturunan yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatan populasi atau produksi. Pemerintah
mengembangkan IB dengan menggunakan semen pejantan unggul, dan kemudahan – kemudahan telah diberikan pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan IB, seperti menggratiskan biaya IB bagi peternak.
Adapun faktor – faktor penentu keberhasilan inseminasi buatan adalah pertama inseminator, kedua kualitas semen beku di tingkat peternak, pengetahuan dan kepedulian peternak dalam melakukan deteksi birahi, (Caraviello et al., 2006). Inseminator atau petugas IB (Inseminasi Buatan) ini bertugas melakukan penyuluhan kepada peternak sapi untuk dilakukan suntik kehamilan, inseminator berkedudukan sebagai pekerja teknis bidang peternakan di kabupaten/kota, provinsi dan dibawah Kementrian Pertanian. Peran inseminator sangat dibutuhkan oleh para peternak untuk mempercepat proses kehamilan sapi dan juga mendukung program Pemerintah mewujudkan swasembada daging, karena dapat meningkatkan populasi sapi. Agar besaran biaya perkawinan dan pemeliharaan sapi efisien, diperlukan inseminator yang terampil dan mampu membimbing pemilik ternak agar dapat mendeteksi birahi sendiri dengan tepat (Banbury, 1965). pertama waktu yang tepat untuk mengawinkan sapi yang berahi adalah 8-12 jam setelah indukan terlihat mengalami gejala birahi, semen dikemas dalam straw, disamping itu semen harus tetap terendam di dalam N2 cair sehingga tidak terjadi kerusakan pada semen, Thawing merupakan proses pencairan semen atau meningkatkan suhu straw agar semen dapat aktif kembali, dilakukan menggunakan air hangat selama 30 detik dengan suhu 35°-38°c. Inseminasi buatan pada sapi umumnya menggunakan teknik rektovaginal dimana semen didepositkan di dua bagian yaitu uterus dan servik. Teknik ini menggunakan alat inseminasi gun yang dimasukkan ke dalam alat reproduksi betina. Pada teknik rektovaginal, tangan yang diselubungi dengan sarung tangan dimasukkan ke dalam rektum untuk melokalisir cervix dan kemudian masukkan gun ke cervix hingga uterus.Kesalahan yang umum yang sering dilakukan inseminator adalah salah menempatkan semen dalam saluran reproduksi, yaitu memasukkan ke cervix pada tempat yang benar di uterus. Inseminator juga harus dapat memastikan bahwa spermatozoa yang sudah dicairkan kembali sesegera mungkin digunakan untuk IB. Waktu optimum untuk melakukan inseminasi juga harus diperhitungkan dengan waktu kapasitasi, yaitu suatu proses fisiologis yang dialami oleh spermatozoa di dalam saluran kelamin betina untuk memperoleh kapasitas atau kesanggupan membuahi ovum, sehingga pelaksanaan IB dapat menghasilkan
hasil yang optimal. Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja dari inseminator IB tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengatahui hubungan antara faktor-faktor karakteristik inseminator yang mempengaruhi kinerjanya dalam menunjang keberhasilan IB dan faktor karakteristik inseminator yang paling berperan dalam kinerja keberhasilan pelaksanaan IB pada ternak sapi. Sehingga dapat memberikan informasi kepada instansi terkait ataupun masyarakat mengenai faktor-faktor karakteristik inseminator yang berpengaruh dalam kinerjanya untuk menunjang keberhasilan program UPSUS SIWAB di Kabupaten Badung. Dan sebagai informasi ataupun acuan data bagi penelitian selanjutnya.
MATERI DAN METODE
Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan data dilaksanakan di Kabupaten Badung dengan ketentuan dataran tinggi merupakan tempat yang berada diatas 700 meter diatas permukaan laut (mdpl) dan dataran rendah merupakan tempat yang berada dibawah 600 meter diatas permukaan laut (mdpl).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian (website Kab. Badung)
Materi Penelitian
Inseminator yang wilayah kerjanya ada di Kabupaten badung sebanyak 19 orang. Data mengenai nama-nama inseminator yang akan digunakan sebagai responden diperoleh dari Dinas Peternakan dan Balai Inseminasi Buatan di Kabupaten Badung.
Penentuan responden
Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan menyertakan beberapa pertimbangan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Penentuan lokasi antara dataran tinggi dan dataran rendah dilakukan dengan melihat letak topografi dari wilayah kerja inseminator tersebut.
Peubah yang Dimati
Adapun peubah atau variabel yang diamati adalah faktor karakteristik inseminator meliputi: umur, lama menempuh pendidikan, jumlah keluarga, waktu kerja inseminator, lama sebagai inseminator, jarak operasional kerja dan lokasi inseminator. Kinerja inseminator meliputi: jumlah IB per tahun, persentase keberhasilan IB satu kali, Conception Rate dan Calving Rate. Conseption Rate dan Calving Rate masing-masing dihitung dengan rumus :
-
a. Conseption Rate
jumlah betina inseminasi pertama
CR =-----:---FVl--:----i------------^100
jumlah betina ekseptor
-
b. Calving Rate
jumlah temak lahir
CvR =-----7---, —xlOO
Jinnlah temak yang di IB
Analisis Data
Data yang diperoleh untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan kinerja inseminator, dianalisadengan tahapan sebagai berikut:
-
1. Analisis deskriptif untuk melihat karakter faktor-faktor yang berkaitan dengan kinerja dari inseminator.
-
2. Regresi linear berganda dilanjutkan dengan stepwise, untuk melihat hubungan faktor-faktor karakteristik yang berkaitan dengan kinerja inseminator yang paling berperan terhadap indikator keberhasilan IB dengan model persamaan seperti berikut ini:
Y = α + β1 X1 + β2 X2 +……+ βn Xn + D
dimana:
Y : Kinerja inseminator
α : Intersep
β1, β2…βn: Koefisien regresi ke-1 sampai ke –n
-
X1, X2 Xn: Faktor/karakteristik inseminator ke-1 sampai ke-n
Di : Dummy variable (1: dataran tinggi, 2: dataran rendah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Inseminator IB.
Hasil penelitian yang diperoleh mengenai faktor karakteristik inseminator yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan kinerja inseminator dalam menunjang program UPSUS SIWAB di Kabupaten Badung, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Inseminator di Kabupaten Badung | ||
Variabel Karakteristik |
Nilai |
Sd |
Rataan Umur (thn) |
49,05 |
10,373 |
Jenjang Pendidikan (%) SMP |
5,3 | |
SMA |
57,9 | |
D1 |
10,6 | |
S1 |
21,1 | |
S2 |
5,3 | |
Jumlah anggota keluarga (orang) |
2-7 | |
Status Pegawai (%) PNS |
15,8 | |
Non PNS |
84,2 | |
Rataan Waktu utk IB per hari (jam) |
11,16 |
2,672 |
Rataan lama waktu sbg Inseminator (thn) |
17,74 |
10,713 |
Rataan Jarak operasional kerja (km) |
7,89 |
1,629 |
Keterangan :Hasil penelitian lapangan karakteristik inseminator di Kabupaten Badung (data diolah), 2020 |
Kisaran umur inseminator di Kabupaten Badung pada pelaksanaan program UPSUS SIWAB adalah 23-67 tahun dengan rataan 49,05±10,373 tahun. Rentangan usia 25-35 tahun adalah usia paling produktif dalam pekerjaan, hal ini dikarenakan ketika dalam usia tersebut,
kemampuan dan relasi yang dimiliki seseorang sedang dalam usia puncak. sedangkan sebanyak 89,47% usia responden inseminator adalah berusia 40-67 tahun. Sebagian besar responden pada penelitian ini berada pada kisaran umur 40 – 67 tahun. Meskipun usia responden melebihi batas usia kerja dan diluar rentang usia produktif tetapi umur dengan ditambah pengalaman yang lama dalam menekuni inseminasi buatan tentunya merupakan nilai tambah untuk inseminator yang termasuk senior (berumur). Hal ini sesuai dengan pendapat Amran (2009) yang menyatakan bahwa, umur tenaga kerja cukup menentukan keberhasilan dalam melakukan suatu pekerjaan, baik sifatnya fisik maupun non fisik. Pendapat tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Yanti (2015), yang menyatakan faktor umur seseorang ikut menentukan tingkat produktivitas seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Semakin bertambah umur seseorang maka semakin meningkat pula produktivitas seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, tetapi akan menurun pula pada usia tertentu sejalan dengan faktor kekuatan fisik yang semakin menurun pula.Pada umumnya, tenaga kerja yang berumur tua mempunyai tenaga fisik yang lemah dan terbatas, sebaliknya, tenaga kerja yang berumur muda mempunyai kemampuan fisik yang kuat. Faktor usia sangat berpengaruh pada pekerjaan yang sangat mengandalkan kekuatan dan kemampuan fisik tenaga kerja. Kekuatan fisik inseminator yang berada di dataran tinggi sangat berpengaruh dalam melaksanakan IB dikarenakan medan menuju lokasi ternak bisa berada sangat jauh dengan medan yang cukup ekstrim dibandingkan dengan inseminator yang berada di dataran rendah.
Sebanyak 89,47% inseminator di Kabupaten Badung sudah berumah tangga dan 10,53% belum berumah tangga dengan kisaran jumlah keluarga 2-7 orang. Jika jumlah tanggungan keluarga yang relatif lebih banyak, maka responden inseminator akan cenderung lebih giat dalam menjalankan IB untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari maupun kebutuhan lainnya. Akan tetapi faktor lokasi operasional kerja inseminator dan populasi sapi juga memiliki peranan dalam jumlah ternak yang di IB oleh responden inseminator tersebut. Menurut Wirosuhardjo (2007), besarnya jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan karena semakin banyaknya jumlah tanggungan keluarga maka secara tidak langsung akan memaksa tenaga kerja tersebut untuk mencari tambahan pendapatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang
memiliki jumlah tanggungan keluarga yang cukup banyak maka jumlah kebutuhan juga akan semakin besar, dan apabila penghasilan tidak mencukupi maka akan terjadi kemiskinan.
Jenjang pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi profesionalisme dalam bekerja, sebagaimana dalam proses hidup dimana pengetahuan dan keterampilan diperoleh baik secara formal maupun informal yang menghasilkan informasi, ide, dan pengalaman.Jenjang pendidikan formal responden paling rendah adalah setingkat SMP yaitu 5,3%, dengan tingkat pendidikan SMA yang paling banyak mencapai 57,9%, D1 10,6%, S121,1%, dan S2 5,3%. Melihat tingkat pendidikan terendah inseminator di kabupaten Badung adalah SMP, dapat dikatakan bahwa inseminator dengan tingkat pendidikan SMP harus berusaha lebih banyak dalam meningkatkan pengetahuan maupun keterampilannya dalam menginseminasi. Hal ini disebabkan inseminasi buatan memerlukan keterampilan khusus dan pengetahuan mengenai organ reproduksi sapi betina dengan baik sehingga bisa mendeposisikan semen secara tepat sehingga keberhasilan bisa tinggi. Menurut Sastrohadiwiryo (2002) pendidikan didefinisikan sebagai upaya atau tugas untuk meningkatkan pengetahuan, pengertian, atau sikap para tenaga kerja sehingga mereka lebih dapat menyesuaikan dengan lingkungan kerja mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden akan memiliki kemampuan yang semakin baik dalam mengadopsi inovasi khususnya tentang IB tersebut.
Untuk pelatihan teknik IB,semua responden (100%) sudah mengikuti pelatihan teknik IB, 68,42% periksa kebuntingan (PKB) dan 21,05% asisten teknik reproduksi (ATR) dan 100% inseminator di Kabupaten Badung sudah memiliki surat izin menginseminasi (SIMI) yang merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk bisa menjadi inseminator. Inseminator responden penelitian ini 15,8% berstatus PNS dan 84,2% non PNS. Inseminator yang berstatus PNS juga bertugas sebagai penyuluh peternakan di wilayah kerja operasionalnya. Hal ini menjadi faktor penyebab terbatasnya waktu yang dimiliki dalam melaksanakan tugasnya sebagai inseminator. Waktu kerja para inseminator berkisar 5-15 jam sehari dengan rataan 11,16±2,672 jam. Inseminator yang memiliki waktu kerja yang sedikit adalah inseminator yang berstatus PNS.
Faktor lain yang juga memiliki peranan adalah jarak kerja operasional inseminator. Kisaran radius kerja operasional para inseminator di Kabupaten Badung adalah 5-11 km
dengan rataan 7,89±1,629 km. Ini menunjukan bahwa radius kerja operasional para inseminator bisa mencapai jarak yang cukup jauh bagi lokasi atau wilayah yang lebih luas dengan populasi ternak yang lebih tinggi yang berada di daerah dataran tinggi seperti kecamatan Petang, dan bagian utara dari kecamatan Mengwi, dan Abiansemal. Jarak operasional kerja inseminator berpengaruh terhadap kualitas semen dikarenakan terdapat kerusakan pada morfologi spermatozoa yang diakibatkan kurang baiknya penanganan dalam membawa semen beku , perjalanan atau pengangkutan yang jauh dibawah kondisi buruk seperti kepanasan atau kedinginan yang berlebih dapat menurunkan kualitas semen, adapun faktor lain yang mempengaruhi yaitu adanya guncangan dalam membawa semen beku di dalam kontainer mini. Menurut Toelihere (1985) beberapa hal yang perlu diperhatikan saat penanganan semen agar persentase hidupnya tidak cepat menurun yaitu menghindari panas suhu yang berlebihan, terpapar dengan udara yang lama, terkena sinar matahari, dan menghindari guncangan yang berlebihan.
Lama waktu responden menekuni profesi sebagai inseminator di Kabupaten Badung sangat beragam, berkisar 4-40 th dengan rataan 17,74±10,713 th. Faktor lama sebagai inseminator memiliki peranan sangat nyata terhadap keberhasilan Inseminasi buatan, khususnya pada teknis pelaksanaan IB sangat tergantung dari keahlian, kecermatan dan pengalaman. Artinya semakin lama menekuni profesi sebagai inseminator maka semakin terampil dan profesional dalam melaksanakan inseminasi tersebut. Menurut Trijoko (2008), pengalaman kerja merupakan pengetahuan atau keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai seseorang yang akibat dari pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu. Jadi pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang untuk dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan.
Kinerja Inseminator
Kinerja inseminator seperti jumlah ternak yang dapat di-IB per tahun, persentase keberhasilan IB satu kali, persentase conception rate dan persentase calving rate dari ternak yang di IB oleh responden inseminator disajikan pada Tabel 2.
Table 2. Deskripsi Kinerja inseminator di kabupaten Badung
Variabel Kinerja |
Rataan |
Sd |
Jumlah IB/tahun (ekor) |
651,84 |
322,581 |
Keberhasilan IB 1 kali (%) |
84,84 |
4,586 |
Conseption Rate (%) |
76,84 |
6,058 |
Calving Rate (%) |
69,79 |
5,702 |
Keterangan :Hasil penelitian lapangan deskripsi kinerja inseminator di Kabupaten Kabupaten Badung (data diolah), 2020
Jumlah ternak yang dapat di-IB per tahun di Kabupaten Badung berkisar 181-1412 ekor sapi induk dengan rataan 651,85±322,581 ekor. Ini menunjukan kondisi yang sangat beragam, seperti terjadi di daerah dataran rendah ternak yang dapat di IB hanya mencapai 181 ekor per tahun, sedangkan untuk di dataran tinggi bisa mencapai lebih dari 1000 ekor per tahunnya, ini disebabkan jumlah populasi sapi di dataran tinggi jauh lebih banyak dikarenakan lahan pertanian untuk daerah dataran tinggi di kabupaten badung terbilang sangatlah luas seperti di kecamatan petang dan abiansemal bagian utara dan mayoritas pekerjaan masyarakat adalah petani dan peternak, sedangkan untuk daerah dataran rendah alih fungsi lahan pertanian menjadi tempat hiburan sangatlah tinggi seperti di daerah kuta, kuta selatan sehingga mengakibatkan populasi sapi juga menurun.
Rentang angka keberhasilan IB dalam sekali inseminasi berkisar 75-90% dengan rataan 84,84±4,586%. Ini menunjukan bahwa inseminator di Kabupaten Badung secara umum pernah meng-IB lebih dari 1 kali sampai ternak tersebut mengalami kebuntingan atau bisa dikatakan service per conception dari sapi yang di IB lebih dari satu. Inseminator yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan dengan pengalaman yang lebih lama sebagai inseminator memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Menurut Ismoyo dan Priyantini (2008) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat S/C pada sapi induk tinggi adalah (1) terlambatnya deteksi birahi dari peternak atau terlambat melaporkan birahi sapi kepada inseminator, (2) adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi, (3) inseminator kurang terampil, (4) fasilitas pelayanan inseminasi yang terbatas, (5) kurang lancarnya transportasi.
Tingkat conception rate(CR) atau jumlah ternak yang berhasil bunting pada penelitian ini sangat bervariasi berkisar 65-85% dengan rataan 76,84±6,058%. Nilai CR terendah di dapat dari responden yang baru sebagai inseminator di Kabupaten Badung sedangkan yang tertinggi di dapat dari inseminator yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Rataan persentase kebuntingan (CR) sapi induk dari hasil IB semua inseminator di Kabupaten Badung adalah lebih besar 50%. Ini menunjukan bahwa kinerja inseminator IB dikategorikan cukup baik. Menurut Oltenacu et al. (1981) terdapat tiga kategori inseminator yaitu: 1). Inseminator belum berpengalaman jika memiliki nilai CR < 0,42; 2). Inseminator berkemampuan sedang jika nilai CR > 0,50; 3). Inseminator professional dengan nilai CR 0,58. Herawati (2012) menyatakan bahwa seorang inseminator dapat dinyatakan memiliki kinerja yang baik apabila memiliki nilai CR berkisar 56,56-77,27%.
Angka calving rate (CvR) dari sapi induk espetor IB di Kabupaten Badung sangat beragam berkisar 60-75% dengan rataan 69,79±5,702% . responden yang baru menjadi inseminator memiliki CvR terendah dari seluruh responden lainnya di Kabupaten Badung. Keterampilan inseminator dalam melaksanakan inseminasi merupakan salah satu faktor keberhasilan IB. Menurut Murtidjo (1993) bahwa pengetahuan tentang deteksi estrus sapi betina harus dikuasai pula oleh seorang inseminator sehingga pelaksanaan IB sanggup menghasilkan tingkat kebuntingan yang tinggi.
Hubungan peranan faktor Karakteristik Inseminator Terhadap Kinerjanya
Bentuk hubungan faktor-faktor karakteristik dengan kinerja inseminator adalah linear berganda, dengan beberapa peubah independen yaitu: umur (X1), lama menempuh pendidikan (X2), jumlah keluarga (X3), waktu kerja inseminator (X4), lama sebagai inseminator (X5), jarak operasional kerja (X6), dan lokasi (Di) dan peubah dependen seperti: jumlah ib per tahun (Y1), keberhasilan IB satu kali (Y2), conception rate (Y3) dan calving rate (Y4)dapat ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai koefisien regresi antara kinerja dan faktor karakteristik inseminator
Koefisien Regresi |
Jumlah (Y1) |
IB/th |
KeberhasilanIB/1 x(Y2) |
CR (Y3) |
CvR (Y4) | |||
Nilai |
Sig |
Nilai |
Sig |
Nilai |
Sig |
Nilai |
Sig | |
Konstanta |
7,262 |
0,000 |
34,99 |
0,000* |
17,32 |
0,000 |
15,50 |
0,000 |
(b0) |
** |
1 |
2 |
* |
1 |
* | ||
b1 |
1,806 |
0,090 |
5,587 |
0,000* |
3,566 |
0,003 |
3,166 |
0,006 |
* |
** |
** | ||||||
b2 |
-0,294 |
0,772n |
4,873 |
0,000* |
3.190 |
0,006 |
2,349 |
0,032 |
s |
** |
** | ||||||
b3 |
-0,812 |
0,429n |
-1,240 |
0,234ns |
0,188 |
0,584n |
- |
0,817n |
s |
s |
0,236 |
s | |||||
b4 |
1,023 |
0,322n |
0.689 |
0,501ns |
0,271 |
0,790n |
1,060 |
0,306n |
s |
s |
s | ||||||
b5 |
0,915 |
0,374n |
-0,367 |
0,719ns |
0,206 |
0,840n |
- |
0,546n |
s |
s |
0,618 |
s | |||||
b6 |
- 0,001 |
0,999n |
0,178 |
0,861ns |
0,669 |
0,513n |
0,132 |
0,897n |
s |
s |
s | ||||||
b7 |
-3,748 |
0,002 |
-1,977 |
0,067ns |
- |
0,263n |
- |
0,268n |
* |
1,163 |
s |
1,151 |
s | ||||
Koef. |
0,420 |
0,701 |
0,477 |
0,371 | ||||
Determin | ||||||||
asi (R2) | ||||||||
F Hitung |
14,048 |
0,002 |
22,10 |
0,000* |
9,199 |
0,002 |
6,319 |
0,009 |
* |
6 |
Keterangan
1 **= menunjukan adanya pengaruh sangat nyata dari faktor karakteristik independent
terhadap kinerja dependen (P<0,01)
2 *= menunjukan adanya pengaruh nyata dari faktor karakteristik independent terhadap
kinerja dependen (P<0,05)
3 Ns= menunjukan tidak adanya pengaruh nyata dari faktor karakteristik independen terhadap kinerja dependen (P>0,05)
Hubungan peranan peubah dependen yaitu jumlah ib per tahun (Y1), keberhasilan IB satu kali (Y2), conception rate (Y3) dan calving rate (Y4) dipengaruhi bersama-sama secara nyata oleh peubah independen umur (X1), lama menempuh pendidikan (X2), jumlah keluarga (X3), waktu kerja inseminator (X4), lama sebagai inseminator (X5), jarak operasional kerja (X6), dan dummy lokasi (Di)dengan nilai koefisien determinasi masing-masing R12 = 0,420; ,R22 = 0,701; R32 = 0,477 dan R42 = 0,371. Dari hasil analisis regresi menunjukan faktor umur X1 dari para inseminator dan lokasi inseminator (Di) memberikan kontribusi nyata (P<0,005) terhadap jumlah ternak yang dapat di IB per tahun (Y1). Dengan demikian faktor lokasi
(dataran tinggi) berpengaruh terhadap jumlah ternak yang dapat di IB pertahun dikarenakan di daerah dataran tinggi populasi sapi jauh lebih tinggi dibandingkan di dataran rendah. Sedangkan untuk hasil keberhasilan IB satu kali (Y2), CR (Y3) dan CvR (Y4) dipengaruhi secara nyata (P<0,005) oleh umur (X1) dan lama menempuh pendidikan (X2). Faktor lama menempuh pendidikan (X2) memiliki peranan nyata terhadap kinerja inseminator tersebut, inseminator yang memiliki jenjang pendidikan S1 ke atas memiliki persentase keberhasilan IB satu kali (Y2), CR (Y3) dan CvR (Y4) yang lebih tinggi dibandingkan inseminator yang memiliki jenjang pendidikan SMA kebawah. Faktor umur juga memiliki peranan nyata terhadap kinerja inseminator, responden inseminator yang memiliki umur yang lebih tua memiliki persentase keberhasilan IB satu kali (Y2), CR (Y3) dan CvR (Y4) lebih tinggi dari pada inseminator yang memiliki umur yang lebih muda, ini juga dipengaruhi oleh faktor lama sebagai inseminator, semakin lama menekuni profesi sebagai inseminator maka pengalaman dan keahlian dari inseminator akan semakin meningkat. MenurutNurlina (2007), umur dan latar pendidikan seseorang mempengaruhi kemampuan dalam menerima sesuatu yang baru atau mengadopsi inovasi. Semakin bertambahnya umur semakin lemah juga kekuatan fisik seseorang sehingga dapat berpengaruh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, tinggi atau rendah, jenjang pendidikan seseorang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan dalam menerima sesuatu atau mengadopsi inovasi yang baru. Terdapatnya perbedaan kinerja antar inseminator sesuai dengan penelitian Anggraeni et al. (2012) mendapatkan bahwa terjadi perbedaan kecil angka non return rate saat dosis sperma sekitar 10 – 20 juta apabila dipakai oleh inseminator dengan keterampilan baik, tetapi terjadi perbedaan sekitar 10% ketika IB dilakukan oleh inseminator kurang terampil. Faktor keterampilan atau keahlian seseorang inseminator sebenarnya adalah bersumber dari jenjang pendidikan dan lama sebagai inseminator serta pelatihan teknis yang sudah diikuti.
Selanjutnya dengan melakukan uji stepwise yaitu mengeliminasi peubah-peubah independent (Xi) yang tidak nyata berkaitan atau tidak berpengaruh dengan peubah dependent (Yi), maka diperoleh hasil regresi Y1 = 1275,178-422,978 D1 dengan R2 = 0,420, Y2 = 71,770 + 1,038 X1 + 1970 X2 dengan R2 = 0,701 dan Y3 = 0,621 + 0,012 X1 + 0,023 X2 dengan R2 0,477 sementara Y4 dipengaruhi oleh X1 dan X2 dengan persamaan Y4 = 0,573 + 0,011 X1 + 0,017 X2 dengan R2 = 0,371. Persamaan-persamaan ini memiliki masing-masing koefisiensi
determinasi (R2) yang menunjukan berapa besar peranan perubahan pada peubah dependen yang diakibatkan atau disebabkan oleh peubah pada peubah dependen. Seperti pada persamaan ( Y2) dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0,701 artinya bahwa sebesar 70,1 % dari jumlah keberhasilan IB satu kali per tahun oleh inseminator berkaitan atau ditentukan secara bersamaan oleh faktor umur dan lama menempuh pendidikan, sementara 29,9 % lagi dipengaruhi oleh faktor lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa faktor karakteristik inseminator seperti umur, lama menempuh pendidikan, waktur kerja inseminator, lama sebagai inseminator, jarak operasional kerja, dan lokasi inseminasi berhubungan erat dengan kinerjan inseminator dalam pelaksanaan IB. Faktor umur dan jenjang pendidikan inseminator memiliki peranan paling nyata terhadap kinerja inseminator dalam menunjang keberhasilan IB pada program UPSUS SIWAB di Kabupaten Badung. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan kepada inseminator yang masih berumur muda rentangan 23-30 tahun dan responden yang baru sebagai inseminator untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan IB ternak khususnya pada ternak sapi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS. atas pelayanan administrasi dan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Ainur Rosikh, Arif Aria, Muridi Qomaruddin. 2015. Analisis Perbandingan Angka Calving Rate Sapi Potong Antara Kawan Alami Dengan Inseminasi Buatan Di Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik. Jurnal Ternak Vol. 06, No.01.
Alton. 1823 dalam Berata, JK. 2008. “Sapi Bali: palsma Nutfah yang Terancam”. Wahana No. 62 Tahun XXIV-Agustus 2008.
Amran. 2009. Pengaruh Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Kantor Departemen Sosial Kabupaten Gorontalo, Jurnal Ichsan Gorontalo, Vol 4, No2edisi Mei-Juli 2009.www.scribd.com/mobile/doc/290631854/Jurnalichsan-Gorontalo-Vol-3-No-2
Anantanyu S. 2011. Kelembagaan petani: peran dan strategi pengembangan kapasitasnya. J Sos Ekon Pertan dan Agribisnis. 7(2):102 –109.
Anggraeni, A., L.Praharani, T.Herawati, P.Situmorang, L.Widyawati, D. Utami, A. Argiris, dan R.Harsono. 2012. Kajian Efektivitas Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Pada Dosis Berbeda. Laporan Pengembangan Inseminasi Buatan. Penelitian Kerjasama Balitnak-BIBD Lembang dan KPSBU Lembang. 27 hlm.
Apriem, F. N. Ihsan dan S.B.Poetro.2012. Penampilan Reproduksi sapiPeranakan OnggoleBerdasarkan Paritas di Kota Probolinggo Jawa Timur.Fakultas Peternakan.Universitas Brawijaya. Malang.
Asima. 2012. Analisa Faktor–faktor yang Mempengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia.Jurnal Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang.
Asima. 2012. Analisa Faktor–faktor yang Mempengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia.Jurnal Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi, Universitas
Negeri Semarang.
Bandini, Yusni. 2003. Sapi Bali. Penerbar Swadaya. Jakarta.
BAPPENAS. 2011. Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging 2014 (Suatu Penelaahan Konkrit). Info Kajian BAPPENAS Volume 8, Nomor 2, Desember 2011. Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS.
Bearden, H. J. &Fuguay, J.W. 1997. Applied Animal Reproduction. 4thEd. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Caraviello, D.Z., K.A. Weigel, P.M. Fricke, M.C. Wiltbank, M.J. Florent, N.B. Cook, K.V. Nordlund, N.R. Zwald and C.L. Rawson. 2006. Survey of Management Practices on Reproductive Performance of Dairy Cattle on Large us Commercial Farms.
Department of Dairy Science, University of Wisconsin, Madison 53706. School of Veterinary Medicine, University of Wisconsin, Madison 537. Journal of Dairy Science. 89(12) : 4723–4735.
Darmadja,D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Desertasi. Program Pascasarjana. Universitas Pajajaran.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan, 2015. Populasi Ternak Besar, Kabupaten Pasaman Barat.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Laporan Tahunan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Laporan Tahunan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2017
Fanani, S., Subagyo , Y.B.P., Dan Lutojo. 2013. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (Pfh) Di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali.Kanisius.Yogyakarta.
Hasan, S, Baba S. 2014. Model pengembangan sapi potong berbasis peternakan rakyat dalam mendukung program swasembada daging sapi nasional. [Internet]. [Diunduh 2017Agus 25]. Tersedia dari: http://repository.unhas.ac.id/jurnal/ unsoed/
Herawati,T.., A.Anggraeni., L.Praharani., D. Utami dan A.Argiris. 2012. Peran Inseminator Dalam Keberhasilan Inseminasi Buatan pada SapiPerah. ImformatikaPertanian, Vol. 21 No.2,81-88
Iswoyo dan P. Widyaningrum. 2008. Performans Reproduksi Sapi Peranakan
Ismoyo dan W. Priyanti. 2000. Performans Reproduksi Sapi Peranakan Simental (Psm) HasilInseminasi buatan di kabupaten SukoharjoJawaTengah. J.IlmiahIlmu-Ilmu Peternakan. 3(4): 124-133.
Martojo, H. 2003. A Simple Selection Program for Smallholder Bali Cattle Farmers. In :Strategis to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. K. Entwistle and D. R. Lindsay (Eds). ACIAR Proc. No. 110. Canberra.Hal: 43-44.
Monica N,Nohe DA, Sifriyani. 2013. Analisis Chi-Squrae dan transformasi data ordinal ke data interval menggunakan method of Succesive Interval (MSI). J Eksponensial 4(2):89-94
Muladno. 2016. Realita di luar kandang II. Dinamika perkembangan peternakan: kapan Indonesia tidak lagi impor daging sapi. Majalah Trobos.Cetakan Pertama Mei 2016.
Nuryanti. S., dan D. K. S. Swastika. 2011. Peran Kelompok Tani Dalam Penerapan Teknologi Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Desember 2011. 29 (2): 115-128. Bogor.
Oltenacu, P. A, T, R.Rounsaville, R.A.Milligan, and R, H.Foote. 1981. Systems analysis for designing reproductive management programs to incease production and profit in diary herds. Journal of Diary Science. 64(10): 2096-2104
Partodihardjo,S.1992.Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta
Wirosuhardjo, Kartomo. 2007. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta : Lembaga Demografi FEUI
Saptana, dkk. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional. PSEKP. Bogor.
Saragih, B, 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB.
Sarini, Ni Putu, Ni Nyoman Suryani, Dan Ni Putu Mariani. 2018. Tantangan Dan Strategi Pengembangan Inseminasi Buatan Dalam Percepatan Pencapaian UPSUS SIWAB Di Propinsi Bali. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Universitas Udayana, Denpasar.
Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Opersional. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Suharno. 2017. Upsus SIWAB jadi prioritas pembangunana peternakan 2017. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 [Internet]. [Diunduh 2019 Jun 21] Tersedia dari: http://www majalahinfovet.com /2017/01/ upsus-siwabjadi-prioritas-
pembangunan.html
Suharno. 2017. Upsus SIWAB jadi prioritas pembangunana peternakan 2017. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 [Internet]. [Diunduh 2019 Jun 21] Tersedia dari: http://www majalahinfovet.com /2017/01/ upsus-siwabjadi-prioritas-
pembangunan.html
Suranjaya, I G., N.P.Sarini., dan M.Dewantari. 2020. Identifikasi Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Kinerja Inseminator Dalam Menunjang Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Program UPSUS SIWAB di Bali. MajalahI lmiah Peternakan, Vol. 23, No. 2, Juni 2020.
Suranjaya, I.G., Dewantari, M., I. K. W. Parimartha, dan Sukanata, I. W. 2017 Profil usaha peternakan babi skala kecil di desa puhu kecamatan payangan kabupaten gianyar, Vol 20 No. 2: 80
Sulaksono, A., Suharyati, S., dan Santoso, E. P. 2010. Penampilan Reproduksi (Servise Per Conception, Lama Bunting dan Selang beranak) Kambing Boerawa Di Kecamatan Gedong Tataan dan Kecamatan Gisting. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.
Sutan S. M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Peranakan Ongole, dan Bali di daerah Transmigrasi Batu Marta Sumatera Selatan. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Taurin, B., S, Dewiki dan S. Y. P. Koeshardini.2000. Inseminasi Buatan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Trijoko. 2008. Pengaruh Pendidikan dan Pengalaman Kerja. Jakarta
Toelihere, M. R.1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Edisi Ketiga. Angkasa. Bandung.
Tomaszewska, M.W., I K Sutama, I G. Putu, dan T. D. Chaniago. 1991.Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Udin, Z. dan T. Afriyani. 2001. Uji Kebuntingan Dini Melalui Analisis Progesteron Dalam Darah Pada Sapi Bali Dara dan Paritas Pertama. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Vol. 07. No. (2) : 6 – 10.
Yupardi, WS. 2009. Sapi Bali, Mutiara Dari Bali. Udayana University Press, Bali
Dwipayana, I G. M., et al., J. Peternakan Tropika Vol. 9 No. 1 Th. 2021: 243-261
Page 261
Discussion and feedback