e-journal FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: Pebruary 3, 2020

Accepted Date:Mart 4, 2020


Editor-Reviewer Article;: A.A.Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani

KUALITAS SILASE KOMBINASI BATANG PISANG DENGAN KEMBANG TELANG (Clitoria ternatea) BERDASARKAN UJI ORGANOLEPTIK

Khristanta. I. M. D. T. A., N. N. Suryani dan I. W. Wirawan

Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Email: [email protected], Telpon: +6289520362285

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level penambahan Clitoria ternatea pada silase batang pisang yang ditinjau dari uji organoleptik. Penelitian ini dilaksanakan di Farm Sesetan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gang Markisa, Denpasar. Pengujian organoleptik dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan A (65% batang pisang + 30% pollar + 5% (molases + EM4)), B (55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)), C (45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)), D (35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)). Variabel yang diamati adalah pH, NH3, VFA total, jamur, tekstur, warna, dan bau. Hasil penelitian menunjukkan pada variabel warna dan bau nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan D, sedangkan variabel jamur dan tekstur nilai tertinggi pada perlakuan A. Penambahan kembang telang dengan level 20% dan 30% (perlakuan C dan D) berpengaruh nyata dapat meningkatkan NH3 dibandingkan pada perlakuan A dan B. Konsentrasi NH3 pada perlakuan D lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A, B dan C masing-masing 327,50%, 407,92% dan 62,86%. Nilai pH dan VFA total tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan. Dapat disimpulkan bahwa pembuatan silase batang pisang dengan penambahan kembang telang 30% dapat meningkatkan kualitas silase baik ditinjau dari NH3 serta pengujian organoleptik yaitu warna dan bau.

Kata kunci :kualitas silase, batang pisang, kembang telang, uji organoleptik

QUALITY OF COMBINATION SILAGE OF BANANA STEMS WITH BUTTERFLY PEA (Clitoria ternatea) BASED ON ORGANOLEPTIC TEST

ABSTRACT

The aim of this study was to determine the recommended level of Clitoria ternatea in terms of organoleptic test. This research was conducted at Sesetan Farm, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University, Jl. Raya Sesetan, Markisa Alley, Denpasar. Organoleptic test was carried out at the Animal Nutrition and Feed Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University. The study design was a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 4 replications. Treatment A (65% banana stem + 30% polar + 5% (molasses + EM4)), B (55% banana stem + 10% C. ternatea + 30% polar + 5% (molasses + EM4)), C (45 % banana stem + 20% C. ternatea + 30% polar + 5% (molasses + EM4)), D (35% banana stem + 30% C. ternatea + 30% polar + 5% (molasses + EM4)). The research variables were


pH, NH3, VFA, fungus, texture, color, and odor. Study showed that the highest color and odor values were obtained in treatment D, while the fungus and texture variables were the highest in treatment A. Addition of C. ternatea with levels of 20% and 30% (treatments C and D) show significant difference can increase NH3 compared to treatments A and B. Concentration of NH3 in treatment D compared treatments A, B and C respectively 327,50%, 407,92% dan 62,86%. The pH and total VFA did not show any significant difference between all treatment. The results of this study can be concluded that 30% C. ternatea can improve silage quality both in terms of NH3 as well as organoleptic test likes color and texture.

Keywords : silage quality, banana steams, Clitoria ternatea, organoleptic test

PENDAHULUAN

Pengaruh iklim sangat menentukan ketersediaan hijauan sebagai pakan. Pakan merupakan faktor yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup ternak, namun ketersediaan pakan berupa hijauan pakan ternak mengalami beberapa kendala antara lain fluktuasi jumlah hijauan yang tidak menentu. Pada musim kemarau ketersediaan hijauan lebih sedikit bila dibandingkan dengan musim penghujan. Rubianti et al. (2010) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas ternak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hijauan pakan ternak terutama pada musim kemarau. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa betapa pentingnya mendapatkan hijauan yang dapat memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak.

Solusi mengatasi kendala penyediaan pakan ternak bisa diatasi dengan cara memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan. Menurut Direktorat Pengembangan Potensi Daerah (2012) data produksi pisang di Indonesia dapat diasumsikan jumlah limbah batang dan bonggol pisang mencapai 2.649.700 ton/tahun. Pemanfaatan limbah hasil perkebunan sebagai pakan ternak dapat memberikan keuntungan berlipat ganda yakni menambah variasi dan persediaan pakan sebagai sumber makanan berserat bagi ternak ruminansia yang mempunyai nilai tambah, baik secara teknis maupun ekonomis, serta mengurangi pencemaran lingkungan (Fatmasari, 2013). Batang pisang termasuk kedalam limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif khususnya untuk ternak ruminansia.

Menurut Murni et al. (2008), tanaman pisang merupakan tanaman asli daerah tropik di Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Indonesia. Indonesia termasuk negara penghasil pisang terbesar, karena 50% dari produksi pisang Asia dihasilkan oleh Indonesia. Didukung dengan laporan Departemen Pertanian (2005), bahwa sentra produksi pisang di Indonesia tersebar di 16 provinsi dan 70 kabupaten. Selama periode tahun 1995 sampai tahun 2002 luas panen pisang berfluktuasi, namun pada tahun 2003-2004 cenderung meningkat. Rata-rata produksi dan produktivitas pisang selama periode tahun 1999 sampai tahun 2003 masing-masing sekitar 4 juta ton dan 13,98 ton per ha.

Menurut Fatmasari (2013) dan Parakkasi (2006) batang pisang yang ada saat ini dan jumlahnya melimpah dimusim panen belum digunakan sebagai bahan pakan karena kandungan nutrien dalam batang pisang rendah dan kadar air yang sangat tinggi yaitu sebesar 86%, sehingga mudah rusak dan tidak dapat disimpan lama. Berdasarkan hasil analisis kimia, batang pisang mengandung senyawa karbohidrat cukup baik, terlihat dari kandungan serat kasarnya sebesar 21,61% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 59,03%. Pemanfaatan batang pisang sebagai komponen ransum ternak ruminan memiliki keterbatasan karena kadar air yang cukup tinggi dengan kandungan protein yang rendah sehingga secara nutrisional perlu upaya lebih lanjut untuk meningkatkan nilai manfaatnya (Dhalika et al., 2012). Pemenuhan kandungan nutrien seperti protein dapat diperoleh dari tanaman jenis leguminosa.

Kembang telang adalah leguminosa yang berkualitas tinggi dan merupakan jenis kacang-kacangan yang kaya akan protein, dijuluki alfalfa tropis, sering disebut pula sebagai bank protein yang dapat tumbuh dengan biaya produksi yang rendah (Cook et al., 2005). Selain itu potensi kembang telang sebagai pakan yang baik karena memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan juga sangat disukai ternak (Suarna, 2005). Kalamani dan Gomez (2001) melaporkan bahwa protein kasar tanaman berkisar 14-20%, sedangkan kadar protein kasar dan serat kasar dalam daun masing-masing adalah 21,5% dan 29%. Biji kembang telang mengandung 25-38% protein, gula total 5% dan lemak 10%.

Sentuhan teknologi diperlukan untuk mengolah batang pisang dan kembang telang sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak pada saat musim kemarau. Salah satu cara pengolahan atau pengawetan yang dapat digunakan adalah bentuk silase. Silase merupakan suatu produk yang dihasilkan dari penyimpanan dan fermentasi pakan segar dengan kondisi anaerob. Teknologi silase banyak diterapkan pada pakan berbentuk hijauan, dan jarang dicobakan pada batang tanaman dengan kadar air yang tinggi seperti batang pisang ini.

Silase batang pisang dengan penambahan berbagai bahan pakan sudah banyak dilakukan. Anjaneya (2015) melaporkan pengujian organoleptik silase batang pisang menghasilkan warna yang kuning kecoklatan, tekstur yang kenyal, aroma asam tidak menyengat, tidak ada jamur yang tumbuh dan pH yang dihasilkan yaitu 5,05. Michael et al. (2016) melaporkan pengujian silase batang pisang yang diinokulasi dengan indigenous microorganisms (IMO) menghasilkan tekstur halus sedikit basah, warna kuning kecoklatan, aroma asam tidak menyengat. Informasi tentang penelitian silase batang pisang yang ditambahkan dengan kembang telang pada saat ini belum ada.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas dari silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang (Clitoria ternatea) dilihat dari organoleptiknya.

MATERI DAN METODE

Bahan pembuatan silase

Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini, antara lain; 1) batang pisang yang digunakan dalam pembuatan silase; 2) bahan campuran silase, antara lain: kembang telang, pollar, dan molasis + EM4 sebanyak 5%.

Alat-alat pembuatan silase

Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini, antara lain; 1) kantong plastik digunakan untuk menyimpan silase; 2) pisau digunakan untuk memotong-motong batang pisang dengan ukuran 4 sampai 5 cm sebelum batang pisang dilayukan; 3) nampan digunakan untuk pencampuran batang pisang sesuai dengan perlakuan; 4) timbangan digunakan untuk menimbang batang pisang dengan bahan lainnya sebelum dicampur dan dimasukkan kedalam silo.

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dan pengujian organoleptik dilaksanakan di Farm Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gang Markisa, Denpasar. Pengujian pH, NH3, dan VFA total dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2019.

Cara pembuatan silase

Cara pembuatan silase ini, antara lain; 1) batang pisang dipotong-potong dengan ukuran 4-5 cm. Batang pisang selanjutnya dilayukan selama 1-2 hari; 2) setelah batang pisang dilayukan selanjutnya batang pisang ditimbang dan dicampur sesuai dengan perlakuannya serta 4 ulangannya; 3) campurkan sehomogen mungkin, kemudian masukan ke dalam kantong plastik; 4) simpan dalam kedap udara (anaerob) selama 21 hari; 5) buka kantong plastik lalu uji organoleptiknya.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) berdasarkan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuannya sebagai berikut:

  • A)    65% batang pisang + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)

  • B)    55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)

  • C)    45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)

  • D)    35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)

Peubah yang diamati dan cara kerjanya

Peubah yang akan diamati dan cara kerja dalam penelitian ini adalah

  • a.    pH, didapatkan dengan cara pengukuran silase dengan pH meter.

  • b.    NH3, didapatkan dengan menggunakan alat spektrofotometer.

  • c.    VFA Total, didapatkan dengan menggunakan alat velp distilator.

  • d.    Bau, didapatkan dengan cara mencium bau yang dihasilkan dari silase.

  • e.    Tekstur, didapatkan dengan cara menyentuh silase.

  • f.    Warna, didapatkan dengan cara melihat warna langsung dari silase yang dihasilkan.

  • g.    Jamur, didapatkan dengan cara melihat dan menghitung jumlah jamur yang ada pada silase yang dihasilkan.

Tabel skoring kriteria silase yang baik menurut Deptan (1980) dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Kriteria penilaian silase

Kriteria

Penilaian

Baik Sekali

Baik

Sedang

Buruk

Jamur

Tidak Ada

Sedikit

Lebih Banyak

Banyak

Tekstur

Halus

Agak Halus

Kurang Halus

Kasar

Warna

Hijau

Kuning

Kecoklatan

Coklat Kehitaman

Kekuningan

Bau

Sangat Asam

Asam

Kurang Asam

Busuk

Skoring

1

2

3

4

pH

3,2 – 4,5

4,2 – 4,5

4,5 – 4,8

> 4,8%

Sumber : Departemen Pertanian (1980).

Analisis data

Data organoleptik yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis menggunakan analisis frekuensi relatif dengan menghitung jumlah atau persentase panelis yang memilih skala tertentu.Sedangkan data pH, NH3 dan VFA total yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam, apabila nilai rataan perlakuan berpengaruh nyata pada peubah (P<0,05), dilanjutkan dengan uji BNT (Steel and Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengujian organoleptik

Hasil panelis pengujian kualitas silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang berdasarkan uji organoleptik disajikan pada Tabel berikut ini :

Tabel 2. Kualitas silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang berdasarkan uji

organoleptik

Variable                                        Jumlah Frekuensi

Skoring

Perlakuan A

Perlakuan B

Perlakuan C

Perlakuan D

1

0

0

0

0

2

9

3

3

3

Jamur

3

1

7

6

4

4

0

0

1

3

1

4

0

1

1

2

2

5

6

2

Tekstur

3

4

5

3

1

4

0

0

0

6

1

0

1

1

4

2

4

1

3

2

Warna

3

3

7

3

3

4

3

1

3

1

1

1

1

0

2

2

3

5

8

7

Bau

3

5

2

0

1

4

1

2

2

0

Keterangan :

1) A = 65% batang pisang + 30% pollar + 5% (molases + EM4)

B = 55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)

C = 45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)

D = 35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molases + EM4)

2) Skoring 1 menunjukkan nilai silase baik sekali

Skoring 2 menunjukkan nilai silase baik

Skoring 3 menunjukkan nilai silase sedang

Skoring 4 menunjukkan nilai silase buruk

Hasil pada variable jamur yaitu perlakuan A dengan skoring 2 sebanyak 90% dan skoring 3 sebanyak 10%. Disusul dengan perlakuan B dengan skoring 2 sebanyak 30% dan skoring 3 sebanyak 70%. Perlakuan C dengan skoring 2 sebanyak 30%, skoring 3 sebanyak 60%, dan skoring 4 sebanyak 10%. Penilaian selanjutnya pada perlakuan D dengan skoring 2 sebanyak 30%, skoring 3 sebanyak 40% dan skoring 4 sebanyak 30%. Secara beurutan penilaian tertinggi hingga terendah yaitu pada perlakuan A, B, C, dan D.

Variable tekstur pada perlakuan A memiliki penilaian dengan skoring 1 sebanyak 40%, skoring 2 sebanyak 20%, dan skoring 3 sebanyak 40%. Perlakuan B skoring 2 sebanyak 50% dan skoring 3 sebanyak 50%. Pada perlakuan C skoring 1 sebanyak 10%, skoring 2 sebanyak 60%, dan skoring 3 sebanyak 30%. Selanjutnya pada perlakuan D skoring 1 sebanyak 10%, skoring 2

sebanyak 20%, skoring 3 sebanyak 10% dan skoring 4 sebanyak 60%. Dengan demikian secara berurutan penilaian tertinggi hingga terendah yaitu A, C, B, dan D.

Pada variable warna perlakuan A memiliki skoring 2 sebanyak 40%, skoring 3 sebanyak 30%, dan skoring 4 sebanyak 30%. Pada perlakuan B skoring 1 sebanyak 10%, skoring 2 sebanyak 10%, skoring 3 sebanyak 70%, dan skoring 4 sebanyak 10% orang. Selanjutnya pada perlakuan C skoring 1 sebanyak 10% orang, skoring 2 sebanyak 30%, skoring 3 sebanyak 30%, dan skoring 4 sebanyak 30%. Perlakuan D skoring 1 sebanyak 40%, skoring 2 sebanyak 20%, skoring 3 sebanyak 30%, dan skoring 4 sebanyak 10%. Secara berurutan dari penilaian tertinggi hingga terendah yaitu D, B, C, dan A.

Variable bau pada perlakuan A memiliki skoring 1 sebanyak 10%, skoring 2 sebanyak 30%, skoring 3 sebanyak 50%, dan skoring 4 sebanyak 10%. Perlakuan B skoring 1 sebanyak 10%, skoring 2 sebanyak 50%, skoring 3 sebanyak 20%, dan skoring 4 sebanyak 10%. Selanjutnya pada perlakuan C skoring 2 sebanyak 80%, dan skoring 4 sebanyak 20% orang. Perlakuan D memiliki penilaian tertinggi dengan skoring 1 sebanyak 20%, skoring 2 sebanyak 70%, dan skoring 3 sebanyak 10%. Secara berurutan penilaian tertinggi hingga terendah yaitu perlakuan D, C, B, dan A.

Pengujian pH, NH3, dan VFA Total Silase

Hasil pengujian pH, NH3, dan VFA Total silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang disajikan pada Tabel dibawah ini :

Tabel 3. Kualitas silase kombinasi batang pisang dengan kembang telang berdasarkan pengujian

pH, NH3, dan VFA Total.

Variabel

Perlakuan1)

SEM3)

A

B

C

D

pH

5,30a2)

5,68a

5,55a

5,22a

0,14

NH3

1,20c

1,01c

3,15b

5,13a

1,35

VFA Total

177,61a

197,15a

159,88a

159,13a

19,40

Keterangan :

1. A (65% batang pisang + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)) “kontrol”,

B (55% batang pisang + 10% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)),

C (45% batang pisang + 20% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)),

D (35% batang pisang + 30% C. ternatea + 30% pollar + 5% (molasis + EM4)).

2. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)

3. SEM = Standard Error of The Treatment Mean

Pengukuran pH pada silase batang pisang dengan berbagai level penambahan kembang telang 10%, 20%, 30% (perlakuan A, B, C dan D) masing-masing 5,30, 5,68, 5,55 dan 5,22 (Tabel 4.2). Nilai pH pada perlakuan A lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan D yaitu sebesar 1,53%. Nilai pH pada perlakuan B lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C dan D

masing masing sebesar 2,34% dan 8,81%. Nilai pH pada perlakuan B dan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A masing masing sebesar 7,17% dan 4,72%, Nilai pH perlakuan C lebih tinggi dibandingkan perlakuan D yaitu sebesar 6,32%. Secara statistik nilai pH pada silase batang pisang dengan berbagai level kembang telang menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05).

NH3 pada silase batang pisang dengan berbagai level penambahan kembang telang 20% dan 30% mengalami peningkatan (perlakuan C dan D) masing-masing 3,15 mmol/l dan 5,13 mmol/l dibandingkan dengan nilai NH3 perlakuan A dan B sebesar 1,20 mmol/l dan 1,01 mmol/l (Tabel 4.2). Nilai NH3 pada perlakuan A lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B yaitu sebesar 18,81%. NH3 perlakuan C dan D lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A yaitu masing-masing sebesar 162,50% dan 327,50% . NH3 perlakuan C dan D lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B yaitu masing-masing sebesar 211,88% dan 407,92%. Nilai NH3 perlakuan D lebih tinggi dibandingkan dengan NH3 perlakuan C yaitu sebesar 62,86%. Secara statistik nilai NH3 pada silase batang pisang dengan level 20% dan 30% (perluan C dan D) kembang telang menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

VFA pada silase batang pisang dengan berbagai level penambahan kembang telang 10%, 20%, 30% (perlakuan A, B, C dan D) masing-masing 177,61 mmol/l, 197,15 mmol/l, 159,88 mmol/l dan 159,13 mmol/l (Tabel 4.2). VFA total pada perlakuan A lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C dan D masing-masing yaitu 11,09% dan 11,58%. VFA total pada perlakuan B lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A, C, dan D masing-masing yaitu 11%, 23,31%, dan 23,89%. VFA total pada perlakuan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan D yaitu sebesar 0,47%. Secara statistik nilai VFA total pada silase batang pisang dengan berbagai level kembang telang menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05).

Pembahasan

Pengujian organoleptik

Penilaian tertinggi pada variabel jamur yaitu pada perlakuan A sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase tergolong baik. Jamur dapat dijadikan sebagai indikator karena jamur tidak dapat hidup pada lingkungan yang asam, sehingga semakin banyak jamur pada silase maka dapat dikatakan kualitas silase tersebut kurang baik karena suasana asam tidak terjadi. Kojo (2015) menyatakan pada keadaan asam, jamur tidak dapat tumbuh dan hanya bakteri saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam.

Variabel tekstur memperoleh penilaian tertinggi pada perlakuan A sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan

berkualitas baik sekali. Menurut Kartadisastra (1997) silase yang baik adalah teksturnya tidak lembek, berair, berjamur dan tidak menggumpal, untuk menilai tekstur ini diperlukan indra peraba untuk membedakan mana silase yang berkualitas baik dan tidak. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa terjadinya penggumpalan dan keberadaan lendir disebabkan oleh adanya aktivitas organisme pembusuk. Keadaan ini dapat terjadi, apabila ada udara yang masuk ke dalam silo sehingga aktivitas metabolisme organisme berjalan lagi. Syarifuddin (2006) melaporkan bahwa tekstur silase pada berbagai umur pemotongan (20 hari hingga 80 hari) menunjukkan tekstur yang remah. Hal ini menunjukkan bahwa tekstur halus pada silase dipengaruhi oleh bahan pembuatan silase seperti umur dari bahan yang digunakan yaitu batang pisang melebihi dari 80 hari.

Penilaian tertinggi pada variabel warna yaitu pada perlakuan D dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik sekali. Saun and Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan memiliki warna seperti bahan asalnya. Perubahan warna pada bahan silase disebabkan karena proses fermentasi yang kedap udara, Rekohadiprodjo (1998) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami ensilase disebabkan oleh proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai oksigen tanaman habis. Gula akan teroksidasi menjadi CO2 dan air, panas juga dihasilkan pada proses ini sehingga temperatur naik. Hal ini menyebabkan turunnya nilai kandungan nutrisi pakan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang dan kecernaaan protein turun. Lingkungan yang kedap udara akan memiliki temperatur yang lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan warna. Temperatur yang tidak dapat terkendali akan menyebabkan silase berwarna hitam, hal ini menyebabkan turunnya nilai kandungan nutrisi pakan, karena banyak sumber karbohidrat yang hilang, keadaan ini terjadi pada temperatur 55ºC (Kojo, 2015). Menurut Ensminger dan Olentine (1978), bahwa warna coklat tembakau, coklat kehitaman, karamel (gula bakar) atau gosong menunjukkan silase kelebihan panas.

Variabel bau memperoleh penilaian tertinggi pada perlakuan D dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik sekali. Pada pengamatan bau, silase berkualitas sangat baik yaitu memiliki bau asam khas silase. Bau ini dihasilkan dari aktivitas fermentasi oleh bakteri asam laktat, sedangkan silase pada perlakuan D termasuk dalam silase berkualitas baik, karena pada perlakuan D terdapat aroma asam yang pekat dan sedikit berbau amonia. Aroma amonia ini disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi bakteri Clostridium. Bakteri ini menyebabkan terjadinya proteolisis dan

sebagai salah satu indikator terjadinya proteólisis adalah terbentuknya amonia. Bakteri ini dapat berkembang jika keadaan anaerob terganggu (Saun and Heinrichs, 2008). Utomo (1999) menambahkan bahwa aroma silase yang baik agak asam atau tidak tajam, bebas dari bau manis, bau ammonia dan bau H2S. Silase dengan atau tanpa penambahan starter memiliki aroma cenderung asam, sehingga setiap perlakuan yang berbeda tidak mempengaruhi aroma silase.

Secara keseluruhan penilaian silase memperoleh skoring 2 sehingga dengan tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980) maka kualitas silase dapat digolongkan berkualitas baik. Hasil penelitian dari Qoiyum et al. (2019) silase batang pisang yang ditambahkan dengan rumput lapang dan konsentrat menghasilkan tekstur silase yang agak keras atau kasar. Warna yang dihasilkan pada silase yaitu coklat kemudian bau silase bersifat asam. Jaelani et al. (2018) menyatakan bahwa silase batang pisang yang ditambahkan dengan suplemen organik cair (SOC) menghasilkan warna hijau kekuning-kuningan, bau silase yang asam, tekstur padat, dan tidak ada jamur.

Pengujian pH, NH3, dan VFA total silase

Perlakuan A menunjukkan nilai 5,30 dan nilai pH semua perlakuan berkisar antara 5,225,60 dengan kisaran nilai pH tersebut bernilai buruk menurut tabel kriteria penilaian silase Departemen Pertanian (1980). Macaulay (2004) juga berpendapat bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu baik sekali dengan pH 3,2-4,2, baik pH 4,2-4,5, sedang pH 4,5- 4,8, dan buruk pH>4,8. Nilai pH erat kaitannya dengan variabel bau pada pengujian organoleptik.

Kondisi pH diatas 5 diakibatkan berkembangnya bakteri pembusuk yang dapat mengubah gula dalam hijauan menjadi asam-asam organik seperti asam asetat, dan juga alkohol (Hanafi, 2008). Secara alami bakteri asam laktat akan memfermentasikan gula menjadi asam laktat, dengan begitu akan mampu menurunkan pH dan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Clostridium yang mampu memfermentasikan asam laktat dan gula menjadi asam butirat. Selain itu nilai pH yang tinggi disebabkan oleh serat kasar (SK) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tinggi sehingga menyebabkan penguraian karbohidrat oleh bakteri asam laktat (BAL) untuk memproduksi asam laktat tercapainya lambat (Lekyo, 2018). Secara berurutan nilai SK dan BETN pada A, B, C, dan D ialah 21,58% dan 33,59%, 21,22% dan 35,99%, 21,14% dan 36,95%, serta 19,00% dan 38,39% (Suarna et al., 2019).

Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Amonia pada silase merupakan hasil hidrolisis protein menjadi amonia oleh bakteri Clostridium. Hal tersebut terjadi karena diduga

bahan yang digunakan dalam silase yaitu kembang telang mulai mengalami kerusakan (Bangsa et al., 2015). Selain itu, dengan adanya penambahan kembang telang maka kandungan protein kasar (PK) dalam silase mengakibatkan produksi NH3 meningkat (Indah, 2016). Pengukuran protein kasar pada bahan pakan didasarkan pada suatu analisis yang mengukur jumlah N di dalam bahan pakan tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa NH3 pada perlakuan C, dan D menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Rendahnya kandungan protein kasar (PK) pada perlakuan A (11,11%), perlakuan B (12,8%), dan perlakuan C (14,30%) bila dibandingkan dengan perlakuan D (15,90%) (Suarna et al., 2019).

Kadar NH3 pada perlakuan D lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Dhalika et al. (2015) menyatakan silase rumput benggala yang ditambahkan ekstrak cairan asam laktat (ECAL) produk fermentasi anaerob batang pisang dengan kadar batang pisang 25% dan kadar 75% molases menghasilkan NH3 yang cukup tinggi yaitu 4,07 mmol/l, dengan demikian silase batang pisang 35% yang ditambahkan kembang telang 30% pada perlakuan D menghasilkan NH3 yang lebih baik (5,13 mmol/l).

VFA merupakan komponen alami dari minuman beralkohol seperti cider dan wine (Blanco Gomis et al., 2001) kadar yang berlebihan dapat memiliki efek negatif pada pengujian organoleptik. Bau asam yang dihasilkan tersebut tidak dominan pada tiap perlakuan, hal ini disebabkan karena VFA total yang diperoleh berbeda tidak nyata (P>0,05). Menurut Tuo (2016) dinyatakan didalam batang pisang juga terdapat komponen lignoselulosa yang merupakan bagian terbesar yang menyusun tumbuh-tumbuhan terdiri dari 26,6% selulosa, 20,43% hemiselulosa, dan 9,92% lignin. Banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik selulosa (Saputra et al., 2019). Selain itu, batang pisang memiliki senyawa karbohidrat yang cukup baik, terlihat dari kandungan serat kasarnya (SK) sebesar 21,61% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 59,03% (Dhalika et al., 2012). Penelitian Christi et al. (2014) VFA total dari silase batang pisang dengan ditambahkan aditif 7% molases menghasilkan 136.00 mmol/l, silase batang pisang 55% yang ditambahkan 10% kembang telang perlakuan B menghasilkan VFA total lebih tinggi (197.15 mmol/l).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dari uji organoleptik penilaian bau dan warna dapat meningkatkan kualitas silase batang pisang yang ditambahkan kembang telang dan penambahan kembang telang dengan level 30% dapat meningkatkan kualitas silase ditinjau dari penilaian bau dan warna serta didukung dengan meningkatnya NH3 pada silase.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucap syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga penulis diberi kelancaran, kekuatan, dimampukan dalam melaksanakan penelitian ini. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bapak Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., kedua dosen pembingbing, orang tua, serta teman-teman seperjuangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anjaneya, S. N. 2015. Evaluation of Banana Plant (Musa paradisiaca) Waste Silage Based Diet on Rumen Fermentation Characteristics and The Performance of Osmanabadi Goats.

Bangsa, D. W., W. Yusuf dan Erwanto. 2015. Pengaruh Penambahan Tingkat Tepung Gaplek Pada Pembuatan Silase Limbah Sayuran Terhadap Kualitas Fisik dan Sifat Kimiawi Silase. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 163-169.

Blanco Gomis., J. J. M. Alonso., I. M. Cabrales and P. A. Abrodo. 2001. Gas Chromatographic Analysis of Total Fatty Acids in Cider. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 49(3):1260-3. Diakses tanggal 24 Februari 2020.

Christi R. F., A. B. Hakim., Lesha I., dan Atun B. 2014. Uji Karakteristik Kandungan VFA Dan pH Hasil Fermentasi Aaerob (Ensilase) Batang Pisang (Musa paradisiaca Val.) dengan Penambahan Molases sebagai Bahan Aditif. Jurnal Ilmu Pertanian dan Peternakan, Vol. 2.

Cook B. G., B. C. Pengelly., S. D. Brown., J. L. Donnelly., D. A. Eagles., M. A. Franco., J. Hanson., B. F. Mullen., I. J. Partridge., M. Peters., and R. SchultzeKraft. 2005. Tropical Forages. Brisbane (Australia): CSIRO, DPI&F (Qld), CIAT and ILRI.

Departemen Pertanian. 1980. Silase sebagai Makanan Ternak. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. Laporan Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.

Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang. Dikutip dari www.deptan.go.id. Diakses tanggal 20 Februari 2019.

Dhalika, T., Mansyur dan A. Budiman. 2012. Evaluasi Karbohidrat dan Lemak Batang Tanaman Pisang (Musa paradisiaca) Hasil Fermentasi Anaerob dengan Suplementasi Nitrogen dan Sulfur Sebagai Bahan Pakan. Pastura 2 (2): 97-101.

Direktorat Pengembangan Potensi Daerah. 2012. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang. Riau.

Ensminger M. E. and C. G. Olentine. 1978. Feed and NutritionComplate. The Ensminger Publishing Company. Clovis. California. USA.

Fatmasari. 2013. Pengaruh Penambahan Akselerator Terhadap Nilai Kecernaan Silase Batang Pisang (Musa  Paradisiaca) Secara in Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas

Sebelas Maret, Surakarta.

Hanafi, N. D., 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Medan: USU Repository. Diakses tanggal 26 Oktober 2019

Indah, A. S. 2016. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Silase Pakan Lengkap Berbahan Utama Batang Pisang (Musa Paradisiaca) dengan Lama Inkubasi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Jaelani, A., T. Rostini., dan Misransyah. 2018. Pengaruh Penambahan Suplemen Organik Cair (SOC) dan Lama Penyimpanan Terhadap Derajat Keasaman (pH) dan Kualitas Fisik pada Silase Batang Pisang (Musa paradisiacal). Kalimantan.

Kalamani A, and S. M. Gomez. 2001. Genetic variability in Clitoria spp. Ann Agric Res. 22:243-245.

Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Kojo, R. M. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureum CV.Hawaii). Jurnal. Zootek Vol. 35(1): 2129

Lekyo. 2018. Batang Pisang Fermentasi untuk Kambing, Domba, dan Sapi. Dikutip pada https://kambingjoynim.com/batang-pisang-fermentasi-untuk-kambing-domba-sapi-kah/. Tanggal 13 Oktober 2019.

Macaulay, A. 2004. Evaluating Silage Quality. https://www1.agric.gov.ab.ca. Diakses tanggal 23 Desember 2019.

Michael, W. D., C. Keala., and J. Rajesh. 2016. Banana Silage: An Alternative Feed for Swine. University of Hawai’i at Mānoa.

Murni, R. Suparjo, Akmal, dan Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Jambi.

Parakkasi, A. 2006. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit Indonesia (UI-Press). Jakarta. Hlm 1, 7, 12-13

Qoiyum, S., R. K. Dewi., dan D. A. Kurnia. 2019. Kualitas Fisik dan Palatabilitas Silase Batang Pisang (Musa paradisiaca) sebagai Pakan Ternak Domba Ekor Gemuk. Jurnal Ternak, Vol.10.

Reksohadiprodjo, S, 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.

Rubianti, P. T. H., Fernandez., H. H. Marawali., dan E. Budisantoso. 2010. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Hay Clitoria ternatea dan Centrosema cv Cavalcade pada Sapi Bali Lepas Sapih. Bogor (Indonesia): Puslitbang Peternakan. Hlm. 177-181

Saputra, I K. T. A., A. A. A.S.Trisnadewi, dan I. G. L. O. Cakra. 2019. Kecernaan In Vitrodan Produk Fermentasi dari Silase Jerami Padi yang Dibuat dengan Penambahan Cairan Rumen. Journal Peternakan Tropika. Denpasar, Bali.

Saun R. J. V. & A. J. Heinrichs. 2008. Troubleshooting silage problems. How to identify potential problem. In: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference, Pensylvania. Penn State Collage. P. 2-10.

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta.

Suarna, I. W. 2005. Kembang telang (Clitoria ternatea) tanaman pakan dan  penutup tanah.

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005.  Bogor

(Indonesia): Puslitbang Peternakan. Hlm. 95-98.

Suarna, I. W., Mudita, I. M., dan Wirawan, I. W. 2019. Kombinasi Silase Batang Pisang dan Hijauan Kembang Telang (Clitoria ternatea) Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Kambing Peranakan Etawa. Laporan Akhir Tahun. Penelitian Unggulan Udayana.

Syarifuddin, N. A. 2006. Karakteristik dan Persentase Keberhasilan Silase Rumput Gajah pada Berbagai Umur Pemotongan. Fakultas Peternakan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Banjarmasin

Tuo, M. 2016. Kandungan Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin Silase Pakan Lengkap Berbahan Utama Batang Pisang (Musa paradisiaca) dengan Lama Inkubasi Yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Utomo, R. 1999. Teknologi Pakan Hijauan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Khristanta. I. M. D. T. A., et al, Peternakan Tropika Vol. 8 No. 1 Th. 2020 : 46 - 59

Page 59