e-journal

FAPET UNUD


e-Journal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: Juny 14, 2019

Accepted Date: Juny 29, 2019


Editor-Reviewer Article;: A. A. Pt.Putra Wibawa & Eny Puspanii

Kualitas Fisik Daging Babi Landrace Persilangan yang Dilayukan Secara Tradisional

Kristiawan, I. M., N. L. P. Sriyani., dan I. N. T. Ariana

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali E-mail: [email protected]. Hp. 0857899694993

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelayuan daging secara tradisional terhadap kualitas fisik daging babi Landrace persilangan dan waktu optimal pelayuan daging secara tradisional untuk mendapatkan kualitas daging babi yang baik. Materi penelitian menggunakan daging babi Landrace persilangan pada bagian loin pada otot LD (Longisimus dorsi). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan yaitu P0 = daging segar yang tidak dilayukan, P1 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 8 jam, P2 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 16 jam, P3 pelayuan daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) selama 24 jam pada suhu ruang 28-290C. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah nilai pH, warna daging, daya ikat air, susut masak dan susut mentah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik pelayuan secara tradisional daging babi Landrace persilangan berbeda nyata (P<0,05) terhadap nilai pH, warna daging, daya ikat air, susut masak dan susut mentah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional dapat meningkatkan kualitas fisik daging babi Landrace persilangan. Lama waktu pelayuan daging babi secara tradisional yang optimal untuk menghasilkan kualitas fisik daging babi yang baik adalah selama 8 jam dilihat dari warna daging yang merah dan daya ikat air yang tinggi diikuti dengan susut masak dan susut mentah yang rendah.

Kata kunci:pelayuan tradisional, daging babi, kualitas daging, daya ikat air, susut masak

The Physical Quality of Landrace Pork Which Aging in The Traditional Way

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of traditional meat aging on the physical quality of Landrace pork and the optimal length of time for traditional meat aging to get good quality pork. The research material used landrace pork loin on LD (Longisimus Dorsi). The design used was Completely Randomized Design (CRD) with four treatments and four replications, namely P0 = fresh meat that was not aging, P1 = meat aging the muscle part of LD (Longisimus Dorsi) during 8 hours, P2 = meat aging the muscle part LD (Longisimus Dorsi) during 16 hours, P3 = meat aging the muscle part of the LD (Longisimus Dorsi) during


24 hoursat room temperature 28-290C. The variables observed in this study were pH measurement, meat color, water holding capacity, cooking loss, weep loss. The results showed that the traditional foraying statistics of Landrace pork crosses were significantly different (P <0.05) on pH value, meat color, water holding capacity, cooking loss, weep loss. The conclusion of this study is that Landrace pork crossing can improve the physical quality of crossing Landrace pork. The optimal length of pork delivery time to produce good quality pork for 8 hours for the color of red meat and high water holding capacity with cooking loss and low weep loss.

Keywords: traditional aging, pork, quality of pork, water holding capacity, cooking loss

PENDAHULUAN

Ternak babi merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014) menyatakan bahwa ternak babi di Indonesia yang merupakan sumber protein hewani berupa daging mampu menyediakan sebanyak 10,43% dari produksi total daging di Indonesia. Ternak babi yang sering dimanfaatkan sebagai sarana sesaji maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat Bali adalah babi lokal (babi Bali) dan babi ras (Landrace) karena masyarakat Bali mayoritas beragama hindu yang tidak melarang untuk mengkonsumsi daging babi. Babi bali juga dipelihara untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat, contohnya untuk kebutuhan babi guling di Bali (Budaarsa, 2002; Budaarsa 2006).Meningkatnya permintaan daging babi dalam negeri sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk non muslim dan kunjungan wisatawan mancanegara yang terus meningkat (Budaarsa, 2012).

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 2015). Kebutuhan protein hewani umumnya diperoleh dari daging sapi, kambing, babi, unggas dan ikan. Salah satu yang menjadi pilihan adalah daging babi dimana daging babi merupakan daging yang bergizi untuk dikonsumsi (Antara et al., 2008).Daging babi merupakan salah satu komoditas penting ditinjau dari aspek gizi, sosial budaya, dan ekonomi. Industri karkas babi mempunyai prospek ekonomi yang cukup bagus, karena usaha peternakan babi relatif mudah dikembangkan dan daya reproduksi tinggi, untuk memenuhi permintaan pasar secara kuantitas, produsen juga diharapkan dapat menyediakan daging babi yang berkualitas (Tobing, 2012 ).

Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperature di atas titik beku

daging (-1,50C) (Soeparno, 2015). Pelayuan dibagi menjadi dua tipe, yaitu pelayuan pada suhu rendah atau cooler conditioning pada kisaran suhu 0-50C, dan pelayuan suhu tinggi atau high temperature conditioning pada kisaran suhu 15-400C (Pearson dan Dutson, 1985). Pelayuan dengan suhu rendah yaitu kisaran 0-50C sering dilakuakan oleh industri, sedangkan pelayuan dengan suhu tinggi yaitu kisaran 15-400C biasanya dilakukan oleh masyarakat yang hanya menggantung daging pada suhu kamar atau ruang terbuka. Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigormortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigormortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses coldshortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan dihasilkan daging yang tidak empuk/alot (Buckle et al.,2009).

Menurut Soeparno (2015), kondisi normal pH akhir daging pH ultimat normal daging diukur 24 jam dari waktu penyembelihan adalah sekitar 5,4 sampai 5,8. Pada prinsipnya pelayuan suhu rendah atau suhu tinggi berpengaruh terhadap mempercepat atau memperlambatnya laju penurunan pH. Pelayuan dengan suhu rendah dapat memperlambat laju penurunan pH, sedangkan pelayuan dengan suhu lebih tinggi dapat mempercepat laju penurunan pH. Pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air dan menurunkan susut masak. Daya ikat air dan susut masak mempunyai hubungan berbanding terbalik. Bila daya ikat air tinggi, maka susut masak akan rendah. Sebaliknya, bila daya ikat air rendah maka susut masak akan tinggi, peningkatan daya ikat air selama pelayuan disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara protein dan air, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau karena melemahnya ikatan miofibril (aktin dan miosin) (Soeparno, 2015).Penelitian Sriyani et al. (“un-published”), menyatakan bahwa pelayuan dapat meningkatkan kualitas fisik karkas babi bali yang dilayukan selama 2 hari pada suhu 00C yaitu meningkatkan daya ikat air dan menurunkan susut masak dan susut mentah.

Di Bali pelayuan pada karkas babi tidak umum dilaksanakan di pasar atau di rumah potong hewan, tetapi secara tidak sengaja daging babi yang dipasarakan di pasar-pasar tradisional mengalami proses pelayuan pada suhu kamar atau pada ruang terbuka. Selain itu di desa-desa di Bali pada upacara adat juga banyak terjadi pelayuan pada suhu kamar. Daging babi hanya digantung begitu saja sebelum digunakan atau sebelum adanya konsumen yang membeli dan waktu/lamanya tidak tentu. Data tentang pengaruh pelayuan daging babi Landrace persilangan dan waktu atau lama pelayuan yang optimal terhadap kualitas fisik

daging yang baik belum ada, oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penelitian ilmiah mengenai kualitas fisik daging babi Landrace persilangan yang dilayukan secara tradisional.

MATERI DAN METODE

Daging babi

Materi penelitian menggunakan daging babi Landrace persilangan pada bagian loin pada otot LD (Longisimus dorsi). Babi yang digunakan umur 6 bulan dan berat potong 100125kg, pengambilan sampel daging di RPH Pesanggaran, dimana babi ini biasanya dipotong dan dijual di pasar-pasar tradisional.

Alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meat colour fan, plastik, pisau, gunting, timbangan analitik, tisu, kertas tempel, alat sentrifuge, tali raffia, waterbath, sterilisasi alat, alat penggantung, pH meter, aquades, larutan penyangga (buffer) dan alat tulis untuk mencatat hasil yang diperoleh selama penelitian.

Tempat dan lama penelitian

Penelitian dilaksanakan di Lab. Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Februari – 2 Maret 2019.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan lama pelayuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan. Perlakuan lama pelayuan yang akan dicobakan pada penelitian ini: P0    : Daging segar yang tidak dilayukan

P1    : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 8jam

P2    : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 16jam

P3    : Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 24jam

Pelayuan daging bagian loin dilakukan pada suhu ruang 28-290C. Setelah dilakukan pelayuan ini maka dilaksankan uji kualitas fisik di Lab. Teknologi Hasil Ternak dan Mikrobiologi Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Variabel penelitian

Warna daging

Pengukuran warna daging menggunakan alat meat colour fan. Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukaan otot dan mencocokanya dengan alat

warna daging. Nilai skor warna ditentukan berdasakran skor warna yang paling sesuai dengan warna daging. Skor warna daging terdiri atas enam skor.

Pengukuran pH

Sebelum melakukan pengukuran pH meter dikalibrasi dengan larutan penyangga (buffer) pH 4 dan 7, demikian pula elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Sampel daging ditimbang seberat 10 gram dihaluskan dan dicampur dengan 10 ml aquades hingga homogen dan kemudian diukur dengan pH meter. Elektroda gelas pada pH meter dicuci dengan aquades dan dikeringkan dengan tissu. Pengukuran dilakukan tiga kali dan hasilnya dirata sebagai nilai pH daging.

Pengukuran daya ikat air

Daya ikat air dihitung dengan pendekatan sentrifugasi. Daging seberat 2,5 gram dimasukan ke dalam plastik lalu diikat dan di sentrifuge dengan kecepatan 36.000 rpm selama 60 menit. Selanjutnya ditimbang residu daging dan daya ikat air (DIA) dapat dihitung dengan

rumus :

DIA = 100 - Bsrat Rssldu Daging X 100%

Berat Sampel

Pengukuran susut masak (cooking loss)

Sampel daging ditimbang 20 gram dan dimasukkan kedalam kantong plastik tahan panas. Daging tersebut dipanaskan dalam air dengan suhu 80 ºC selama 60 menit. Sampel dicelupkan ke dalam air dingin pada pendinginan di lanjutkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel diambil dan dilap dengan tisu tanpa menekannya, kemudian sampel ditimbang sebagai berat akhir. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan berdasarkan rumus sebagai berikut:

Berat sebelum dimasak—Berat setelah dimasak

Cooking loss =


X 100%


Berat Sebelum dimasak


Pengukuran susut mentah (weep loss)

Susut mentah daging di tentukan dengan menimbang sampel daging dengan ketebalan 2,5 cm tanpa lemak dan jaringan ikat. Selanjutnya daging diikat tali dan digantung dalam keadaan terbungkus plastik rapat dan tidak menyentuh kantong plastik. Gantung dalam suhu kamar selama 24 jam. Setelah digantung selama 24 jam daging dilepas dan sebelum ditimbang daging di lap kering dan selanjutnya di timbang. Pengukuran nilai weep loss dilakukan berdasarkan rumus sebagai berikut:

Weep loss =                X 100%

Beratawal

Analisis data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Toriee, 1994) dengan bantuan program SPSS 22.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai pH, warna, daya ikat air, susut masak dan susut mentah daging babi Landrace

persilangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas fisik daging babi Landrace persilangan yang dilayukan secara tradisional

Variabel

Perlakuan1)

SEM2)          Standar3)

P0       P1        P2       P3

pH

Warna

Daya Ikat Air (%)

Susut Masak (%)

Susut Mentah (%)

6,30a      5,69b        5,61b       5,18c      0,03            5,4-5,8*

4,75b      6,00a       5,25b       1,75c      0,22             1-9**

32,03b    34,44a      31,36b     28,36c     0,58         20%-60%*

40,67b    37,04c      43,57a     45,14a     0,71         1,5%-54,5%*

13,44b     11,18c       15,84a      17,03a     0,67          13,45%***

Keterangan:

1) P0: Daging segar yang tidak dilayukan (kontol)

P1: Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 8 jam

P2: Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 16 jam

P3: Daging bagian otot LD (Longisimus Dorsi) yang dilayukan selama 24 jam

2) SEM=“Standard Error of the Treatment Means”

3) Standar Soeparno (2015) (*), SNI (2008) (**), Sriyani et al. (2015) (***)

Berdasarkan data pelayuan daging babi Landrace persilangan secara

tradisionalmenunjukkan bahwa pelayuan secara tradisional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH (Tabel 1.). Nilai pH perlakuan P0 memiliki nilai pH paling tinggi diikuti dengan P1, P2 dan P3. Selama proses pelayuan terjadi penurunan pH (Gambar 1), yang disebabkan karena terhentinya aliran darah sehingga suplai oksigen juga terhenti dan tidak tersedianya oksigen untuk menangkap ion hidrogen yang dibebaskan dalam proses glikolisis dan siklus TCA (Tricarboxylic acid) dan kelebihan ion hidrogen mengubah asam piruvat menjadi asam laktat sehingga akumulasinya menyebabkan pH daging menurun (Forrest et al., 1989). Semakin tinggi asam laktat yang dihasilkan maka semakin besar pula penurunan pH. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa penurunan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kondisi asam laktat yang tertimbun pada otot (Buckle et al.,2009). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lawrie (2003), bahwa produksi asam laktat merupakan satu-satunya penyebab penurunan pH selama glikolisis pascamati. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot postmortem tergantung pada jumlah glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim glikolitik yang

berperan dalam proses glikolisis anaerobik. Penurunan pH mempunyai hubungan yang erat dengan suhu lingkungan (penyimpanan). Suhu tinggi dapat meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan suhu rendah dapat memperlambat penurunan pH. Pengaruh suhu terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari suhu terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 2015). Selain itu temperature tinggi mempercepat penurunan pH otot postmortem, dan meningkatkan penurunan daya ikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler (Penny, 1977). Pada perlakuan P3 pH dibawah pH ultimat karena pH perlakuan P3 ada pada pH titik isoelektrik protein-protein daging yaitu antara 5,0–5,1, pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) (Soeparno, 2015).

8 I 6 •s 4 Z 2 0

6,30


5,69


5,61


518


0


8


16


24


Lama Pelayuan (Jam)

Gambar 1. Grafik nilai pH selama pelayuan

Berdasarkan data pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisionalmenunjukkan bahwa pelayuan secara tradisional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna daging (Tabel 1.). Warna daging tertinggi yaitu pada perlakuan P1 diikuti dengan P2, P0 dan P3. Pada perlakuan P1 ada peningkatan warna dari P0, namun warna daging cenderung menurun pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 2). Peningkatan warna daging dari P0 ke P1 (Gambar 3) terjadi karena ikatan myoglobin dengan oksigen menjadi oksimyoglobin yang memberikan warna yang lebih cerah. Peningkatan warna merah selama proses pelayuan terjadi karena evaporasi dan dehidrasi cairan dari permukaan daging (Lawrie, 2003). Pada perlakuan P3 warna daging babi sudah menurun dan cenderung pucat (Gambar 2). Semakin rendah pH maka warna daging akan menjadi semakin pucat. Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan warna daging menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potongan daging (drip atau weep) (Forrest et al., 1989). Walaupun terjadi penurunan pH yang mengakibatkan penurunan warna, pada perlakuan P1 terjadi peningkatan warna yang lebih diakibatkan oleh proses terbentuknya

warna merah cerah pada daging disebut blooming. Menurut Lawrie (2003), perubahan pH menyebabkan terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi penampakan (warna) daging secara visual.

Gambar 2. Grafik warna daging selama pelayuan

Gambar 3. Foto warna daging selama pelayuan; P0 (0 jam), P1 (8 jam), P2 (16 jam) dan P3 (24 jam)

Berdasarkan data pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional menunjukkan bahwa pelayuan secara tradisional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya ikat air (Tabel 1.). Daya ikat air tertinggi yaitu pada perlakuan P1 diikuti dengan P0, P2 dan P3. Peningkatan daya ikat air terjadi pada perlakuan P1, sedangkan menurun pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 4). Pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air pada perlakuan pelayuan 8 jam terlihat dari perlakuan P0 ke P1. Forrest et al., (1989) menyatakan bahwa pada daging yang dilayukan, daya ikat air semakin bertambah, karena turunnya pH setelah proses rigor

mortis menyebabkan pecahnya ATP dan ikatan protein aktin miosin sehingga ion bivalen seperti Ca++ dan Mg++ dapat digantikan oleh ion bervalensi satu seperti Na+. Akibatya terjadi kekosongan dan diisi kembali oleh air sehingga daya ikat air meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soeparno (2015), peningkatan daya ikat air selama pelayuan disebabkan oleh adanya perubahan hubungan antara protein dan air, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau karena melemahnya ikatan miofibril (aktin dan miosin). Sebaliknya, walaupun penurunan pH dapat mengakibatkan meningkatnya daya ikat air, tetapi pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 4) terjadi penurunan daya ikat air. Ini disebabkan oleh pelayuan yang sudah tidak efektif dan penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan adanya denaturasi protein otot yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur protein daging sehingga air bebas diantara molekul protein menurun (Soeparno, 2015). Daya ikat air berpengaruh terhadap susut masak. Daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut masak yang rendah. Daya ikat air yang tinggi selama pemasakan mempunyai peran sebagai penahan sejumlah air bebas oleh protein otot, sehingga tidak banyak jus daging yang keluar. Susut masak bervariasi antara 1,5%-54,5% dengan kisaran 15%-40% (Soeparno, 2015).

Gambar 4. Grafik daya ikat air selama pelayuan

Berdasarkan data pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional menunjukkan bahwa pelayuan secara tradisional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap susut masak (Tabel 1.). Susut masak tertinggi yaitu pada perlakuan P3 diikuti dengan P2, P0 dan P1. Perlakuan P1 susut masak menurun, kemudian susut masak meningkat pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 5). Susut masak merupakan bobot yang hilang selama daging dimasak. Kehilangan bobot selama pemasakan air bebas, maka air yang terikat dalam daging juga dilepaskan. Dalam pembebasan terjadi penurunan pengikat ion hidrogen dan terjadi pula pelepasan sari rasa (juiciness) dari dalam daging (Schmidt, 1988). Menurut Soeparno (2015) susut masak dipengaruhi oleh daya ikat air, daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut

masak yang rendah, sedangkan daya ikat air rendah menyebabkan susut masak tinggi. Perlakuan P1 dapat meningkatkan daya ikat air dan menurunkan susut masak, sedangkan pada perlakuan P2 dan P3 dapat menurunkan daya ikat air dan meningkatkan susut masak (Gambar 5). Susut masak paling tinggi yaitu pada perlakuan P3 dan perlakuan P3 memiliki daya ikat air paling rendah, susut masak paling rendah yaitu pada perlakuan P1 dan perlakuan P1 memiliki daya ikat air paling tinggi (Gambar 5). Susut masak bervariasi antara 1,5%-54,5% dengan kisaran 15%-40% (Soeparno, 2015).

Gambar 5. Grafik susut masak selama pelayuan

Berdasarkan data pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional menunjukkan bahwa pelayuan secara tradisional berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap susut mentah (Tabel 1.). Susut mentah tertinggi yaitu pada perlakuan P3 diikuti dengan P2, P0 dan P1. Pada perlakuan P1 susut masak menurun, kemudian susut masak meningkat pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 6). Menurut Soeparno (2015) susut mentah dipengaruhi oleh daya ikat air, daya ikat air yang tinggi menyebabkan susut mentah yang rendah, sedangkan daya ikat air rendah menyebabkan susut mentah tinggi. Susut mentah berbanding lurus dengan susut masak, apabila susut masak meningkat maka susut mentah meningkat dan jika susut masak menurun maka susut mentah menurun juga. Pada pelayuan daging babi secara tradisional susut mentah menurun pada perlakuan P1 dan meningkat pada perlakuan P2 dan P3 (Gambar 6), ini sejalan dengan susut masak. Susut mentah tertinggi yaitu pada perlakuan P3, sedangkan susut mentah terendah yaitu pada perlakuan P1.

Gambar 6. Grafik susut mentah selama pelayuan

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelayuan daging babi Landrace persilangan secara tradisional dapat meningkatkan kualitas fisik daging babi Landrace persilangan. Lama waktu pelayuan daging babi secara tradisional yang optimal untuk menghasilkan kualitas fisik daging babi yang baik adalah selama 8 jam dilihat dari warna daging yang merah dan daya ikat air yang tinggi diikuti dengan susut masak dan susut mentah yang rendah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Dekan FakultasPeternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS., Pembimbing Penelitian, dan seluruh pihak yang membantu dalam pelaksanaan hingga penulisan jurnal penelitian ini.

DAFTAR PUASTAKA

Antara, N. S., I. B. D. U. Dauh., N. M. I. S. Utami, 2008. Tingkat Cemaran Bakteri Coliform, Salmonella sp., Dan Staphylococcus aureus Pada Daging Babi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet and M. Wotton.2009. Ilmu Pangan, Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.

Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung. Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.

Budaarsa, K. 2012. Babi Guling Bali. Dari Beternak, Kuliner hingga Sesaji. Penerbit Buku Arti. Denpasar.ISBN : 978-979-1145-69-5.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2010-2014.

Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, and R.A. Merkel. 1989. Principles Of Meat Science. 2nd., Kendall/Hunt Publishing Co. Dubuque, Iowa.

Lawrie. R. A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima Penerjemah Prof Dr. Aminuddin Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Pearson, A. M. and T. R. Dutson. 1985. Advance in Meat Research. Vol. 1. Electrical Stimulation. Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Schmidt, G.R. 1988. Processing. In: H.R. Cross and A.J. Overby (eds.) Meat Science, Milk Science, and Technology. Elsevier Science Publ., Amsterdam.

Soeparno. 2015. Ilmu dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sriyani, N. L. P., N. M. A. Rasna., S. A.Lindawati., A. A. Oka. 2015. Studi Perbandingan Kualitas Fisik Daging Babi Bali dengan Babi Landrace Persilangan yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Tradisional. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol. 18 No. 1: 26-29. www.ojs.unud.ac.id.

Standar Nasional Indonesia. 2008. (SNI) 3932:2008. Mutu Karkas dan Daging. Jakarta.

Steel, R. D. dan S. H. Torrie. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia.

Tobing, S. W. L, 2012. Perbandingan Kualitas Karkas Dan Daging Antara Babi Peliharaan Dengan Babi Hutan. Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

Kristiawan et al., Peternakan Tropika Vol. 7 No. 2 Th. 2019: 711 – 722

Page 722