EFFECT OF PROBIOTIC GIVING SACCHAROMYCES spp. Gb-7 and Gb-9 IN THE RANGE OF EGG PRODUCTION CHICKEN LOHMANN BROWN AGE 40-48 WEEK
on

e-journal
FAPET UNUD
e-Journal

Universitas Udayana
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: peternakantropika@yahoo.com
Submitted Date: July 22, 2018 Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita
Accepted Date: July 31, 2018
PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK SACCHAROMYCES Spp. Gb-7 DAN Gb-9 DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR
AYAM LOHMANN BROWN UMUR 40-48 MINGGU
Sujana, I. K., D.P. M. A.Candrawati, dan I. G. N. G. Bidura
PS. Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar e-mail:sujana14komang@gmail.comHp. 085739752188
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik 0,3% Saccharomyces spp. Gb-7 dan Gb-9 dalam ransum terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu. Penelitian dilaksanakan dikandang milik peternak di Desa Dajan Peken, Tabanan selama 2 bulan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam kali ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah ayam yang diberi ransum tanpa dicampur dengan probiotik sebagai kontrol (A); ayam diberi ransum yang di campur dengan probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 sebanyak 0,3 % (B); dan ransum dicampur dengan probiotik Saccharomyces spp. Gb-9 sebanyak 0,3% (C). Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum, konsumsi air minum, total berat telur, total jumlah telur dan FCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada total berat telur dan FCR pada ayam yang diberi probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 (B) dan Gb-9 (C) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) sedangkan pada konsumsi ransum, konsumsi air minum dan jumlah telur menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 0,3% probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 dan Gb-9 dalam ransum memeliki pengaruh nyata dalam meningkatkan total berat telur dan dapat menurunkan FCR (Feed Conversion Ratio) sedangkan konsumsi ransum, konsumsi air minum, dan total jumlah telur ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu mengalami perubahan namun tidak memberikan efek yang nyata..
Kata kunci: Produksi telur, Lohmann Brown, Probiotik, Saccharomyces spp.
EFFECT OF PROBIOTIC GIVING SACCHAROMYCES spp. Gb-7 and Gb-9 IN THE RANGE OF EGG PRODUCTION CHICKEN LOHMANN BROWN AGE 40-48 WEEK
ABSTRACT
This research was carried out to determine the effect of giving probiotics 0.3% Saccharomyces spp. Gb-7 and Gb-9 in rations on chicken egg production Lohmann Brown phase age 40-48 weeks. This research was carried out by farmers in Dajan Peken Village, Tabanan for 2 months. The design used in this study was Completely Randomized Design (CDR) with three treatments and six replications. The third treatments were chicken giving rations without probiotics as control (A); chickens given ration with the probiotic Saccharomyces spp. Gb-7 0.3% (B); and chickens given ration with the probiotic Saccharomyces spp. Gb-9 0.3% (C). The variables observed in this research were ration consumption, drinking water consumption, total egg weight, total number of eggs and FCR.

The results showed chickens given ration with probiotics Saccharomyces spp. Gb-7 and Gb-9 that total egg weight and FCR chickens given probiotics Saccharomyces spp. Gb-7 and Gb-9 each had a significant (P<0.05) but on ration consumption, drink water consumption, and the number of eggs each had a non significant (P>0.05). From the results of this research it can be concluded that the granting of 0.3% of the probiotic Saccharomyces spp. Gb-7 and Gb-9 in ration Lohmann Brown can provide significant influence to the total weight of the egg and the FCR had non significant influence towards the consumption of rations, drinking water consumption, and the total number of eggs Lohmann Brown age 40-48 weeks.
Keywords: Egg production, Lohmann Brown, Probiotics, Saccharomyces spp.
PENDAHULUAN
Peternakan ayam petelur merupakan sektor peternakan yang paling efisien dan paling cepat menyediakan bahan-bahan makanan yang bergizi tinggi dari sumber hewani. Peningkatan konsumsi protein hewani yang berasal dari hasil perikanan meningkat dari 7,17 gram pada tahun 2002 menjadi 8,41 gram/kapita/hari pada tahun 2005. Peningkatan yang sama terlihat pula pada konsumsi protein hewani asal produk ternak yang pada tahun 2002 hanya sebesar 4,59 gram menjadi 5,52 gram/kapita/hari pada tahun 2005 (BPS, 2006), Susenas (2005) melaporkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yang semakin meningkat maka produksi ternak perlu ditingkatkan.
Dalam dunia peternakan, masyarakat tidak asing lagi dengan ternak ayam yang diternakan dengan tujuan menghasilkan daging atau telur. Pengembangan usaha ternak unggas jenis ras (ayam petelur) di Indonesia masih memiliki prospek yang bagus. Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ketahun. Saat ini, tingkat kesadaran untuk meningkatkan gizi dalam kehidupan di masyarakat yang makin tinggi juga harus diimbangi dengan peningkatan jumlah protein hewani.
Telur merupakan salah satu hasil ternak unggas yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, lengkap dan mudah untuk dicerna oleh tubuh. Telur mengandung protein yang tinggi, sumber zat besi, beberapa mineral dan vitamin, sehingga telur merupakan bahan pangan hewani yang dapat dikonsumsi oleh manusia pada segala umur.
Pakan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan produksi telur yang maksimal.
Pakan sangat berpengaruh terhadap produksi dan kualitas telur, dan juga faktor keturunan, umur ayam, manajemen, kesehatan, dan faktor lingkungan (Orr dan Fletcher, 1973).
Pakan yang diberikan untuk unggas sebagian besar berasal dari limbah produk pertanian. Salah satu limbah pertanian yang sering digunakan untuk pemberian pada ungags yaitu dedak padi. Dedak padi mempunyai kandungan serat kasar tinggi sehingga dapat mempengaruhi penyerapan zat-zat makanan yang berada didalam sistem pencernaan, oleh
karena itu perlu adanya pakan tambahan untuk megimbangi kualitas pakan yang dapat meningkatkan produksi telur yang dihasilkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyerapan zat makanan menjadi lebih baik adalah dengan menambahkan probiotik. Probiotik merupakan bahan tambahan dalam pakan yang mampu mempercepat laju pertumbahan ayam, menambah nafsu makan dan menambah nilai gizi dalam pakan untuk meningkatkan produktivitas ayam. Salah satu probiotik yang dapat diberikan kepada ayam yaitu Saccharomyces spp. yang berasal dari isolasi kolon ayam kampung (Bidura et al, 2015).
Menurut Bidura et al, (2015) penggunaan probiotik (Saccharomyces spp. Gb-7; Gb-9, dan kombinasinya) isolat kolon ayam kampung dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum broiler umur 2-6 minggu, serta menurunkan kolesterol serum darah broiler dengan penggunaan 0,3%. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui pengaruh suplementasi probiotik Saccaharomyces spp. Gb-7 dan Gb-9 yang berasal dari isolat kolon ayam kampung dalam ransum terhadap produksi telur ayam Lohman Brown umur 40-48 minggu.
MATERI DAN METODE
Tempat dan Lama Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kandang milik peternak di Banjar Pande, Desa Dajan Peken, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, selama 12 minggu yaitu mulai dari persiapan sampai dengan penyusunan laporan.
Ayam
Ayam yang digunakan adalah jenis ayam Lohmann Brown yang diperoleh dari peternak ayam petelur setempat, fase peneluran kedua umur 40-48 minggu dengan berat badan 1.658,35 ± 30,65 g dan jumlah ayam Lohmann brown yang digunakan adalah 36 ekor.
Kandang dan Perlengkapannya
Kandang yang digunakan adalah kandang “colonybattery“ bertingkat yang terbuat dari bilah bambu serta dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang terbuat dari pipa.Pada bagian bawah lantai kandang dipasang lembaran plastik untuk menampung kotoran ayam sehingga mudah untuk dibersihkan serta untuk mengurangi kelembaban dan bau yang diakibatkan oleh kotoran ayam. Pembersihan kandang dilakukan satu minggu sekali. Seluruh petak kandang berada dalam satu ruangan kandang yang berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing (50 x 50 x 40 m) dengan bahan atap dari asbes. Posisi kandang menghadap
timur-barat saling berhadapan sedangkan penerangan pada malam hari dilengkapi dengan memasang lampu TL 10 watt yang diletakkan pada lorong bagian tengah kandang.
Ransum dan Air Minum
Ransum yang diberikan dalam bentuk tepung (“mash”). Ransum yang diberikan pada penelitian ini adalah ransum yang disusun dengan menggunakan bahan, seperti tepung jagung kuning, konsentrat komersial untuk ayam petelur, dan dedak padi, lebih rinci tersaji pada Tabel 1. dan hasil perhitungan zat-zat makanan ayam lohmann brown umur 40-48 minggu tersaji pada Tabel 2. Perhitungan komposisi zat-zat makanan berdasarkan Tabel zat makanan menurut Scott et al., (1982). Air minum yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Tabel 1. Komposisi bahan pakan dalam ransum ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu
Bahan pakan |
Perlakuan1) | ||
A |
B |
C | |
Jagung kuning |
50 |
50 |
50 |
Konsentrat2) |
35 |
35 |
35 |
Dedak padi |
15 |
15 |
15 |
Probiotik Gb-7 |
0 |
0,3 |
0 |
Probiotik Gb-9 |
0 |
0 |
0,3 |
Total |
100 |
100 |
100 |
Keterangan:
1) Ayam yang diberikan ransum tanpa probiotik Sacchoromycess spp. sebagai kontrol (A), ayam yang diberikan probiotik Sacchoromycess spp. Gb-7 sebanyak 0,3% (B), ayam yang diberikan probiotik Sacchoromycess spp. Gb-9 sebanyak 0,3% (C).
2) Konsentrat ayam petelur yang di produksi oleh Pt. Jafa Comfeed Indonesia, Tbk. Unit Sidoarjo-Devisi pakan ternak Jl. H.R.M. Mangudiprojo km 3,5 Budura – Sidoarjo
Tabel 2.Komposisi zat-zat gizi dalam ransum ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu.1)
Kandungan zat gizi |
Perlakuan2) Standar3) A B C |
Energi Metabolisme (kkal/kg) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Phospor (%) |
2979,5 2979,5 2979,5 2900 18,00 18,00 18,00 18,00 5,3 5,3 5,3 5-10 4,9 4,9 4,9 3-8 3,528 3,528 3,528 3,4 0,76 0,76 0,76 0,35 |
Keterangan:
1) Berdasarkan perhitungan menurut Scott et al. (1982)
2)
Perlakuan:
A = Ayam tanpa diberi probiotik Saccharomyces spp sebagai kontrol (A)
B = Ayam yang diberi ransum dengan tambahan probiotik Saccharomyces spp Gb-7 0,3%
C = Ayam yang diberi ransum dengan tambahan probiotik Saccharomyces spp Gb-9 0,3%
-
3) Standar Scott et al. (1982)
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu timbangan digital dengan kapasitas 5 kg dengan kepekaan 1 gram, timbangan tricle brand dengan kapasitas 100 gram dengan kepekaan 0,1 gram, kalkulator, kerat telur, alat tulis dan lembaran koran, untuk sebagai alas mencampur ransum dan ember untuk menampung ransum yang sudah dicampur dengan probiotik.
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan 36 ekor ayam petelur Lohmann Brown umur 40 minggu dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah pemberian ransum yang tidak dicampur dengan probiotik sebagai kontrol (A), ransum yang di campur dengan probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 sebanyak 0,3 % (B) dan ransum yang dicampur dengan probiotik Saccharomyces spp. Gb-9 sebanyak 0,3 % (C).
Probiotik
Probiotik yang digunakan yaitu Saccharomyces spp. Gb-7 dan Gb-9 berbentuk mash (tepung) yang diisolasi dari kolon ayam kampung dan probiotik yang telah lolos uji berbagai level suhu, asam, dan garam empedu serta mampu mengasimilasi kolesterol, sehingga potensial sebagai agensia probiotik (Bidura, 2012).
Pencampuran ransum
Sebelum dilakukan pencampuran ransum, siapkan semua alat dan bahan kemudian masing-masing bahan yang akan dipakai ditimbang. Dimulai dari jumlah yang paling banyak kemudian diikuti dengan bahan pakan yang volumenya lebih sedikit. Untuk pencampuran probiotik dalam ransum yaitu untuk Saccharomycess spp. Gb-7 danGb-9 masing-masing dicampur 0,3% dari keseluruhan campuran ransum yang diberikan dan untuk pencampuran bahan yang jumlahnya kecil sebaiknya volumenya diperbesar dengan mencampurkan dengan bahan lain kemudian disebar diatas ransum secara merata. Pencampuran pakan dilakukan diatas lembaran plastik, kemudian dibagi menjadi empat bagian yang sama dan dicampur rata. Selanjutnya dicampur silang sehingga diperoleh campuran yang homogen.
Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang di amati dalam penelitian ini antara lain:
-
1. Konsumsi ransum: Konsumsi ransum dihitung yaitu jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum yang dihitung selama satu minggu.
-
2. Konsumsi air minum: Konsumsi air minum dihitung dengan cara air minum yang dikonsumsi dikurangi air minum yang tersisa yang dihitung setiap satu minggu.
-
3. Total berat telur: Total berat telur dihitung dengan menimbang telur selama satu minggu.
-
4. Total jumlah telur: Total jumlah telur dihitung dengan cara menghitung jumlah telur yang dihasilkan selama satu minggu.
-
5. FCR: FCR (Feed Convertion Ratio) dihitung dengan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat telur total selama satu minggu..
Analisis Statistika
Data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel and Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi ransum
Konsumsi ransum yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 7368,80 g/ekor/8 mg pada ayam yang mendapat perlakuan A, 7079,30 g/ekor/8 mg pada ayam yang mendapat perlakuan B dan 7057,80 g/ekor/8 mg pada perlakuan C (Tabel 3.). Pemberian probiotik Saccharomyces spp Gb-7 0,3% (B) dan Gb-9 0,3% (C) mengalami penurunan namun secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibanding ayam yang mendapat perlakuan A. Hal ini disebabkan kandungan energi ransum pada ayam yang mendapat ketiga perlakuan adalah sama yaitu 2979,5 Kkal/kg Tabel 2. Konsumsi ransum biasanya dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, semakin tinggi kandungan energi ransum maka konsumsi ransum semakin menurun, begitu pula sebaliknya semakin rendah kandungan energi ransum maka konsumsi ransum akan semakin meningkat. Hal ini juga didukung oleh Anggorodi (1985) yang menyatakan kadar energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang di konsumsi. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Yousefi dan Karkoodi (2007) dalam penelitian ayam petelur menggunakan campuran ragi didalam ransumnya melaporkan bahwa konsumsi ransumnya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bidura et al. (2015) dalam penelitian Saccharomyces spp. terhadap penampilan broiler menunjukkan konsumsi ransum yang didapat tidak berebda nyata terhadap kontrol.
Tabel 3. Pengaruh pemberian probiotik Saccharomyces spp Gb-7 dan Gb-9 terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu.
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | ||
A |
B |
C | ||
Konsumsi ransum (g/ekor/8 mg) |
7368,80a3) |
7079,80a |
7057,80a |
119,25 |
Konsumsi air minum (lt/ekor/8 mg) |
21,98a |
22,11a |
22,05a |
0,44 |
Total berat telur (g/ekor/8 mg) |
1985,83a |
2011,00b |
2015,50b |
4,54 |
Total jumlah telur (butir/ekor/8 mg) |
36,36a |
36,52a |
36,60a |
0,02 |
FCR (Feed Convertion Ratio) |
3,71a |
3,52b |
3,50b |
0,05 |
Keterangan:
1) Perlakuan :
A = Ayam tanpa diberi probiotik Saccharomyces spp sebagai kontrol (A)
B = Ayam yang diberi ransum dengan tambahan probiotik Saccharomyces spp Gb-7 0,3%
C = Ayam yang diberi ransum dengan tambahan probiotik Saccharomyces spp Gb-9 0,3%
2) SEM : “Standard Error of the Treatment Means”
3) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Konsumsi air minum
Konsumsi air minum yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 21,98 liter/ekor/8 mg pada perlakuan A, 22,11 liter/ekor/8 mg pada perlakuan B dan 22,05 liter/ekor/8 mg pada perlakuan C (Tabel 3.). Hal ini menunjukkan konsumsi air minum pada pemberian probiotik Saccharomyces spp Gb-7 0,3% (B) dan Gb-9 0,3% (C) mengalami peningkatan namun secara statitik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan ayam yang mendapat perlakuan A. Hal ini disebabkan oleh konsumsi air minum berbanding lurus dengan konsumsi ransum, dimana konsumsi ransum ayam yang diberi perlakuan B dan perlakuan C tidak berbeda nyata konsumsi ransumnya dibandingkan ayam yang mendapat perlakuan A (kontrol). Tillman et al., (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi ransum maka mempengaruhi peningkatan pada konsumsi air yang semakin tinggi. Umumnya ayam mengonsumsi air minum 2 kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi karena air minum berfungsi sebagai pelarut dan alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan ke seluruh tubuh sehingga dibutuhkan lebih banyak air dari pada makanannya (Ensminger, 1990) Total berat telur
Total berat telur yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 1985,83 g/ekor/8 mg pada perlakuan A, 2011 g/ekor/8 mg pada perlakuan B dan 2015,50 liter/ekor/8 mg pada perlakuan C (Tabel 3.). Hal ini menunjukkan total berat telur pada pemberian probiotik saccharomyces spp Gb-7 0,3% (B) dan Gb-9 0,3% (C) mengalami peningkatan dan secara statitik menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan ayam yang mendapat perlakuan A. Hal ini disebabkan karena peranan probiotik saccharomyces spp Gb-7 dan Gb-9 yang mampu meningkatkan kandungan nutrisi dalam ransum yang mampu membantu
penyerapan pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan berat telur yang dihasilkan meningkat. Disamping itu probiotik merupakan pakan tambahan berupa mikroba hidup yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada hewan inang dengan meningkatkan mikroba dalam saluran pencernaan dan dapat menurunkan populasi bakteri yang merugikan dalam saluran pencernaan, sehingga akan dapat meningkatkan pencernaan zat – zat makanan dengan baik. Wahyu (1985) menyatakan bahwa kualitas pakan yang baik dalam hal ini kandungan protein, asam amino dan asam linoleat dapat mempengaruhi bobot telur, karena pakan dengan kualitas baik dapat menghasilkan telur yang besar
Total jumlah telur
Total jumlah telur yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 36,36 butir/ekor/8 mg pada perlakuan A, 36,52 butir/ekor/8 mg pada perlakuan B dan 36,60 butir/ekor/8 mg pada perlakuan C. Hal ini menunjukkan total berat telur pada pemberian probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 0,3% (B) dan Gb-9 0,3% (C) mengalami peningkatan namun secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Malik (2013) tentang penggunaan probiotik dalam ransum pada layer menunjukkan bahwa penggunaan probiotik sampai 3% tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur. Peningkatan total jumlah telur ini disebabkan penggunaan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan kandungan gizi yang terserap dalam saluran pencernaan unggas sehingga penyerapan nutrisi ke dalam tubuh menjadi optimal yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun meningkatkan produksi. Hal ini didukung oleh Bidura et al,. (2015) yang menyatakan bahwa probiotik Saccharomyces spp Gb-7 dan Gb-9 yang diberikan melalui ransum dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum sehingga penyerapan zat-zat makanan yang ada didalam tubuh ayam lebih dimanfaatkan untuk kebutuhan tubuh dan produksi ayam itu sendiri. Wiharto (1995) menyatakan bahwa penggunaan probiotik dalam ransum ternyata dapat meningkatkan kandungan gizi yang terserap dalam saluran pencernaan unggas sehingga mampu meningkatkan hasil produksi. FCR (Feed Convertion Ratio)
FCR (Feed Convertion Ratio) pada pemberian probiotik Saccharomyces spp melalui ransum dengan perlakuan Gb-7 0,3% (B) dan Gb-9 0,3% (C) nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan ayam tanpa diberi probiotik saccharomyces spp (A) sebagai kontrol. FCR(Feed Convertion Ratio)merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat efisiensi penggunaan ransum. FCR dihitung dari konsumsi ransum dibagi dengan total berat telur. FCR pada perlakuan B adalah sebesar 3,52 dan FCR pada
perlakuan C 3,50 ini artinya untuk meningkatkan 1 kg berat telur total ayam yang mendapat perlakuan B harus mengkonsumsi sebanyak 3,52 kg ransum dan untuk perlakuan C harus mengkonsumsi sebanyak 3,15 kg. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayam yang diberi ransum dengan perlakuan campuran probiotik Gb-9 0,3% (C) yang paling efisien dibandingkan dengan semua perlakuan. Hal ini sejalan dengan Anggorodi (l985) menyatakan bahwa semakin rendah nilai FCR, maka semakin tinggi tingkat efisiensi penggunaan ransumnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 0,3% probiotik Saccharomyces spp. Gb-7 dan Gb-9 dalam ransum dapat memberikan pengaruh secara signifikan terhadap total berat telur dan FCR akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum, konsumsi air minum, dab total jumlah telur ayam Lohmann Brown umur 40-48 minggu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan pada penulis di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H. R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bidura, I. G. N. G. D. P. M. A. Candrawati, and A. A.Warmadewi, 2015. Selection of khamir Saccharomyces spp. Isolated from colon of native chickens as a probiotics proputics and has CMC_ace activity. Journal of Biological and chemical research vol.32 (2): 683-699.
Bidura, I. G. N. G., I. G. Mahardika, I. P. Suyadnya, I. B. G. Partama, I. G. L. Oka, D. P. M. A. Candrawati, and I. G. A. I. Aryani. 2012. The implementation of Saccharomyces spp.n-2 isolate culture (isolation from traditional yeast culture) for improving feed quality and performance of male Bali ducking. Agricultural Science Research Journal. September: Vol. 2 (9): 486-492
Ensminger. 1990. Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. Amerian Córdoba Park Hotel, Córdoba, Argentina
Malik, A. 2013. Pengaruh Penggunaan Probiotik Pada Ransum Terhadap Produktivitas dan Nilai Ekonomi Ayam petelur Periode Layer. Universitas Muhammadiyah. Malang.
Morrison, F. B. 1961. Feed and Feeding Abridged. 9th Ed. Iowa: Morrison Pub. Co. Clinton.
Orr, H. L. dan D. A. Fletcher. 1973. Egg and Egg Products. Publication 1948. Canada Dept.of Agriculturel.
Scott, M. L, M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutrient of Chickens 3rd Edition M.L. Scott Assoc. Ithaca, New York.
Soehadji. 1993. Kebijaksanaan dan Strategi Agribisnis Peternakan dalam Pelita VI. Makalah dalam diskusi Nasional I Agribisnis Peternakan 1993. Yogyakarta.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksodiprodjo, S. Prwawirokusomo dan L. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Wiharto, 1995. Petunjuk Beternak Ayam. Penerbit Lembaga Universitas Brawijaya. Malang.
Yousefi, M. and K. Karkoodi, 2007. Effect of probiotic thepax and Saccharomyces cerevisiae supplementation on performance and egg quality of laying hens. Int. J. Poult. Sci., 6: 52-54.
Sujana et al., Peternakan Tropika Vol. 6 No. 2 Th. 2018: 440- 449
Page 449
Discussion and feedback