e--journal FAPET UNUD


e-Journal

Universitas Udayana


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science email: peternakantropika_ejournal@yahoo.com email: jurnaltropika@unud.ac.id

Submitted Date: May 16, 2018 Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita

Accepted Date: May 20, 2018


PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L. Merr) MELALUI AIR MINUM TERHADAP PRODUKSI TELUR AYAM LOHMANN BROWN UMUR 22-30 MINGGU

Putri, S. H., IM. Suasta, dan I G. N. G. Bidura

PS. Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Jln. P.B. Sudirman, Denpasar Telpon: +6283182374700, Email: shintia.45.putri@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) melalui air minum terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan selama 2 bulan. Sebanyak 36 ekor ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga perlakuan. Perlakuan yang diberikan terdiri dari air minum tanpa ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) sebagai kontrol (K0), air minum yang diberi 3% ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) sebagai K1, dan air minum yang diberi 6% ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) sebagai K2. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam kali ulangan. Variabel yang diamati meliputi konsumsi ransum, konsumsi air minum, konversi ransum, jumlah telur, hen day production (HDP), berat telur dan berat telur rata-rata. Apabila terjadi perbedaan yang nyata (signifikan), maka dilanjutkan dengan analisis berganda dari Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) melalui air minum sebanyak 3% dan 6% nyata dapat meningkatkan konsumsi ransum, konsumsi air minum, jumlah telur, hen day production (HDP), berat telur dan berat telur rata-rata (P<0,05), namun menurunkan angka konversi ransum (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak air daun katuk (Sauropus androgynus) sebanyak 3% dan 6% melalui air minum dapat meningkatkan produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu.

Kata kunci: Sauropus androgynus L. Merr, Lohmann Brown, produksi telur

THE EFFECT OF KATUK LEAF (Sauropus androgynus L. Merr) EXTRACT ON DRINKING WATER TO EGG PRODUCTION OF LOHMANN BROWN LAYING HENS AGE OF 22 – 30 WEEKS

ABSTRACT

This study aims find out the effect of katuk leaf (Sauropus androgynus L. Merr) extract given into drinking water to egg production of Lohmann Brown chicken. This research was conducted in Dajan Peken Village, Tabanan Sub-district, Tabanan District for 2 months. A total of 36 Lohmann Brown chicks aged 22-30 weeks used in this study were divided into three treatments. The treatment consisted of drinking water without katuk leaf extract (Sauropus


androgynus L. Merr) as control (K0), drinking water given 3% katuk leaf extract (Sauropus androgynus) as K1, and drinking water given 6% katuk leaf extract (Sauropus androgynus) as K2. The research design used was Completely Randomized Design (CRD) with six replications. The observed variables include feed consumption, water consumption, feed conversion ratio, total egg production, hen day production (HDP), egg weight and egg weight on average. In case of significant differences, then followed by multiple analysis of Duncan multiple range test. The results showed that giving the katuk leaf extract (Sauropus androgynus) through drinking water as much as 3% and 6% can markedly increase feed consumption, water consumption, total egg production, hen day production (HDP), egg weight and egg weight on average (P<0.05), but decreased the conversion rate of the ration (P <0.05). Based on the result of the research, it can be concluded that giving the katuk leaf extract (Sauropus androgynus) as much as 3% and 6% through drinking water can increase Lohmann Brown chicken egg production aged 22-30 weeks.

Keywords: Sauropus androgynus L. Merr, Lohmann Brown, egg production

PENDAHULUAN

Usaha peningkatan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi era globalisasi tidak lepas dari upaya peningkatan gizi masyarakat. Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan peningkatan produksi protein hewani seperti daging, susu dan telur. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2017), dalam kurun waktu 2016 – 2017 populasi ayam ras di Indonesia mengalami rata-rata peningkatan 2,79%. Namun, peningkatan populasi ini belum diiringi dengan peningkatan produktivitas ayam petelur. Pemenuhan kebutuhan telur bagi masyarakat sangat strategis untuk peningkatan gizi masyarakat mengingat harga telur jauh lebih murah dibandingkan harga produk ternak lainnya seperti daging dan susu.

Sudaryani (2003) menyatakan bahwa satu butir telur mengandung gizi yang sangat sempurna karena telur mengandung zat gizi yang sangat baik dan mudah untuk dicerna. Telur yang terkontaminasi oleh mikroba akan menurunkan kualitas, sehingga menyebabkan telur cepat busuk. Hal ini merugikan peternak, pengepul, pengecer dan konsumen akhir yang membeli telur dengan kualitas rendah. Kerugian ini diakibatkan daya simpan yang berkurang dan karena ruang udara di dalam telur semakin meningkat dengan cepat. Permasalahan ini tentu mengganggu peternak dari segi pemasaran hasil produksi terutama telur.

Dilihat dari pola hidup masyarakat Indonesia saat ini, masyarakat cenderung memilih makanan yang berkualitas dan baik untuk kesehatan, sehingga diperlukan produk peternakan yang sehat untuk dikonsumsi. Peternak saat ini banyak memberikan antibiotik sintetik dalam ransum ayam petelur untuk mencegah penyakit dan meningkatkan produksi telur. Cara ini banyak digunakan karena lebih mudah dan praktis untuk dilakukan. Menurut Dewi (2014), penggunaan

antibiotik sintetik pada ayam dapat menyebabkan resistensi bakteri-bakteri berbahaya yang terdapat dalam tubuh ayam dan residu bahan kimia berbahaya dari produk yang dihasilkan. Bahaya residu antibiotik dapat berupa bahaya langsung dalam jangka pendek seperti alergi, gangguan pencernaan, gangguan kulit, hipersensitifitas, dan bahaya tidak langsung yang bersifat jangka panjang seperti resistensi mikrobiologi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan gangguan reproduksi (Ruegg, 2013; Seri, 2013; Singh et al., 2014). Bersamaan dengan hal tersebut, maka diperlukannya peningkatan kualitas produksi telur ayam yang kaya zat gizi, bebas mikroba patogen (khususnya Salmonella sp dan Escherichia coli) serta bebas antibiotik sintetik atau zat-zat kimia agar kebutuhan akan sumber hewani yang bernilai gizi tinggi dapat terpenuhi.

Tanaman obat dan rempah merupakan salah satu jenis komoditi pertanian yang memiliki prospek cukup cerah untuk dijadikan bahan pakan yang dapat meningkatkan produksi telur ayam. Menurut Soekarman dan Riswan (1992), studi tentang pemanfaatan khasiat tanaman untuk meningkatkan kualitas produksi ternak sangat penting artinya, karena akan menambah keanekaragaman sumber daya nabati dan merupakan dasar botani ekonomi maupun botani terapan lainnya. Penggunaan tanaman obat untuk konsumsi ternak merupakan upaya alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti antibiotik sintetik. Salah satu tanaman obat yang dapat digunakan adalah katuk (Sauropus androgynus L. Merr).

Tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai tanaman sayuran yang bergizi tinggi karena memiliki antibakteri dan beta karoten. Tanaman ini tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 5 – 1300 mdpl. Daun katuk tidak mempunyai efek racun pada ternak percobaan, bahkan ditemukan senyawa kimia alkaloida papaverin (PPV) yang dibuktikan dapat menghambat menurunnya kecernaan lemak kasar. Senyawa fitokimia yang terkandung pada daun katuk adalah : saponin, flavonoid, dan tanin (Santoso, 2000). Menurut Karyadi (l997) saponin terbukti berkhasiat sebagai antikanker, antimikroba, meningkatkan sistem imun dan menurunkan kadar kolesterol darah.

Penggunaan daun katuk pada ayam petelur telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi produksi sampai 20% (Santoso., 2002). Selain itu, penambahan ekstrak air daun katuk pada air minum tidak membutuhkan biaya yang mahal. Menurut Bidura et al. (2017), pemberian 5% ekstrak air daun katuk pada air minum ayam pedaging mampu meningkatkan penyerapan zat-zat makanan karena adanya aktivitas antimikroba yang membunuh bakteri merugikan dalam saluran

pencernaan ayam. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan, daun katuk terbukti mampu meningkatkan produktifitas telur ayam petelur jika diberikan pada pakan ayam.

Sesuai dengan hasil penelitian Santoso (2001) bahwa ekstrak daun katuk (EDK) mampu menekan pertumbuhan Salmonella typhosa. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan cara meningkatkan konsumsi pakan. Hal senada dilaporkan. Bidura et al. (2017) bahwa pemberian ekstrak daun katuk dan bawang putih melalui air minum nyata dapat meningkatkan berat telur, warna kuning telur, dan efisiensi penggunaan ransum.

Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) melalui air minum terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu.

MATERI DAN METODE

Materi

Ayam

Ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam petelur Lohmann Brown umur 22 – 30 minggu sebanyak 36 ekor yang diperoleh dari peternakan ayam petelur di daerah Tabanan dengan berat badan awal 1.527 ± 20,36 g.

Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang dengan sistem battery dari bilah dari bambu sebanyak 18 petak. Tiap petak berukuran panjang 0,40 m, lebar 0,40 m dan tinggi 0,40 m. Semua petak kandang terletak pada sebuah bangunan berukuran 8 m x 3 m, membujur dari timur ke barat dengan atap terbuat dari genteng dan lantai dari beton. Tiap petak kandang dilengkapi tempat pakan dari pipa paralon dengan panjang 2 m dan tempat air minum dari pipa paralon ukuran 40 cm. Di bawah kandang diletakkan alas terbuat dari karpet plastik untuk menampung kotoran ayam.

Daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) yang digunakan adalah daun katuk yang sudah tua (hijau tua hingga agak kekuningan). Daun katuk diperoleh dari tanaman katuk yang tumbuh liar di sepanjang jalan Bukit Jimbaran, Badung.

Ransum dan air minum

Ransum yang diberikan terdiri dari jagung, konsentrat petelur, dedak padi dan mineral mix. Pemberian ransum diusahakan tempat ransum terisi 3/4 bagian, untuk mencegah agar ransum tidak tercecer. Air minum yang diberikan adalah ekstrak air daun katuk dengan persentase 3% dan 6%. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Penggantian air minum dilakukan setiap hari untuk menghindari timbulnya penyakit.

Komposisi bahan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan kandungan nutrien ransum ayam Lohmann Brown dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1. Komposisi bahan penyusun ransum ayam Lohmann Brown umur 22 – 30 minggu.

Komposisi Ransum                               Persentase (%)

Jagung kuning

Konsentrat layer super 361)

Dedak padi

Mineral mix

50

35

14,5 0,5

Total (%)

100

Keterangan : Konsentrat ayam petelur yang diproduksi oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk.

Tabel 2.2. Kandungan nutrisi ransum ayam Lohmann Brown umur 22 – 30 minggu1)

Kandungan Nutrisi

Perlakuan2)                   Standar3)

K0       K1       K2

Energi metabolis (kkal/kg)

Protein kasar (%)

Lemak kasar (%)

Serat kasar (%)

Kalsium (%)

Pospor (%)

Ekstrak air daun katuk (%)

2979      2979      2979         2900

18          18          18           18,00

5,3          5,3           5,3            5-104)

4,9          4,9          4,9            5-104)

3,528       3,528       3,528           3,4

0,76        0,76        0,76           0,35

0            3            6                -

Keterangan:

1) Perhitungan dan standar ransum berdasarkan tabel zat makanan Scott et al. (1982).

2) Air minum tanpa ekstrak air daun katuk sebagai kontrol (K0), air minum yang diberi ekstrak air daun katuk 3% (K1), air minum yang diberi ekstrak air daun katuk 6% (K2).

3) Standar NRC (1984)

4) Standar Morrison (1961).

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempat pakan dan tempat air minum yang terbuat dari pipa paralon, ember untuk menampung pakan yang diberikan selama seminggu, baskom untuk menampung ekstrak air daun katuk, tray telur untuk menampung telur, label untuk

menandai perlakuan yang diberikan pada tempat pakan dan minum ayam, timbangan digital untuk menimbang berat telur, berat pakan dan sisa pakan., karpet plastik untuk menampung kotoran ayam, dan alat tulis untuk mencatat hasil yang diperoleh selama penelitian.

Metode

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di kandang milik peternak yang berlokasi di Banjar Pande, Desa Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali selama 3 bulan mulai dari persiapan sampai penyusunan proposal.

Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan, sehingga terdapat 18 unit pecobaan. Masing-masing unit percobaan menggunakan dua ekor ayam Lohmann Brown dengan berat badan dan umur peneluran yang sama sehingga jumlah ayam yang digunakan adalah 36 ekor. Ketiga perlakuan tersebut adalah:

K0 = Air minum tanpa diberi ekstrak daun katuk.

K1 = Air minum yang diberi 3% ekstrak daun katuk

K2 = Air minum yang diberi 6% ekstrak daun katuk.

Pengacakan ayam

Ayam yang digunakan dipilih dengan kondisi sehomogen mungkin, baik dari segi umur, tipe, maupun berat badannya. Selanjutnya, ayam ditimbang untuk mencari rata-rata berat bedan dan menentukan rentangan berat badan ayam yang akan dipilih.Setelah itu, dilakukan pengkodean pada kandang berdasarkan hasil pengocokan kartu. Ayam yang akan digunakan sebanyak 36 ekor umur 22 – 30 minggu dan dimasukkan kedalam masing-masing petak kandang (unit percobaan) yang berjumlah 18 petak dengan tiap petak diisi 2 ekor ayam.

Pembuatan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Pada proses pembuatan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr), daun yang digunakan adalah daun katuk yang sudah tua (warna hijau sampai kuning) kemudian dicuci menggunakan air bersih. Daun katuk yang diperoleh ditimbang 1 kg lalu ditambahkan air bersih sebanyak 1 liter. Selanjutnya dimaserasi panas dengan cara direbus selama ± 20 menit pada suhu 300C - 500C (Parwata et al). Kemudian dinginkan dan peras daun katuk yang sudah di rebus

untuk diambil ekstraknya. Ekstrak daun katuk dimasukkan ke dalam baskom dan disimpan secara tertutup untuk penggunaan perlakuan berikutnya. Ekstrak daun katuk 3% maksudnya adalah 3 cc ekstrak air daun katuk dalam 100 cc air minum yang diberikan.

Pencampuran ransum

Pencampuran ransum dilakukan setiap minggu selama penelitian berlangsung. Pencampuran ransum didahulukan dengan menimbang bahan-bahan penyusunan ransum sesuai dengan perlakuan. Bahan penyusun ransum terdiri atas jagung kuning 50%, konsentrat 35%, dedak padi 14,5% dan suplementasi 0,5%. Penimbangan dilakukan mulai dari bahan yang komposisinya paling banyak hingga paling sedikit. Selanjutnya, dibagi menjadi empat bagian yang sama, dan masing-masing bagian dicampur secara merata, kemudian dicampur silang sampai diperoleh campuran yang homogen. Pakan yang sudah homogen ditimbang masing-masing 2 kg untuk disimpan di ember yang telah diisi label perlakuan. Pakan tersebut diberikan kepada tiap petak kandang untuk 1 minggu.

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati atau diukur pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

  • 1.    Produksi telur diperoleh dari jumlah telur yang dihasilkan tiap perlakuan.

  • 2.    Berat telur total diperoleh dari jumlah berat telur secara keseluruhan.

  • 3.    Berat telur rata-rata diperoleh dari total berat telur tiap perlakuan dibagi jumlah telur.

  • 4.    Konsumsi ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum.

  • 5.    Feed Conversion Ratio (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan.

  • 6.    Konsumsi air minum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah air minum yang diberikan dengan sisa air minum di baskom tempat penampungan.

  • 7.    Hen Day Production (HDP) diperoleh dari jumlah telur dibagi jumlah ayam dan dikalikan 100%.

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, apabila terdapat hasil yang berbeda nyata, maka (P<0,05), analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi ransum

Konsumsi ransum ayam yang diberi perlakuan K0 (tanpa pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynous L. Merr) melalui air minum) adalah 7149,17 g/ekor (Tabel 3). Konsumsi ransum ayam yang mendapat perlakuan K1 (pemberian 3% ekstrak daun katuk melalui air minum) dan perlakuan K2 (pemberian 6% ekstrak daun katuk melalui air minum) masing-masing adalah: 3,82 % dan 4,83%, lebih tinggi dibandingkan K0. Perbedaan tersebut adalah nyata secara statistik (P<0,05).

Tabel 3 Pengaruh permberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) terhadap produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22-30 minggu

Variabel

Perlakuan1)

SEM2)

K0         K1         K2

Konsumsi ransum (g/ekor)

Konsumsi air minum (liter)

FCR (konsumsi ransum / berat telur) Produksi:

  • 1.    Jumlah telur (butir/ekor)

  • 2.    Hen Day (%)

  • 3.    Berat telur total (g)

  • 4.    Berat telur rata-rata (g)

7149,17 a3)      7422,83 b      7494,50 b      42,614

21,76 a         23,57 b        23,82 b        0,419

3,89 a           3,58 b          3,60 b         0,047

35,65a         37,62b        37,55 b        0,286

64,57a          67,85b         67,85b         0,492

1839,53 a       2076,18 b      2080,21 b       0,318

51,60 a         55,34 b        55,39 b        24,443

Keterangan:

1) Air minum tanpa ekstrak daun katuk sebagai kontrol (K0), air minum yang diberi ekstrak daun katuk 3% (K1), air minum yang diberi ekstrak daun katuk 6% (K2).

2) SEM (Standart error of the treatment means).

3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05).

Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi ransum ayam perlakuan K1 dan K2. Hal ini karena kandungan antibiotik pada air minum perlakuan mengandung ekstrak air daun katuk, mampu membunuh bakteri patogen sehingga meningkatkan penyerapan zat-zat makanan. Salah satu penyebabnya adalah perubahan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan (Santoso., 2001). Didukung oleh Makkar dan Becker (1997), senyawa fitokimia seperti flavonoid, tannin, dan fenolik lainnya memiliki aktivitas antimicrobial sehingga dapat membunuh bakteri merugikan dalam saluran pencernaan ayam dan meningkatkan jumlah bakteri yang menguntungkan.

Menurut Boorman (1980), 60% energi terdeposisi sebagai protein, dan sisanya sebagai lemak. Pada penelitian ini, ayam yang mengkonsumsi ransum dan asam amino yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhannya, dapat mengkonsumsi pakan dan tumbuh lebih baik dari ayam perlakuan lainnya, menggunakan energi lebih efisien sehingga produksi telur yang dihasilkan lebih efisien. Didukung oleh Tillman et al (1986), konsumsi ransum berkolerasi dengan pemenuhan kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Semakin meningkat konsumsi ransum, maka semakin banyak asupan nutrien yang diperoleh untuk pemenuhan hidup pokok dan produksi telur.

Konsumsi air minum

Konsumsi air minum ayam yang mendapat perlakuan K0 selama penelitian adalah 21,76 liter (Tabel 3). Konsumsi air minum ayam yang mendapat perlakuan K1 dan K2 masing-masing adalah: 8,32% dan 9,47% lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Perbedaan tersebut adalah nyata secara statistik (P<0,05). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) pada perlakuan K1 dan K2 dapat meningkatkan konsumsi air minum. Hal ini disebabkan karena kandungan nutrisi ekstrak air daun katuk yang diberikan melalui air minum memicu peningkatan konsumsi air minum. Konsumsi air pada ayam petelur umumnya dipengaruhi oleh umur, temperatur lingkungan, produksi, konsumsi ransum, dan kesehatan ayam (Anggorodi, 1985; Swick, 1999). Hal ini didukung oleh Wahyu (1997) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum berbanding lurus dengan konsumsi air minum, meningkatnya konsumsi ransum akan diikuti dengan meningkatnya konsumsi air minum. Ensminger (1990) juga menyatakan bahwa pada umumnya ayam mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi, karena air minum berfungsi sebagai pelarut dan sebagai alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan ke seluruh tubuh sehingga dibutuhkan lebih banyak air daripada makanannya.

Konversi ransum (FCR)

Rataan nilai FCR (ransum : berat telur) ayam perlakuan K0 selama penelitian adalah 3,89/ekor (Tabel 3). FCR ayam yang mendapat perlakuan K1 dan K2 masing-masing adalah: 7,97% dan 7,45%, lebih rendah dibandingkan perlakuan K0. Perbedaan tersebut adalah nyata secara statistik (P<0,05). Angka FCR atau konversi ransum yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan K1 dan K2 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan K0. Semakin rendah angka konversi ransum, semakin baik tingkat konversinya karena ransum yang dikonsumsi lebih efisien untuk produksi telur. Perhitungan konversi ransum dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan ayam dalam mengubah pakan yang dikonsumsi menjadi telur dan

melihat respon ayam terhadap kualitas pakan yang diberikan (Lokapirnasari et al. 2011). Angka konversi ransum yang tinggi menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk produksi telur meningkat. Lokapirnasari et al. (2011), semakin tinggi FCR maka akan semakin buruk, artinya penggunaan pakan tersebut kurang ekonomis.

Faktor yang mendukung rendahnya konversi ransum perlakuan K1 dan K2 adalah konsumsi air minum yang diberi ekstrak air daun katuk mampu menurunkan berat usus, sehingga menurunnya jumlah mikrobia patogen pada saluran pencernaan oleh sifat antibakteri pada daun katuk. Hal ini meningkatkan efisiensi penggunaan zat gizi dan penyerapan sari-sari makanan. Menurut Jayne-Williams dan fuller (1971) pemberian antibiotik (antibakteri) menyebabkan menipisnya dinding usus, dan meningkatnya jumlah mikrobia sehingga dapat meningkatkan penyerapan zat-zat gizi, sehingga efisiensi penggunaan zat gizi dapat lebih baik. Salah satu kemungkinannya adalah perubahan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan (Santoso., 2001). Faktor lain yang dapat mempengaruhi konversi ransum diantaranya bentuk fisik pakan, berat badan ayam, kandungan nutrisi dalam ransum, lingkungan pemeliharaan, stress, dan jenis kelamin. Didukung oleh Humik et al. (1977), faktor yang mempengaruhi konversi pakan adalah produksi telur, berat telur dan konsumsi ransum.

Jumlah telur dan hen day

Jumlah telur ayam yang diperoleh perlakuan K0 berdasarkan hasil penelitian adalah 35,65 butir/ekor (Tabel 3). Hasil yang diperoleh ayam perlakuan K1 dan K2 masing-masing adalah: 5,53% dan 5,33% lebih tinggi dibanding perlakuan K0 (kontrol). Produksi telur (hen day production) yang diperoleh perlakuan K0 berdasarkan hasil penelitian adalah 64,29% (Tabel 3). Hasil yang diperoleh ayam perlakuan K1 dan K2 masing-masing adalah: 5,07% dan 5,07%, lebih tinggi dari perlakuan K0. Perbedaan tersebut adalah nyata secara statistik (P<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 3% (K1) dan 6% (K2) ekstrak air daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) pada air minum ayam Lohmann Brown umur 22 – 30 minggu secara nyata mampu meningkatkan jumlah telur dan Hen day. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan gizi dalam ekstrak daun katuk untuk menghasilkan telur. Kandungan gizi yang ada dalam ekstrak air daun katuk berupa senyawa fitokimia, protein, vitamin dan mineral.

Menurut Subekti (2006), kandungan kimia yang terdapat pada daun katuk antara lain protein, lemak, fosfat, besi, vitamin A, B, C, steroid, flavanoid, dan polifenol. Menurut (Santoso, 2000), senyawa fitokimia yang terkandung didalam daun katuk adalah: saponin, flavonoid, dan

tannin. Waji (2009) menyatakan, manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik. Faktor lain yang memicu terjadinya peningkatan jumlah telur dan Hen day adalah meningkatnya konsumsi ransum dan air minum ayam perlakuan K1 dan K2. Konsumsi ransum yang berlebih oleh ayam petelur akan digunakan untuk merangsang produktifitas dalam menghasilkan telur, sedangkan konsumsi air minum berbanding lurus dengan konsumsi ransum. Semua zat gizi yang terdapat pada pakan dan air minum ayam perlakuan akan berinteraksi satu sama lain dalam tubuh ayam, sehingga ayam mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi telur. Sell et al. (1978) menyatakan bahwa kelebihan energi metabolis (ME) yang dikonsumsi oleh ayam petelur untuk meningkatkan kandungan lemak tubuh, akan digunakan untuk merangsang produktifitas dalam menghasilkan telur.

Berat telur total dan berat telur rata-rata

Berat telur total yang dihasilkan oleh ayam perlakuan K0 selama penelitian adalah 1839,5 g/ekor/8 minggu (Tabel 3). Hasil berat telur total yang diperoleh ayam perlakuan K1 dan K2, masing-masing adalah: 12,86% dan 13,08%, lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Berat telur rata-rata ayam pada perlakuan K0 selama penelitian adalah 51,60 g/butir (Tabel 3). Hasil yang diperoleh ayam perlakuan K1 dan K2 masing-masing adalah: 7,25% dan 7,35%, lebih tinggi dibandingkan perlakuan K0. Perbedaan tersebut adalah nyata secara statistik (P<0,05).

Pemberian ekstrak air daun katuk melalui air minum pada ayam Lohmann Brown secara nyata dapat meningkatkan berat total dan berat rata-rata telur ayam K1 dan K2. Peningkatan tersebut disebabkan ayam mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan perlakuan K0. Peningkatan konsumsi ransum memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi protein dan energi pada ayam perlakuan, sehingga meningkatkan produksi telur. Menurut Subekti (2006), kandungan kimia yang terdapat pada daun katuk antara lain protein, lemak, fosfat, besi, vitamin A, B, C, steroid, flavanoid, dan polifenol. Ekstrak air daun katuk yang terdapat pada air minum ayam perlakuan memiliki kandungan kimia seperti protein dan lemak. Protein dan lemak tersebut mampu memberikan pengaruh nyata terhadap berat total dan berat telur rata-rata ayam perlakuan K1 dan K2. Didukung oleh Scott et al. (1969), faktor ransum yang mempengaruhi besarnya telur adalah protein (asam amino).

SIMPULAN

Hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) 3% dan 6% pada air minum dapat meningkatkan produksi telur ayam Lohmann Brown umur 22 – 30 minggu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan pada penulis di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Bidura, I. G. N. G., I. B. G. Partama, B. R. T. Putri, and N. L. Watiniasih. 2017. Effect of water extract of two leaves (Allium sativum and Sauropus androgynus) on egg production and yolk cholesterol levels in egg laying hens. Pakistan Journal of Nutrition. Vol. 16(7): 482487. Universitas Udayana, Denpasar.

Boorman, K. N. 1980. Dietary Constraints on Nitrogen Retention. Protein Deposition in Animals. Butterworths. London, Boston, Sydney, Wellington, Durban, Toronto.

Dewi, K. T., I. 2014. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Bawang Putih (Allium Sativum) Melalui Air Minum terhadap Penampilan Ayam Broiler umur 2-6 Minggu. Skripsi Sarjana Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2017. Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition ( Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California.

Humik, J. F., Jerome, F. N., and Mc Millian, 1977. Hereditary effects of natural colour preference in domestic chicks. Bio. Behave. 2: 203-212.

Jayne – Williams, D. J. and R. Fuller. 1971. The influence of the intestinal microflora on nutrition. In: Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. D. J. Bell, and B. M. Freeman (Eds.). Vol. 1. Academic Press, London and New York. p. 73-92.

Karyadi, E., 1997, “Antioksidan: Resep awet muda dan umur panjang dari uji aktivitas antiradikal dengan metode dpph dan penetapan kadar fenol total ekstrak daun keladi tikus (Thyponium divaricatum (Linn) Decne)”, Pharmacon, Vol. 6, No. 2, 51-56.

Lokapirnasari. W. P. Soewarno. Dhamayanti. Y. 2011. Potensi crude spirulina terhadap protein efisiensi rasio pada ayam petelur. Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan. 2: 5-8.

Makkar, H. P. S. and K. Beeker, 1997. Nutrients and antiquality factors in different morphological parts of the Moringa oleifera tree. J. Agric. Sci., 128: 311-322.

Morrison, F. B. 1961. Feed and Feeding. Abridge 9th Ed. The Morrison Publs. Co. arrangeville, Ontario, Cananda.

National Research Council (NRC). 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Press, Washington, D.C.

Parwata.A., P. Manuaba, S. Yasa and I. G. N. G. Bidura. 2016. “Characteristics and Antioxsidant activities of gaharu (Gyrinops versteegii) leaver”, J.Biol.chem. research 33(1) : 294-301.

Ruegg, P. L. 2013. Antimicrobial residues and resistance: Understanding and managing drug usage on dairy rarms. University of WI, Dept. of Dairy Science, Madison.

Santoso, U. 2000. ”Mengenal daun katuk sebagai feed additive pada broiler”. Poultry Indonesia, Juni/Nomor 242: 59–60.

Santoso, U. 2001c. “Effect of Sauropus androgynus extract on organ weight, toxicity and number of Salmonella sp. and Escherichia coli of broilers meat”. Buletin Ilmu Peternakan Dan Perikananan. 7(2): 162-169.

Santoso, U. 2002. “The usefulness of Sauropus androgynus as feed supplement in broiler chickens”. Poultry International (in press).

Scott, M. L., M. C. Nesheim and R.J. Young. 1982. “Nutrition of Chicken Publ”. By M.L Csott. Itacha, New York.

Sell. J. L., G. Tenesaca and A. nathanael. 1978. Unpublished Data. Iowa State University, Ames Iowa.

Seri, H. I. 2013. Introduction to veterinary drug residues: hazards and risks. Workshop of veterinary drug residues in food derived from animal 26-27th May 2013. Department of Animal Health and Surgery. College of Veterinary Medicine. Sudan University of Science and Technology.

Singh, S., Sanjaya, S., Neelam, T., Nitesh, K,. dan Ritu, P. 2014. Antibiotic residues: a global challenge. An International Journal of Pharmaceutical Science. Pharma Science Monitor. 5(3): 184-197.

Soekarman dan Riswan. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia. Bogor: Perpus Nasional RI. Balitbag Botani Puslitbang Biologi, LIPI.

Steel, R. G. D. and J. H, Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan. PT Gramedia, Jakarta.

Subekti, S. 2006. Komponen Sterol Dalam Eksrak Daun Katuk (Saurpous androgynus (L). Merr) Dan Hubungannya Dengan Sistem Reproduksi Puyuh. Disertai, Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur Cet. 4. Penebar Swadaya, Jakarta.

Swick, R. A. 1999. Water Quality and Managenent for Poultry. American Soybean Association, Singapore.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohardiprodjo, P. Soeharsono dan L. Soekamto. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyu. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Waji, R. A. dan Sugrani, A., 2009, Flavonoid (Quercetin), Laporan Kimia Organik Bahan Alam, Universitas Hasanuddin, Makasar.

Putri et al., Peternakan Tropika Vol. 6 No. 2 Th. 2018: 208 – 221

Page 221