NUTRIENT DIGESTIBILITY OF RATION CONTAINING DIFFERENT PROTEIN AND ENERGY LEVEL ON BALI CATTLE HEIFERS
on
e--journal FAPET UNUD
e-Journal
Universitas Udayana
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
email: [email protected]
Submitted Date: April 4, 2018 Editor-Reviewer Article;: I M. Mudita
Accepted Date: April 19, 2018
KECERNAAN NUTRIEN RANSUM DENGAN KANDUNGAN PROTEIN DAN ENERGI BERBEDA PADA SAPI BALI DARA
Valentina, F. D., I W. Suarna, dan N. N. Suryani
PS. Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. P. B. Sudirman Denpasar e-mail: [email protected] Telp. 081238955959
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kandungan protein dan energi berbeda terhadap kecernaan nutrien ransum sapi bali dara. Penelitian ini telah dilaksanakan di Peternakan Sapi Desa Belok Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung selama 3 bulan. Sebanyak 12 ekor sapi bali dara yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan berat badan. Perlakuan yang diberikan terdiri dari empat jenis ransum yaitu, ransum yang mengandung 12% protein kasar dan energi 2000 kkal ME/kg (perlakuan A), 13% protein kasar dan energi 2100 kkal ME/kg (perlakuan B), 14% protein kasar dan energi 2200 kkal ME/kg (perlakuan C), dan 15% protein kasar dan energi 2300 kkal ME/kg (perlakuan D). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Variabel yang diamati meliputi kecernaan bahan kering (Kc.BK), kecernaan bahan organik (Kc.BO), kecernaan protein kasar (Kc.PK), kecernaan lemak kasar (Kc.LK) dan kecernaan serat kasar (Kc.SK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan kandungan protein dan energi berbeda menghasilkan Kc.BK, Kc.BO dan Kc.SK yang berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan nilai masing-masing 65,77-71,17%; 67,5772,60%; dan 53,13-54,32%. Terhadap Kc.PK dan Kc.LK pemberian ransum dengan kandungan protein dan energi berbeda menghasilkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05). Kecernaan protein kasar (Kc.PK) dan Kecernaan lemak kasar (Kc.LK) tertinggi pada perlakuan D yaitu masing-masing 23,64% dan 16,56% lebih tinggi dibanding perlakuan A. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa peningkatan kandungan protein ransum dari 12% menjadi 15% dan energi termetabolis dari 2000 menjadi 2300 kkal/kg tidak memengaruhi kecernaan bahan kering, bahan organik dan serat kasar, tetapi dapat meningkatkan kecernaan protein kasar dan lemak kasar sapi bali dara
Kata kunci: protein dan energi, kecernaan nutrien, sapi bali dara
NUTRIENT DIGESTIBILITY OF RATION CONTAINING DIFFERENT
PROTEIN AND ENERGY LEVEL ON BALI CATTLE HEIFERS
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of different protein and energy level on nutrient digestibility of bali cattle heifers. This research has been conducted in Farm cattle at Belok Sidan village Petang District, Badung Regency for 3 months. A total of 12 bali cattle heifers used in this study were divided into three groups based on body weight. The treatments consisted of four types of rations, a ration containing 12% crude protein and 2000 kcal ME/kg (treatment A), 13% crude protein and 2100 kcal ME/kg (treatment B), 14% crude protein and 2200 kcal ME/kg (treatment C), and 15% crude protein and 2300 kcal ME/kg (treatment D). The experimental design used was a randomized block design (RCBD). The observed variables were dry matter digestibility, organic matter digestibility, crude protein digestibility,
ether extract digestibility and crude fiber digestibility. The results showed that fed ration with different protein and energy content has not significant different (P>0.05) of digestibility of dry matter, organic matter and crude fiber respectively with with values of 65.77-71.17%; 67,57-72,60%; and 53.13-54.32%. While for variable of crude protein digestibility and extract ether digestibility, fed rations with different protein and energy content yielded significantly different values (P<0.05). Crude protein digestibility and ether extract ether digestibility of treatment D were 23,64% and 16,56% higher respectively than treatment A. Based on the result of this study it was concluded that the increase of protein content of ration from 12% to 15% and metabolized energy from 2000 to 2300 kcal/kg does not affect the digestibility of dry matter, organic matter and crude fiber, but can improve the digestibility of crude protein and ether extract of bali cattle heifers.
Keyword: protein and energy, nutrient digestibility, bali cattle heifers
PENDAHULUAN
Sapi bali adalah plasma nutfah asli Indonesia dan merupakan unggulan daerah khususnya Provinsi Bali. Sapi bali juga menjadi salah satu komoditas sapi pedaging yang paling diminati di Indonesia yaitu sebesar 32,31% dibandingkan dengan sapi lokal lainnya (PSPK, 2011). Guntoro (2006) melaporkan bahwa sapi bali menjadi pemasok kebutuhan daging di Indonesia sebesar 26%. Salah satu keunggulan sapi bali yaitu tingkat reproduksi yang sangat tinggi seperti angka kebuntingan berkisar 80-90%, tingkat kelahiran 75-85% dan nilai karkas 56% serta kualitas daging cukup baik (Soehadji, 1991).
Pemeliharaan sapi bali di tingkat peternak umumnya masih bersifat tradisional dan sambilan. Hal ini terlihat dari pakan yang diberikan masih mengandalkan hijauan (rumput-rumputan) tanpa memerhatikan kandungan nutrien dari pakan tersebut. Walaupun terdapat peternak yang memberi pakan dengan tambahan dedak padi, namun dari segi kecukupan dan keseimbangan nutriennya masih belum menjamin pencapaian produktivitas yang optimal. Pemberian pakan berupa hijauan (rumput-rumputan) memiliki nilai cerna yang relatif rendah sebagai akibat serat kasar tinggi, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan mikroba rumen dan hewan inang akan nutrien. Maryono (2006) menyatakan bahwa pemenuhan keseimbangan nutrien dalam pakan perlu diperhatikan karena akan berdampak terhadap pertumbuhan dan produksi ternak.
Menurut Soeparno (2005) kebutuhan ratio protein dan energi pakan lebih tinggi pada ternak ruminansia muda yang sedang bertumbuh dengan cepat. Sapi dara (heifers) merupakan sapi muda yang berumur satu tahun atau lebih yang dipersiapkan sebagai calon induk serta dipersiapkan untuk kebuntingannya yang pertama. Sehingga sapi ini memerlukan protein dan energi dalam pakan yang baik dan seimbang guna untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Leng (1991) menyatakan bahwa imbangan energi dan protein dalam ransum sangat
menentukan efisiensi pemanfaatan nutrien yang akan berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Keseimbangan protein dan energi merupakan keseimbangan antara jumlah protein dan energi yang dikonsumsi melalui ransum dengan protein dan energi yang keluar dalam tubuh.
Penelitian Upeksa et al. (2016) bahwa sapi bunting umur 7 bulan yang diberikan ransum dengan kandungan 10% protein dan 2300 kkal ME/kg menunjukkan kecernaan bahan kering tertinggi sebesar 58,86% dan kecernaan bahan organik sebesar 59,69%. Sementara penelitian Suryani et al. (2012) terhadap sapi bali jantan yang diberi ransum dengan kandungan protein 12% dan energi 3,109 kkal/kg menunjukkan keseimbangan energi terbaik dengan komposisi bahan pakan 30% jerami padi + 30% gamal + 10% kaliandra + 30% konsentrat. Cakra et al. (2010) melaporkan bahwa sapi bali yang diberi ransum jerami padi amoniasi dengan kandungan protein 14,5% dan energi 3,88 GE Mkal yang disuplementasi multi vitamin-mineral dapat memperbaiki keseimbangan proteinnya.
Terpenuhinya kebutuhan nutrien sapi dara dapat mendukung pertumbuhan sapi dara sesuai dengan potensi genetiknya. Sinkronisasi antara ketersediaan protein dan energi dalam rumen sangat penting untuk diperhatikan, karena ketersediaan protein dan energi di dalam rumen selain dapat meningkatkan aktivitas mikrobial dapat juga berpengaruh dalam meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan performans ternak. Kekurangan protein dan energi dalam ransum akan mengakibatkan penurunan aktivitas fisiologis pada ternak. Hal ini didukung oleh pernyataan Wahyu (2004) bahwa suatu ransum dengan kandungan energi yang kurang meskipun kandungan protein tinggi, maka akan memperlihatkan retensi nitrogen yang menurun. Penelitian Mariani et al. (2016) penggunaan kandungan 15,42% protein dan GE 4,02 Mkal/kg DM pada sapi bali jantan memberikan pertumbuhan paling efisien dalam memanfaatkan pakan.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini sangat penting untuk dikaji untuk mengetahui kecernaan nutrien ransum dengan kandungan protein dan energi dengan kandungan berbeda pada sapi bali dara.
MATERI DAN METODE
Ternak
Penelitian menggunakan sapi bali dara (heifers) yang berjumlah 12 ekor dengan rataan berat badan awal 193,42±18,13 kg.
Kandang dan perlengkapannya
Kandang yang digunakan merupakan kandang individu berjumlah 12 petak dengan memiliki ukuran panjang panjang × lebar = 200 × 150 cm yang dilengkapi dengan tempat
pakan. Kemiringan lantai kandang adalah 5o berfungsi mempermudah mengalirnya urin dan kotoran yang dikeluarkan oleh ternak menuju selokan pembuangan kotoran. Kontruksi atap kandang terbuat dari seng, sementara lantai kandang dan tempat pakan terbuat dari beton. Ukuran tempat pakan berkisar 500 cm × 100 cm.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah timbangan shalter dan digital dengan ketelitian 0,01 kg, ember plastik sebagai penampung feses, keranjang, sekop, kantong plastik besar sebagai penampung sisa pakan (ransum), ayakan untuk memisahkan konsentrat dan hijauan sisa ransum, sekop kecil untuk mengambil sisa ransum, tempat sampel dan berbagai peralatan laboratorium untuk kegiatan analisis sampel.
Ransum dan air minum
Ransum yang diberikan ternak terdiri dari hijauan dan konsentrat nutrifeed dengan empat jenis ransum yang mengandung PK 12% dan ME 2000 kkal/kg; PK 13% dan ME 2100 kkal/kg; PK 14% dan ME 2200 kkal/kg dan PK 15% dan 2300 ME kkal/kg pada sapi bali dara (heifers). Air minum diperoleh dari sumber air terdekat dan diberikan ad libitum. Adapun komposisi ransum yang disusun berdasarkan bahan kering (BK) adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Komposisi ransum berdasarkan bahan kering (BK)
Komposisi (%) |
Perlakuan | |||
A |
B |
C |
D | |
Konsentrat nutrifeed |
39 |
32 |
37 |
35 |
Tepung kacang kedelai |
2 |
3,25 |
4 |
9,1 |
Urea |
0,3 |
0,8 |
1 |
0,9 |
Molases |
0 |
3 |
4 |
4 |
Rumput raja |
58,2 |
59,7 |
51,7 |
48 |
Minyak kelapa |
0 |
0,75 |
1,8 |
2,5 |
Vitamin/mineral |
0,5 |
0,5 |
0,5 |
0,5 |
Jumlah |
100 |
100 |
100 |
100 |
Sumber: Suryani et al.(2017) | ||||
Tabel 2. Komposisi nutrien ransum | ||||
Nutrien Pakan |
Perlakuan | |||
A |
B |
C |
D | |
Protein kasar (%) |
12 |
13 |
14 |
15 |
ME (kkal/kg) |
2000 |
2100 |
2200 |
2300 |
Lemak Kasar (%) |
10,15 |
10,97 |
12,78 |
13,55 |
Serat kasar (%) |
20,81 |
20,61 |
19,10 |
17,66 |
Kalsium (%) |
1,43 |
1,29 |
1,36 |
1,29 |
Phospor (%) |
0,56 |
0,54 |
0,59 |
0,54 |
ADF (%) |
31,06 |
30,00 |
27,34 |
25,67 |
Sumber: Suryani et al.(2017)
Analisis dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fapet-Unud
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Belok Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung selama 3 bulan (Juni-Agustus). Analisis sampel ransum dan feses dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Rancangan percobaan
Penelitian ini mengugunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dengan 3 kelompok sapi dara dengan berat badan berbeda sebagai ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut.
A = ransum mengandung 12% protein dan 2000 kkal ME/kg
B = ransum mengandung 13% protein dan 2100 kkal ME/kg
C = ransum mengandung 14% protein dan 2200 kkal ME/kg
D = ransum mengandung 15% protein dan 2300 kkal ME/kg
Model matematika dalam rancangan ini adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi+ ßj + ɛij
Keterangan:
Yij = nilai variabel hasil pengamatan
µ = rataan umum pengamatan
τi = efek kelompok ke-j (1, 2, 3)
ßj = pengaruh jenis kombinasi ransum protein dan energi berbeda ke-i (A, B, C, D)
ɛij = pengaruh galat ransum ke-j (A, B, C, D) dan ulangan ke-i (1,2,3)
Variabel yang diamati
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
1. Kecernaan Bahan Kering (BK)
Kecernaan BK = Konsumsi BK (g) - BK dalam feses (g)
× 100%
Konsumsi BK (g)
-
2. Kecernaan bahan organik (BO)
Kecernaan BO = Konsumsi BO (g) - BO dalam feses (g)
× 100%
Konsumsi BO (g)
-
3. Kecernaan protein kasar (PK)
Kecernaan PK = Konsumsi PK (g) - PK dalam feses (g)
× 100%
Konsumsi PK (g)
-
4. Kecernaan serat kasar (SK)
Kecernaan SK = Konsumsi SK (g) - SK dalam feses (g)
× 100%
Konsumsi SK (g)
-
5. Kecernaan lemak kasar (LK)
Kecernaan LK = Konsumsi LK (g) - LK dalam feses (g)
× 100%
Konsumsi LK (g)
Pemberian ransum dan air minum
Pakan yang diberikan terdiri atas hijuan dan konsentrat. Pakan konsentrat diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari (08.00 Wita) dan sore hari (16.00 Wita), sedangkan pakan hiajuan diberikan dalam keadaan segar setelah pemberian pakan konsentrat. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum.
Konsumsi ransum
Konsumsi ransum harian dihitung mulai dari pemberian pakan pukul 08.00 Wita sampai pukul 08.00 Wita keesokan harinya. Sisa pakan kemudian dipisahkan antara hijauan dan konsentrat.
Pengambilan sampel feses
Pengukuran produksi feses harian dilaksanakan selama satu minggu. Kotoran atau feses yang dikeluarkan oleh ternak segera ditampung ke dalam ember plastik yang telah disiapkan pada masing-masing kandang, kemudian feses ditimbang menggunakan timbangan shalter. Jumlah feses yang ditampung selama satu hari dari pagi sampai pagi keesokan harinya dihitung sebagai jumlah produksi feses segar per hari.
Feses yang telah ditampung kemudian diambil 200 gram/ekor dan ditampung di wadah sampel perlakuan. Selanjutnya feses dikeringkan di bawah sinar matahari untuk menghilangkan kadar air selama 3 hari atau sampai mencapai berat yang tidak berubah-ubah (konstan). Kemudian masing-masing sampel feses dianalisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana untuk melihat kandungan bahan kering, bahan organik, serat kasar, protein kasar dan lemak kasar.
Analisis data
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan pakan untuk menyediakan nutrien bagi ternak ditentukan melalui analisis kimiawi, namun nilai sebenarnya akan ditunjukkan dengan bagian yang hilang setelah pencernaan, penyerapan dan metabolisme. (Mc. Donald et al. 2002). Apabila didefinisikan
kecernaan merupakan bagian dari nutrien pakan yang mampu diabsorpsi oleh tubuh ternak dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses. Nilai kecernaan bahan kering sapi bali dara yang diberi ransum dengan kandungan protein dan energi berbeda tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan nutrien ransum pada sapi bali dara | |||||
Variabel |
Perlakuan |
SEM3) | |||
A1) |
B |
C |
D | ||
Kecernaan Bahan Kering (%) |
65,77a2) |
68,33a |
67,28a |
71,17a |
2,63 |
Kecernaan Bahan Organik (%) |
67,57a |
70,06a |
68,61a |
72,60a |
2,55 |
Kecernaan Protein Kasar (%) |
61,81b |
69,89ab |
72,88a |
76,42a |
2,74 |
Kecernaan Lemak Kasar (%) |
66,41b |
72,19ab |
75,54a |
77,41a |
1,74 |
Kecernaan Serat Kasar (%) |
54,32a |
54,12a |
51,50a |
53,13a |
3,78 |
Keterangan:
A = Ransum dengan kandungan protein 12% dan energi 2000 ME kkal/kg B = Ransum dengan kandungan protein 13% dan energi 2100 ME kkal/kg C = Ransum dengan kandungan protein 14% dan energi 2200 ME kkal/kg D = Ransum dengan kandungan protein 15% dan energi 2300 ME kkal/kg
|
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan protein dan energi yang berbeda pada masing-masing perlakuan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap kecernaan bahan kering (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan level protein ransum 12% hingga 15% dan energi 2000 kkal ME/kg hingga 2300 kkal ME/kg tidak memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan kecernaan bahan kering. Artinya bahwa sapi bali dara yang diberi perlakuan A, B, C dan D, masih mampu mengatur kebutuhannya. Tillman et al. (1998) dan Anggorodi (1990) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah komposisi kimia dalam ransum, proporsi bahan pakan ransum, tingkat protein ransum, serta persentase lemak dan mineral. Faktor lain yang menyebabkan tidak nyatanya hasil kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh tidak nyatanya konsumsi bahan kering (Tabel 4). Kecernaan bahan kering sangat erat kaitannya dengan konsumsi bahan kering. Hal ini didukung oleh Arora (1995) yang menyatakan bahwa kecernaan berkolerasi positif dengan konsumsi pakan.
Rataan kecernaan bahan kering menunjukkan angka yang bervariasi. Kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada sapi bali dara yang mendapat perlakuan D yaitu 71,17%. Hasil kecernaan BK ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A, B dan C. Demikian juga jika dilihat dari jumlah nutrien feses yang dikeluarkan (Tabel 5), lebih banyak pada perlakuan A, B dan C dibanding perlakuan D, karena kecernaan perlakuan A, B dan C lebih rendah daripada perlakuan D. Semakin tinggi kadar energi ransum menunjukkan kualitas makanan semakin baik, dalam arti kecernaan ransum tinggi sehingga mengakibatkan nutrien yang
terbuang melalui feses menjadi rendah. Hasil penelitian pada perlakuan D menujukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Basri (2014) dengan perlakuan ransum komplit dan kandungan protein 15,24% menghasilkan kecernaan bahan kering 66,50%. Sementara kecernaan bahan kering terendah yaitu pada sapi bali dara yang mendapat perlakuan A (65,77%). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Mariani et al. (2016) pada sapi bali jantan dengan perlakuan ransum kandungan protein 15,42% dan GE 4,02 Mkal/kg DM menghasilkan kecernaan bahan kering sebesar 65,83%.
Tabel 4. Konsumsi Nutrien Ransum (g/h), PBB, FCR dan NDF | |||||
Peubah Pengamatan |
Perlakuan1) |
SEM2) | |||
A |
B |
C |
D | ||
Konsumsi Nutrien Ransum | |||||
Bahan kering (g/e/h) |
4392,90a |
4508,61a |
4349,03a |
4393,27a |
159,45 |
Bahan organik (g/e/h) |
3810,39a |
3931,80a |
3797,80a |
3868,27a |
138,75 |
Protein kasar (g/e/h) |
596,94a |
662,41b |
657,24b |
686,56b |
23,64 |
Lemak kasar (g/e/h |
482,82a |
559,97a |
590,49a |
633,79b |
20,79 |
Serat kasar (g/e/h) |
856,77a |
839,36a |
787,04a |
725,42a |
29,17 |
ADF (g/e/h) |
1178,68 |
1059,54 |
954,28 |
838,52 | |
PBB |
316,18 |
389,67 |
317,07 |
442,03 | |
FCR |
15,31 |
11,80 |
14,90 |
10,76 | |
Sumber: Suryani et al. (2017) Keterangan:
A = Ransum dengan kandungan protein 12% dan energi 2000 ME kkal/kg B = Ransum dengan kandungan protein 13% dan energi 2100 ME kkal/kg C = Ransum dengan kandungan protein 14% dan energi 2200 ME kkal/kg D = Ransum dengan kandungan protein 15% dan energi 2300 ME kkal/kg
|
Kecernaan bahan organik pada sapi bali dara yang diberi ransum dengan kandungan protein 12-15% dan energi 2000-2300 kkal ME/kg tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05). Hal ini dipengaruhi oleh kecernaan bahan kering yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (Tabel 3). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa bahan organik terdiri dari serat kasar, lemak kasar, protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Menurut Munasik (2007) bahan pakan yang memiliki kandungan nutrien yang hampir sama memungkinkan kecernaan bahan organik mengikuti kecernaan bahan kering. Dalam hal ini komposisi nutrien dalam pakan yang diberikan hampir mendekati antar perlakuan A, B, C dan D. Faktor lain yang memengaruhi kecernaan bahan organik berbeda tidak nyata adalah konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik semua sapi bali dara yang mendapatkan perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (Tabel 4).
Tabel 5. Jumlah Nutrien Feses (g/h)
Kandungan Nutrien Feses (g/e/h) |
Perlakuan |
SEM | |||
A |
B |
C |
D | ||
Bahan kering |
1476,89 |
1390,20 |
1411,06 |
1264,33 |
87,35 |
Bahan organik |
1213,78 |
1145,06 |
1182,16 |
1057,97 |
76,18 |
Protein kasar |
223,25 |
196,16 |
177,41 |
160,85 |
13,46 |
Lemak kasar |
160,38 |
151,86 |
142,45 |
141,70 |
8,76 |
Serat kasar |
385,77 |
374,15 |
379,08 |
338,59 |
25,35 |
Sumber: Suryani et al. (2017) Keterangan:
1) Perlakuan:
A = Ransum dengan kandungan protein 12% dan energi 2000 ME kkal/kg
B = Ransum dengan kandungan protein 13% dan energi 2100 ME kkal/kg
C = Ransum dengan kandungan protein 14% dan energi 2200 ME kkal/kg
D = Ransum dengan kandungan protein 15% dan energi 2300 ME kkal/kg
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada sapi bali dara yang mendapat perlakuan D yaitu 72,60%. Hasil penelitian tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Jems et al. (2014) yang menggunakan kandungan protein 14,84% menghasilkan kecernaan bahan organik sebesar 67,45% pada kambing lokal. Sementara kecernaan bahan organik terendah terdapat pada sapi bali dara yang mendapatkan perlakuan A. Sementara sapi bali dara yang mendapatkan perlakuan C menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali dara yang mendapatkan perlakuan B dan D. Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan organik sapi bali dara yang mendapat perlakuan C lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B dan D.
Kecernaan protein kasar pada sapi bali dara yang diberi ransum dengan kandungan protein dan energi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Kecernaan protein kasar menunjukkan hasil yang meningkat disetiap perlakuannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mariani et al. (2016) pada sapi bali jantan menunjukkan hasil peningkatan kecernaan protein kasar kearah perbaikan mutu pakan.
Peningkatan hasil kecernaan protein kasar di setiap perlakuannya menunjukkan bahwa penggunaan ransum dengan mengandung protein kasar 12% hingga 15% mampu menstimulasi mikroba rumen dalam melakukan aktivitas degradasi bahan pakan dalam rumen. Namun, aktivitas mikroba rumen tersebut juga dipengaruhi oleh ketersediaan energi dalam pakan yang membantu dalam memaksimalkan aktivitas mikroba rumen khususnya bakteri untuk mencerna pakan berserat. Semakin tinggi kandungan protein dan energi yang diberikan memberikan hasil kecernaan protein kasar yang tinggi. Hal ini didukung oleh Kettellars et al.
(1992) yang menyatakan bahwa pemberian protein kasar yang tinggi pada pakan konsentrat mampu mengaktifkan mikroba rumen yang akan meningkatkan jumlah proteolitik dan naiknya deaminasi yang mengakibatkan meningkatkan nilai kecernaan.
Hasil kecernaan protein kasar tertinggi yaitu perlakuan D yaitu 76,42% dan terendah pada perlakuan A yaitu 61,81%. Hal ini disebabkan karena konsumsi Acid Detergent Fiber (ADF) pada sapi yang mendapat perlakuan D lebih rendah dibanding perlakuan A (838,52 g vs 1178,68 g) (Tabel 4). Konsumsi ransum dengan kandungan ADF yang lebih rendah akan menunjukkan hasil kecernaan yang meningkat dikarenakan pakan lebih mudah untuk dicerna. ADF mewakili selulosa dan lignin dalam dinding sel tanaman, sehingga semakin tinggi kandungan ADF dalam ransum maka akan mengakibatkan daya cerna yang semakin rendah. Hal ini didukung oleh Arora (1995) yang menyatakan bahwa ADF mengandung 15% pentosan yang disebut micellar pentosa yang sulit dicerna dibandingkan dengan jenis karbohidrat lainnya. Hasil kecernaan protein kasar sapi bali dara yang mendapatkan perlakuan A sejalan dengan penelitian Mariani et al. (2016) pada sapi bali jantan dengan kandungan protein 10,58% dan GE 3,53 Mkal/kg DM menghasilkan kecernaan PK 61,27%. Selanjutnya kecernaan protein kasar sapi perlakuan A lebih rendah dibandingkan penelitian Upeksa et al. (2016) pada sapi bali bunting 7 bulan dengan level protein 10% dan energi 2300 kkal ME/kg menghasilkan tingkat kecernaan PK sebesar 66,09%. Sementara hasil penelitian sapi bali dara yang mendapat perlakuan ransum C sejalan dengan penelitian Setiawan dan Wiryawan (2015) dengan kandungan PK 15,06% menghasilkan kecernaan protein kasar 72,91% pada sapi peranakan ongole. Namun, kecernaan protein perlakuan C lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Pamungkas et al. (2011) pada sapi bali jantan lepas sapih dengan penggunaan daun lamtoro dalam ransum yang mengandung PK 15,47% menghasilkan kecernaan PK sebesar 75,45%.
Van Soest (1994) menjelaskan bahwa faktor yang memengaruhi kecernaan bahan pakan adalah spesies ternak, umur ternak, perlakuan pakan, kadar serat kasar dan lignin, pengaruh asosiasi pakan, defisiensi nutrien, komposisi pakan, level pakan. Perlakuan ransum dengan kandungan protein 12% hingga 15% dan energi 2000 kkal ME/kg hingga 2300 kkal ME/kg memberi pengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan ransum lemak kasar. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh aktivitas mikroba rumen. Perlakuan pemberian peningkatan protein dan energi dalam ransum sapi bali dara meningkatkan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi lemak. Artinya bahwa kandungan nutrien dalam pakan dalam perlakuan dapat memenuhi kecukupan nutrisi mikroorganisme sehingga fermentasi berjalan baik dengan adanya aktivitas lipase sebagai pendegradasi lemak kasar (Wiseman et al. 1990).
Kecernaan lemak kasar tertinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan D yaitu 77,41%, lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Febrina (2012) pada sapi PO berbasis limbah perkebunan kelapa sawit yang diamoniasi urea dengan kandungan PK 19,09% dan LK 4,11% menunjukkan hasil kecernaan LK yaitu 79,51% dengan pemberian 2 kali sehari. Sedangkan nilai kecernaan lemak kasar terendah diperoleh pada sapi dengan perlakuan A (P<0,05). Kecernaan lemak kasar perlakuan ransum B tidak berbeda dengan perlakuan A, C dan D, namun nilai kecernaan lemak kasar perlakuan C dan D berbeda nyata dengan perlakuan A (P<0,05). Penggunaan minyak dalam ransum perlakuan ransum B, C dan D nyata meningkatkan kecernaan lemak kasar.
Kecernaan serat kasar pada sapi bali dara yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05). Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar semua sapi bali dara menunjukkan perbedaan tidak nyata. Hal ini didukung oleh pendapat Tillman et al. (1998) bahwa kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi oleh ternak. Selain itu, daya cerna erat kaitannya dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh paling besar terhadap daya cerna. Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah mikroba rumen yang tidak menunjukkan aktivitas dalam mendegradasi pakan serat yang diberikan. Pendapat ini didukung oleh Arora (1995) yang menyatakan bahwa, pola fermentasi di dalam rumen sebagian besar melalui multiplikasi organisme-organisme pencerna serat kasar (mikroba selulolitik) yang mencerna selulosa dan hemiselulosa (serat kasar). Putra (1999) menyatakan bahwa kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak sapi ditentukan oleh kandungan zat makanan pakan dan aktivitas mikroba rumen terutama bakteri serta interaksi dari kedua faktor tersebut.
Kecernaan serat kasar tertinggi terdapat pada sapi bali dara yang mendapat perlakuan A (Tabel 3). Sementara hasil kecernaan serat kasar yang mendapat perlakuan D menunjukkan hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Mariani et al. (2016) pada sapi Bali jantan dengan kandungan protein 15,42% dan GE 4,02 Mkal/kg DM memperoleh kecernaan serat kasar 50,31%. Namun, kecernaan serat kasar perlakuan D lebih rendah dari penelitian Upeksa et al. (2016) pada sapi bali bunting umur 7 bulan dengan kadungan protein 10% dan energi 2300 kkal ME/kg menghasilkan kecernaan serat kasar 66,09%. Perbedaan hasil kecernaan serat kasar ini dipengaruhi oleh faktor pakan yang diberikan dan ternak yang digunakan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Colucci et al. (1990) yang menyatakan bahwa faktor pakan yang dapat mempengaruhi kecernaan adalah pakan serat, penambahan enzim, konsumsi ransum, perlakuan pakan dan anti nutritive factor.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: (1) peningkatan protein 12% menjadi 15% dan energi termetabolis 2000 menjadi 2300 kkal/kg tidak memengaruhi kecernaan bahan kering, bahan organik dan serat kasar, tetapi dapat meningkatkan kecernaan protein kasar dan lemak kasar; (2) ransum dengan kandungan protein 14% dan 15% dengan kandungan ME 2200 dan 2300 kkal/kg memiliki nilai kecernaan ransum tertinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana dan seluruh pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Terjemahan dari Microbial Digestion In Ruminants. Oleh Retno Murwani. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Komplit dengan Kandungan Protein Berbeda pada Kambing Marica Jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Cakra, I. G. L. O.., A. A. A. S Trisnadewi, I. B. G. Partama, T.G.B. Yadya and N. L. G. Sumardani. 2010. Nitrogen balance of bali cattle fed ammoniated rice straw and concentrate supplemented by multi vitamin-mineral. Proc. Conservation and Improvement of World Indigennous Cattle. Bali, 3rd-4th September 2010. Held by Study Centre For Bali Catlle. Udayana University. 95-109.
Colucci, P. E., G. K. MacLeod, W. L. Grovum, I. McMillan and D. J. Barney. 1990. Digesta kinetics in sheep and cattle fed diets with different forage to concentrate ratios at high and low intakes. J. Dairy Sci. 73:2143-2156.
Febrina, D. 2012. Kecernaan Ransum Dapi Peranakan Ongole Berbasis Limbah Perkebunan Kelapa Sawit yang Diamoniasi Urea. Jurnal Peternkan. Vol 9(2):68-74.
Guntoro, S. 2006. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Jems, A. Momot, K. Maaruf, M. R. Waani, Ch. J. Pontoh. 2014. Pengaruh Penggunaan Konsentrat Dalam Pakan Rumput Benggala (Panicum maximum) Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Kambing Lokal. Jurnal Zootek. Vol 34 (Edisi Khusus): 108-114. ISSN 0852-2626
Ketellars, J. J and B. J. Tolkamp. 1992. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants. 1. Causes of differences in voluntary feed intake: critique of current views. Livestock Prod. Sci. 30:269-296.
Leng, R. A. 1991. Application of biotechnology to nutrition of animal in developming countries. Rome: Animal Production and Health Paper, FAO.
Mariani, N. P., I. G. Mahardika, S. Putra, dan I. B. G. Partama. 2016. Protein dan Energi Ransum yang Optimal untuk Tampilan Sapi Bali Jantan. Jurnal Veteriner. Vol. 17 No. 4: 634-640
Maryono, 2006. Teknologi Inovasi “Pakan Murah” untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong Lokal. Sinar Tani ed. 18 – 24 Oktober.
McDonald, R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th. Prencitise Hall, New Jersey.
Munasik. 2007. Pengaruh umur pemotongan terhadap kualitas hijauan sorgum manis (Shorgum bicolor L. Moench) Variets RGU. Prosiding Seminar Nasional : 248-253.
Pamungkas, D., Y. N. Anggraeny., Kusmartono., Hartutik., S. Quigley dan D. P. Poppi. 2011. Penggunaann Daun Lamtoro (L. Leucocephala) Dalam Ransum Terhadap Konsumsi, Kecernaan dan Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali Jantan Lepas Sapih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
[PSPK] Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau. 2011. Rilis Akhir PSPK 2011. Kementrian Pertanian-Badan Pusat Statistik. http://ditjennak.pertanian.go.id Diakses 02 November 2014.
Putra, S. 1999. Perbaikan mutu pakan yang yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba dalam rumen, kecernaan bahan kering, dan nutrient ransum sapi bali bunting. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana. Bali.
Setiawan, D., dan K. G. Wiryawan. 2015. Kecernaan Nutrien Pakan Tepung Daun Murbei Pada Sapi Peranakan Ongole. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 3(4):262-261.
Soehadji, H. 1991. Kebijakan Pengembangan Ternak Potong di Indonesia. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Principle and Procedures of Statistic. McGrow Hill Book Bo.Inc. New York.
Suryani, N. N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang Diberi Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Suryani, N. N., I. G. Mahardika dan N. P. Sarini. 2017. Percepatan Pemenuhan Kebutuhan Daging Nasional Melalui Pemanfaatan Kualitas Induk dan Pedet Sapi Bali. Laporan Penelitian POPT.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Upeksa, I. G. N. D., N. N. Suryani dan N. P. Sarini. 2016. Pengaruh Pemberian Level Energi Terhadap Kecernaan Kecernaan Nutrien Ransum Sapi Bali Bunting 7 Bulan. Peternakan Tropika Vol. 4 No. 1 Th. 2016: 196-207. Universitas Udayana Denpasar.
Van Soest, P. J. 1994. Nutritiona Ecology of the Ruminant. 2nd ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press. Ithaca and London.
Wahyu. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wiseman, and DJA Cole. 1990. Feedstuff Evaluation. Great Britain University Press. Cambridge.
Valentina et al., Peternakan Tropika Vol. 6 No. 1 Th. 2018: 184 – 197
Page 197
Discussion and feedback