PENGARUH PEMBERIAN ISOLAT BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU MELALUI AIR MINUM SEBAGAI SUMBER PROBIOTIK TERHADAP KARKAS ITIK BALI UMUR 8 MINGGU
on
e-Journal
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
email: [email protected]
e--journal
FAPET UNUD
Universitas
Udayana
PENGARUH PEMBERIAN ISOLAT BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU MELALUI AIR MINUM SEBAGAI SUMBER PROBIOTIK TERHADAP KARKAS ITIK BALI UMUR 8 MINGGU
Kurnia D. W., I B.G. Partama dan I G. N. G. Bidura Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Jln. P.B. Sudirman, Denpasar, Bali
Hp: 082237650448 e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penggunaan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan aktivitas enzim dan penyerapan zat makanan. Probiotik merupakan pakan imbuhan yang dapat diberikan pada ransum atau air minum berupa mikroorganisme yang dapat hidup disaluran pencernaan, bersimbiosis dengan mikroorganisme yang ada, bersifat menguntungkan, dapat meningkatkan pertumbuhan, dan efisiensi pakan tanpa mengalami proses penyerapan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian isolat bakteri selulolitik rumen kerbau melalui air minum sebagai sumber probiotik terhadap bobot karkas itik Bali umur 8 minggu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Kabupaten Tabanan, Bali. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Variabel yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, konsumsi ransum dan konsumsi air minum. Ketiga perlakuan yaitu: air minum tanpa bakteri selulolitik sebagai kontrol (A) air minum dengan 0,20% kultur bakteri selulolitik (B), dan air minum dengan 0,40% kultur bakteri selulolitik (C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kultur bakteri selulolitik 0,20% dan 0,40% melalui air minum nyata (P<0,05) dapat meningkatkan bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian probiotik bakteri selulolitik isolat rumen kerbau melalui air minum pada level 0,20% dan 0,40% dapat meningkatkan karkas itik Bali umur 8 minggu.
Kata Kunci : Bakteri selulolitik, bobot karkas, itik bali, probiotik
THE EFFECT OF CELLULOTYTIC BACTEIA ISOLATE OF BUFFALO RUMEN AS APROBIOTICS SOURCES DRINKING WATER ON CARCASS OFBALI DUCK UP OF EIGHT WEEKS OF AGE
ABSTRACT
The use of probiotics in the ration can increase the activity of enzymes and absorb of feed nutrient. Probiotics is a feed additive that can be given in ration or drinking water in the form of microorganisms that can live in the digestive tract, in symbiosis with the existing microorganisms, is particularly useful and able to promote growth as well as the feed efficiency without undergoing the process of absorb. Based on the above, this study aimed to determine the effect of buffalo rumen cellulolytic bacteria in drinking water as a source of probiotics on the carcass weight of the 8-week aged Bali ducks. This research was conducted at Dajan Peken Village of Tabanan, Bali. The design used was completely randomized design (CRD) with three treatments and six replications.The variables measured were the slaughter weight, the carcass weight, the carcass percentage, consumption of rations and drinking water consumption. The three treatments namely: drinking water without cellulolytic bacteria as the control (A) drinking water of 0.20% cellulolytic bacterial culture (B), and drinking water of 0.40% cellulolytic bacterial culture (C). The results showed that the administration of bacterial culture of cellulolytic of 0.20% and 0.40% through drinking water significantly (P <0.05) could increase the slaughter weight, the carcass weight, and the carcass percentage. Based on the research results, it can be concluded that the administration of probiotic bacteria isolates of cellulolytic buffalo rumen through drinking water at the level of 0.20% and 0.40% could increase the carcass of the 8 week aged Bali ducks.
Keywords: Bali ducks, cellulolytic bacteria, carcass weights, probiotics
PENDAHULUAN
Itik bali (Anas sp) adalah itik lokal asli Indonesia yang banyak berkembang di pulau Bali dan Lombok. Itik ini memiliki daya tahan hidup yang cukup tinggi, sehingga bisa dipelihara di berbagai wilayah di Indonesia. Itik bali merupakan sumber kekayaan dan sumber daya genetik asli Bali, namun keberadaannya saat ini masih kurang mendapat perhatian secara khusus. Umumnya, itik bali hampir sama dengan itik Jawa karena tergolong dalam bangsa Indian Runner. Probiotik dapat didefinisikan sebagai tambahan pakan yang mengandung mikroba hidup yang berdampak positif kepada ternak inang dengan cara meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan. Probiotik dapat mengandung kultur ragi
ataupun bakteri (Wallace dan Newbold, 1992). Penggunaan probiotik dalam ransum secara nyata dapat menurunkan aktivitas enzim urease dalam usus kecil sehingga kadar amonia menurun (Yeo dan Kim, 1997). Disamping itu, penggunaan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan kandungan “lysine analogue S-2-aminoethyl-cysteine” dalam saluran pencernaan unggas (Sand dan Hankins,1976). Fuller (1992) membuktikan bahwa probiotik yang mengandung mikroba selulolitik anaerobik dalam rumen akan meningkatkan konsumsi dan pertambahan bobot badan.
Penggunaan probiotik dalam ransum ternyata dapat meningkatkan kandungan gizi yang terserap dalam saluran pencernaan unggas (Wiharto, 1995). Owings et al. (1990) menyatakan bahwa penambahan suplemen probiotik sebanyak 0,10% dalam ransum ternyata dapat meningkatkan kualitas karkas yang memiliki kandungan lemak rendah. Menurut Fuller (1992) dan Karpinska et al. (2001), probiotik adalah imbuhan pakan berbentuk mikroba hidup yang menguntungkan dan mempengaruhi induk semang melalui perbaikan keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Udayana (2004), menyatakan probiotik adalah zat aditif pakan yang merupakan kumpulan mikroorganisme yang dapat menyeimbangkan mikroflora dalam saluran pencernaan ternak unggas.
Upaya peningkatan kecernaan serat kasar pakan secara fermentatitif terus dilakukan salah satunya melalui pemanfaatan isolat bakteri selulolitik dikombinasikan dengan cairan kolon hewan non ruminansia. Hasil penelitian menunjukan bahwa mikroba cairan kolon non ruminansia mampu meningkatkan kecernaan serat kasar. Peningkatan kecernaan serat kasar feses kemungkinan disebabkan karena cairan kolon non ruminansia mengandung bakteri lignolitik (Wahyudi dan Hendraningsih 2004). Lebih lanjut Siti et al., 2016 melaporkan bahwa suplementasi 0,20%-0,40% kultur isolat bakteri selulolitik rumen kerbau nyata dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum pada itik. Secara kronologi perolehan inokulan probiotik tersebut diawali dari penelitian observasi bakteri selulolitik rumen beberapa ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing, dan domba (Wahyudi, 1992). Hasil penelitian ini menunjukan bahawa jenis ternak ruminansia tidak berkorelasi dengan aktivitas enzim selulolitik, namun aktivitas enzim selulolitik lebih ditentukan oleh jenis pakan dan lama tinggal di dalam rumen (Wahyudi dan Bachrudin, 1992).
Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk mengamati pengaruh pemberian isolat bakteri selulolitik rumen kerbau sebagai sumber probiotik terhadap bobot karkas itik bali umur 8
minggu.
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Tabanan, Bali, dan analisis laboratorium dilaksanakan di Lab.Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan, mulai dari persiapan sampai analisis laboratorium Kultur Bakteri Selulolitik
Kultur bakteri selulolitik yang digunakan pada penelitian ini diprodoksi menggunakan isolat bakteri selulolitik unggul 1 atau isolat bakteri terbaik hasil penelitian Bidura Tahun 2014 yang diisolasi dari limbah isi rumen kerbau, dengan kode B-6 yang ditumbuhkan pada medium padat, yaitu 150 gram molases, 15 gram urea, 5 gram jeruk nipis, 5 gram vitamin multi mineral, 400 gram dedak padi dan air. Bakalan kultur selanjutnya diinkubasi selama 1 minggu dalam kondisi anaerob dengan suhu 370C, setelah proses inkubasi dilanjutkan dengan proses pelleting dan pengeringan bertingkat menggunakan suhu 350C-400C selama 3-4 hari, sehingga kadar air produk ± 15%.
Itik
Itik yang digunakan pada penelitian ini adalah itik bali umur 1 hari (DOD/day old duck) sebanyak 54 ekor.
Kandang dan Perlengkapan
Tipe kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah system battery colony dari bilah-bilah bambu dengan ukuran panjang 100cm, lebar 50cm, dan tinggi 40cm. Masing- masing kandang diisi 3 ekor itik bali. Tiap petak kandang sudah dilengkapi tempat pakan dan air minum.
Peralatan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: timbangan digital kapasitas 5 Kg dengan kepekaan 1 gram, timbangan tricle brand untuk menimbang kultur dengan kapasitas 100 gram, kepekaan 0,1 gram, gelas ukur dengan kapasitas 500 ml, ember untuk tempat ransum dan air minum, pisau untuk menyembelih dan untuk memotong bagian tubuh itik, gunting dan ember perendaman sebelum dilakukan pencabutan bulu, pinset sebagai penjepit dalam proses pemisahan bagian tubuh itik dan alat-alat tulis untuk mencatat hasil.
Ransum dan Air Minum
Ransum yang diberikan berdasarkan perhitungan menurut Scott et al. (1982). Ransum ini
disusun isokalori (ME: 2900 kkal/kg) dengan isoprotein (CP:18%). Bahan dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi pakan dalam ransum itik bali
Bahan Pakan (%) |
Perlakuan1) |
Jagung Kuning |
52.40 |
Dedak Padi |
12.90 |
Bungkil Kelapa |
12.20 |
Kacang Kedelai |
9.80 |
Tepung Ikan |
11.80 |
Minyak Kelapa |
0.50 |
Bungkil Kelapa |
0.40 |
Total |
100 |
Air minum yang diberikan pada ternak disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan. Ternak yang mendapat perlakuan A, diberikan air minum tanpa penambahan kultur bakteri selulolitik, sedangkan perlakuan B, itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,20%, dan perlakuan C, itik diberi kultur bakteri selulolitik 0,40%.
Tabel 2 Komposisi zat makanan dalam ransum itik bali1)
Komposisi Kimia |
Perlakuan |
Standar2) | |||
A |
B |
C | |||
Energi Metabolisme |
Kkal/kg |
2901 |
2901 |
2901 |
2900 |
Protein Kasar |
(%) |
18 |
18 |
18 |
18 |
Lemak Kasar |
(%) |
7.73 |
7.27 |
7.27 |
5-103) |
Serat Kasar |
(%) |
5.03 |
5.03 |
5.03 |
3-53) |
Ca |
(%) |
0.98 |
0.98 |
0.98 |
10 |
P-availabel |
(%) |
0.59 |
0.59 |
0.59 |
0.45 |
Arginin |
(%) |
1.52 |
1.52 |
1.52 |
1.14 |
Cys |
(%) |
0.35 |
0.35 |
0.35 |
0.36 |
Glyserin |
(%) |
1.13 |
1.13 |
1.13 |
0.27 |
Histidin |
(%) |
0.49 |
0.49 |
0.49 |
0.45 |
Isoleusin |
(%) |
0.97 |
0.97 |
0.97 |
0.91 |
Leusin |
(%) |
1.77 |
1.77 |
1.77 |
1.36 |
Lysine |
(%) |
1.28 |
1.28 |
1.28 |
1.14 |
Metionin |
(%) |
0.43 |
0.43 |
0.43 |
0.45 |
Penillalanin |
(%) |
0.94 |
0.94 |
0.94 |
0.73 |
Treonia |
(%) |
0.82 |
0.82 |
0.82 |
0.73 |
Tryptophan |
(%) |
0.21 |
0.21 |
0.21 |
0.20 |
Tyrosin |
(%) |
0.69 |
0.69 |
0.69 |
0.73 |
Valin |
(%) |
1.01 |
1.01 |
1.01 |
0.73 |
Keterangan :
1. Dihitung berdasarkan tabel komposisi zat makanan menurut Scott et al. (1982)
2. Standar Scott et al. (1982)
3. Morrisson (1961
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam kali ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah: air minum tanpa bakteri selulolitik sebagai kontrol (A); air minum dengan 0,20 % kultur bakteri selulolitik (B); dan air minum dengan 0,40 % kultur bakteri selulolitik (C). Tiap-tiap ulangan menggunakan 3 ekor itik bali umur 1 hari dengan berat badan homogen.
Pengacakan Itik Bali
Dari 100 ekor itik yang berumur 1 hari diambil 50 ekor yang memiliki berat badan rata-rata. Dari 50 ekor itik ditimbang untuk mengetahui berat badannya, rata-rata berat badan yang diperoleh dipakai untuk membuat kisaran berat badan (x ± 5%). Itik bali yang digunakan adalah
itik yang memiliki kisaran berat badan yang dibuat. Kemudian dimasukkan kedalam petak/unit percobaan secara acak. Selanjutnya dilaksanakan pengacakan perlakuan dan nomor kandang. Setiap perlakuan terdiri dari 6 ulangan, sehingga terdapat 18 unit percobaan, masing-masing unit percobaan diisi 3 ekor itik. Jumlah total itik yang digunakan adalah 6 x 3 x 3 = 54 ekor.
Pencegahan Penyakit
Untuk pencegahan penyakit, sebelum itik dimasukkan ke dalam kandang, terlebih dahulu kandang dibersihkan dengan cara melakukan sanitasi kandang dengan desinfektan. Tujuannya agar kandang bebas dari penyakit didalam kandang. Pada awal pemeliharaan, itik diberikan vitachicks melalui air minum dengan tujuan meningkatkan daya tahan tubuh dan mengatasi stress. Pencampuran Ransum
Pencampuran ransum dilakukan setiap minggu sekali untuk menghindari ransum yang kurang baik. Mencampur ransum didahului dengan menimbang bahan-bahan penyusun ransum sesuai dengan kebutuhan bahan. Penimbangan dimulai dari bahan yang komposisinya paling banyak, diikuti bahan yang komposisinya lebih sedikit. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pencampuran bahan pakan. Susunan bahan tersebut selanjutnya dibagi menjadi empat bagian yang sama dan masing-masing bagian dicampur secara merata, kemudian dicampur silang sampai diperoleh campuran yang benar-benar merata (homogen). Ransum yang telah diberikan kode sesuai dengan perlakuan dan selanjutnya ditimbang, pencampuran ransum dilakukan secara manual.
Pemberian Ransum dan Air Minum
Pemberian ransum dan air minum diberikan ad libitum untuk mengurangi pakan yang tercecer jatuh pada saat itik makan, maka pengisian pakan hanya diberikan 3/4 dari kapasitas tempat pakan. Penambahan ransum diberikan 2-3 kali sehari. Sedangkan air minum, penggantian air minum dilakukan pada pagi hari. Sebelum dilakukan pengisian air minum, tempat air minum dibersihkan terlebih dahulu.
Pemberian Kultur Bakteri Selulolitik
Pada pencampuran air dengan kultur, setiap satu liter air ditambahkan dengan dua gram gula pasir dan diaduk hingga homogen, selanjutnya tambahkan 0,20% dan 0,40% kultur bakteri
selulolitik. Air minum tersebut siap diberikan kepada ternak sesuai dengan perlakuan yaitu: air minum tanpa kultur bakteri selulolitik sebagai control (A); air minum dengan 0,20% kultur bakteri selulolitik (B), dan air minum dengan 0,40% kultur bakteri selulolitik (C).
Pemotongan dan Pemisahan Bagian-Bagian Tubuh Itik
Pemisahan bagian-bagian tubuh itik, diawali dengan pencabutan bulu. Untuk memudahkan pencabutan bulu, itik yang sudah mati dicelupkan kedalam air panas dengan temperatur 700-80,20C selama 30-90 detik. Selanjutnya dilakukan pemisahan bagian tubuh itik, yaitu pengeluaran saluran pencernaan, pengeluaran organ dalam, pemotongan kaki, kepala, dan terakhir didapat karkas. Pengeluaran saluran pencernaan dan pengeluaran organ dalam dilakukan dengan pembedahan bagian perut, kecuali tembolok. Khusus tembolok, dikeluarkan dengan membedah lapisan kulit bagian pangkal ventral leher yang menutupi tembolok tersebut. Pemisahan kepala dan leher dilakukan dengan memotong sandi Atlanto occipitalis, yaitu pertautan antara tulang atlas (Vertbrae cervikalis) dengan tulang tengkorak. Untuk memisahkan kaki dilakukan dengan memotong sandi Tibio tarsometatarsus. Pengambilan sampel itik untuk dipotong dilakukan pada akhir penelitian, yaitu semua itik pada masing-masing unit percobaan dipotong. Sebelum dipotong, terlebih dahulu itik dipuasakan selama 12 jam dan hanya diberikan air minum. Pemotongan dilakukan menurut USDA (1977) yaitu itik dipotong pada bagian vena jugularis yang terletak diantara tulang kepala dengan ruas tulang leher pertama, darah itik ditampung, kemudian di masukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi kode perlakuan itik tersebut, lalu ditimbang untuk analisis percobaan.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati pada penelitian ini meliputi:
-
• Bobot potong adalah berat hidup yang didapatkan pada waktu akhir penelitian yaitu umur delapan minggu, yang telah dipuasakan lebih kurang 12 jam.
-
• Bobot karkas diperoleh setelah pengeluaran darah, pencabutan bulu, pemisahan kepala, leher, kaki, dan pengeluaran organ dalam yaitu: jantung, limfa, hati, dan saluran pencernaan (USDA, 1977).
-
• Persentase karkas diperoleh dengan membagi berat karkas dengan berat potong kemudian dikalikan 100%.
-
• Konsumsi ransum: konsumsi ransum dihitung dengan penimbangan jumlah ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum yang dihitung setiap minggu.
-
• Konsumsi air minum: konsumsi air minum diukur menggunakan gelas ukur. Pengukuran dilakukan setiap hari.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan apabila diantara perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot potong itik bali yang diberi perlakuan air minum tanpa isolat bakteri selulolitik sebagai kontrol (A) yaitu 1145,67 g/ekor (Tabel 3). Rataan bobot potong itik bali yang diberi air minum dengan kultur bakteri selulolitik 0,20% (B), dan itik bali yang diberi air minum kultur bakteri selulolitik 0,40% (C) masing-masing adalah 1314,83 g/ekor dan 1384,67 g/ekor. Rataan bobot potong itik bali pada perlakuan B dan C masing-masing 14,77% dan 20,86% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan itik bali perlakuan A. Rataan bobot potong pada perlakuan B adalah 5,31% berbeda nyata (P<0,05) lebih kecil terhadap perlakuan C.
Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi kultur isolat bakteri selulolitik rumen kerbau melalui air minum sebagai sumber probiotik pada level 0,20%-0,40% nyata meningkatkan bobot potong dan bobot karkas itik bali umur 8 minggu, dibandingkan kontrol. Hal ini karena adanya probiotik selulolitik dalam saluran pencernaan ternak unggas yang dapat meninggkatnya aktivitas pencernaan dan pertumbuhan ternak (Bidura, 2007). Disamping itu, probiotik dapat meningkatkan kencernaan zat-zat makanan seperti dilaporkan juga oleh Candrawati et al. (2014) bahwa suplementasi kultur khamir Saccharomyces sp yang diisolasikan dari feses sapi bali nyata dapat meningkatkan kencernaan zat-zat makanan dalam saluran
pencernaan ayam. Bidura et al. (2008) menyatakan bahwa adanya probiotik dalam ransum akan dapat meningkatkan zat makanan. Meningkatnya zat makanan akan berpengaruh terhadap bobot karkas pada ayam broiler umur 5 minggu. Dilaporkan oleh Pio et al. (1999) bahwa suplementasi probiotik dalam ransum nyata meningkatkan pertambahan berat badan, pemanfaatan zat makanan, serta kecernaan nitrogen dan phosphor, sehingga pertumbuhan dan sintesis urat daging dalam tubuh itik meningkat.
Tabel 3 Pengaruh pemberian isolat bakteri selulolitik rumen kerbau melalui air minum sebagai sumber probiotik terhadap karkas itik bali umur 8 minggu
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | ||
A |
B |
C | ||
Bobot Potong (g/ekor) |
1145,67a2) |
1314,83b |
1384,67c |
7,98 |
Bobot Karkas (g/ekor) |
759,00a |
893,00b |
939,17c |
4,60 |
Persentase karkas (%) |
66,25a |
67,92b |
67,85c |
0,24 |
Konsumsi Ransum (g/e/h) |
5959,33a |
5565,33a |
5949,50a |
24,34 |
Konsumsi Air Minum (l/e/h) |
13,74a |
13,56a |
13,68a |
0,58 |
Keterangan:
1. Itik yang diberi air minum tanpa pemberian kultur bakteri selulolitik (A), itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,20%(B), dan itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,40%(C).
2. Nilai yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata(P<0,05).
3. SEM : “Standart Error of Thereatment Means”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot karkas itik bali yang diberi perlakuan air minum tanpa isolat bakteri selulolitik sebagai kontrol (A) yaitu 759,00 g/ekor (Tabel 3). Rataan bobot karkas itik bali yang diberi air minum dengan kultur bakteri selulolitik 0,20% (B), dan itik bali yang diberi air minum kultur bakteri selulolitik 0,40% (C) masing-masing adalah 893,00 g/ekor dan 939,17 g/ekor. Rataan bobot karkas itik bali pada perlakuan B dan C masing-masing adalah 17,65% dan 23,74% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan itik bali perlakuan A. Rataan bobot karkas pada perlakuan B adalah 5,17% berbeda nyata (P<0,05) lebih kecil terhadap perlakuan C.
Pemberian suplementasi bakteri selulolitik 0,20%-0,40% melalui rumen kerbau sebagai sumber probiotik nyata meningkatkan bobot karkas. Hal ini merupakan dampak langsung dari bobot potong. Haroen (2003) menjelaskan bahwa pencapaian bobot karkas sangat berkaitan
dengan bobot potong dan pertambahan bobot badan. Semakin tinggi berat badan ayam, maka semakin tinggi bobot potong ayam. (Nurwantono, 1987) begitu pula dengan berat karkas dan persentase karkas, semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi berat karkas dan persentase karkas. Menurut Cakra (1986) melaporkan bahwa berat karkas dipengaruhi oleh organ tubuh seperti kepala, kaki, bulu, dan organ dalam. Semakin tinggi organ dalam tersebut maka berat karkasnya semakin rendah. Pemberian silase ransum hasil fermentasi inokulan (termasuk cairan rumen) juga akan dapat meningkatkan sekresi mucin yang merupakan zat yang sangat penting bagi mikro flora usus dan sumber makanan bagi mikroba yang menguntungkan dalam saluran pencernaan unggas (Savage, 1991 disitasi Bidura, 2006). Selanjutnya Mulyono et al. (2009), pada itik pemberian inokulan pakan dapat meningkatkan kecernaan zat makanan mampu bekerja sebagai mikroba probiotik dalam saluran pencernaan akan berdampak peningkatan efisiensi penggunaan ransum. Tingginya berat badan itik disebabkan kandungan bakteri selulolitik yang dikandungnya. Menurut Partama et al. (2012) menggunakan bakteri selulolitik akan menghasilkan enzim endo glukanase /CMCase, ekso glukanase dan glukosidase yang berperan dalam degradasi selulosa menjadi senyawa sederhana. Semakin tinggi populasi mikroba selulolitik akan meningkatkan enzim selulolitik yang dihasilkan, sehingga tingkat degradasi selulosa akan semakin tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase karkas itik bali yang diberi perlakuan air minum tanpa isolat bakteri selulolitik sebagai kontrol (A) yaitu 66,25%/ekor (Tabel 3). Rataan persentase karkas itik bali yang diberi air minum dengan kultur bakteri selulolitik 0,20% (B), dan itik bali yang diberi air minum kultur bakteri selulolitik 0,40% (C) masing-masing adalah 67,92%/ekor dan 67,85%/ekor. Rataan persentase karkas itik bali pada perlakuan B dan C masing-masing adalah 2,25% dan 2,41% nyata (P<0,05) lebih tinggi dari perlakuan A. Rataan persentase karkas perlakuan C berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah sebesar 0,10% dibandingkan perlakuan B.
Persentase karkas itik bali meningkat dengan adanya suplementasi kultur bakteri selulolitik 0,20%-0,40% dalam rumen kerbau sebagai sumber probiotik melalui air minum nyata meningkatkan persentase karkas. Rataan persentase karkas itik bali pada perlakuan B dan C
masing-masing adalah 2,25% dan 2,41% nyata (P<0,05) lebih tinggi dari perlakuan A yang tidak diberi kultur bakteri selulolitik rumen kerbau melalui air minum sebagai sumber probiotik. Hal ini disebabkan karena meningkatnya pakan yang tercerna dalam tubuh itik mengakibatkan nutrient banyak diserap dan dibentuk tercermin dalam berat karkas dan persentase karkar yang tinggi. Sesuai dengan Mahfudz (2006) meningkatnya proses fermentasi pada ransum dapat meningkatkan kandungan asam glutamate. Proses pada saluran pencernaan ayam mikroba fermenter bekerja sebagai probiotik akan memecah protein dan karbohidrat menjadi asam amino, N, dan karbon terlarut yang diperlukan ternak untuk mesintesis protein. Meningkatkan kecernaan protein mempermudah metabolism protein, sehingga secara langsung juga meningkatkan sitensis protein daging. Bidura et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan ransum terfermentasi sampai level 100% dapat meningkatkan berat karkas, dan persentase karkas serta menurunkan persentase lemak abdomen itik. Dilaporkan oleh Jin et al. (1997), probiotik dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan kecernaan zat makanan, meningkatkan retensi mineral Ca, Co, P, dan Mn. Manfaat probiotik lainya pada unggas antara lain meningkatkan aktivitas enzim pencernaan dan menurunkan aktivitas enzim bakteri yang merugikan, memperbaiki pencernaan, serta merangsang system pertahanan tubuh.
Penambahan probiotik starbio pada ransum dapat memperlambat laju pakan dalam saluran pencernaan karena terjadi aktivitas enzim dalam proses penguraian zat pakan menjadi komponen yang lebih sederhana agar dalam proses penguraian zat pakan menjadi komponen yang lebih sederhana agar mudah diserap oleh ternak secara langsung. Menurut Maynard dan Looslie (1978) dan Wahju (1982), cepatnya laju pakan melewati saluran pencernaan dapat menurunkan daya cerna, akibatnya terjadi penurunan energi tersedia dan unggas mengkonsumsi ransum lebih banyak sampai kebutuhan energi terpenuhi. Hal ini dikarenakan kurangnya waktu untuk mencerna zat makanan secara menyeluruh oleh enzim-enzim pencernaan sehingga menyebabkan menurunnya metabolisme energi dan mempercepat keluarnya zat makanan yang dapat dicerna dari tubuh bersama eksreta. Hasil analisis ragam kecernaan protein oleh Mesrawati (2001) menunjukkan adanya perbedaan nyata pengaruh utama probiotik starbio pada ayam kedu (jantan dan betina), pengaruh utama penambahan probiotik starbio pada ransum ayam jantan
menunjukkan beda yang nyata, sedangkan pada ayam betina pengaruh utama probiotik starbio dan serat kasar juga menunjukkan adanya beda yang nyata. Hal ini disebabkan probiotik starbio merupakan mikroba penghasil enzim proteolitik yang dapat meningkatkan pada kondisi dan lingkungan yang sesuai, sehingga membantu proses pencernaan protein menjadi asam amino. Tang et al. (2007) menyatakan Peningkatan konsumsi protein dan asam amino lysine pada unggas menyebabkan peningkatan jumlah daging dada dibandingkan dengan konsumsi protein dan lysine yang lebih rendah. Bakteri selulolitik isolat rumen kerbau dalam saluran pencernaan itik dapat meningkatkan pencernaan zat makanan. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bidura et al. (2014) yang melaporkan bahwa penggunaan bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau dapat berperan sebagai probiotik serta mampu meningkatkan kandungan nutrisi dan pencernaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata konsumsi ransum pada itik yang diberi air minum tanpa pemberian kultur bakteri selulolitik (A) adalah 5959,33 kg/ekor selama 8 minggu. Pada itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,20% (B), dan itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,40% (C) menunjukkan nilai yang masing – masing 5565,33 kg/ekor dan 5949,50 kg/ekor lebih rendah dibandingkan perlakuan A dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan konsumsi ransum yang terdapat pada perlakuan C adalah 6,90% lebih tinggi dari perlakuan B (Tabel 3) dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).
Rataan konsumsi ransum selama delapan minggu pemeliharaan berkisar antara 5959,33 sampai 5949,50 g/ekor/8 minggu. Pemberian air minum dengan penambahan kultur bakteri selulolitik (perlakuan B dan C) dapat menurunkan konsumsi ransum jika dibandingkan perlakuan kontrol (perlakuan A). Hal ini disebabkan karena semua perlakuan diberikan ransum yang memiliki kandungan protein dan energi termetabolis yang sama. Ternak unggas mengkonsumsi ransum pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan akan energinya. Seperti dilaporkan oleh Wahyu (1997), faktor utama yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah kandungan energi metabolis dan ternak akan berhenti makan apabila kebutuhan akan energi sudah terpenuhi walaupun tembolok belum penuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1994) bahwa, tingkat energi di dalam ransum menentukan jumlah pakan yang dikonsumsi dan sebagian besar
pakan yang dikonsumsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Dilaporkan juga oleh Bidura (2012) , probiotik dalam saluran pencernaan dapat menekan bakteri E.Coli dan kadar gas amonia, sehingga ternak menjadi nyaman. Dalam keadaan nyaman maka ternak akan meningkatkan konsumsi pakan maupun air minumnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata konsumsi air minum pada itik yang diberi air minum tanpa pemberian kultur bakteri selulolitik (A) adalah 13,74 liter/ekor selama 8 minggu. Pada itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,20% (B), dan itik yang diberi kultur bakteri selulolitik 0,40% (C) menunjukkan nilai yang masing – masing 1,31% dan 0,44% lebih rendah dibandingkan perlakuan A secara statistik tidak berbeda nyata (P<0,05), sedangkan konsumsi air minum yang terdapat pada perlakuan C adalah 0,88% lebih tinggi dari perlakuan B dan secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05).
Konsumsi air minum meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi ransum. Itik mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi. Menurut Wahyu (2004) konsumsi air minum pada unggas dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ransum yang dikonsumsi, suhu lingkungan, serta besar kecilnya tubuh ternak. Dalam penelitian yang dilakukan ini, jenis ransum, suhu lingkungan dan bobot badan itik yang dipelihara homogen sehingga yang mempengaruhi konsumsi air minum itik adalah jumlah ransum yang dikonsumsi. unggas mengkonsumsi air minum dua kali lebih besar dari jumlah pakan yang dikonsumsi, karena air minum berfungsi sebagai pelarut dan alat transportasi zat-zat makanan untuk disebarkan ke seluruh tubuh serta untuk memudahkan dalam pencernaan makanan sehingga dibutuhkan lebih banyak air daripada makanannya (Ensminger, 1990).
SIMPULAN
Pemberian bakteri selulolitik isolat rumen kerbau melalui air minum pada level 0,20%-0,40% nyata dapat meningkatkan bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas pada itik bali.
UCAPAN TERIMAKASIH
Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan
penelitian sampai penulisan e-journal. Dan terima kasih kepada Petani Peternak di desa dajan peken Tabanan atas izin tempat selama melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Bidura, I.G.N.G. 2006. Bioteknologi Pakan Ternak. Bahan Ajar. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Buku Ajar. UPT Penerbit Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I.G. N. G., L. G. Sumardani, T. I. Putri, dan I. B. G. Partama. 2008. Pengaruh PemberianRansum Terfermentasi Terhadap Pertambahan Berat Badan, Karkas, dan Jumlah LemakAbdomen Pada Itik Bali. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol. 33 (4) : 274281.
Bidura, I.G. N. G. 2012. “Pemanfaatan Khamir Saccharomyces Cerevisiae yang Diisilasi dari Ragi Tape untuk Tingkatkan Nulai Nutrisi Dedak Padi dan Penampilan Itik Bali Jantan” Disertasi Program Doktor Pascasarjana, Universitas Udayana.
Bidura, I.G.N.G., Siti, N.W. and I.A.P.Utami. 2014. Isolation of Cellulolytic Bacteria from Rumen Liquit of Buffalo Both as a Probiotics Properties and has Cmc-Ase Activity to Improve Nutrient Quality of Soybean Distillery By-Produc as Feed. Int. J. Pure App. Biosci. 2 (5): 10-18.
Cakra, I G. L. O. 1986. Pengaruh Pemberian Hijauan Versus Top Mix terhadap Berat Karkas dan Bagian-bagian Pada Ayam Pedaging Umur 0 -8 Minggu. Skripsi Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar.
Candrawati.D.P.M.A, Warmadewi. D.A, and Bidura.I.G. N.G. 2014. “Kulturion of Saccharomyces Spp From Manure of Beef Cattle as a Probiotics properties and has CMC-ase Activity to Improve Nutrien Quality of Rice Bran”. J . Biol. Chem. Research. Vol. 31, No 1 : 39-52 (2014).
Ensminger. 1990. Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Healt and Nutrition Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. American Cordoba Park Hotel, Cordoba, Argentina.Hammond. 1994. The Effect of Lactobacillus acidophilus on the Production and Chemical Composition of Hen Eggs. Poultry Sci. 75:491-494.
Fuller, R. 1992. History and Development of Probiotic. Dalam: Fuller, R. (Ed). Probiotic The Science Basic. Chapman and Hall, London.
Haroen U. (2003) “Respon Ayam Broiler yang Diberi Tepung Daun Sengon (albizia falcataria) dalam ransum terhadap pertumbuhan dan hasil karkas”. Jurnal Ilmiah Ilmu Pet. 6(1) : 3441.
Haryanto, R. (2004) “Antara Antibiotik, Probiotik dan Prebiotik” . Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.8, No.4, hal. 170-173.
Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Jalaludin. 1997. Probiotics in Poultry : Modes of Action. Worlds Poultry Sci. J. 53 (4) : 351-368.
Karspinka, E., Blaszeak, G. Kosowska, A. Degrski, M. Binek, and W .B. Borzemska. 2001. Growth of The Intestinal Anaerobes in the Newly Hached Chicks According to The Feeding and Providing with Normal Gut Flora. Vet. Pulawy 45:105-109
Mahfudz, L. D. 2006. Pengaruh penggunaan ampas tahu fermentasi terhadap efisiensi penggunaan protein itik tegal jantan. Journal of the Indonesia Tropical Animal Agriculture. 31 : 129-134.
Maynard, L.A, and J.K. Looslei, 1978. ANIMAL Nutrition. 6th Ed. Mc. Graw – Hill Publishing Company Co, Ltd., New Delhi.
Mesrawati. 2001. Studi Tentang Penambahan Probiotik Terhadap Penampilan Ayam kedu yang Mendapat Ransum Berbeda Level dan Serat Kasar. Tesis. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.
Morrison, F.B. 1961. Feed and feeding. Abridged 9 th Ed. The Morrison Publs. Co. Arrangeville, Ontario, Canada.
Mulyono, R. Murwani, and F. Wahyono. (2009). Kajian penggunaan probiotik Sacckaromyces cerevisiae sebagai alternative aditif antibiotic terhadap kegunaan protein dan energi pada ayam broiler. Jurnal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture . 32(2) : 145-151.
Nurwantoro. 1987. Petunjuk Singkat Menyusun Makanan Ayam. Dinas Peternakan Indonesia. No. 28. Hal : 34-35.
Owing, W.J., D.L. Reynolds, R.J. Hasiak and P.R. Ferket. 1990. Influence of dietary suplementation with streptococcus faeciumM-74 on broiler body weight, feed conversion, carcass characteristics and intestinal microbial colonization. Poultry Sci, 69: 1257-1264.
Piao XS, Han IK, Kim JH, Cho WT, Kim YH, Liang C. 1999. Effects of Kemzyme, Phytase, and Yeast Supplementation on The Growth Performance and Pullution Reduction of Broiler Chicks. Asian-Aust. J Anim Sci 12(1): 36-41.
Partama, I. B. G., I M. Mudita, N. W. Siti, I W. Suberata, A. A. A. S. Trisnadewi. 2012. Isolasi, Identifikasi, dan Uji Aktivitas Bakteri serta Fungi Lignoselulolitik Limbah Isi Rumen dan
Rayap Sebagai Sumber Inokulan dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Berbasis Limbah. Laporan Penelitian Invensi. Universitas Udayana, Denpasar.
Sand, D.C. and L. Hankin. 1976. Fortification of foods by fermentation with lysine-exreting mutants of lactobacilli. J. Agric. Food Chem. 24 : 1104-1106.
Savage, D.C. 1991. Modes of Action. Pages11-81 In: Direct-Fed Microbials In Animal Production. A Review of literature. West Des Moines, IA.: National Feed Ingradients Association.
Scott, M.L., M.C. Neishem and R.J. Young. 1982. Nutrition of The Chiken. 3nd Ed. W.F. Humprey Press Inc.Geneva, New York.
Siti, N.W., I.G.N.G. Bidura, and I.A.P.Utami. 2016. The Effect of Supplementation Culture Cellulolytic Bacteria Isolated from the rumen of Buffalo in the Tofu-Based ration on the Performance and N-Nh3 Concentration in Excreta of Duck. J. Biol. Chem. Research. Vol. 33, No.1. 214-225,2016
Steel, R. G. D. and Torrie, J. H. 1989. Principle And Proce-dures of Statisctcs, 2ndEd. McGraw-Hill International Book Co. London.
Tang. M.Y., Q.G. Ma, X.D. Chen, and C. Ji. 2007. Effecsts of dietary metabolizable energy and lysine on carcass characteristics and meat quality in arbor arcres broiler. AJAS Vol. 20 (12): 1865-1873.
Udayana, Alit, I.G.D. 2004. Suplementasi Feed Additive (Antibiotik Probiotik dan Fitobiotik) dalam Pakan untuk Meningkatkan Performa Ternak Unggas. Karya Ilmiah Fakultas Peternakan Udayana.
United States Departement Of Agriculture (USDA). 1977. Poultry Grading Manual. US Government Printing Office, Washington DC.
Wahju, J. 1982. Ilmu Nutrien Unggas. Cetakan III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahyudi, A.,dan Z. Bachrudin. 1992. Isolasi Mikroba Selulolitik Beberapa Ternak Ruminansia (Kerbau, Sapi, Kambing dan Domba). Laporan Penelitian Proyek Bank Dunia XVII dalam Magang Penanganan Limbah.
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahyu, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahyudi, A. dan L. Hendraningsih. 2004. Peningkatan Kemampuan Bakteri Selulolitik Rumen Sebagai Probiotik Ternak Ruminansia. Laporan Penelitian Program UBER-HAKI. Dirjen DIKTI. JAKARTA.
Wallace, R.J. dan C.J. Newbold. 1992. Probiotic for Ruminants. Dalam: Fuller, R. 1992. Probiotic. Chapman & Hall. London.
Wiharto, 1995. Petunjuk Beternak Ayam. Penerbit Lembaga Universitas Brawijaya. Malang.
Yeo, J. And K. Kim. 1997. Effect of feeding diets containing antibiotics, a probiotic or yocca extract on growth and intestinal urease activity in broiler chicks. Poultry Sci. 76: 381 – 385.
Kurnia et al. Peternakan Tropika Vol. 4 No. 2 Th. 2016: 488 -505
Page 505
Discussion and feedback