e-journal FAPET UNUD


e-Journal

Universitas Udayana


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: peternakantropika_ejournal@yahoo.com

email: jurnaltropika@unud.ac.id

KARKAS KELINCI YANG DIPELIHARA PADA TINGKAT HUNIAN BERBEDA DAN DIBERI RANSUM DENGAN IMBANGAN ENERGI SERTA PROTEIN BERBEDA

SAPUTRA, E. D., I M. NURIYASA, DAN I N. ARDIKA Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana e-mail : edsars@ymail.com HP. 085333668009

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karkas kelinci yang dipelihara pada tingkat hunian dan pemberian ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda telah dilakukan selama 10 minggu. Kelinci yang digunakan adalah kelinci jantan lokal lepas sapih umur 5 minggu sebanyak 36 ekor dengan berat 391,31 ± 41,86 g. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial 3 x 2 dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah tingkat hunian (L) yang terdiri atas tingkat hunian 1 ekor/0,35 m2 (L1), 2 ekor/0,35 m2 (L2) dan 3 ekor/0,35 m2 (L3). Faktor kedua adalah imbangan energi protein ransum (R) yang terdiri atas imbangan energi dan protein 147 dengan energi termetabolis 2500 kkal/kg dan CP 16% (R1) dan imbangan energi dan protein 151 dengan energi termetabolis 2800 kkal/kg dan CP 17,5% (R2). Variabel yang diamati adalah karkas (berat karkas, kaki depan, kaki belakang, pinggang+punggung, dada+leher, daging, lemak dan tulang), non karkas (paru-paru, jantung, hati, sekum+kolon dan kulit+bulu) dan iklim mikro (kelembban udara, temperatur udara, temperatur humidity indek dan intensitas radiasi matahari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata (P<0,05) antara perlakuan tingkat hunian dengan imbangan energi dan protein terhadap variabel berat tulang, paru-paru, jantung, hati serta sekum+kolon. Kelinci yang dipelihara pada tingkat hunian L1 menghasilkan berat karkas, kaki depan, kaki belakang, daging dan lemak lebih rendah (P<0,05) daripada L2 dan L3. Kelinci yang diberi ransum R1 menghasilkan berat karkas, kaki depan, dada+leher, pinggang+punggung dan berat daging lebih tinggi (P<0,05) daripada R2. Perlakuan tingkat hunian serta imbangan energi dan protein berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap iklim mikro kandang. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa karkas kelinci jantan lokal dengan tingkat hunian 2 ekor/0,35 m2 (L2) lebih baik dibandingkan dengan tingkat hunian 3 ekor/0,35 m2(L3) dan 1 ekor/0,35 m2 (L1). Karkas kelinci jantan lokal yang diberi ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (R1) lebih baik daripada perlakuan ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (R2). Tidak terjadi perbedaan iklim mikro pada perlakuan tingkat hunian dan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda.

Kata kunci: Kelinci, Tingkat Hunian, Ransum, Karkas dan Iklim Mikro

RABBIT CARCASS MAINTAINED IN DIFFERENT ANIMAL DENSITY AND GIVEN RATIONS WITH DIFFERENT

ENERGY AND PROTEIN BALANCE

ABSTRACT

This research it aims to determine the rabbit carcasses maintained in cattle density and the provision of rations with different protein and energy balance was conducted for 10 weeks. The rabbits used were local male rabbits weaning age of 5 weeks, totaling 36 rabbits weighing 391.31 ± 41.86 g. The design used in this study was a randomized complete block design (RAK) 3 x 2 factorial pattern with three replications. The first factor was the density of livestock (L) consisting of density of 1 cattle /0.35 m2 (L1), 2 cattle/ 0.35 m 2 (L2) and 3 cattle/ 0.3 to 5 m (L3). The second factor was the energy balance of ration protein (R) consisting of the balance of energy and protein to energy termetabolis 147 2500 kcal/kg and 16% CP (RI) and the balance of energy and protein to energy termetabolis 151 2800 kcal / kg and CP 17.5 % (R2). The variables measured were carcass (carcass weight, front legs, hind legs, waist + back, chest + neck, meat, fat and bone), noncarcass (lung, heart, liver, colon and caecum + skin + fur) and microclimate (air dampness, air temperature, temperature humidity index and the intensity of solar radiation). The results showed that there was significant interaction (P<0.05) between the treatment of livestock density with energy and protein balance to variable bone weight, lungs, heart, liver and cecum + colon. Rabbits maintained in livestock density L1 resulted in carcass weight, front legs, hind legs, meat and fat was lower (P<0.05) than L2 and L3. Rabbits which were given a ration Rl produced carcass weight, front legs, chest + neck, back and waist + meat weight was higher (P<0.05) than R2. Treatment of livestock density and energy and protein balance was not significantly different (P>0.05) to the micro-climate enclosure. Based on these results it could be concluded that the local male rabbit carcass with density 2 cattle/ 0.35 m2 (L2) was better than the density of 3 cattle/ 0.35 m2 (L3) and 1 cattle / 0.35 m2 (L1). The carcass of male local rabbits given rations with energy and protein balance 147 (R1) was better than the ration treatment with energy and protein balance 151 (R2). There were no microclimate differences in the treatment of livestock density and ration with different protein and energy balance.

Keywords: Rabbit, Livestock Density, Ration, Carcass and Micro Climate

PENDAHULUAN

Pengembangan usaha peternakan kelinci merupakan trobosan strategi dalam bidang peternakan untuk mempercepat tercapainya swasembada daging. Berdasarkan fakta tersebut maka swasembada pangan terutama protein hewani asal ternak khususnya daging, akan tercapai jika progam pembangunan peternakan sudah diapresiasi positif dan dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah. Solusi yang ditawarkan adalah beternak kelinci. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci dapat dimanfaatkan secara maksimal baik secara langsung maupun melalui tahapan-tahapan pengolahan tertentu. Daging kelinci

mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba atau kambing karena mengandung protein yang tinggi dan lemak daging rendah. Strukturnya lebih halus dengan warna dan bentuk fisik yang menyerupai daging ayam (Kartadisastra, 1997).

Persoalan tentang tingkat hunian mempunyai peranan penting dalam peternakan kelinci komersial, sebab kondisi kandang ikut menentukan hasil yang dapat dicapai. Kandang kelinci harus dibuat berdasarkan rancangan yang baik, sesuai dengan fungsi dan segi-segi biologis kelinci (Nuriyasa, 2012). Kepadatan kandang maksimum untuk ternak kelinci adalah 6 ekor/m2 (Martens dan Goote. 1984).

Menurut McNitt et al. (1996) ransum kelinci merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produktivitas ternak sehingga dalam pemberian ransum harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kebutuhan kelinci. Kelinci potong membutuhkan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kandungan protein (CP) 16% (NRC, 1997).

Persentase karkas ternak kelinci yang baik berkisar antara 40% hingga 52% dari berat badan hidupnya (Kartadisastra, 1997). Portsmouth (1997) menyatakan bahwa kelinci lokal yang tidak diketahui asal usulnya mulai dapat dipasarkan pada umur 9-10 minggu dengan persentase karkas rata-rata 55%.

Disamping tingkat hunian kandang dan pemberian ransum, pemeliharaan kelinci pada daerah-daerah yang beriklim panas akan mengalami permasalahan seperti cekaman panas. Menurut pendapat Tom (1975) iklim mikro menggambarkan kondisi lingkungan sekitar yang berhubungan dengan organisme hidup, baik dekat permukaan bumi maupun lingkungan yang berbatasan langsung (pabrik, rumah kaca dan bangunan kandang).

Sampai saat ini penelitian karkas kelinci lokal yang diberi ransum dengan imbangan energi dan protein serta tingkat hunian berbeda masih belum banyak. Berkenaan dengan hal tersebut maka publikasi ini penting agar peternak dapat memberikan ransum pada ternak kelinci dengan imbangan energi dan protein serta tingkat hunian yang sesuai dengan kondisi lingkungannya.

MATERI DAN METODE

Kelinci Penelitian

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jantan lokal lepas sapih yang berumur 5 minggu sebanyak 36 ekor dengan rata-rata berat badan 391,31 ±

41,86 g yang diperoleh dari peternak di Br. Riang Tengah, Desa Riang Gede, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

Kandang Penelitian

Kandang yang digunakan dalam penelitian kelinci ini adalah kandang sistem “battery” yang dibuat dalam bentuk panggung dengan ketinggian kandang 75 cm dari tanah. Tempat ransum dan minum menggunakan tempurung kelapa (batok) yang diletakkan di dalam bilik kandang dan digantung pada sisi samping kandang.

Ransum dan Air Minum

Ransum yang diberikan dalam penelitian ini berbentuk pellet yang terdiri atas dua jenis formula ransum sesuai dengan perlakuan yang direncanakan (Tabel 1). Perlakuan ransum tersebut adalah ransum 147 dengan imbangan energi dan protein (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%) (R1) dan ransum 151 dengan imbangan energi dan protein (ME 2800 kkal/kg dengan CP 17,5%) (R2) (Tabel 2). Air minumnya di letakkan tersendiri dan diberikan secara ad libitum.

Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Penelitian

Bahan (%)

Perlakuan

R1               R2

Jagung Kuning Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung Tapioka Tepung Kedelai Dedak Padi Rumput Setaria Serbuk Gergaji Minyak Kelapa Tepung Tulang NaCl

Pignox

31,0                 33,4

12,4                    6,3

15,0                  17,7

9,9                    10,3

11,0                  17,5

8,0                   2,0

5,0                   2,0

5,1                   7,65

1,2                    2,0

0,65                   0,4

0,25                 0,25

0,5                     0,5

Jumlah

100                 100

Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Nutrien *)

Perlakuan

R1

R2

Standar McNitt et al, (1996)

ME (Kkal/kg)

2500

2800

2350

Protein Kasar (%)

16

17,5

16

ME/CP rasio

147

151

146

Lemak Kasar (%)

8,07

9,64

3,0

Serat Kasar (%)

12,24

10,68

10,0

Ca (%)

2,0

2,15

0,5

P av(g) (%)

0,97

1,07

0,3

*) perhitungan berdasarkan Tabel komposisi Scott et al., (1982)

Peralatan

.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, golok, telenan, thermometer digital tipe CE 0197, gelas ukur, timbangan digital merk shoenle (kapasitas 5 kg dg kepekaan 2g), anemometer digital tipe LM-81 AM, Termohygrometer digital tipe CE 0197 dan Light meter digital tipe LX-103.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Penelitian dilakukan selama 10 minggu (12 Oktober – 12 Desember) di kandang milik Bapak Made Nuriyasa.

Rancangan Percobaan

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial 3x2 dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah tingkat hunian dalam kandang (L) yang terdiri atas tingkat hunian satu ekor/0,35 m2 (L1), dua ekor/0,35m2 (L2) dan tiga ekor/0,35 m2 (L3). Faktor kedua adalah imbangan energi dan protein ransum 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%) adalah R1 dan imbangan energi dan protein ransum 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%) adalah R2.

Pemberian Ransum dan Air Minum

Pemberian ransum ternak kelinci dilakukan dua kali dalam sehari yaitu: pada pagi hari (pukul 07.00-08.00 wita) dan sore hari (pukul 17.00-18.00 wita) dan untuk air minumnya tersendiri di berikan secara ad libitum.

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: Berat potongan komersial karkas terdiri atas kaki depan, kaki belakang, pinggang + punggung dan dada + leher. Berat komposisi fisik karkas yang terdiri atas daging, lemak dan tulang. Non karkas meliputi paru-paru, jantung, hati, sekum + kolon dan kulit + bulu. Variabel iklim mikro yang terdiri atas kelembaban udara, temperatur udara, “temperature humidity index” dan intensitas radiasi matahari.

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam menggunakan progam Costat versi 6,4 dan apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karkas

2

Berat karkas kelinci yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian 2 ekor/0,35 m2 (L2) adalah 965,16 g (Tabel 3), perlakuan tingkat hunian 1 ekor/0,35 m2 (L1) adalah 8,40% lebih rendah berbeda nyata (P<0,05) dan tingkat hunian 3 ekor/0,35 m2 (L3) adalah 1,93% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada perlakuan L2. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum pada kelinci yang diberi perlakuan L2 (69,11 g/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan L1 (59,46 g/ekor/hari) dan L3 (68,98 g/ekor/hari), berarti kelinci yang memperoleh tingkat hunian L2 mendapatkan nutrisi yang lebih tinggi sehingga pertumbuhan ternak lebih tinggi. Menurut Herman (1989) berat karkas erat kaitannya dengan berat badan kelinci, dimana kelinci yang memiliki berat badan yang tinggi akan menghasilkan berat karkas yang tinggi dan berat badan yang rendah akan menghasilkan berat karkas yang rendah pula. Berat karkas kelinci yang mendapatkan ransum dengan imbangan energi dan protein ransum 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%) atau R1 sebesar 960 g (Tabel 4) sedangkan yang mendapatkan ransum dengan imbangan energi dan protein ransum 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%) atau R2 adalah 5,85% lebih rendah berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan perlakuan R1. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Blas dan Wiseman (1998) adalah ransum dengan

kandungan energi 2500 kkal/kg DE atau 2632 kkal/kg ME dengan kandungan protein kasar 15-16% menghasilkan berat karkas paling baik.

Kelinci yang dipelihara dengan tingkat hunian L1 menghasilkan berat kaki depan dan kaki belakang lebih rendah daripada L2 dan L3. Kondisi ini disebabkan karena di alam kelinci hidup berkelompok sehingga kelinci yang dipelihara dengan jumlah satu ekor dalam satu petak kandang sedikit mengalami stress yang diindikasikan bahwa jumlah konsumsi ransum rendah (59,46 g/ekor/hari). Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan pertumbuhan rendah sehingga berat kaki depan dan belakang yang dihasilkan lebih rendah. Perlakuan ransum R1 menyebabkan berat kaki depan, dada+leher dan daging karkas lebih tinggi daripada R2. Ransum R1 (70,72 g/ekor/hari) menyebabkan jumlah konsumsi ransum lebih tinggi dibandingkan dengan R2 (60,96 g/ekor/hari) sehingga tingkat pertumbuhan kelinci yang diberi ransum R1 lebih tinggi daripada R2. Pertumbuhan yang tinggi menyebabkan pembentukan komponen tubuh lebih tinggi.

Tabel 3. Pengaruh Tingkat Hunian Terhadap Karkas Kelinci

Variabel

Perlakuan

SEM

L1

L2

L3

Karkas

Berat Karkas (g)

884,00b

965,16a

946,50a

9,99

Berat Kaki Depan (g)

182,66b

192,33a

191,33a

1,27

Berat Kaki Belakang (g)

331,83b

365,00a

357,66ab

4,99

Berat Pinggang + Punggung (g)

219,66a

237,16a

236,50a

4,14

Berat Dada + Leher (g)

150,50a

169,66a

161,00a

3,34

Berat Daging (g)

602,66 b

651,66a

648,00 a

5,57

Berat Lemak (g)

13,83b

16,33a

17,00a

0,40

Keterangan:

  • 1)    L1 : Tingkat hunian dengan luas 1 ekor/0,35 m2

L2 : Tingkat hunian dengan luas 2 ekor/0,35 m2

L3 : Tingkat hunian dengan luas 3 ekor/0,35 m2

  • 2)    Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan

superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : “Standart Error of The Treatment Means”

Perlakuan ransum menghasilkan berat kaki belakang kelinci R1 sebesar 360,66 g (Tabel 4), sedangkan berat kaki belakang kelinci yang mendapatkan perlakuan R2 adalah 5,08% lebih rendah berbeda tidak nyata (P>0,05) dibandingkan perlakuan R1. Hal tersebut disebabkan karena jumlah energi dan protein yang terkandung di dalam ransum R1 (70,72 g/ekor/hari) lebih sesuai dengan kebutuhan energi (2500 kkal/kg) dan protein (16%) pada ternak kelinci sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Perlakuan tingkat hunian mendapatkan berat pinggang+punggung kelinci yang mendapatkan perlakuan L2 adalah 237,16 g ( Tabel 3) dan perlakuan L1 dan L3 masing-masing adalah 7,37% dan 0,27% lebih rendah berbeda tidak nyata (P>0,05) dibandingkan L2. Hal ini dikarenakan bagian punggung merupakan bagian yang paling banyak tersusun oleh tulang dan sedikit terdapat daging sehingga pertumbuhannya mengalami penurunan dengan bertambahnya umur kelinci. Berat pinggang+punggung kelinci yang mendapatkan perlakuan R1 sebesar 234,77 g (Tabel 4) dan perlakuan R2 adalah 3,12% lebih rendah berbeda tidak nyata (P>0,05) daripada perlakuan R1. Hal ini disebabkan karena ransum R1 tersebut telah memenuhi kebutuhan nutrisi kelinci, sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh ternak kelinci sebagai hidup pokok dan produksi.

Berat dada+leher kelinci yang mendapatkan perlakuan L2 adalah 169,66 g (Tabel 3) dan perlakuan L1 dan L3 masing-masing adalah 11,29% dan 5,10% lebih rendah berbeda tidak nyata (P>0,05) daripada perlakuan L2. Hal ini disebabkan karena bagian dada+leher merupakan bagian tubuh yang menghasilkan daging paling banyak dibandingkan dengan berat tulangnya. Kandungan ransum yang mengandung energi dan protein yang sesuai dengan kebutuhan kelinci akan secara maksimal diproses dalam pembentukan daging.

Tabel 4. Pengaruh Ransum Terhadap Karkas Kelinci

Variabel

Perlakuan

SEM

R1

R2

Karkas

Berat Karkas (g)

960,00a

903,77b

12,23

Berat Kaki Depan (g)

193,22a

184,33b

1,55

Berat Kaki Belakang (g)

360,66a

342,33a

6,11

Berat Pinggang + Punggung (g)

234,77a

227,44a

5,07

Berat Dada + Leher (g)

171,55a

149,22b

4,10

Berat Daging (g)

651,44a

616,77b

6,82

Berat Lemak (g)

16,55a

14,88a

0,49

Keterangan :

1) R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%) R2 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%)

2) SEM : “Standart Error of The Treatment Means”

3) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05).

Berat daging kelinci yang mendapatkan perlakuan L1 adalah 602,66 g (Tabel 3), sedangkan berat daging kelinci yang mendapatkan perlakuan L2 dan L3 masing-masing adalah 8,13% dan 7,52% lebih tinggi berbeda nyata (P<0,05) daripada perlakuan L1 dan

perlakuan L2 dan L3 mendapatkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum (energi dan protein) sebagai komponen penyusun jaringan daging pada L2 (69,02 g) lebih tinggi daripada perlakuan L1 (59,47 g) dan L3 (68,94 g).

Berat lemak kelinci yang mendapatkan perlakuan L3 adalah 17,00 g (Tabel 3), perlakuan L2 adalah 3,94% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) sedangkan perlakuan L1 adalah 18,64% lebih rendah berbeda nyata (P<0,05) daripada L3. Ransum R1 menghasilkan berat lemak kelinci sebesar 16,55 g (Tabel 4) dan perlakuan R2 adalah 10,09% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada perlakuan R1. Hal ini disebabkan karena tingkat hunian L3 yang diberi ransum R1 (52 g/ekor) menyebabkan aktivitas fisik lebih sedikit sehingga akan terjadi penimbunan lemak di dalam tubuh.

Berat tulang yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian L2 dan L3 yang diberi ransum R1 lebih tinggi dibandingkan R2, sedangkan perlakuan tingkat hunian L1 yang diberi ransum R2 lebih tinggi daripada R1 (P<0,05) karena pada perlakuan tingkat hunian L2 dan L3 memberikan peluang ternak kelinci untuk istirahat lebih banyak sehingga aktivitas fisik lebih rendah dan proses pembentukan jaringan daging serta penimbunan lemak lebih banyak.

Tabel 5. Berat Tulang Kelinci Yang Dipelihara pada Tingkat Hunian Berbeda dan

Diberi Ransum dengan Imbangan Energi dan Protein Berbeda.

Ransum

Tingkat hunian

SEM

L1

L2

L3

R1

790c

902b

928a

6,45

b

a

a

R2

807b

878a

763c

5,27

a

b

b

Keterangan :

1) L1 : Tingkat hunian dengan luas 1 ekor/0,35 m2

L2 : Tingkat hunian dengan luas 2 ekor/0,35 m2

L3 : Tingkat hunian dengan luas 3 ekor/0,35 m2

R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%)

R2 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%)

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) sem : “standart error of the treatment means

Non Karkas

Berat paru-paru kelinci pada perlakuan kepadatan L1 dan L3 yang diberi ransum

R1 lebih tinggi daripada R2, sedangkan perlakuan kepadatan L2 yang diberi ransum R2

lebih tinggi daripada R1 (P<0,05). Hal ini menyebabkan ternak sulit untuk melepaskan panas tubuh ke lingkungan sehingga berat paru-paru lebih berat dibandingkan dengan L1 dan L3 yang diberi ransum R1.

Berat jantung yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian 2 ekor/0,35 m2 (L2) yang diberi ransum R2 lebih tinggi daripada R1 sedangkan berat jantung kelinci yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian L1 dan L3 yang diberi ransum R1 lebih tinggi daripada R2 (P<0,05). McNitt et al. (1996) dan Nuriyasa (2012) menyatakan pertumbuhan yang tinggi harus didukung oleh metabolism yang tinggi. Proses metabolisme memerlukan oksigen yang terikat dalam oksigen hemoglobin.

Tabel 6. Berat Non Karkas Kelinci Yang Dipelihara pada Tingkat Hunian Berbeda

dan Diberi Ransum dengan Imbangan Energi dan Protein Berbeda.

Peubah

Ransum

L1

Tingkat hunian L2

L3

SEM

R1

56a

45b

43c

0,39

Berat Paru-paru

R2

a 23c

b 48a

a 39b

0,31

b

a

b

R1

21a

15c

16b

0,29

Berat Jantung

R2

a 13b

b 16a

a 13b

0,24

b

a

b

R1

156b

167a

150c

0,71

Berat Hati

a

a

a 104b

R2

100c

125a

0,58

b

b

b

R1

122c

192b

211a

0,62

Berat

a

b

a

Sekum+Kolon

R2

104c

208a

206b

0,50

b

a

b

Keterangan :

1. L1 : Tingkat hunian dengan luas 1 ekor/0,35 m2

L2 : Tingkat hunian dengan luas 2 ekor/0,35 m2

L3 : Tingkat hunian dengan luas 3 ekor/0,35 m2

R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%)

R2 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%)

2. Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3. SEM : “Standart Error of The Treatment Means”

Berat hati pada perlakuan tingkat hunian L3 yang mendapatkan ransum R1 lebih rendah dibandingkan L1 dan L2, sedangkan pada perlakuan tingkat hunian L1 yang mendapatkan ransum R2 lebih rendah dibandingkan dengan L2 dan L3 (P<0,05). Hal tersebut disebabkan karena konsumsi ransum dengan imbangan energi dan protein

termetabolisme 2500 kkal/kg dan CP 16% lebih baik dibandingkan dengan imbangan energi dan protein termetabolisme 2800 kkal/kg dan CP 17,5%. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) menyatakan bahwa konsumsi pakan yang tinggi dapat meningkatkan berat hati dan begitu pula sebaliknya. Konsumsi ransum yang tinggi menyebabkan zat-zat makanan yang termetabolisme semakin tinggi sehingga kerja hati pun akan semakin banyak dan pada akhirnya akan meningkatkan berat hati.

Berat sekum+kolon yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian L2 yang diberi ransum R2 lebih tinggi daripada R1 sedangkan tingkat hunian L1 dan L3 yang diberi ransum R1 lebih tinggi daripada R2 (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan ransum yang mengandung serat kasar, energi dan protein pada ransum yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan organ saluran pencernaan yang menyebabkan kerja dari sekum+kolon menjadi lebih berat sehingga berat sekum+kolon akan meningkat pula.

Berat kulit+bulu kelinci yang mendapatkan perlakuan kepadatan L3 sebesar 239,33 g (Tabel 7) dan perlakuan L1 dan L2 masing-masing adalah 19,91% dan 14,90% lebih rendah yang berbeda tidak nyata (P>0,05) daripada perlakuan L3. Pada kelinci yang mendapatkan perlakuan ransum (R1) mendapatkan berat kulit+bulu sebesar 214,44 g (Tabel 8) dan perlakuan ransum R2 adalah 2,69% lebih rendah namun berbeda tidak nyata (P>0,05) daripada perlakuan R1. Menurut Esmay (1978) kulit dan bulu pada ternak merupakan insulasi panas terluar (“inner insulation”). Kelinci yang mendapatkan perlakuan tingkat hunian dan ransum berbeda tidak mengalami perbedaan kesulitan dalam melepaskan kelebihan panas tubuhnya.

Tabel 7. Pengaruh Tingkat Hunian Terhadap Berat Kulit + Bulu Kelinci

Variabel

Tingkat hunian

SEM

L1         L2        L3

Berat Kulit+Bulu

191,66a     203,66a 239,33a

8,74

Tabel 8. Pengaruh Ransum Terhadap Berat Kulit + Bulu Kelinci

Variabel

Perlakuan

SEM

R1          R2

Berat Kulit+Bulu

214,44a         208,66a

10,71

Keterangan :

1. L1 : Tingkat hunian dengan luas 1 ekor/0,35 m2

L2 : Tingkat hunian dengan luas 2 ekor/0,35 m2

L3 : Tingkat hunian dengan luas 3 ekor/0,35 m2

R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%)

R2 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%)

2. Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3. sem : “standart error of the treatment means

Iklim Mikro

Kelembaban udara pada kandang kelinci L3 adalah 70,25% (Tabel 9), sedangkan kelembaban udara pada kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan L1 dan L2 masing-masing adalah 1,47% dan 0,56% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada L3. Perlakuan ransum R1 menyebabkan kelembaban udara sebesar 70,20% (Tabel 10), sedangkan kelembaban udara dalam kandang yang mendapatkan perlakuan R2 adalah 1,22% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada perlakuan R1. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara dalam kandang dengan tingkat hunian kelinci berbeda dan diberikan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda tidak menyebabkan perbedaan kelembaban udara dalam kandang.

Tabel 9. Pengaruh Tingkat hunian terhadap Iklim Mikro Kelinci

Pelakuan

Variabel                 L1        L2       L3

SEM

Iklim Mikro

Kelembaban Udara (%)                69,22a    69,85a    70,25a

Temperatur Udara (ºC)                 28,03a     28,87a    28,91a

“Temperatur Humidity Index” (THI) 26,71a    27,50a    27,55a

Intensitas Radiasi Matahari (fc)          8,74a      8,74a     9,18a

0,39

0,27

0,27

0,37

Keterangan:

1) L1 : Tingkat hunian dengan luas 1 ekor/0,35 m2

L2 : Tingkat hunian dengan luas 2 ekor/0,35 m2

L3 : Tingkat hunian dengan luas 3 ekor/0,35 m2

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : “Standart Error of The Treatment Means”

Temperatur udara pada kandang kelinci L3 adalah 28,91oC (Tabel 9), sedangkan temperatur udara pada kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan L1 dan L2 masing-masing adalah 3,04% dan 0,13% lebih rendah tidak berbeda nyata (P>0,05) daripada L3. Temperatur udara pada kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan R1 sebesar 28,8oC (Tabel 10), sedangkan temperatur udara yang mendapatkan perlakuan R2 adalah 1,35% lebih rendah (P>0,05) daripada perlakuan R1. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur udara yang ditimbulkan disetiap perlakuan tidak terjadi perbedaan yang nyata.

“Temperatur Humidity Index” (THI) pada perlakuan L3 adalah 27,55 (Tabel 9), sedangkan perlakuan L1 dan L2 masing-masing adalah 3,04% dan 0,18% lebih rendah (P>0,05) daripada L3. THI kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan R1 sebesar 27,45 THI (Tabel 10), sedangkan “temperatur humidity index” kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan R2 adalah 1,42% lebih rendah (P>0,05) daripada perlakuan R1. Hal tersebut disebabkan karena pada kelembaban dan temperatur udara kandang tidak terjadi perbedaan sehingga tidak akan berpengaruh terhadap termperatur humidity index.

Tabel 10. Pengaruh Ransum Terhadap Iklim Mikro Kelinci

Perlakuan

Variabel

SEM

R1         R2

Iklim Mikro

Kelembaban Udara (%)

70,20a

69,34a

0,48

Temperatur Udara (ºC)

28,80a

28,41a

0,34

Temperatur Humidity Index (THI)

27,45a

27,06a

0,33

Intensitas Radiasi Matahari (fc)

9,29a

8,49a

0,45

Keterangan :

1) R1 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP

16%)

R2 : Ransum dengan imbangan energi dan protein 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP

17,5%)

2) SEM : “Standart Error of The Treatment Means”

3) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05).

Intensitas radiasi matahari pada kandang kelinci L3 adalah 9,18 fc (Tabel 9), sedangkan radiasi matahari pada kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan L1 dan L2 masing-masing adalah 4,79% dan 4,79% lebih rendah (P>0,05) daripada perlakuan L3. Radiasi matahari pada kandang kelinci yang mendapatkan perlakuan R1 sebesar 9,29 fc (Tabel 10), sedangkan radiasi matahari yang mendapatkan perlakuan R2 adalah 0,08% lebih rendah (P>0,05) daripada perlakuan R1. Tidak terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan tingkat hunian dan ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda. Hal ini

menunjukan bahwa pengacakan dan lokasi petak kandang mendapatkan intensitas radiasi matahari yang sama.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karkas kelinci yang dipelihara pada tingkat hunian dua ekor/0,35 m2 dengan ransum 147 (ME 2500 kkal/kg dan CP 16%) lebih baik dibandingkan dengan tingkat hunian tiga ekor/0,35 m2 dan satu ekor/0,35 m2 dengan ransum 151 (ME 2800 kkal/kg dan CP 17,5%) dan tidak terjadi perbedaan iklim mikro pada kandang dengan tingkat hunian dan imbangan energi dengan protein yang berbeda.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulis persembahkan kepada Dekan Fakultas Peternakan, temen-temen seperjuangan dalam penelitian dan teman seangkatan tahun 2010 yang telah banyak membantu sehingga penelitan ini dapat berjalan dengan semestinya.

DAFTAR PUSTAKA

Blass, C. d. and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of Rabbit. CABI Publishinr. University of Notthingham. Notthingham. P.39-55.

Esmay, M.L. 1978. Principles of animal environment. Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. p. 17-33.

Herman. R. 1989. Produksi Kelinci. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Kartadisastra, H. R., 1997. Ternak Kelinci Teknologi Pasca Panen. Kanisius.Yogyakarta.

Maertens, L. and G. D. Groote.1984. Influence of the number of fryer rabbits per cage on their performance. J. Appl. Rabbit Res. 7: 151-155.

Marai, I.F.M., A.A.M. Habeeb and A.E. Gad. 2002. Rabbits Productive, Reproductive and Physiological Performance Traits as Affected by Heat stress. Departement of Animal Production, Faculty of agiculture, Zagazig University, Zagazig, Egyt.

Mc.Nitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefahr and P.R Cheeke. 1996. Rabbit production. Interstate Publishers. Inc.P. 78-109.

NRC. 1997. Nutrien Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences, Washington, D.C.

Nuriyasa, I.M. 2012. Respon Biologi Dan Pendugaan Kebutuhan Energi Dan Protein Ternak Kelinci Pada Kondisi Lingkungan Berbeda Di Daerah Dataran Rendah Tropis (Disertasi). Program Doktor, Universitas Udayana.

Porsmouth, J. L. 1997. Comercial Rabbit Meat Production. Second Edition. Siaga Publishing Co, Ltd. England.

Praga, M. J. 1998. Protein requirement.In. The nutrition of rabbit. Ed.C. Blas and J. Wiseman. CABI Publishing, New York. p. 133-143.

Scott, M.L.,M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of The Chickens second Ed. M.L. Scott and Associates Ithaca, New York.

Soeparno. 1994. Ilmu Teknologi Daging. Cetakan Pertama Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Steel, R. G. D and J,H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometric, Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Sumantri. Gramedia. Jakarta.

Tom, A.S. 1975. Momentum, mass and heat exchange of plant communities in vegetationand the atmosphere, J.L monteith ed. Acad press inc. Ltd., London. 1 :57-108

Saputra et al. Peternakan Tropika Vol. 3 No. 2 Th. 2015: 295 - 309

Page 309