PERFORMANS KELINCI LOKAL (lepus negricollis) YANG DIBERI RANSUM DENGAN IMBANGAN ENERGI PROTEIN BERBEDA YANG DIPELIHARA PADA KANDANG UNDERGROUND SHELTER
on

e--journal FAPET UNUD
e-Journal

Universitas Udayana
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science email: peternakantropika_ejournal@yahoo.com email: jurnaltropika@unud.ac.id
PERFORMANS KELINCI LOKAL (lepus negricollis) YANG DIBERI RANSUM DENGAN IMBANGAN ENERGI PROTEIN BERBEDA YANG DIPELIHARA PADA KANDANG UNDERGROUND SHELTER
JOHANNES E.O.P, I M NURIYASA DAN E.PUSPANI
Program Studi Peternakan,Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar E-mail : johannespanjaitan19@gmail.com HP : 083198570371
ABSTRAK
Penelitian ini telah dilakukan selama 12 minggu, bertujuan untuk mengetahui performans kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi protein berbeda. Kelinci yang digunakan adalah kelinci lokal jantan umur 5 minggu sebanyak 20 ekor dengan berat badan 189,25 ± 1,54 g. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelitian ini menggunakan perlakuan yaitu imbangan energi protein (R) yang terdiri dari ransum dengan imbangan energi protein156,89 (R1), imbangan energi protein 154, 98 (R2), imbangan energi protein 153,14 (R3) dan imbangan energi protein 151,50 (R4). Variabel yang diamati adalah variabel konsumsi ransum, konsumsi air minum, pertambahan berat badan, berat badan akhir dan konversi ransum. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam menggunakan program Costat versi 6.4, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum R3 menyebabkan konsumsi ransum, pertambahan berat badan, berat badan akhir nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada R1 dan R2 namun tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan R4. Konsumsi ransum tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh perlakuan ransum dengan imbangan energi protein berbeda. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ransum dengan energi termetabolis 2603 kkal/kg dan CP17 % dengan imbangan energi protein 153,14 (R3) menghasilkan performans yang lebih tinggi dari pada perlakuan ransum dengan energi termetabolis 2801 kkal/kg dan CP 18,5 % dengan imbangan energi protein 151,50 (R4), ransum dengan energi termetabolis 2402 kkal/kg dan CP15,5 % dengan imbangan energi protein 154,98 (R2), ransum dengan energi termetabolis 2201 dan CP 14 % dengan imbangan energi protein 156,89 (R1).
Kata kunci : Kelinci, imbangan energi protein, dan performans.
PERFORMANS OF LOCAL RABBIT (lepus negricollis) GIVEN FED DIETS WITH DIFFERENT PROTEIN ENERGY BALANCE TREATED IN UNDERGROUND SHELTER CAGES
ABSTRACT
This research has been conducted over 12 weeks, has a purpose to know the performance of local rabbit given feed diets with different protein energy balance treated in cages underground shelter. The type of rabbit that used in this research is a 20 of male local rabbit which is in 5 weeks age, with a weight of about 189,25 ± 1,54 g. The treatment that used in this research is Randomized Block Design (RBD). The treatment were diet used protein energy balance (R) consisting of a ration with protein energy balance 156,89 (R1), protein energy balance 154,98 (R2), protein energy balance 153,14 (R3) and the energy protein balance 151, 50 (R4). Variable observed were variable feed intake, water intake, weight gain, final body weight and FCR. The data were analyzed by analysis of variance using Costat program version 6.4, if there is a difference between each treatments (P<0,05) the analysis will be followed by Duncan’s multiple range test (Steel and Torrie, 1980). This results of this study showed that the treatment ration R3 make feed intake, weight gain, and final body weight higher (P<0,05) than R1 and R2 but not significantly different (P>0,05) compared with R4. FCR were not significantly different effect (P>0,05) by treatment rations with different protein energy balance. The performance of local male rabbits which is fed with feed metabolizable energy 2603 kcal/kg and CP 17% is better than treatment metabolizable energy ration with 2801 kcal/kg and CP 18,5% with the treatment of protein energy balance 151,50 (R4), metabolizable energy ratio with 2402 kcal/kg and CP 15,5% with the treatment of protein energy balance 154,98 (R2), metabolizable energy ratio with 2201 kcal/kg and CP 14% with the treatment of protein energy balance 156,89 (R1).
Keywords : Rabbit, protein energy ratio, and performance
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami pertambahan yang begitu cepat. Meningkatnya jumlah penduduk seiring dengan meningkat pula permintaan akan daging. Daging merupakan salah satu bahan makanan asal ternak yang perlu
disediakan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan akan gizi, terutama protein hewani. Adapun standar kecukupan pangan dan gizi bagi bangsa Indonesia adalah energi sebesar 2220 kalori dan protein sebesar 55 gram (20% berasal dari protein hewani) atau setara dengan 4,5 Kg daging ; 4,5 Kg telur dan 4,5 Kg susu per orang per tahun (Widya Karya Pangan, 1988 ; dikutip oleh Wardhani , 1988).
Untuk menjawab tantangan ini, salah satu usaha peternakan yang memungkinkan dikembangkan dan memberi harapan besar adalah dengan pengembangan potensi ternak kelinci. Kelinci memiliki keunggulan diantaranya menghasilkan daging berkualitas tinggi, dapat memanfaatkan limbah pertanian dan limbah dapur sebagai bahan pakan, dan kelinci memiliki hasil sampingan selain daging (Schiere, 1999). Kelinci memiliki siklus beranak 4 – 6 kali setahun dengan jumlah anak 4 – 12 ekor setiap melahirkan (Kartadisastra, 2011). Kelinci mempunyai kelebihan dibandingkan ternak sapi yaitu efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dan kelinci dapat memanfaatkan pakan hijauan yang tidak disukai sapi (Lick dan Hung, 2008).
Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha pemeliharaan ternak. Agar kelinci dapat berproduksi tinggi, maka perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif dengan pemberian pakan yang memenuhi syarat baik secara kualitas dan kuantitas. Menurut Ensminger et al. (1990), pakan kelinci dapat berupa hijauan, namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan konsentrat. Kelinci sangat sensitif terhadap faktor lingkungan terutama dalam hal ransum dimana ransum harus memenuhi energi dan protein untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Dalam penyusunan ransum, kandungan serat kasar juga harus dipenuhi. Standar kebutuhan serat kasar pada ternak kelinci adalah 10-14 % (NRC, 1977).
Berdasarkan uraian diatas maka kegiatan ini dilakukan dengan tujuan memberikan informasi tentang kelinci lokal terutama kepada peternak kelinci lokal.
MATERI DAN METODE
Kelinci Penelitian
Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jantan lokal umur 5 minggu sebanyak 20 ekor dengan berat badan 189,25 ± 1,54 g.
Kandang dan Perlengkapannya
Kandang underground shelter dibuat dengan pasangan batako setinggi 45 cm agar kelinci tidak mudah lepas. Di atas batako dipasang kawat agar kandang tidak gelap dan memudahkan pengamatan. Kandang ini dilengkapi dengan lubang untuk tempat berlindung dengan sudut kemiringan tempat masuk adalah 45º, panjang 35 cm dengan lubang masuk 20 cm.
Ransum dan Air Minum
Ransum yang digunakan pada penelitian ini tersusun dari bahan-bahan yaitu jagung kuning, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, tepung kedelai, tepung tapioka, rumput gajah, serbuk gergaji, minyak kelapa, mineral mix dan tepung tulang. Ransum dibuat dalam bentuk pellet yang terdiri dari 4 jenis formulasi ransum tersaji tabel 1, dan komposisi ransum tersebut adalah : ransum yang mengandung energi termetabolis 2201,03 Kkal/kg dan protein kasar 14,03% dengan imbangan energi protein 156,89 (R1), energi termetabolis 2402,17 Kkal/kg dan kandungan protein kasar 15,50% dengan imbangan energi protein 154,98 (R2), energi termetabolis 2603,45 Kkal/kg dan protein kasar 17,01% dengan imbangan energi protein 153,14 (R3), energi termetabolis 2801,81 Kkal/kg dan protein kasar 18,50% dengan imbangan energi protein 151,50 (R4) tersaji pada tabel 2. Ransum diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore dan diberikan secara ad libitum. Setiap melakukan pemberian dan penambahan jumlah ransum, tempat ransum dicuci bersih pada masing-masing petak kandang. Air minum diambil dari PDAM dan tempat air minum dicuci bersih sebelum dilakukan penggantian air minum.
Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Percobaan | ||||
Perlakuan | ||||
Bahan (%) |
R1 |
R2 |
R3 |
R4 |
Jagung Kuning |
24,6 |
29,0 |
31,0 |
33,4 |
Bungkil Kelapa |
14,7 |
14,2 |
12,4 |
6,3 |
Tepung Ikan |
6,9 |
9,6 |
15 |
17,7 |
Tepung Tapioka |
4,3 |
6,4 |
9,9 |
10,3 |
Tepung Kedelai |
4,3 |
8,4 |
11,0 |
17,5 |
Dedak Padi |
22,3 |
12,1 |
8,0 |
2,0 |
Rumput Gajah |
18,6 |
16,0 |
5,0 |
2,0 |
Serbuk Gergaji |
2,7 |
2,7 |
5,1 |
7,65 |
Minyak Kelapa |
0 |
0 |
1,2 |
2,0 |
Tepung Tulang |
0,8 |
0,8 |
0,65 |
0,4 |
NaCl |
0,25 |
0,25 |
0,25 |
0,25 |
Mineral Mix |
0,55 |
0,55 |
0,5 |
0,5 |
Total |
100 |
100 |
100 |
100 |
Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Percobaan
Standar
Nutrien |
Perlakuan |
McNitt (1996) | |||
R1 |
R2 |
R3 |
R4 | ||
GE (Kkal /Kg)*) |
3985,0 |
3909,0 |
4116,0 |
4145,0 |
4033,60 |
ME (Kkal /Kg)**) |
2201,15 |
2402,17 |
2603,45 |
2801,81 |
2400 |
Protein Kasar (%)**) |
14,03 |
15,50 |
17,01 |
18,50 |
16,00 |
ME /CP Rasio*) |
156,89 |
154,98 |
153,14 |
151,50 |
150 |
Lemak (%)*) |
6,10 |
6,72 |
8,07 |
9,64 |
3,00 |
Serat Kasar (%)*) |
14,91 |
18,51 |
12,24 |
10,68 |
10,00 |
Ca (%)*) |
1,27 |
1,52 |
2,0 |
2,15 |
0,50 |
P av (%)*) |
0,90 |
0,91 |
0,97 |
1,07 |
0,30 |
Lisin (%)*) |
0,68 |
0,93 |
0,16 |
1,18 |
0,60 |
Metionin + sistin (%)**) |
0,38 |
0,52 |
0,69 |
0,65 |
0,60 |
Isoleusin (%)**) |
0,60 |
0,52 |
0,080 |
0,67 |
1,10 |
Leusin**) |
0,07 |
0,89 |
0,16 |
1,09 |
0,30 |
Penilalalin + Tirosin (%)**) |
1,03 |
1,29 |
0,90 |
1,47 |
1,10 |
Treonin (%)**) |
0,40 |
0,53 |
0,10 |
0,63 |
0,60 |
Triptofan (%)**) |
0,12 |
0,12 |
0,03 |
0,008 |
0,20 |
Valin(%)**) |
0,59 |
0,77 |
0,15 |
0,04 |
0,70 |
Keterangan :
*) Analisis Proksimat Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas Udayana
**) Perhitungan berdasarkan Tabel Komposisi Scott et al. (1982)
Alat – alat
Penelitian ini menggunakan timbangan digital merk shoenle dengan kapasitas 5 kg dan kepekaan 2 g. Timbangan ini digunakan untuk menimbang jumlah ransum yang diberikan dan untuk menimbang ransum sisa. Penimbangan berat badan kelinci juga dilakukan setiap minggu dengan timbangan shoenle. Jumlah air minum yang diberikan dan sisa air minum diukur dengan menggunakan gelas ukur.
Rancangan Penelitan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 5 kelompok sebagai ulangan. Jumlah ulangan sama dengan jumlah kelompok. Keempat perlakuan tersebut yaitu ransum ternak kelinci yang mengandung energi termetabolis 2201,15 kkal/kg dan protein kasar 14,03 % dengan imbangan energi protein 156,89 (R1), energi termetabolis 2402,17 kkal/kg dan protein kasar 15,50% dengan imbangan energi 154,98 (R2), energi termetabolis 2603,81 kkal/kg dan protein kasar 17,01 dengan imbangan energi protein 153,14 (R3), energi termetabolis 2801,81 kkal/kg dan protein kasar 18,50 % dengan imbangan energi protein 151,50 (R4).
Pengacakan Kelinci
Jumlah kelinci jantan lokal yang digunakan dalam penelitian ini ada 20 ekor. Semua kelinci ditimbang beratnya kemudian dicari rata-rata dari standard deviasi. Pengelompokan kelinci didasarkan atas beratnya yaitu kelompok I (rata-rata +2 SD), kelompok II (rata-rata +1 SD), kelompok III (rata-rata), kelompok IV (rata-rata -1SD). Kelompok V (rata-rata –2SD).
Pencampuran Ransum.
Semua bahan ditimbang sesuai dengan formulasi ransum yang direncanakan. Setelah semua bahan ditimbang maka dilakukan pencampuran mulai dari bahan pakan yang penggunaannya paling banyak sampai penggunaan bahan yang paling sedikit. Bahan pakan yang telah ditimbang ditabur secara merata diatas plastik. Bahan yang telah siap dicampur mula-mula dibagi menjadi empat bagian yang sama. Pada
masing-masing bagian dicampur dari sudut ke sudut dan terakhir dilakukan pencampuran seluruh bagian sehingga ransum benar-benar homogen. Ransum yang homogen kemudian dibentuk dalam bentuk pellet. Setelah itu ransum dimasukkan ke mesin pellet. Ransum yang telah berbentuk pellet dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberikan kode sesuai dengan perlakuan.
Lokasi dan Waktu Percobaan
Percobaan dilakukan di Desa Dajan Peken Tabanan yang terletak pada dataran rendah beriklim tropis. Tempat percobaan berada pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Pengamatan data dilakukan selama 12 minggu.
Variabel yang Diamati.
-
1. Konsumsi ransum dihitung setiap minggu dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum pada hari tersebut.
-
2. Konsumsi air minum didapatkan dengan mengurangi jumlah air minum yang diberikan dengan sisa pada keesokan harinya dengan menggunakan gelas ukur.
-
3. Pertambahan berat badan dilakukan dengan mengurangi berat badan pada akhir penelitian dengan berat badan pada awal penelitian.
-
4. Berat badan akhir dilakukan pada akhir penelitian.
-
5. Konversi ransum dihitung dengan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan selama penelitian.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam menggunakan Costat versi 6.4, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1993)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum kelinci dengan imbangan energi protein 153,14 (R3) adalah 4901 g, sedangkan konsumsi ransum kelinci yang diberi imbangan energi protein 154,98 (R2) dan ransum kelinci 156,89 (R1) masing-masing 16,14% dan 29,26% lebih rendah (P<0,05) daripada ransum R3, seperti pada Tabel 3 Ransum dengan imbangan energi protein 151,50 (R4) mengkonsumsi ransum 8.31% lebih rendah (P>0,05) namun tidak berbeda nyata dibandingkan ransum R3. Kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi protein 156.89 (R1) menghasilkan konsumsi ransum yang terendah dibandingkan ransum dengan imbangan energi protein 154.98 (R2), 153.14 (R3), 151.50 (R4). Hal ini disebabkan karena ransum kelinci R1 bersifat “bulky” (ambar). Berdasarkan pengukuran didapatkan bahwa densitas ransum perlakuan ransum R1, R2, R3 dan R4 masing-masing 116,05, 156,14, 160,75 dan 194,98 g/ml (lampiran 1). Ransum yang ambar akan cepat berdebu ketika dimakan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat De Blass and Wiseman (1998) yang menyatakan bahwa ternak kelinci tidak menyukai makanan yang berdebu. Ransum yang bersifat “bulky” (ambar) akan cepat memenuhi kapasitas lambung sehingga merupakan pembatas konsumsi ransum. Selain itu komposisi penyusun ransum R1 memiliki kandungan energi yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan ternak kelinci. Mbanya et al (2010) berpendapat bahwa ransum dan komposisi ransum berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Tillman (1986) yang menyatakan bahwa ternak akan meningkatkan konsumsi ransum apabila kandungan energi ransum lebih rendah dari standar kebutuhan ternak. Berbagai faktor juga dapat mempengaruhi konsumsi ransum pada ternak kelinci diantaranya faktor lingkungan, kandungan energi, tekstur, bau dan palatabilitas makanan (McNitt et al., 1996). Tillman et al., (1991) berpendapat bahwa daya cerna ransum oleh kelinci berhubungan erat dengan komposisi bahan makanannya dan serat mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya cerna. Apabila kandungan serat kasar tinggi pada pakan akan mengurangi
efisiensi penggunaan zat-zat dalam ransum sebab kandungan serat kasar yang tinggi dapat mengakibatkan daya cerna protein yang rendah yang berakibat ransum yang dimakan berkurang (Templeton, 1968). Berdasarkan analisis perhitungan kandungan serat kasar ransum perlakuan adalah R1 (14,10%), R2 (12,30%), R3 (10,15%) dan R4 (10,14%) seperti pada lampiran 1. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, konsumsi ransum kelinci R4 lebih rendah daripada ransum kelinci R3. Hal ini disebabkan dalam komposisi ransum R4 memiliki kandungan energi paling tinggi sehingga kelinci yang diberi ransum R4 makannya lebih sedikit dari kelinci yang diberi ransum R3 untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sesuai dengan pendapat Tillman (1986). Parigi Bini dan Xiccato (1998) berpendapat bahwa peningkatan konsumsi ransum menyebabkan energi tersimpan dalam bentuk protein dan lemak tubuh makin tinggi.
Tabel 3 Performans kelinci yang diberi imbangan energi protein berbeda | |||||
Variabel |
Perlakuan(1) |
SEM(3) | |||
R1 |
R2 |
R3 |
R4 | ||
Konsumsi |
3467.20a |
4110.20b |
4901.40c |
4494.00bc |
208.18 |
ransum(g) Konsumsi air (ml) |
8909.00ab |
8298.80a |
9885.40bc |
10467.20c |
470.19 |
Pertambahan Berat |
922.00a |
1412.00b |
1794.00c |
1686.00bc |
93.42 |
Badan (g) Berat Badan Akhir |
1112.00a |
1596.00b |
1978.00c |
1864.00bc |
93.67 |
(g) Konversi Ransum |
3.9585a(2) |
2.9788a |
2.7352a |
2.7734a |
0.38 |
Keterangan |
1) R1 : Ransum dengan imbangan energi protein 156.89
R2 : Ransum dengan imbangan energi protein 154.98
R3 : Ransum dengan imbangan energi protein 153.14
R4 : Ransum dengan imbangan energi protein 151.50
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05) dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
3) SEM : “Standard Error of The Treatment Means”
Kelinci yang diberi perlakuan ransum dengan imbangan energi protein 151.50 (R4) menyebabkan konsumsi air 10467,20 ml sedangkan kelinci yang diberi perlakuan ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3), ransum dengan imbangan energi protein 156.89 (R1) dan ransum dengan imbangan energi protein
154.98 (R2) masing-masing mengkonsumsi air 5,6%, 14,9%, 20,8% lebih rendah (P<0,05) daripada kelinci yang diberi perlakuan ransum R4. Kelinci tidak memiliki kelenjar keringat yang baik untuk melepaskan kelebihan panas tubuhnya (Yingkai Yan dan Mingrong Li., 2008). Perlakuan ransum R4 dengan kandungan energi lebih tinggi dari pada R3 menyebabkan beban panas dari hasil metabolisme lebih tinggi (Haresign et al.,1977). Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsumsi ransum pada kelinci yang diberi ransum R4 lebih tinggi daripada R3, R2, R1. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum R4 cukup tinggi yang tidak berbeda nyata dengan R3. Tillman et al,. (1986) menyatakan bahwa ternak kelinci yang mengkonsumsi ransum lebih banyak akan mengkonsumsi air juga lebih banyak dengan tujuan untuk melunakkan makanan sebelum dicerna. Ransum R4 mengandung energi termetabolis dan protein lebih tinggi sehingga beban metabolisme yang ditimbulkan juga lebih tinggi, sehingga kelinci memerlukan air minum yang lebih banyak untuk menyeimbangkan panas tubuhnya sesuai dengan pendapat Haresign et al. (1977).
Kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3) menghasilkan pertambahan berat badan 1794.00 g dan merupakan pertambahan berat badan paling tinggi. Sedangkan ransum kelinci R4 (151.50), ransum kelinci R2 dan ransum kelinci R1 (154.98) menghasilkan pertambahan berat badan 6,02%, 21,30% dan 48,60% nyata lebih rendah (P<0.05) daripada ransum kelinci R3. Xiangmei (2008) yang menyatakan imbangan energi protein ransum sangat penting diperhatikan untuk dapat mencapai produktivitas maksimal. Ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3) mengkonsumsi ransum paling banyak dibandingkan ransum 151.50 (R4), 154.98 (R2), 156.89 (R1) dan menghasilkan berat badan akhir yang tinggi. Rasyid (2009) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan berat badan adalah konsumsi ransum.
Berat badan akhir paling tinggi dicapai oleh kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3) yaitu 1978.00 g. Kelinci yang diberi ransum dengan imbangan energi protein 151.50 (R4), ransum dengan imbangan energi protein 154.98 (R2) dan ransum dengan imbangan energi protein 156.89 (R1)
menghasilkan berat badan akhir 5,76%,19,31% dan 43,78% lebih rendah (P<0,05) daripada ransum R3.
Konversi ransum berkaitan dengan penggunaan energi yang dikonsumsi oleh ternak, makin banyak penggunaan energi untuk keperluan hidup pokok maka penggunaan energi untuk pertumbuhan makin kecil (Lesson,1986). Anggorodi (1985) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya konversi ransum yaitu kualitas pakan, keturunan dan manajemen pemberian pakan. Apabila nilai konversi ransum yang dihasilkan tinggi, maka efisiensi penggunaan pakan rendah. Dan apabila nilai konversi ransum yang ditunjukkan rendah, maka efisiensi penggunaan pakan tinggi atau baik. Dari hasil penelitian diperoleh angka konversi ransum berkisar 2.8-3.9. Nilai konversi ransum termasuk kisaran normal menurut Cheeke et al. (1987) pemberian pakan yang berkualitas baik dapat menghasilkan konversi ransum sebesar 2.8-4.0. Perlakuan ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3) menghasilkan berat badan akhir yang paling tinggi dan nilai konversi ransum terendah. Hal ini memungkinkan pembentukan jaringan tubuh lebih baik dan menghasilkan pertambahan berat badan yang lebih tinggi yang disebabkan karena konsumsi ransum lebih tinggi bukan karena efisiensinya yang berbeda
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kelinci jantan lokal yang diberi ransum dengan imbangan energi protein 153.14 (R3) yang dipelihara pada kandang Underground Shelter menghasilkan performans lebih tinggi daripada ransum dengan imbangan energi protein 151,50 (R4), 154.98 (R2), 156.89 (R1). Saran
Pada peternak kelinci lokal di daerah dataran rendah tropis disarankan memberi ransum dengan energi termetabolis 2603 kkal/kg dan CP 17.01 dengan imbangan energi protein 153.14.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Dekan Fakultas Peternakan , teman seperjuangan selama penelitian dan teman seangkatan tahun 2009 yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan semestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Cheeke, P. R, N. M. Patton, S. D. Lukefahr, and J. I. Mc. Nitt. 1987. Rabbit
Production. The Interstand Publisher, Inc Danville Illenois.
Ensminger, M.E., J.E. Oldfield dan W.Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd
Ed. The Ensminger Publishing Co., Clovis
Haresign, W., Swan,H.,and Lewis,D..1977.Nutrion and the Climatic
Environment.Faculty of Agricultural Sciences, University of Nottingham, London.
Kartadisastra, H. R. 2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta
Lick, N. Q and D.V. Hung. 2008. Study and Design the Rabbit Coop Small-Scale Farm in Central of Vietnam. Departement of Agriculture Engineering. Hue University of Agriculture and Forestly. Vietnam
NRC. 1977. Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences, Washington, D.C.
Schiere, J.B.1999. Backyard Farming in the Tropics. CTA Pubblished.
Smith, J. B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan pembiakan dan penggunaan hewan percobaan di Daerah tropis. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sumoprastowo, R. M. 1986. Beternak kelinci idaman, Bharata, Jakarta
Tempeleton, G. S. 1968. Domestic Rabbit Production. The Interstate Printers and
Publisher, INC. Danville, Illinois.
Tillman, A.D. 1973. Effect of Form Non Protein Nitrogen and Methods of Processing on Their Nutritional Value Effect of Feeds.
Tillman, A.D., Hartadi, H., Reksohardiprodja, S., Soeharto,P., dan Soekamto,L 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada, University Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Densitas dan Kandungan Serat Kasar Ransum Perlakuan
Variabel |
Perlakuan R1 R2 R3 R4 |
Densitas Ransum (g/ml) |
116,05 156,14 160,75 194,98 |
Serat Kasar (%) |
14,10% 12,30% 10,15% 10,14% |
Johannes et al. Peternakan Tropika Vol. 3 No. 1 Th. 2015: 189 - 202
Page 202
Discussion and feedback