e-journal

FAPET UNUD


e-Journal

Universitas Udayana


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science email: [email protected] email: [email protected]

PENGARUH PERBEDAAN PEJANTAN SEBAGAI SUMBER SEMEN TERHADAP PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DI SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI SOBANGAN

Galuh R.K.P., I.N. Ardika dan N.M. Artiningsih R. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Hp: 085230672667, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh perbedaan pejantan sebagai sumber semen terhadap performans reproduksi sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan. Adapun penelitian tersebut berlangsung selama tiga bulan yaitu mulai dari tanggal 4 Januari 2014 sampai tanggal 4 April 2014. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 42 ekor sapi betina yang melahirkan untuk pertama kali dengan tiga semen pejantan masing-masing adalah pejantan Nitih, Kertalaba dan Basudewa. Perkawinan dilakukan dengan inseminasi buatan. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah “service per conception” (S/C), “non return rate” (NRR), lama bunting dan bobot lahir. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah “unbalanced design with unequal number of progeny per sire. Pendugaan nilai heritabilitas (h2) lama bunting dan bobot lahir dihitung dengan metode analisis saudara tiri sebapak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan “service per conception” (S/C) dan “non return rate” (NRR) sapi bali masing-masing adalah 1,21 ± 0,42 dan 78,57%. Rataan lama bunting sapi bali adalah 287,52 ± 0,42 hari. Rataan lama bunting pedet jantan dan betina masing-masing adalah 287,58 ± 5,99 hari dan 287,44 ± 4,37 hari. Rataan bobot lahir adalah 16,55 ± 1,81 kg. Rataan bobot lahir pedet jantan dan pedet betina masing-masing adalah 16,62 ± 2,08 kg dan 16,44 ± 1,29 kg. Pengaruh perbedaan pejantan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap lama bunting dan bobot lahir. Nilai heritabilitas lama bunting dan bobot lahir masing-masing adalah sebesar 0,414 ± 0,69 dan 0,577 ± 0,79. Nilai heritabilitas ini merupakan nilai yang tergolong tinggi. Nilai heritabilitas lama bunting dengan bobot lahir ini menunjukkan bahwa seleksi efektif untuk menurunkan lama bunting dan meningkatkan bobot lahir.

Kata kunci: sapi bali, pejantan, performans reproduksi, heritabilitas

THE EFFECT OF DIFFERENT SIRES AS A SOURCE OF SEMEN ON REPRODUCTION PERFORMANCE OF BALI CATTLE IN BALI CATTLE BREEDING CENTRE SOBANGAN

ABSTRACT

The research was carry out to determine the effect of different sires as a source of semen on reproduction performance of bali cattle in Bali Cattle Breeding Centre Sobangan. The research was observed during three months has begin from 4 January 2014 until 4 April 2014. The material used in this research are 42 cows who gave birth for the first time with three semen sires sources, there are a Nitih, Kertalaba and Basudewa. Mating was

done with artificial insemination. The parameters who used in this research are “service per conception” (S/C), “non return rate” (NRR), gestation length and birth weight. The design who used in this research are unbalanced design with unequal numbers of progeny per sire. Estimation of heritability (h2) of gestation length and birth weight were calculated using paternal halfsib correlation analysis methode. Based on the research result that the the average of service per conception (S/C) and non return rate (NRR) bali cattle are 1,21 ± 0,42 and 78,57%. The average of gestation length bali cattle are 287,52 ± 0,42 days. The average of gestation length male calf and female calf are 287,58 ± 5,99 days and 287,44 ± 4,37 days, respectively the average of birth weight are 16,55 ± 1,81 kg. The average of birth weight male calf and female calf are 16,62 ± 2,08 kg and 16,44 ± 1,29 kg, respectively effect of different sires were non significantty effect (P>0,05) on gestation length and birth weight. Heritability value of gestation length and birth weight, each other are 0,414 ± 0,69 and 0,577 ± 0,79, respectively the heritability is the value who classified as high. Heritability of gestation length and birth weight result that selection is effective for lowering of gestation length and increase of birth weight.

Key words: bali cattle, sires, reproduction performance, heritability

PENDAHULUAN

Inseminasi buatan (IB) merupakan tindakan perkawinan buatan yang dilakukan pada hewan betina dimana sperma dari pejantan dimasukkan ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat dan bantuan manusia sepenuhnya (Toelihere, 1993). Inseminasi buatan yang menggunakan semen pejantan unggul dapat menghasilkan peningkatan mutu genetik. Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan inseminasi buatan adalah meningkatkan kinerja dan potensi ternak, serta meningkatkan jumlah keturunan dari pejantan yang telah terbukti mempunyai sifat baik untuk produksi yang diinginkan. Selain itu IB juga bertujuan untuk meningkatkan fertilitas dan mengurangi jumlah pejantan yang dipelihara sehingga menghemat tempat dan biaya pakan.

Program inseminasi buatan (IB) yang baik diupayakan dapat menghasilkan keturunan yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik sehingga secara tidak langsung akan terjadi peningkatan populasi atau produksi ternak. Inseminasi buatan dapat dilakukan untuk perbaikan mutu genetik, dapat pula mencegah dampak negatif akibat kawin silang dalam (inbreeding) dan mencegah penularan penyakit-penyakit reproduksi.

Inseminasi buatan merupakan salah satu teknik untuk perbaikan mutu genetik.

Semen dari seekor sapi jantan dapat dipergunakan untuk menginseminasi sapi sapi yang sudah diseleksi (Tomaszewska et al., 1991). Jadi aplikasi teknik IB dengan menggunakan sapi yang sudah diseleksi untuk produksi bibit unggul diharapkan dapat meningkatkan produksi dan juga perbaikan mutu genetik (kualitas) dalam waktu yang relatif singkat (Toelihere, 1993). Salah satu ternak sapi tersebut adalah sapi bali. Banyak peneliti

menyatakan bahwa sapi bali mempunyai banyak keunggulan dibandingkan sapi jenis lain, diantaranya mempunyai sifat reproduksi dan kualitas karkas yang sangat baik, mampu beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim, angka “conception rate” yang tinggi karena mempunyai kesuburan yang tinggi, dan lain-lain.

Program pelaksanaan inseminasi buatan (IB) di Sentra Pembibitan Sapi Bali milik Pemerintah kabupaten Badung yang berada di desa Sobangan, kecamatan Mengwi, kabupaten Badung sudah dilaksanakan sejak awal tahun 2009. Pada sentra pembibitan ini ada banyak sapi bali betina produktif yang diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan populasi ternak sapi bali melalui sapi bibit yang disebarkan ke masyarakat. Hal ini dilakukan karena diduga adanya penurunan kualitas dan kuantitas sapi bali. Semen yang dipergunakan untuk menginseminasi betina-betina yang ada berasal dari semen pejantan unggul yang diproduksi oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Inseminasi Buatan Daerah (UPT. BIBD) Baturiti Tabanan. Sapi-sapi betina yang ada di sentra pembibitan tersebut di inseminasi secara bergantian dengan mempergunakan semen dari beberapa pejantan yang ada dengan harapan dapat menghasilkan pedet yang memiliki performans unggul seperti pejantannya.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian mengenai pengaruh perbedaan pejantan yang dipergunakan sebagai sumber semen terhadap performans reproduksi sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi, kabupaten Badung.

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian yaitu berapa “service per conception” (S/C), “non return rate” (NRR), lama bunting, bobot lahir dan nilai heritabilitas sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali di desa Sobangan kecamatan Mengwi, kabupaten Badung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan sapi-sapi betina yang ada yaitu dengan mengetahui “service per conception” (S/C), “non return rate” (NRR), lama bunting, bobot lahir, dan nilai heritabilitasnya. Dari performans reproduksi sapi bali yang diperoleh dapat digunakan sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan usaha peningkatan produktivitas dan perbaikan mutu genetik sapi bali dimasa yang akan datang.

MATERI DAN METODE

Materi

Penelitian ini dilakukan di Sentra Pembibitan Sapi Bali desa Sobangan, kecamatan Mengwi kabupaten Badung. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu mulai tanggal 4 Januari 2014 sampai dengan tanggal 4 April 2014 (2 minggu untuk penjajakan, 4 minggu pengambilan data, dan 6 minggu analisis data).

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 42 ekor sapi bali betina yang melahirkan untuk pertama kalinya. Semen yang digunakan untuk menginseminasi berasal dari pejantan Nitih (berasal dari Kintamani, Bangli), Kertalaba (berasal dari Payangan, Gianyar) dan Basudewa (berasal dari desa Susut, Bangli).

Metode

  • A.    Metode Observasi

Metode observasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan cara melakuan pengamatan di tempat penelitian. Tujuannya agar mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang dikerjakan secara rutin di kandang seperti misalnya deteksi berahi, palpasi rektal, dan kegiatan inseminasi buatan.

  • B.    Metode Wawancara

Wawancara dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber baik petugas kandang, inseminator maupun petugas yang terkait.

  • C.    Data Sekunder

Metode pengumpulan data sekunder diambil dari catatan (recording) yang ada di Sentra Pembibitan Sapi Bali di desa Sobangan sejak tahun 2009 sampai tahun 2013.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode “Unequal numbers of progeny per sire (Unbalanced Design)” menurut Becker (1984).

Model statistiknya dapat dilihat dibawah ini.

Keterangan:

Yij    = Pengamatan statistik vital pada individu ke-i pada pejantan ke-j

µ     = Rataan Populasi

αi     = Pengaruh pejantan ke-i

βj     = Pengaruh jenis kelamin pedet ke-j

⅛   = Pengaruh galat

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah “Service per conception” (S/C), “Non return rate” (NRR), lama bunting, bobot lahir. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam pola satu arah dikarenakan jumlah pedet tiap pejantan tidak sama (one-way anova with unequal numbers of progeny per sire) menurut Becker (1984). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. Selanjutnya estimasi pendugaan nilai heritabilitas (h2) lama bunting dan bobot lahir dihitung dengan metode analisis saudara tiri sebapak ( paternal half-sib correlation) menggunakan program Ms. Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai S/C pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan secara umum adalah sebesar 1,21 ± 0,42. Nilai S/C dari ketiga pejantan, masing-masing adalah pejantan Nitih (1,29 ± 0,46), pejantan Kertalaba (1,10 ± 0,32) dan pejantan Basudewa (1,00 ± 0,00). Nilai S/C pejantan Nitih 14,7% lebih tinggi dari pejantan Kertalaba dan 22,5% lebih tinggi dari pejantan Basudewa. Sementara nilai S/C pada pejantan Kertalaba 9,1% lebih tinggi dari S/C pejantan Basudewa.

Angka S/C dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal. Toelihere (1993) menyatakan nilai S/C berada dalam kisaran normal yaitu berkisar antara 1,6 sampai 2 atau dapat dikatakan seekor sapi betina dengan sistem perkawinan menggunakan IB mengalami kebuntingan setelah dilakukan inseminasi 1 sampai 2 kali. Semakin kecil nilai S/C maka angka fertilitas (conception rate) yang diperoleh akan semakin tinggi. Nilai S/C dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian Supriyantono et al. (2008) yang melaporkan bahwa rataan nilai S/C sapi bali di kabupaten Tabanan adalah sebesar 1,02 ± 0,31, dan di kabupaten Karangasem 1,16 ± 0,09. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina dalam kelompok tersebut. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut (Toelihere, 1993).

Menurut Karnaen dan Arifin (2007), nilai S/C sapi Madura pada musim kemarau adalah 1,98 ± 0,83 kali, nyata lebih tinggi dibandingkan dengan rataan banyaknya S/C pada musim hujan yaitu 1,67 ± 0,85 kali. Berarti tingginya nilai S/C sapi bali lebih baik dari sapi Madura. Saat yang tepat untuk inseminasi, kualitas semen, deposisi semen dalam uterus serta perbedaan tingkat kesuburan merupakan faktor yang menentukan besaran dari S/C. Oleh karena itu, deteksi berahi oleh inseminator harus tepat sehingga waktu inseminasi yang baik dapat tercapai. Semen hendaknya juga berkualitas baik serta terjaga

viabilitas serta motilitasnya sehingga diharapkan dalam satu kali proses inseminasi bisa berhasil untuk memperoleh kebuntingan. Selain itu ketepatan deposisi semen juga berpengaruh terhadap besaran S/C karena jika deposisi tepat maka sperma akan segera bergerak untuk menembus sel telur sehingga dapat terjadi pembuahan. Oleh karena itu peranan petugas (inseminator) yang terampil dalam penguasaan teknik inseminasi buatan sangat memegang peranan penting.

Tabel 1. Nilai “service per conception” (S/C) dan “non return rate” (NRR)

Parameter

Pejantan

Nilai Rataan Umum

Nitih

Kertalaba

Basudewa

S/C

1,29 ± 0,46

1,10 ± 0,32

1,00 ± 0,00

1,21 ± 0,42

NRR (%)

71,43

90,00

100,00

78,57

Keterangan :

S/C = Service per Conception

NRR = Non Return Rate

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NRR pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan adalah sebesar 78,57% (Tabel 1.). Nilai NRR dari ketiga pejantan, masing-masing pejantan Nitih 71,43%, Kertalaba (90,00%) dan Basudewa (100%). Nilai NRR Pejantan Nitih 25,9% lebih rendah dari pejantan Kertalaba dan 39,9% lebih rendah dari pejantan Basudewa. Sementara nilai NRR pada pejantan Kertalaba 11,1% lebih rendah dari pejantan Basudewa. Tingginya persentase NRR pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah data yang terbatas. Tingginya rataan NRR berarti tinggi pula persentase ternak yang tidak birahi kembali setelah di inseminasi satu kali. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat keterampilan petugas dan pengetahuan peternak dalam pemeliharaan ternak serta pengamatan berahi cukup baik.

Berbagai faktor mempengaruhi nilai NRR antara lain faktor-faktor yang berhubungan dengan metode pengukuran, termasuk jumlah sapi yang di inseminasi per pejantan, dan pengaruh lingkungan (Toelihere, 1993). Nilai NRR sebesar 78,57% pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Depison (2009) yang mendapatkan rataan nilai “non return rate” (NRR) sebesar 68,89%. Toelihere (1993) menyatakan bahwa rataan nilai NRR berkisar 65-75%. Sehingga rataan nilai pada penelitian ini tergolong tinggi. Hal ini diduga karena keterampilan inseminator baik sehingga menyebabkan nilai NRR menjadi tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan lama bunting secara umum pada sapi bali adalah sebesar 287,52 ± 5,38 hari (Tabel 2.). Rataan lama bunting untuk pedet jantan secara umum adalah 287,58 ± 5,99 hari, sedangkan lama bunting untuk pedet betina

sebesar 287,44 ± 4,37 hari. Rataan lama bunting masing-masing pejantan adalah Nitih (286,71 ± 5,39) hari, Kertalaba (290,50 ± 5,28) hari, dan Basudewa (285,75 ± 3,20) hari.

Parameter

Pejantan                            Rataan

Nitih         Kertalaba       Basudewa        Umum

Lama Bunting (hari)

Jantan 0)

Betina (?)

Bobot Lahir (Kg)

Jantan 0) Betina (?)

286,71 ± 5,39a 290,50 ± 5,28a 285,75 ± 3,20a 287,52 ± 5,38a 285,53 ± 5,96a 291,33 ± 4,85a 286,00 ± 4,24a 287,58 ± 5,99a 288,08 ± 4,48a 283,00 ± 0,00a 285,50 ± 3,54a 287,44 ± 4,37a

16,11 ± 2,07a 17,50 ± 0,41a 17,25 ± 0,29a 16,55 ± 1,81a 15,97 ± 2,57a 17,50 ± 0,43a 17,50 ± 0,00a 16,62 ± 2,08a 16,27 ± 1,38a 17,50 ± 0,00a 17,00 ± 0,00a 16,44 ± 1,29a

Rataan lama bunting pejantan Nitih 1,32% lebih singkat dari pejantan Kertalaba dan 0,33% lebih lama dari pejantan Basudewa. Sementara rataan lama bunting dengan menggunakan pejantan Kertalaba 1,64% lebih lama dari pejantan Basudewa.

Tabel 2. Lama Bunting dan Bobot Lahir sapi bali

Keterangan :

a = superskrip dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

Rataan lama bunting masing-masing pejantan adalah pejantan Nitih (285,53 ± 5,96) hari, Kertalaba (291,33 ± 4,85) hari, dan Basudewa (286,00 ± 4,24 hari). Rataan lama bunting pedet jantan Nitih 2,03% lebih singkat dari pedet jantan yang menggunakan pejantan Kertalaba dan 0,16% lebih singkat dari pedet jantan yang menggunakan pejantan Basudewa. Sementara rataan lama bunting pedet jantan yang menggunakan pejantan Kertalaba lebih lama 1,8% dari pedet yang menggunakan pejantan Basudewa.

Rataan lama bunting untuk pedet jantan yang menggunakan pejantan Nitih (285,53 ± 5,96 hari) 0,89% lebih singkat dari pedet betina yang menggunakan pejantan yang sama (288,08 ± 4,48 hari). Sementara rataan lama bunting pedet jantan yang menggunakan pejantan Kertalaba (291,33 ± 4,85 hari), 2,86% lebih lama dari pedet betina dengan menggunakan pejantan yang sama (283,00 ± 0,00 hari). Sedangkan rataan lama bunting pedet jantan yang menggunakan pejantan Basudewa (286,00 ± 4,24 hari), 0,17% lebih lama dari pedet betina dengan menggunakan pejantan yang sama (285,50 ± 3,54 hari). Meskipun lama bunting antara masing-masing pejantan dan pedet jantan maupun pedet betina dari masing-masing pejantan ada perbedaan, akan tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).

Rataan nilai lama bunting pada sapi bali adalah sebesar 287,52 ± 5,38 hari (Tabel 2.). Rataan nilai lama bunting pedet jantan adalah 287,58 ± 5,99 hari, sedangkan rataan lama bunting pedet betina sebesar 287,44 ± 4,37 hari. Rataan nilai lama bunting untuk

pejantan Nitih, Kertalaba, dan Basudewa masing-masing adalah sebesar 286,71 ± 5,39 hari; 290,50 ± 5,28 hari; dan 285,75 ± 3,20 hari. Hasil tersebut secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Rataan lama bunting ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Putra (2009) yang menyatakan bahwa rataan lama bunting sapi bali adalah 280,97 ± 3,07 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1992) yang menyatakan bahwa kisaran lama bunting berkisar antara 275 sampai 290 hari. Meskipun diantara pedet jantan dan pedet betina tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), namun induk yang melahirkan pedet jantan dari pejantan Kertalaba (291,33 ± 4,85 hari), ternyata lebih lama dibandingkan induk yang melahirkan pedet betina dengan pejantan yang sama (283,00 ± 0,00 hari). Hal yang sama juga terjadi pada induk yang melahirkan pedet jantan dari pejantan Basudewa (286,00 ± 4,24 hari), ternyata lebih lama dibandingkan induk yang melahirkan pedet betina dari pejantan yang sama (285,50 ± 3,54 hari). Hasil ini didukung oleh pendapat Prasojo et al. (2008) menyatakan bahwa induk yang melahirkan pedet jantan mengalami lama bunting yang lebih lama dibandingkan induk yang melahirkan pedet betina.

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap lama bunting sapi bali. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh beberapa faktor diantaranya kecukupan nutrisi selama periode kebuntingan, dan manajemen pemeliharaan. Nutrisi yang didapat sapi bali di lokasi penelitian diduga kurang karena antara induk bunting dengan sapi dara, pedet dan sebagainya tidak ada perbedaan. Sedangkan induk bunting sangat memerlukan nutrisi yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nutrisi fetus dan juga dirinya. Manajemen pemeliharaan di lokasi penelitian kurang optimal karena petugas ahli sangat sedikit sekali untuk menangani jumlah ternak yang sangat besar. Akibatnya banyak ternak yang kurang mendapat perhatian dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu juga lingkungan kandang kurang mendapat perhatian karena tidak adanya tembok pelindung yang dapat menyebabkan angin kencang masuk dengan leluasa serta predator dan dapat menyebabkan induk bunting mengalami stres.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot lahir sapi bali adalah 16,55 ± 1,81 kg. Rataan bobot lahir dari masing-masing pejantan adalah pejantan Nitih (16,11 ± 2,07) kg, Kertalaba (17,50 ± 0,41) kg, dan Basudewa (17,25 ± 0,29) kg. Rataan bobot lahir pejantan Nitih 8,63% lebih rendah dari pejantan kertalaba dan 7,08% lebih rendah dari pejantan Basudewa. Sementara rataan bobot lahir pejantan kertalaba 1,43% lebih tinggi

dari pejantan Basudewa. Analisis statistik menunjukkan pejantan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir pedet.

Rataan bobot lahir pedet jantan dan pedet betina masing-masing adalah 16,62 ± 2,08 kg dan 16,44 ± 1,29 kg. Rataan bobot lahir pedet jantan dari pejantan Nitih (15,97 ± 2,57) kg, Kertalaba (17,50 ± 0,43) kg, dan Basudewa (17,50 ± 0,00) kg. Rataan bobot lahir pedet jantan Nitih 9,58% lebih rendah dari bobot lahir pedet jantan Kertalaba dan Basudewa. Sementara rataan bobot lahir pedet jantan dari pejantan Kertalaba (17,50 ± 0,43) kg, sama dengan pejantan Basudewa.

Rataan bobot lahir pedet jantan pejantan Nitih (15,97 ± 2,57) kg lebih rendah 1,88% dari pedet betina dari pejantan yang sama (16,27 ± 1,38) kg. Sementara rataan bobot lahir pedet jantan dari pejantan Kertalaba (17,50 ± 0,43) kg sama dengan pedet betina dari pejantan Kertalaba (17,50 ± 0,00) kg. Sedangkan rataan bobot lahir pedet jantan pejantan Basudewa (17,50 ± 0,00) kg 2,86% lebih tinggi dari pedet betina dari pejantan yang sama yaitu Basudewa (17,00 ± 0,00) kg. Secara statistik menunjukkan bobot lahir pedet jantan tidak berbeda nyata (P>0,05) dari pedet betina.

Rataan nilai bobot lahir sapi bali adalah 16,55 ± 1,81 kg. Rataan bobot lahir pedet jantan sebesar 16,62 ± 2,08 kg, sedangkan pada pedet betina sebesar 16,44 ± 1,29 kg. Rataan bobot lahir sapi bali pada ketiga pejantan dimana pejantan Nitih (16,11 ± 2,06) kg tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan pejantan Kertalaba (17,50 ± 0,41) kg maupun pejantan Basudewa (17,25 ± 0,29) kg. Rataan bobot lahir ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Romjali dan Ainun (2007) yang menyatakan bahwa rataan bobot lahir pedet sapi bali sebesar 15,95 ± 0,40 kg namun lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Warmadewi (2014) yaitu 17,91 ± 1,36 kg maupun hasil penelitian Prasojo et al. (2008) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir pedet sapi bali adalah sebesar 18,4 ± 1,6 kg. Mengingat pada lokasi penelitian dapat diketahui bahwa manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan sapi pada umumnya seragam, maka peran genetik pejantan sangat penting. Selain itu, limbah kotoran ternak berupa feses di lokasi penelitian berada tepat berdampingan dengan kandang ternak. Hal ini diduga dapat mengakibatkan berkembangnya bibit penyakit yang dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan tubuh ternak dan dapat mempengaruhi performans reproduksi ternak. Disamping itu, penyebab yang lain kemungkinan karena pada tahun-tahun awal pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi-sapi disana mendapat pakan yang kurang baik dari segi kualitasnya.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir sapi bali. Tidak adanya perbedaan bobot lahir antara ternak jantan dengan ternak betina pada penelitian ini diduga akibat dari pengaruh manajemen di lokasi penelitian yang kurang mendukung perkembangan ternak sebab dari segi pakan, kurang bisa memenuhi kebutuhan masing-masing ternak sedangkan di lokasi penelitian tidak adanya kandang khusus bagi ternak bunting, ternak menyusui, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh pendapat Warmadewi (2014) yang menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan bobot lahir antara pedet jantan dengan pedet betina karena disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu pakan yang kurang mendukung perkembangan fetus dalam kandungan induk selama masa kebuntingan, sehingga perkembangan kedua jenis kelamin fetus tersebut tidak sesuai dengan potensinya.

Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa rataan bobot lahir dan pedet sapi bali jantan lebih tinggi dibandingkan dengan pedet sapi betina, seperti terlihat pada Tabel 2. Hal ini disebabkan adanya hormon androgen yang dimiliki pedet jantan akan menyebabkan adanya retensi nitrogen lebih banyak dibandingkan dengan pedet betina, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan yang lebih besar. Oleh karena itu, fetus jantan akan memiliki pertumbuhan pralahir lebih besar sehingga memiliki bobot lahir lebih besar pula dibandingkan dengan pedet betina. Selain karena perbedaan aktivitas hormon kelamin, perbedaan bobot lahir antara jantan dan betina juga disebabkan oleh perbedaan ukuran plasenta antara jantan dan betina. Menurut Toelihere (1993) selama pertumbuhan prenatal, salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya adalah ukuran plasenta. Dimana plasenta fetus jantan lebih besar jika dibandingkan dengan plasenta fetus betina. Dengan demikian, jika plasenta fetus jantan lebih besar, maka kesempatan fetus jantan untuk memperoleh zat makanan cukup banyak jika dibandingkan dengan yang fetus betina, sehingga memungkinkan pertumbuhan prenatal pedet jantan lebih besar yang pada akhirnya akan lahir dengan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir pedet betina.

Tabel 3. Nilai Heritabilitas Lama Bunting dan Bobot Lahir Sapi Bali

2

Parameter                                Heritabilitas (h2)

Lama bunting                               0,414 ± 0,69

Bobot Lahir                                  0,577 ± 0,79

Hasil pendugaan nilai heritabilitas lama bunting dan bobot lahir sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali di desa Sobangan adalah masing-masing sebesar 0,414 ± 0,69 dan 0,577 ± 0,79 (Tabel 3.)

Nilai heritabilitas yang diperoleh merupakan nilai yang tergolong tinggi. Nilai heritabilitas lama bunting dengan bobot lahir ini menunjukkan bahwa seleksi efektif untuk menurunkan lama bunting dan meningkatkan bobot lahir. Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan adanya variansi genetik yang jauh lebih dominan dibandingkan dengan variansi lingkungan akibat pemanfaatan tetua dalam populasi yang berasal dari hasil seleksi (Warmadewi, 2014). Sehingga seleksi berdasarkan beberapa performans reproduksi dalam penelitian ini efektif untuk dilaksanakan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh perbedaan pejantan sebagai sumber semen terhadap performans reproduksi sapi bali tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Nilai heritabilitas lama bunting dan bobot lahir sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali di desa Sobangan termasuk kategori tinggi. Saran

Produktivitas sapi bali disamping melalui program IB sebaiknya diperhatikan pula kualitas pakan, sistem pemeliharaan, seleksi, dan pelayanan kesehatan. Pencatatan (recording) lebih diperhatikan dan dilaksanakan dengan teliti sehingga perkembangan dalam pembibitan sapi bali dapat tercatat dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengembangan selanjutnya. Pengamatan berahi dilakukan lebih teliti atau seksama agar proses inseminasi dapat berjalan dengan baik sehingga kebuntingan dapat tercapai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS. Selaku Dekan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana atas fasilitas selama mengikuti perkuliahan. Kepada bapak Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Badung dan bapak wayan kantun serta semua pekerja di Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan atas kesempatan, arahan serta semua fasilitas yang diberikan. Kepada rekan sejawat Anggaryawan Metalition E.W.S terima kasih penulis ucapkan atas kerja samanya dan ikut terjun langsung dalam penelitian serta bantuan tanpa kenal lelah.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, W. A. 1984. Manual of Quantitative Genetics. Fourth Edition. Academic

Enterprises Pullman, Washington.

Depison. 2009. Peningkatan angka kebuntingan melalui pemberian hormone eksogen CIDR-B dan injeksi hCG pada sapi bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 12(3): 159-163

Karnaen., dan J. Arifin. 2007. Performans produksi dan reproduksi sapi madura. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Edisi Ketiga. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Prasojo, G., I. Arifiantini dan K. Mohamad. 2008. Korelasi antara lama bunting, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Putra, E. E. 2009. Performans Reproduksi Sapi Pesisir dan Sapi Bali yang di Inseminasi Buatan di Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang.

Romjali, E. dan A. Rasyid. 2007. Keragaman reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di kabupaten Tabanan Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Loka Penelitian Sapi Potong. Pasuruan.

Supriyantono, A., L. Hakim., Suyadi., dan Ismudiono. 2008. Performansi sapi bali pada tiga daerah di Provinsi Bali. FPPK UNIPA. Manokwari. 13: 147–152.

Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Edisi Ketiga. Angkasa. Bandung.

Tomaszewska, M. W., I K. Sutama., I G. Putu., dan T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Warmadewi, D. A. 2014. Respons Sapi Bali terhadap Pelaksanaan Seleksi dan Aplikasi Inseminasi Buatan di BPTU Sapi Bali. Disertasi. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.

Galuh et al. Peternakan Tropika Vol. 2 No. 2 Th. 2014: 262-273

Page 273