PRODUKTIVITAS LIMA JENIS AYAM KAMPUNG YANG MEMILIKI WARNA BULU BERBEDA
on
e--journal FAPET UNUD
e-Journal
Universitas Udayana
Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science email: [email protected] email: [email protected]
PRODUKTIVITAS LIMA JENIS AYAM KAMPUNG YANG MEMILIKI WARNA BULU BERBEDA
SUDARMAWAN, T., A. W. PUGER DAN I M. NURIYASA
Program Studi Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar 80232
Hp. 082147389713 e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produktivitas lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda umur 24 minggu. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima jenis perlakuan yaitu ayam kampung putih siung (berbulu putih, kaki dan paruh warna kuning) perlakuan A, ayam kampung selem (hitam) perlakuan B, ayam kampung biying ( berbulu merah) perlakuan C, ayam kampung brumbun (berbulu campuran yaitu hitam, merah dan putih) perlakuan D, dan ayam kampung putih kedas (berbulu putih dengan kaki dan paruh putih) perlakuan E. Variabel yang diamati yaitu berat badan awal, berat badan akhir, produksi telur, tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur), konsumsi ransum dan Feed Convertion Ratio (FCR). Hasil penelitian menunjukkan produktivitas lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda yaitu berat badan awal, berat badan akhir, produksi telur, tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur), Feed Convertion Ratio (FCR) pada perlakuan A, B, C, D dan E secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Konsumsi ransum yaitu perlakuan C dan B berturut-turut 33,96% dan 33,98% lebih tinggi dibanding perlakuan D secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produktivitas ayam kampung lima macam warna bulu tidak berbeda, tetapi konsumsi ransum pada ayam kampung selem (hitam) dan ayam kampung biying berbulu merah) lebih tinggi dibanding ayam brumbun (berbulu campuran yaitu hitam, merah dan putih).
Kata kunci : ayam kampung, lima jenis warna bulu, produktivitas
THE PRODUCTIVITY OF FIVE DIFFERENT PLUMAGE COLORS OF KAMPUNG CHICKENS
ABSTRACT
This research was conducted to study the productivity of 24 week-old kampung chickens with five different plumage colors. Five treatments were used in a Completely Randomized Design (CRD) as of: putih siung (white feathers and yellow shank) kampung chicken as treatment A, selem (black feathers) kampung chicken as treatment B, biying (red feathers) kampung chicken as treatment C, brumbun (mix black, red and white feathers) kampung chicken as treatment D, and putih kedas (bright white feathers) kampung chicken as treatment E. The variables observed were initial weight, final weight, egg production, additional weight (additional body weight + egg production), feed intake and Feed Conversion Ratio (FCR). The results showed that those birds productivity in all treatments were not significantly different in statistic (P>0,05). The feed intake of treatment C and B respectively 33,96% and 33,98% higher than treatment D which significantly different (P<0,05). It concluded that no different found on the productivity of
kampung chickens with five different plumage colors, but higher feed intake was found on selem and biying kampung chickens compared to brumbun kampung chicken.
Keywords : kampung chicken, five plumage colors, productivity
PENDAHULUAN
Di Indonesia ayam kampung merupakan jenis ayam yang dapat dikatakan dekat dengan masyarakat karena populasinya dapat ditemukan dengan mudah terutama di daerah pedesaan. Ayam kampung umumnya dimanfaatkan sebagai pedaging, petelur, hobi serta sarana upacara. Menurut Gilchrist et al. (1994) secara alamiah ayam kampung yang berasal dari ayam hutan yang hidup liar mendapatkan makanan yang disediakan alam pada saat mengais-ngais makanannya. Pemeliharaan ayam kampung tidak memerlukan biaya yang banyak, dapat dipelihara dengan mudah, daya adaptasi tinggi, tahan terhadap penyakit serta daging dan telurnya lebih disenangi oleh masyarakat (Mugiono et al., 1989).
Peranan ayam kampung di Bali erat kaitannya dengan adat-istiadat dan budaya. Menurut Utrayana (1993) ayam kampung digunakan sebagai sarana upakara dalam pelaksanaan upacara umat Hindu, serta dipakai untuk kesenangan atau hobi dengan tujuan diadu. Sebagai sarana upakara Ayam kampung dibutuhkan oleh masyarakat Hindu di Bali untuk pembuatan Caru Panca Sato yang menggunakan lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda. Ayam kampung tersebut yaitu warna bulu merah (biying), hitam (selem), warna bulu putih dengan kaki dan paruh warna kuning (putih siung), warna putih dengan kaki dan paruh putih (putih kedas) dan warna campuran yaitu merah, putih dan hitam (brumbun) menurut Budaarsa (2009). Pemeliharaan ayam kampung oleh peternak hingga saat ini umumnya dilakukan masih secara tradisional. Kondisi pemeliharaan seperti ini menyebabkan produktivitas ayam kampung rendah. Menurut Kingston (1979) sistem pemeliharaan tradisional menyebabkan lambatnya pertumbuhan ayam kampung dan produksi telur yang rendah yakni 72 butir/tahun.
Penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Merkens dan Mohede (1941) didapatkan hasil produksi ayam kedu hitam terbukti mempunyai produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan ayam lokal lainnya, sebagai penghasil telur maupun sebagai penghasil daging. Serta menurut Creswell dan Gunawan (1982) yang membandingkan pemeliharaan ayam kedu dengan ayam lokal lainnya selama 52 minggu, pada kondisi yang sama dengan diberikan ransum komersil seperti layaknya pemeliharaan ayam ras petelur,
ternyata bahwa produksi telur hen day ayam kedu hitam lebih tinggi dibandingkan dengan ayam kedu putih, ayam kedu lurik, nunukan, dan pelung.
Informasi tentang produktivitas ayam kampung terlebih dikaitkan dengan warna bulu hampir tidak ada. Serta melihat potensi ayam kampung untuk dikembangkan secara optimal maka penelitian ini penting untuk dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui produktivitas lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda.
MATERI DAN METODE
Materi yang digunakan berupa ayam kampung betina berumur 24 minggu sebanyak 25 ekor terdiri dari lima jenis warna bulu : warna bulu merah (biying), hitam (selem), warna bulu putih dengan kaki dan paruh warna kuning (putih siung), warna putih dengan kaki dan paruh putih (putih kedas) dan warna campuran yaitu merah, putih dan hitam (brumbun). Kandang dibuat dari kayu dan bambu dengan model “Enriched Floor Cage” (Pavlik et al., 2007, Sarica et al., 2008). Pada masing-masing kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, tempat bertelur, tempat bertengger dan mengais agar sifat alami ayam tidak hilang. Ukuran masing-masing kandang adalah panjang 100 cm x lebar 75 cm dengan tinggi 80 cm. Ransum diberikan terdiri dari jagung kuning 59%, tepung ikan 12,5%, dedak padi 14,6%, bungkil kelapa 5,0%, pollar 8,5%, garam 0,2% dan premix 0,2%. Kandungan Protein Kasar (CP) 17% Energi Metabolisme (ME) 2785 Kcal ME/kg, SK 3,8%, Ca 1,0% dan P 0,6% berdasarkan standar Scott et al. (1982).
Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan terdiri dari perlakuan A = ayam kampung berbulu putih, kaki dan paruh kuning (putih siung); B = ayam kampung berbulu hitam (selem); C = ayam kampung berbulu merah (biying); D = ayam kampung berbulu campuran yaitu merah, putih dan hitam (brumbun); E = ayam kampung berbulu putih, kaki dan paruh putih (putih kedas). Variabel yang diamati adalah berat badan awal, berat badan akhir, Produksi telur, tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur), konsumsi ransum dan Feed Convertion Ratio (FCR). Konsumsi ransum diukur tiap minggu dan diakumulasi selama penelitian dengan cara menimbang dengan menggunakan timbangan elektrik. Berat badan diukur tiap minggu dengan cara menimbang dengan menggunakna timbangan elektrik. Data produksi telur dengan cara menimbang telur setiap hari kemudian data diakumulasi dalam satu kali periode bertelur. Data tambahan berat dengan cara menghitung tambahan berat badan ditambah produksi telur selama penelitian. Data FCR dengan cara
perbandingan antara konsumsi ransum dengan tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam, apabila diantara perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda dari Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) Menurut Steel and Torrie, (1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berat badan awal ayam kampung lima jenis warna bulu umur 24 minggu menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata yaitu berkisar antara 1007-1257 g/ekor (Tabel 1), Ini menunjukkan bahwa berat badan ayam kampung yang diperoleh dari peternak tradisional di seluruh Bali sama dengan daerah lainnya. Seperti dilaporkan oleh Kingston dan Creswel (1982), bahwa rataan berat badan ayam kampung pada lima desa di Jawa Barat pada umur 20-24 minggu adalah 1027 g.
Tabel 1. Produktivitas lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda selama penelitian
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | ||||
A |
B |
C |
D |
E | ||
Berat badan awal (g/ekor) Berat badan akhir |
1134,4 a |
1257,4 a |
1010,2 a |
1242,0 a |
1007,0 a |
80,5 |
(g/ekor) Produksi telur |
1090,0 a |
1213,2 a |
1240,0 a |
1152,6 a |
1063,2a |
105,6 |
(g/ekor) Tambahan berat |
477,8 a |
585,0 a |
477,3 a |
449,8 a |
457,2 a |
71,0 |
(tambahan berat badan + produksi telur) (g/ekor) Konsumsi ransum |
911,2 a |
1165,4 a |
997,2 a |
810,0 a |
988,6 a |
151,2 |
(g/ekor) Feed Convertion |
3855,6 ab |
4607,2 a |
4606,0 a |
3041,6 b |
3854,8 ab |
342,2 |
Ratio (FCR) |
5,8 a |
4,2 a |
5,0 a |
4,0 a |
4,2 a |
0,8 |
Keterangan :
1. Ayam kampung putih siung (A), ayam kampung selem (B), ayam kampung biying (C), ayam Kampung berbulu campuran (brumbun) (D), ayam kampung putih kedas (E).
2. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama pada baris yang sama pada masing-masing perlakuan adalah berbeda tidak nyata (P>0,05).
3. SEM = “Standard Error of The Treatment Means”.
Hasil penelitian berat badan akhir menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata. Peneliti menduga, tidak berbedanya berat badan akhir ayam kampung, kemungkinan disebabkan karena hanya warna bulu ayam kampung yang berbeda tanpa membedakan lingkungan, pakan dan pemeliharaan terhadap ayam kampung. Seperti yang dilaporkan Jull
(1982), bahwa pertumbuhan ayam kampung selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi faktor lingkungan, pakan, dan manajemen pemeliharaan yang baik
Hasil penelitian produksi telur dan tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur) ayam kampung menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata. Pada ayam kedu hitam produksi telur dan tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur) berbeda dengan ayam kedu warna lainnya dikarenakan sudah mengalami seleksi sedangkan ayam kampung yang digunakan dalam penelitian berasal dari masyarakat pedesaan yang seleksinya belum jelas. Seperti dilaporkan Rasyaf (1995), bahwa seleksi ayam kampung tidak pernah dilakukan secara terarah, banyak terjadi pencampuran dengan jenis ayam lain, serta pola pemeliharaan yang kurang intensif menyebabkan produktivitasnya secara rata-rata tidak terlalu tinggi dan secara statistik tidak berbeda
Kosumsi ransum (Tabel 1) pada perlakuan B (ayam kampung selem) dan perlakuan C (ayam kampung biying) lebih tinggi dibanding perlakuan D (ayam kampung brumbun) secara statistik berbeda nyata. Dilihat dari hasil tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur) pada perlakuan B dan C yang lebih tinggi karena konsumsi ransum yang juga tinggi. Hal ini sejalan dengan bibit ayam yang memang tingkat konsumsi ransum tinggi maka pertambahan beratnya juga tinggi. Pertambahan berat badan terkait pula dengan konsumsi ransumnya (Rasyaf, 2004). Menurut Murtidjo (2006) konsumsi pakan merupakan faktor penunjang terpenting untuk mengetahui penampilan produksinya. Rasyaf (2006) menambahkan, jumlah pakan yang dikonsumsi oleh anak ayam, ayam remaja, dan ayam dewasa tentunya berbeda dan tergantung dari berat badan dan aktivitasnya. Semakin besar ayam itu akan semakin banyak kebutuhan nutrisinya untuk maintenans dan juga produksi telur. Selain itu, menurut Yasin (1988) menyatakan bahwa semakin rendah konsumsi ransum oleh ayam menyebabkan zat-zat makanan yang dikonsumsi akan rendah pula, sehingga kebutuhan untuk berproduksi kurang terpenuhi. Konsumsi ransum pada D (ayam kampung brumbun) yang rendah menyebabkan tambahan berat (tambahan berat badan + produksi telur) juga rendah (Tabel 1).
Nilai rataan FCR pada perlakuan D yang terbaik dibandingkan perlakuan A, B, C dan E namun menunjukkan hasil berbeda tidak nyata. Hal ini menunjukkan pada perlakuan D lebih efisisen menggunakan ransum dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hal ini didukung menurut pendapat Card dan Neisheim (1972) yang menyatakan nilai konversi ransum yang tinggi menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan berat badan semakin meningkat dan efisiensi ransum semakin rendah dan sebaliknya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas lima jenis ayam kampung warna bulu berbeda tidak dipengaruhi oleh warna bulu, tetapi konsumsi ransum pada ayam kampung selem dan ayam kampung biying lebih tinggi dibandingkan ayam kampung brumbun.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui produktivitas lima jenis ayam kampung warna bulu berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua Lembaga Penelitian Unud atas dana yang diberikan sehingga penelitian dan penyusunan publikasi ilmiah dapat terlaksana. Ucapan terima kasih kepada Hartono dan Suaemansyah atas kerjasamanya dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Budaarsa, K. 2009. Jenis-Jenis Ayam Upakara. Makalah disampaikan pada Penelitian Pengabdian Masyarakat. 2 Oktober 2009 di Denpasar.
Card, L.E. and M.C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. California.
Cresswell, D. C. dan B. Gunawan. 1982. Pertumbuhan dan Produksi Telur 5 Strain Ayam Sayur pada Sistem Peternakan intensif. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Gichlrist, P. T., M. W. Tomaszewska, S. Sutherland. 1994. Free choice feeding of poultry. Animal Science-Short Course (July 18 to August 13, 1994) Improving Village Chicken Productivity. Vol. 2 Referens Materials University of Udayana. Bali, Indonesia.
Jull, M. A. 1982. Poultry Husbandry. Third Edition. Mc Graw Hill Book Company, Inc. New York.
Kingston, D. J. 1979. Peranan ayam berkeliaraan di Indonesia. Laporan Seminar Ilmu Dan Industri Perunggasan II. Ciawi, Bogor.
Kingston, D. J. dan D. C. Creswell 1982. Indigenous Chicken In Indonesia Population and Production Characterishtics In Five Villages In West Java. Pulished By Balai Penelitian Ternak. PO. BOX 123. Bogor, Indonesia.
Leeson, S dan J. D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Brooks. Canada.
Merkens, J dan J. F. Mohede.1941. Sumbangan Pengetahuan Tentang Ayam Kedu. Terjemahan Karangan Mengenai Ayam Kedu dan Itik di Indonesia. LIPI. Jakarta.
Mugiono, S., Sukardi dan E. Sugiyati. 1989. Perbandingan pemeliharaan ayam buras secara tradisional dan semi ekstensif. Proc. Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Diponegoro, Semarang.
Murtidjo, B. A. 2006. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius: Yogyakarta.
Pavlik, A. M., M. Pokludma, D. Zapletal and P. Jelinek. 2007. Effect of Housing System on Biolchemical Indicators of Blood Plasma in Laying Hens. Acta Vet. BR. No. 76;339-347.
Rasyaf, M. 1995. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Jogjakarta
Rasyaf, M. 2004. Makanan Ayam Broiler. Kanisius: Yogyakarta.
Rasyaf, M. 2006. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sarica, M., S. Boga, and U. S. Yarnah. 2008. The effect of space allowance on egg yield, egg quality and plumage condition of laying hens in battery cages. Czech Journal Anim. Sci. 53 (8):346-353.
Scott, M. L., M. C, Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutritions of The Chickens. Second Ed. M. L. Scott and Associates Ithaca, New York.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-Hill Book. Co New York.
Utranaya. 1993. Pengayam-Ayaman. Percetakan Offset, Denpasar, Bali.
Yasin, S. 1988. Fungsi dan Peranan Zat-zat Gizi dalam Ransum Ayam Petelur. Edisi I. PT. Mediyatama, Jakarta.
Zainuddin, D. dan J. Wahyu. 1996. Suplementasi probiotik starbio dalam pakan terhadap prestasi ayam buras petelur dan kadar air feses. Pros. Seminar Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor. him. 85-92.
Sudarmawan et al. Peternakan Tropika Vol. 2 No. 1 Th. 2014 : 129-135
Page 135
Discussion and feedback