e--journal FAPET UNUD


e-Journal

Universitas Udayana


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science email: [email protected] email: [email protected]

TINGKAT ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN KOTORAN TERNAK SAPI MENJADI BIOGAS DAN PUPUK ORGANIK PADA GAPOKTAN SIMANTRI DI KABUPATEN GIANYAR

Mahardika, C.B.D.P., I N. Suparta dan N.W. Siti

Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman, Denpasar, Bali

Hp. 085737818523, email: [email protected]

ABSTRAK

Adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan pupuk organik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani. Kemampuan tersebut menjadi salah satu indikator keberhasilan gapoktan dalam mengelola kegiatan simantri. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk organik pada gapoktan simantri dan (2) mengetahui hubungan antara karakteristik individu dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan pupuk organik. Penelitian dilakukan di tujuh kecamatan di Kabupaten Gianyar. Responden penelitian sebanyak 62 orang yang terdiri dari ketua dan anggota kelompok dari 31 kelompok simantri tahun 2009-2012. Pengambilan sampel menggunakan metode acak distratifikasi tidak proporsional. Jenis data berupa data primer dan sekunder. Metode pengambilan data primer adalah wawancara secara langsung, observasi dan dokumentasi, data sekunder diambil dengan metode arsip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi pupuk organik dan biogas oleh gapoktan simantri adalah sedang; (2) terdapat hubungan yang sangat nyata (P<0.01) antara pendidikan non formal dan semua indikator sifat inovasi dengan adopsi biogas dan pupuk organik. Umur berhubungan sangat nyata (P<0.01) dengan adopsi biogas, namun pada inovasi pupuk organik, umur hanya berhubungan nyata (P<0.05). Jumlah pemilikan lahan berpengaruh nyata (P<0.10) dengan adopsi inovasi biogas dan pupuk organik.

Kata kunci: Adopsi inovasi, biogas, pupuk organik, simantri,

LEVEL OF ADOPTION OF INNOVATION ABOUT CATTLE MANURE PROCESSING TECHNOLOGY AS BIOGAS AND ORGANIC FERTILIZER BY GAPOKTAN SIMANTRI IN GIANYAR REGENCY

ABSTRACT

Adoption of innovation of cattle manure processing technology as biogas and organic fertilizer is one of effort to increase farmer’s income. This ability is one of successful indicators of gapoktan simantri in managing simantri activities. The aims of this research were (1) to know the level of adoption of innovation manure processing as biogas and organic fertilizer in gapoktan simantri and (2) to know the relationship between individual and innovation characteristics and adoption levels of manure processing as biogas and organic


fertilizer. This research was conducted in seven disticts in Gianyar regency. The respondens were 62 person consisting of chairman and one member of 31 simantri groups from 20092012. The sample was determined using non proportional distratified random sampling method. Source of data consisted of primary and secondary data. The primary data were directly collected by personal and depth interviews, observation and documentation. Secondary data were collected by archived method. The results of the research showed that (1) the level of adoption of innovation cattle manure processing technology as biogas and organic fertilizer by gapoktan simantri on middle level; (2) There was a very significant relationship (P<0.01) between non-formal education and all indicators innovation character and adoption of biogas and organic fertilizer. Age has a very significant (P<0.01) relationship with biogas adoption, while organic fertilizer was only significant (P<0.05). The amount of farming land assets has a very significant relation (P<0.10) with biogas and fertilizer organic innovation.

Key words: Adoption of innovation, biogas, organic fertilizer, simantri

PENDAHULUAN

Sektor pertanian dan peternakan sebagai pilar pembangunan nasional memiliki tujuan yaitu meningkatkan produksi pangan, memperluas jaringan lapangan kerja, menunjang sektor industri dan ekspor serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan petani peternak. Arah pembangunan sektor tersebut diupayakan agar mencapai ketahanan pangan meliputi ketersediaan, stabilitas dan keterjangkauan pangan. Peningkatan aspek produksi dan ekonomi di sektor pertanian merupakan salah satu dampak positif revolusi hijau sebagai perubahan pembangunan pertanian pada masa orde baru. Namun, disisi lain petani peternak memiliki ketergantungan dengan komponen revolusi hijau seperti pupuk kimia dan pestisida serta terjadinya degradasi lingkungan pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut maka sistem pertanian organik yang merupakan bagian dari sistem pertanian berkelanjutan perlu diterapkan. Produksi pertanian organik dan peternakan secara berkelanjutan membutuhkan adopsi sistem pertanian terintegrasi yang mengintegrasikan ternak dengan tanaman serta pengoptimalkan pemanfaatan lahan yang terbatas.

Sistem pertanian terintegrasi (Simantri) adalah upaya terobosan dalam mempercepat alih teknologi pertanian kepada petani peternak guna melakukan pengintegrasian kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sesuai dengan potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan sumber daya lokal yang ada (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2011). Simantri diarahkan pada model percontohan dengan paket program pengadaan ternak sapi bali betina, kandang koloni,

bangunan pengolahan kompos, instalasi biogas, biourine dan rumah pakan. Kegiatan awal simantri adalah membudidayakan ternak sapi dan tanaman (sesuai potensi daerah), pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dan biogas menuju kepada kelompok yang mandiri pangan, pakan, pupuk organik dan biogas. Pendekatan kegiatan simantri adalah adanya sistem usaha tani dengan sistem “zero waste” dengan harapan terjadinya optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal dan mengurangi ketergantungan akan input luar serta ramah lingkungan.

Berdasarkan kondisi di lapangan, masih banyak ditemukan masalah dalam program simantri, salah satunya adalah pengolahan limbah kotoran ternak. Pengolahan limbah ternak yang tidak optimal akan menyebabkan ketimpangan dalam program simantri serta dapat menyebabkan gagalnya petani peternak penyelenggara simantri menjaga keberadaannya. Oleh karena itu, muncul ketertarikan penulis untuk mengamati tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan pupuk organik pada gapoktan simantri. Walaupun terdapat intervensi program simantri terkait adopsi inovasi oleh dinas terkait pengelola gapoktan simantri, karakteristik individu dan sifat inovasi juga turut mempengaruhi keputusan mengadopsi suatu inovasi karena faktor tersebut yang paling melekat pada individu petani dan produk inovasi.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survei yang dirancang sebagai deskriptif korelasional dengan maksud untuk mengetahui tingkat adopsi gapoktan terhadap pengolahan kotoran ternak sapi dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Variabel penelitian yang diamati adalah tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik dan biogas sebagai variabel terikat (dependent variable), serta karakteristik individu dan sifat inovasi sebagai variabel bebas (independent variable).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gianyar pada gabungan kelompok tani ternak yang mengikuti program simantri mulai tahun 2009-2012. Lokasi tersebut dipilih secara purposif karena gapoktan tersebut sudah mengikuti program simantri minimal dua tahun dan melaksanakan kegiatan simantri secara utuh khususnya dalam mengolah limbah kotoran

ternak. Lokasi penelitian tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Gianyar yaitu tiga gapoktan simantri di Kecamatan Ubud, empat gapoktan simantri masing-masing di Kecamatan Sukawati dan Tampaksiring serta lima gapoktan simantri masing-masing di Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Payangan dan Tegalalang. Penelitian ini dimulai dari bulan Maret hingga bulan April tahun 2014.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh gapoktan yang mengikuti program simantri di Kabupaten Gianyar. Sedangkan populasi sasarannya adalah gapoktan yang mengikuti program simantri minimal dua tahun. Sampel dalam penelitian ini adalah gapoktan yang melaksanakan simantri dari tahun 2009-2012 yang ditentukan secara acak distratifikasikan tidak proporsional, karena unsur populasi berkarakteristik heterogen dan distratifikasi berdasarkan tahun berdirinya. Gapoktan simantri tahun 2009 dan 2010 dipilih semua karena gapoktan yang ikut program simantri tahun 2009 hanya satu kelompok dan tahun 2010 diikuti oleh 2 kelompok. Sedangkan program simantri tahun 2011 dan 2012 diikuti oleh 20 kelompok dan diambil sebagai sampel secara acak masing-masing sejumlah 14 kelompok. Sehingga total sampel yang diamati sebanyak 31 kelompok. Responden yang mewakili kelompok ditentukan secara purposif yang terdiri atas seorang ketua dan seorang anggota kelompok.

Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik individu seperti umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berternak, jumlah pemilikan ternak, jumlah pemilikan lahan, karakteristik sifat inovasi dan tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk organik. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian, gambaran simantri dan hal-hal penunjang lainnya.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei yaitu pengumpulan data dengan cara mendatangi serta mewawancarai responden dan mengobservasi dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuisioner) sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari arsip – arsip dan literatur yang sifatnya menunjang dari penelitian ini.

Analisis Statistika

Analisisis statistik yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis statistik deskriptif kualitatif. Variabel karakteristik individu diukur menggunakan skala ordinal dikategorikan menjadi lima bagian serta ditabulasi untuk melihat sebarannya melalui persentase. Dalam variabel karakteristik sifat inovasi dan tingkat adopsi inovasi diukur menggunakan teknik skoring dengan skala likert berjenjang lima. Skor yang terendah diberikan nilai satu, sedangkan skor yang tertinggi diberikan nilai lima. Untuk mengetahui adanya korelasi antara tingkat adopsi inovasi dengan karakteristik individu dan sifat inovasi digunakan metode korelasi berjenjang spearman (Rank Spearman) dan diuji kebenaran hipotesisnya dengan uji-t. Hipotesis penelitian diuji kebenarannya dengan uji-t pada taraf signifikansi (P) 0,01; 0,05 dan 0,10. Hipotesis diterima jika thitung > tTabel dengan derajat bebas (db) = N-2. Hipotesis ditolak apabila thitung < tTabel. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara dua variabel yang diuji, apabila thitung > tTabel pada P 0,01, hubungan yang nyata antara dua variabel yang diuji apabila thitung > tTabel pada P 0,05-0,10 dengan db = N-2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari keseluruhan petani peternak yang diamati yaitu sebanyak 62 orang, didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki umur berkisar diantara 40-50 tahun atau sebanyak 40,32%, berpendidikan minimal SMA 56,46%, mengikuti pendidikan non formal dalam bentuk bimbingan teknis (bintek) sebanyak 1-3 kali sebanyak 80,65%, pengalaman berternak 15-20 tahun sebanyak 40,32%, memiliki ternak sapi sebanyak 1,0-2,0 ST sebanyak 67,74% serta menggarap lahan pertanian yang sempit dalam kisaran 20-40 are sebesar 70,97%.

Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi petani peternak tentang karakteristik sifat inovasi secara keseluruhan termasuk dalam kategori sedang yaitu 3,38 untuk pupuk organik dan 3,31 untuk inovasi biogas. Rataan skor persepsi petani peternak terhadap masing-masing karakteristik sifat inovasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Skor Persepsi Responden tentang Karakteristik Sifat Inovasi

No

Karakteristik sifat inovasi

Parameter

Rataan skor*

Pupuk organik

Biogas

1

Keuntungan relatif

Manfaat ekonomis

3,46

3,38

Manfaat teknis

3,33

3,53

2

Kesesuaian

Kondisi lingkungan

3,86

3,85

Adat istiadat

4,03

3,98

Kebutuhan

3,66

3,61

3

Kompleksitas

Pembuatan

2,65

2,29

Penggunaan hasil

2,90

2,56

Tenaga kerja terampil

2,40

2,45

4

Triabilitas

Mudah untuk dicoba

3,37

3,33

5

Observabilitas

Mudah dilihat hasilnya

3,48

3,27

6

Komplementer

Memperoleh Bahan baku

3,73

3,76

Ketersedian

3,72

3,74

Rataan skor secara keseluruhan

3,38

3,31

Dari 31 gapoktan yang diteliti atau 62 orang petani peternak, sebagian besar (25,81%) tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi berada pada kategori sedang. Demikian halnya dengan tingkat adopsi terhadap inovasi biogas, sebagian besar (32,26%) mengadopsi inovasi dalam kategori sedang (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Inovasi

No

Variabel

Pencapaian skor

Kategori variabel

Responden

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1

Adopsi

>4,2-5

Sangat baik

12

19,35

inovasi

>3,4-4,2

Baik

12

19,35

pupuk organik

>2,6-3,4

Sedang

16

25,81

>1,8-2,6

Buruk

12

19,35

1-1,8

Sangat buruk

10

16,13

Total

62

100,00

2

Adopsi

>4,2-5

Sangat baik

-

-

inovasi

>3,4-4,2

Baik

18

29,03

biogas

>2,6-3,4

Sedang

20

32,26

>1,8-2,6

Buruk

16

25,81

1-1,8

Sangat buruk

8

12,90

Total

62

100,00

Dari tingkat adopsi inovasi tersebut, dirinci kembali rataan skor dari masing-masing indikator dalam tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan pupuk organik (Tabel 3).

Tabel 3. Rataan Skor Indikator Adopsi Inovasi Pengolahan Kotoran Ternak

No Indikator                       Pupuk organik*

Biogas*

1   Pengumpulan                       3,51

2   Persiapan                             3,12

3   Pencampuran                       2,91

4   Pemanenan/Perawatan               3,01

5   Pemanfaatan                        2,61

3,31

3,18

3,00

2,76

2,65

Rataan skor keseluruhan             3,03

2,90

*Kisaran skor yang digunakan adalah 1.00-1.80=Sangat buruk, 1.81-2.60= Buruk, 2.61-3.40 = Sedang, 3.41-4.20 = Baik dan 4.21-5.00= Sangat Baik

Hubungan masing-masing antara karakteristik individu dan sifat inovasi dengan tingkat adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak sapi menjadi pupuk organik dan biogas disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Uji Koefisien Korelasi Variabel Terikat dengan Variabel Bebas

Pupuk organik

No Variabel penelitian rs        thitung

Biogas rs       thitung

1   Umur                       -0.290    -2.349n1

2   Pendidikan formal            0.042     0.322tn

3   Pendidikan non formal        0.578     5.482sn

4   Pengalaman berternak        -0.086    -0.665tn

5   Jumlah kepemilikan ternak 0.038     0.293 tn

6   Jumlah kepemilikan lahan     0.187     1.473n2

7   Keuntungan relatif            0.679     7.158sn

8   Kesesuaian                   0.540     4.969sn

9   Kompleksitas                -0.834    -11.70sn

  • 10  Triabilitas                      0.759      9.043sn

  • 11  Observabilitas                 0.720     8.047sn

  • 12  Input komplementer          0.508     4.574sn

-0.418    -3.565sn

0.096    0.749 tn

0.515     4.660sn

-0.127    -0.991tn

0.057     0.444tn

0.190     1.495n2

0.530    4.845sn

0.578    5.482sn

-0.821    -11.15sn

0.729     8.259sn

0.435     3.739sn

0.468    4.101sn

Keterangan:

rs = Koefisien rank Spearman;

tn = Berhubungan tidak nyata pada taraf α 0.10,

n1 = Berhubungan nyata pada taraf α 0.05,

n2 = Berhubungan nyata pada taraf α 0.10,

sn = Berhubungan sangat nyata pada taraf α 0.01

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar umur responden berada dalam kelompok umur produktif. Hal ini berarti petani peternak anggota simantri berpotensi besar melakukan adopsi inovasi pada program simantri, khususnya inovasi pada pengolahan kotoran ternak. Sebagian besar anggota kelompok berpendidikan SMA, berarti mereka memiliki pengetahuan/daya nalar yang baik dalam memecahkan suatu masalah serta lebih mudah dalam menerima inovasi baru. Sebagian besar petani peternak yang ikut dalam bimbingan teknis akan mendapat tambahan pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah kotoran ternak sapi. Petani peternak lebih dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan dapat mengubah cara berpikir dalam mengadopsi suatu inovasi. Sebagian besar usaha berternak yang ditekuni berupa usaha sambilan karena memiliki ternak <2 ekor (67,74%). Orientasi petani peternak dalam menekuni usaha tani sambilan adalah hanya untuk melengkapi waktu luang dan penyaluran hobi sehingga mereka belum terfokus kepada diversifikasi usaha peternakan sapi khususnya pengolahan limbah kotoran menjadi pupuk organik. Sebagian besar responden menggarap lahan pertanian yang sempit. Petani peternak yang memiliki lahan pertanian sempit akan sulit menerapkan inovasi baru. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lemahnya modal dan semangat serta cenderung lebih berhati-hati dalam mencoba hal baru untuk lahan pertaniannya karena takut mengalami kegagalan.

Persepsi petani tentang pemupukan menggunakan tambahan pupuk organik lebih menguntungkan secara ekonomis dibandingkan dengan pupuk anorganik saja dilihat dari rataan skor manfaat ekonomis (>3,41). Hal ini dikarenakan bahwa pemanfaatan pupuk organik secara rutin dapat menurunkan biaya operasional ± 27% (Saraswati, 2005). Keuntungan teknis dari biogas adalah dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk operasional simantri dan belanja dapur sehari-hari. Adopsi inovasi pupuk organik sesuai dengan keadaan lokasi dan nilai-nilai kebudayaan setempat dan dibutuhkan petani peternak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 tentang rataan skor mengenai kondisi lingkungan, adat istiadat dan kebutuhan baik inovasi pupuk organik dan biogas dikategorikan tinggi (>3,41). Pada nilai rataan skor tingkat kerumitan secara keseluruhan, pengolahan inovasi biogas mempunyai nilai yang lebih mudah dikerjakan jika dibandingkan dengan pupuk organik. Hal ini disebabkan karena dalam mengolah pupuk organik memerlukan komposisi dan teknik pencampuran yang lebih tepat. Selain itu, perlu pengetahuan dan keterampilan tambahan dalam mengolah kotoran tersebut menjadi pupuk organik. Rataan skor dari persepsi tentang triabilitas menyatakan bahwa pupuk organik dapat digunakan pada lahan pertanian yang

sempit dengan jumlah yang sedikit, bahkan terdapat anggota gapoktan yang menggunakan inovasi untuk tanaman hiasnya di rumah serta menggunakan kotoran dari dua ekor ternak sapi saja sudah dapat menghasilkan biogas dengan kualitas api yang cukup baik atau setara dengan 4-8 jam memasak secara terus menerus. Hal ini dilihat dari rataan skor berada dalam kategori sedang (Tabel 1). Penambahan pupuk organik dapat meningkatan produksi dan kualitas tanaman dibandingkan dengan pemupukan menggunakan 100% pupuk anorganik. Berdasarkan hasil penelitian Saraswati (2005) menunjukan bahwa penggunaan pupuk organik yang ditambahkan inokulan dapat meningkatkan 11,60% produksi tanaman padi daripada sistem pemupukan konvensional menggunakan urea, SP-36 dan KCL. Selain itu, tingkat ketersediaan bahan baku pupuk organik termasuk tinggi (berlimpah) dan mudah memperolehnya di sekitar tempat tinggal petani peternak.

Sebagian besar gapoktan simantri mengadopsi inovasi pupuk organik sebesar 25,81% dan biogas sebesar 32,26% dalam kategori sedang (Tabel 2). Hal ini menunjukan bahwa secara umum kelima indikator yang ditentukan dalam tingkat adopsi sudah cukup mampu dilaksanakan secara maksimal oleh petani peternak (Tabel 3). Kelima indikator tersebut yaitu; (1) pengumpulan kotoran ternak secara teratur sudah sering dilakukan (rataan skor >3,41). Hal ini berarti kemungkinan besar petani peternak memiliki tujuan untuk mengadopsi inovasi. (2) Bahan baku yang umum dipakai dalam pembuatan pupuk organik adalah kotoran ternak, jerami, starter, molasses dan air. Sedangkan pada biogas hanya kotoran ternak (kategori sedang). (3) Teknik pencampuran sudah cukup baik dilakukan oleh petani peternak baik inovsi pupuk organik maupun biogas (kategori sedang). Bahan baku pupuk organik dicampur rata kemudian difermentasi ± dua minggu dengan tarter yang digunakan seperti trichoderma sp, metharizhum, rumino bassilus dan EM4. Sedangkan pada biogas, kotoran ternak sapi dimasukan kedalam inlet dan diencerkan dengan perbandingan kotoran ternak dengan air adalah 1:1. (4) Ketepatan pemanenan termasuk pada kategori sedang, yaitu pada saat kondisi pupuk sudah tidak berbau menyengat, remah dan berwarna hitam dan diperoleh sekitar 2-4 minggu pengolahan. Perawatan pada digester biogas sudah cukup sering dilakukan petani peternak. (5) Sebagian besar inovasi pupuk organik dimanfaatkan oleh anggota gapoktan. Pupuk jarang diayak serta jarang diberikan perlakuan tambahan berupa pengayaan seperti pemberian kapur, sekam dan bahan organik lainnya yang dapat meningkatkan nutrisi pupuk organik (kategori sedang). Inovasi biogas hanya dimanfaatkan oleh sebagian anggota

kelompok, hal ini kemungkinan masih dalam model percontohan. Biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak dan lampu penerangan.

Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan non formal mempunyai hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan adopsi inovasi pupuk organik. Hal tersebut berarti bahwa semakin sering petani peternak mengikuti pelatihan bintek, semakin tinggi kecederungannya dalam menerima inovasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Lumentha (1997) yang mengatakan bahwa pendidikan non formal seseorang yang semakin tinggi, maka semakin cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan dapat mempercepat cara berpikir dalam memecahkan masalah. Umur berhubungan nyata (P<0,05) dengan tingkat adopsi inovasi pupuk organik dan memiliki kecenderungan negatif, artinya semakin tua umur petani peternak, semakin rendah tingkat adopsinya. Semakin tua petani peternak semakin sulit dalam menerima suatu inovasi karena mereka cenderung berhati-hati dan terkesan kurang responsif. Hal ini sesuai dengan pendapat Sari, dkk (2009) bahwa indikator umur berpengaruh negatif terhadap kecepatan adopsi inovasi, hal ini menunjukkan orang yang muda (produktif) berkisar umur 20-50 tahun lebih inovatif daripada mereka yang berumur lebih tua. Jumlah pemilikan lahan (P<0,10) berhubungan nyata dengan adopsi inovasi pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik. Semakin tinggi jumlah pemilikan lahan, semakin tinggi pula tingkat adopsi inovasi pupuk organik karena memerlukan pupuk organik yang lebih banyak untuk meningkatkan hasil produksi secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini diperkuat dengan pendapat Soekartawi (1988), yang mengatakan ukuran lahan usaha tani berhubungan positif dengan adopsi.

Faktor umur dan pendidikan non formal berhubungan sangat nyata (P<0,01) dengan tingkat adopsi inovasi biogas. Hal ini mungkin disebabkan karena inovasi biogas termasuk inovasi baru berkembang di masyarakat dan petani peternak yang berumur tua tidak responsif terhadap inovasi ini, sehingga anggota kelompok yang masih produktif lebih peka dan cepat mengadopsi inovasi biogas. Lestari, dkk (2009) mengatakan umur peternak yang produktif mempengaruhi kemampuan fisik dan pola pikir sehingga sangat potensial dalam mengembangkan usaha ternaknya. Pendidikan formal, pengalaman berternak dan jumlah pemilikan lahan masing-masing tidak berpengaruh nyata (P>0,10) dengan tingkat adopsi inovasi biogas dan pupuk organik.

Semua indikator sifat inovasi berhubungan sangat nyata (P<0,01) dengan adopsi inovasi biogas. Hal tersebut berarti persepsi petani peternak tentang karakteristik sifat inovasi

sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengadopsi. Inovasi yang mampu memberikan manfaat ekonomis, manfaat teknis, kompatibel, tidak rumit, mudah dicoba dalam skala kecil, mudah diamati hasilnya serta bahan bakunya mudah didapat sehingga akan mudah diadopsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers (2003) yang mengatakan bahwa persepsi tentang karakteristik sifat inovasi, mempengaruhi proses pengadopsian dan sikap petani dalam menentukan keputusannya untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi baru.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil simpulan adalah (1) Tingkat adopsi inovasi gapoktan simantri dalam mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik dan biogas termasuk kedalam kategori sedang. (2) Terdapat hubungan yang sangat nyata antara pendidikan non formal dan semua indikator sifat inovasi dengan adopsi biogas dan pupuk organik. Umur berhubungan sangat nyata dengan adopsi biogas sedangkan pada inovasi pupuk organik, umur berhubungan nyata. Selain itu jumlah pemilikan lahan juga berpengaruh nyata dengan tingkat adopsi inovasi biogas dan pupuk organik.

Diharapkan bimbingan teknis dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali sebagai penyelenggara program simantri kepada petani peternak lebih diintensifkan agar dapat meningkatkan keinovatifan pengolahan kotoran ternak sapi menjadi biogas dan pupuk organik pada gapoktan simantri. Selain itu, peran ketua kelompok sebagai pelopor sangat penting dalam menggerakan semangat dan antusias anggota untuk mengadopsi suatu inovasi dalam program simantri khususnya dalam mengolah limbah kotoran ternak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis dengan berbahagia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua responden atau petani peternak yang tergabung dalam kelompok tani ternak simantri di Kabupaten Gianyar yang telah memberikan kesediaan dan kerjasamanya dalam mengumpulkan data penelitian hingga terwujudnya artikel ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Lestari, W., H. Syafril dan I. Nahri,. 2009. Tingkat Adopsi Inovasi Peternakan Dalam Berternak Ayam Broiler Di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang Hari. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, Jambi

Lumentha, L. 1997. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Kecamatan Cikeruk Kabupaten Bogor. Skripsi Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rogers, E.M, 2003. “Diffusion of Innovation”, 5th Edition. The Free Press, New York.

Saraswati, R. 2005. Teknologi Pupuk Hayati untuk Efisiensi Pemupukan dan Keberlanjutan Sistem Produksi Pertanian. Balai Penelitian Tanah Bogor, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Sari, A.R., H. Trisakti dan P.S., Suci,. 2009. Karakteristik kategori adopter dalam inovasi feed additive herbal untuk ayam pedanging. Buletin Peternakan, Vol. 33 (3): 196-203, Yogyakarta.

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia, Jakarta.

Mahardika et al. Peternakan Tropika Vol. 2 No. 1 Th. 2014 : 100 - 111

Page 111