UTILIZATION OF MAGGOT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens) AS A SUBSTITUTE OF COMMERCIAL RATIONS FOR DIGESTIVE ORGAN OF BROILER
on
ISSN 2722-7286

Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: jurnaltropika@unud.ac.id
Submitted Date: April 28, 2023
Accepted Date: September 3, 2023
Editor-Reviewer Article: Eny Puspani & A. A. Pt. Putra Wibawa
PEMANFAATAN MAGGOT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens) SEBAGAI PENGGANTI RANSUM KOMERSIAL TERHADAP ORGAN PENCERNAAN BROILER
Pramesti, A.R., I P. A. Astawa, dan I M. Suasta
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail: apramesti@student.unud.ac.id, Telp. +6285738311869
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan Maggot Black Soldier Fly (Hermetia illucens) sebagai pengganti ransum komersial terhadap bobot organ pencernaan broiler. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan, setiap ulangan terdiri dari empat ekor broiler. Perlakuan terdiri atas P0 (ransum tanpa diganti dengan maggot), P1 (5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot), P2 (10% ransum komersial diganti dengan 10% maggot), P3 (15% ransum komersial diganti dengan 15% maggot). Variabel yang diamati adalah panjang usus halus, persentase berat usus halus, empedu, hati, pankreas, proventrikulus, dan ventrikulus. Hasil dari penelitian ini menunjukan panjang usus halus perlakuan P1, P2, dan P3 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0, dan persentase berat usus halus pada perlakuan P1 dan P3 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0, sedangkan perlakuan P2 tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0, kemudian persentase berat empedu, hati, pankreas, proventrikulus, dan ventrikulus menghasilkan perbedaan tidak nyata (P>0,05) dibandingkan perlakuan P0. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan 5%, 10%, dan 15% maggot pada ransum komersial dapat meningkatkan panjang usus halus dan persentase berat usus halus, tetapi memberikan hasil yang sama terhadap persentase berat empedu, hati, pankreas, proventrikulus, dan ventrikulus.
Kata kunci: broiler, maggot, organ pencernaan
UTILIZATION OF MAGGOT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens) AS A SUBSTITUTE OF COMMERCIAL RATIONS FOR DIGESTIVE ORGAN OF BROILER
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of using Maggot Black Soldier Fly (Hermetia illucens) as a substitute for commercial rations on the weight of broiler digestive organs. The design used was a completely randomized design consisting of four treatments and four replications, each replication consisting of four broilers. The treatment consisted of P0 (rations without replacement with maggot), P1 (5% commercial ration was replaced with 5% maggot), P2 (10% commercial ration was replaced with 10% maggot), P3 (15% commercial ration was

replaced with 15 % maggot). The variables observed were the length of the small intestine, the weight percentage of the small intestine, bile, liver, pancreas, proventriculus, and ventricles. The results of this study showed that the length of the small intestine in the P1, P2, and P3 treatments was significantly different (P<0,05) higher than the P0 treatment, and the percentage of small intestine weight in the P1 and P3 treatments was significantly different (P<0,05) more higher than the P0 treatment, while the P2 treatment was not significantly different (P>0,05) higher than the P0 treatment, then the weight percentage of bile, liver, pancreas, proventriculus, and ventricles produced no significant difference (P>0,05) compared to the P0 treatment P0. The results of this study can be concluded that the utilization of 5%, 10%, and 15% maggot in commercial rations can increase the length of the small intestine and the percentage of small intestine weight, but gives the same results for the weight percentage of bile, liver, pancreas, proventriculus, and ventricles.
Keywords: broiler, maggot, digestive organs
PENDAHULUAN
Broiler adalah unggas yang mempunyai laju pertumbuhan yang cepat dan memberikan kontribusi besar dalam pemenuhan protein hewani untuk masyarakat. Pertumbuhan broiler sangat bertumpu pada enzim yang dikeluarkan oleh organ pencernaan sehingga zat-zat makanan yang telah mengalami proses enzimatis akan mudah diserap oleh tubuh. Menurut Pertiwi et al. (2017) saluran pencernaan broiler yang sehat diidentifikasi dengan perkembangan bobot, panjang saluran, serta perkembangan vili usus yang optimal sehingga penyerapan nutrien menjadi maksimal.
Namun di sisi lain permasalahan yang terus datang di dunia peternakan ini adalah meningkatnya harga bahan pakan sumber protein yaitu konsentrat, tepung ikan, bungkil kedelai, dan tepung darah atau tanaman leguminosa. Alhasil, secara ekonomi, pemenuhan sumber protein cukup membebani biaya produksi. Pakan merupakan bagian penting dalam suatu usaha peternakan karena biaya yang dikeluarkan pada suatu usaha peternakan untuk pakan merupakan biaya yang terbesar yaitu mencapai 60% - 70% (Dewi et al., 2018). Menurut Van Huis (2013) protein yang bersumber pada insekta lebih ekonomis, ramah lingkungan dan memiliki peran yang vital secara alamiah.
Berdasarkan pendapat Bosch et al. (2014) kandungan protein larva BSF cukup tinggi, yaitu 40-50% dengan kandungan lemak berkisar 29-32%. Rambet et al. (2016) menanggapi bahwa tepung BSF mampu menjadi pengganti tepung ikan hingga 100% untuk campuran pakan ayam pedaging tanpa adanya efek negatif. Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, maggot juga diketahui memiliki aktivitas antimikroba berupa antimicrobial peptide (AMP) yang
bersifat bakteriosidal (Park et al., 2014) dan kandungan asam laurat yang tinggi berfungsi sebagai agen antimikroba alami (Kim dan Rhee, 2016). Aktivitas antimikroba tersebut sangat berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan organ pencernaan broiler dalam mengolah serta menyerap nutrisi. Penyerapan nutrisi dapat berlangsung secara optimal bila usus dalam keadaan sehat. Populasi mikroba atau bakteri yang hidup di dalam usus dapat memengaruhi kesehatan usus itu sendiri. Maggot merupakan jenis dari insekta dan diduga mengandung kitin yang dapat menggangu penurunan pencernaan protein. Keberadaan kitin tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik, seperti broiler. Namun ayam memiliki enzim kitinase yang diproduksi dalam proventriculus, namun kemampuannya sangat terbatas dalam memanfaatkan kitin (Sánchez-Muros et al., 2014).
Merujuk penelitian terdahulu penambahan maggot dalam ransum ayam joper menunjukkan hasil yang nyata. Untuk hasil yang optimal Rizkinta (2020) menyarankan menggunakan maggot tidak lebih dari 10% bahan pakan yang digunakan karena kandungan kitin yang berlebih pada maggot akan mengganggu proses penyerapan nutrisi namun Kinasih et al. (2018) menyatakan performa sistem pencernaan dari broiler juga semakin baik jika menggunakan maggot di dalam ransum karena kandungan proteinnya yang tinggi, sehingga adanya peningkatan panjang vili pada dinding usus ayam yang menguntungkan untuk proses penyerapan nutrisi pakan. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan maggot dalam pakan broiler terhadap organ pencernaan broiler dan menemukan batasan terbaik penggunaan maggot dalam ransum.
MATERI DAN METODE
Materi
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali yang berlangsung selama delapan minggu yaitu dari bulan September – Oktober 2022.
Broiler
Penelitian ini menggunakan 64 ekor broiler berumur satu hari (DOC) produksi PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk dengan bobot badan yang homogen (48,76 ± 2,83 gram) dan tidak membedakan jenis kelamin (unisexing).
Kandang dan perlengkapan
Kandang yang digunakan adalah kandang sistem “postal” ukuran 85 cm x 95 cm. Masing-masing sekat terbuat dari triplek serta dilengkapi tempat pakan dan air minum dengan kapasitas air minum 3 liter dan pakan 5 kg serta 1 buah gasolec untuk menjaga suhu pada kandang. Pada lantai kandang ditabur kapur dan sekam padi serta dilapisi koran dan dilepas pada umur 1 hari, serta dilakukannya pembalikan dan penebaran sekam setiap tiga hari sekali. Peralatan yang digunakan adalah termometer, kipas angin, gasolec, paranet, pisau, nampan, timbangan digital, koran dan alat tulis untuk mencatat data yang diperoleh.
Maggot
Maggot yang digunakan adalah maggot kering yang dibeli dari peternak kemudian dihancurkan hingga berbentuk crumble kemudian dicampurkan dengan ransum komersial S11 dan S12.
Tabel 1. Kandungan nutrisi maggot
Kandungan Nutrisi2) |
Jumlah |
Energi |
3755 kkal/kg |
Protein Kasar |
48% |
Bahan Kering |
14% |
Serat Kasar |
5,89% |
Lemak Kasar |
31,76% |
Kadar Air |
86% |
Abu |
10,03% |
Kandungan Mineral1) |
Jumlah |
P |
0,88% |
K |
1,16% |
Ca |
5,36% |
Mg |
0,44% |
Mn |
348 ppm |
Fe |
776 ppm |
Zn |
271 ppm |
Kandungan Asam Amino Esensial1) |
Jumlah |
Methionone |
0,83% |
Lysine |
2,21% |
Leucin |
2,61% |
Isoleucine |
1,51% |
Histidene |
0,96% |
Phenyllalanine |
1,49% |
Valine |
2,23% |
I-Arginine |
1,77% |
Threonine |
1,41% |
Trypyopan |
0,59% |
Sumber: 1) Newton et al. (2005)
2) Odesanya et al. (2011)
Ransum dan air minum
Ransum yang diberikan adalah ransum komersial yaitu ransum S11 dan S12 yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. Air minum bersumber dari PDAM.
Tabel 2. Komposisi bahan pakan fase starter dan finisher
Bahan Pakan |
Perlakuan2) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | |
S11 / S12 (%) |
100 |
95 |
90 |
85 |
Maggot1) (%) |
0 |
5 |
10 |
15 |
Total (%) |
100 |
100 |
100 |
100 |
Keterangan:
-
1) Komposisi nutrisi maggot berdasarkan Newton et al. (2005) dan Odesanya et al. (2011)
-
2) P0: ransum tanpa diganti dengan maggot; P1: 5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot; P2: 10% ransum komersial diganti dengan 10% maggot; P3: 15% ransum komersial diganti dengan 15% maggot
Tabel 3. Kandungan nutrien pada ransum starter
Komponen |
Perlakuan(3) |
Standar(2) | |||
P0(1) |
P1 |
P2 |
P3 | ||
Energi (kkal/kg) |
3200 |
3227,75 |
3255,50 |
3283,25 |
Min 2900 |
Protein (%) |
19,50 |
20,925 |
22,35 |
23,775 |
Min 19 |
Lemak Kasar/LK (%) |
5,00 |
6,338 |
7,676 |
8,45 |
Maks 7.4 |
Serat Kasar/SK (%) |
4,00 |
4,095 |
4,189 |
4,284 |
Maks 6.0 |
Abu (%) |
7,00 |
7,152 |
7,303 |
7,455 |
Maks 8.0 |
Kalsium (Ca) (%) |
0,90 |
1,123 |
1,346 |
1,569 |
0.90-1.20 |
Fospor (P) (%) |
0,60 |
0,614 |
0,628 |
0,642 |
Min 0.40 |
Keterangan:
1) Brosur makanan ternak Broiler PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
2) Standar nutrien menurut SNI (2006).
3) P0: ransum tanpa diganti dengan maggot; P1: 5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot; P2: 10%
ransum komersial diganti dengan 10% maggot; P3: 1 5% ransum komersial diganti dengan 15% maggot
Tabel 4. Kandungan nutrien pada ransum finisher
Komponen |
Perlakuan(3) |
Standar(2) | |||
P0(1) |
P1 |
P2 |
P3 | ||
Energi (kkal/kg) |
3200 |
3227,75 |
3255,50 |
3283,25 |
Min 2900 |
Protein (%) |
18,50 |
19,975 |
21,45 |
22,925 |
Min 18 |
Lemak Kasar/LK (%) |
5,00 |
6,338 |
7,676 |
8,45 |
Maks 8.0 |
Serat Kasar/SK (%) |
5,00 |
5,045 |
5,089 |
5,134 |
Maks 6.0 |
Abu (%) |
7,00 |
7,152 |
7,303 |
7,455 |
Maks 8.0 |
Kalsium (Ca) (%) |
0,90 |
1,123 |
1,346 |
1,569 |
0.90-1.20 |
Fospor (P) (%) |
0,60 |
0,614 |
0,628 |
0,642 |
Min 0.40 |
Keterangan:
1) Brosur makanan ternak Broiler PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
2) Standar nutrien menurut SNI (2006).
3) P0: ransum tanpa diganti dengan maggot; P1: 5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot; P2: 10%
ransum komersial diganti dengan 10% maggot; P3: 1 5% ransum komersial diganti dengan 15% maggot
Metode
Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, yaitu:
P0: ransum tanpa diganti dengan maggot
P1: 5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot
P2: 10% ransum komersial diganti dengan 10% maggot
P3: 1 5% ransum komersial diganti dengan 15% maggot
Pengacakan
Pengacakan dilakukan pada saat penelitian dimulai, untuk mendapat berat badan ayam yang homogen, maka 100 ekor ayam ditimbang untuk mencari bobot badan rata-rata dan standar deviasinya, ayam yang digunakan adalah yang memiliki kisaran bobot badan rata-rata ± standar deviasinya sebanyak 64 ekor. Kemudian ayam disebar secara acak pada unit kandang yang berjumlah 16 unit kandang dengan jumlah ayam pada setiap unit yaitu 4 ekor.
Pemberian ransum dan air minum
Pemberian ransum S11 dilakukan selama 10 hari tanpa diberikan maggot karena pada saat day old chicken (DOC) sistem pencernaan ayam belum terbentuk dengan baik untuk mengkonsumsi ransum yang ditambahkan maggot. Selanjutnya hari ke-11 sampai 21 diberikan ransum S11 dengan penggantian maggot. Pada hari ke-22 sampai 35 diberikan ransum S12 dengan perlakuan yang sama. Pemberian ransum dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.
Pemeliharaan
Sebelum day old chicken (DOC) masuk dilakukan pembersihan dan penyemprotan kandang dengan formaldehyde / formalin agar steril dan terhindar dari penyakit. Bobot badan DOC yang baru datang ditimbang untuk mengetahui bobot badan awal sebelum dimasukkan ke dalam kandang postal. DOC diberikan larutan air gula untuk mengganti energi yang hilang selama perjalanan. Setelah 6 jam, larutan air gula diganti dengan air biasa. Pakan diberikan dengan cara disebarkan di atas tempat pakan. Penerangan kandang menggunakan lampu dan setelah dua minggu, lampu hanya digunakan pada malam hari. Pemanas yang digunakan adalah gasolec sebanyak 1 buah, dan dibantu dengan sirkulasi udara melalui ventilasi. Pencegahan penyakit bagi broiler dilakukan dengan melakukan vaksinasi yang sudah dilakukan oleh pihak perusahaan tempat pembelian bibit DOC.
Pencegahan penyakit
Sistem biosecurity dilakukan pada awal penelitian yaitu dengan cara menyemprotkan
formaldehyde atau formalin keseluruh kandang. Penyemprotan formaldehyde dilakukan dua minggu sebelum ayam dimasukan ke kandang. Ayam dimasukan pertama kali ke kandang diberikan air gula sebelum pemberian vitamin yang digunakan adalah vita chicks. Pemberian vitamin dilakukan setiap satu minggu sekali.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menimbang keempat ekor broiler di tiap unit kandang, kemudian mencari rata-rata bobot badan. Broiler yang memiliki bobot paling mendekati dengan rata-rata, selanjutnya dipotong.
Pemotongan ayam
Pemotongan dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada saat ayam berumur 35 hari. Sebelum dilakukan pemotongan ayam dipuasakan selama 12 jam agar tidak ada tersisa makanan di tembolok dan ususnya sehingga tidak mempengaruhi berat ayam tersebut. Kemudian dilakukan penyembelihan pada bagian vena jugularis dan arteri carotis agar darah pada ayam dapat dikeluarkan. Ayam yang sudah disembelih kemudian dicelupkan dengan air panas yang berfungsi untuk membunuh bakteri dan memudahkan dalam proses pencabutan bulu ayam tersebut. Setelah proses pencabutan bulu ayam kemudian dikeluarkan sistem pencernaan. Pemisahan sistem pencernaan
Pemisahan jeroan atau organ dalam, salah satu caranya adalah sebagai berikut: yaitu proses pengeluaran jeroan dimulai dari pemisahan tembolok dan trakea serta kelenjar minyak bagian ekor kemudian pembukaan rongga badan dengan membuat irisan dari kloaka ke arah tulang dada. Kloaka dan visera atau jeroan dikeluarkan kemudian dilakukan pemisahan organorgan yaitu hati, empedu, pankreas dan bagian usus halus serta proventrikulus. Isi ventrikulus harus dikeluarkan. Semua organ pencernaan ditimbang beratnya sesuai dengan variabel yang diamati.
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah persentase berat organ pencernaan broiler meliputi berat usus halus serta panjang usus halus, berat hati, berat pankreas, dan berat proventrikulus.
-
1. Panjang usus halus yang diukur dari empedal sampai sekum menggunakan penggaris.
O TToiio UΓo1τιo bobot usus halus
-
2. Usus Halus (%) = x 100%
bobot potong
-
3. Empedu (%) = bobot empedu x 100%
4.
5.
-
6.
-
7.
-
Hati (%) = x 100%
bobot potong
Pankreas (%) = x 100%
' bobot potong
1 Uobotproventrikulus
Proventrikulus (%) = x 100%
bobot potong
Ventrikulus (%) = bobot ventrikulus x 100% bobot potong
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian penambahan ransum komersial dengan maggot sebanyak 5% (P1), 10% (P2), dan 15% (P3) tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh penggantian ransum komersial dengan maggot terhadap sistem
pencernaan broiler
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | ||
Usus Halus (cm) |
162,63a |
177,25c |
167,75b |
171,38b |
1,63 |
Usus Halus (%) |
1,57a |
2,02c |
1,67ab |
1,95bc |
0,09 |
Empedu (%) |
0,08a |
0,07a |
0,08a |
0,08a |
0,00 |
Hati (%) |
1,64a |
1,67a |
1,61a |
1,72a |
0,06 |
Pankreas (%) |
0,19a |
0,21a |
0,19a |
0,19a |
0,01 |
Proventrikulus (%) |
0,36a |
0,41a |
0,38a |
0,37a |
0,02 |
Ventrikulus (%) |
1,21a |
1,18a |
1,26a |
1,25a |
0,03 |
Keterangan:
1. P0: ransum tanpa diganti dengan maggot; P1: 5% ransum komersial diganti dengan 5% maggot;
P2: 10% ransum komersial diganti dengan 10% maggot; P3: 1 5% ransum komersial diganti dengan 15% maggot
2. SEM: “Standard Error of the Treatment Mean”
Panjang usus halus
Hasil penelitian penambahan maggot pada ransum broiler menunjukkan bahwa panjang usus halus pada perlakuan P0 (kontrol) adalah 162,63 cm (Tabel 5). Rataan panjang usus halus broiler yang mendapatkan penambahan 5% maggot pada ransum (P1), 10% maggot (P2), dan 15% maggot (P3) masing-masing 8,99%, 3,15%, dan 5,38% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan broiler tanpa pemberian maggot pada ransum (P0).
Rataan panjang usus halus masing-masing perlakuan secara berturut-turut yaitu 162,63 cm, 177,25 cm, 167,75 cm, dan 171,38 cm. Hasil tersebut membuktikan bahwa panjang usus
halus pada penelitian ini lebih panjang dibandingkan dengan penelitian Suprijatna et al. (2008) yang hanya memperoleh 150 cm. Panjang usus tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu penggantian 5% ransum dengan maggot, hal ini disebabkan jika kandungan maggot berlebihan seperti pada perlakuan P3 akan mengakibatkan zat anti nutrisi yaitu kitin meningkat, sehingga ayam sulit mencerna makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sanchez-Muros et al. (2014), bahwa unggas tidak mempunyai enzim kitinase, sehingga pemberian maggot yang berlebihan mengakibatkan sulitnya makanan untuk dicerna. Namun pada perlakuan P3 memperoleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2, hal ini didukung dengan kandungan protein pada perlakuan P3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan P2. Fungsi protein adalah untuk membentuk sel epitel usus halus, jika semakin banyak sel epitel usus halus maka permukaannya semakin luas dan jumlah vili akan semakin banyak sehingga panjang usus halus akan semakin meningkat. Amrullah (2004) juga menyatakan bahwa perubahan panjang usus disertai dengan jumlah vili usus dan kemampuan sekresi akan meningkatkan kecernaan dan masuknya zat-zat makanan kedalam tubuh dengan konsumsi yang tetap. Usus halus yang panjang mengindikasikan tingkat penyerapan nutrien pakan yang lebih tinggi.
Persentase usus halus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase usus halus pada perlakuan ransum tanpa pemberian maggot (P0) adalah 1,57% (Tabel 5). Rataan persentase usus halus yang diberikan ransum dengan penambahan 5% maggot (P1), dan 15% maggot (P3), masing masing 29,03% dan 24,45% berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian maggot (P0), sedangkan penambahan 10% maggot (P2) 6,71% tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol (P0).
Persentase berat usus halus tertinggi ini yaitu pada perlakuan P1, hal ini disebabkan karena potensi pemanfaatan maggot sebagai bahan pakan didukung oleh kandungan proteinnya yang cukup tinggi. Berkaitan dengan fungsi protein menurut pandangan Ketaren (2010) yaitu protein berperan dalam pembentukan sel, mengganti sel yang mati dan membentuk jaringan tubuh. Sel jaringan tubuh yang dibentuk termasuk didalamnya yaitu sel epitel usus halus. Semakin banyak sel epitel usus halus maka permukaannya semakin luas dan jumlah vili akan semakin banyak sehingga nutrisi terserap secara maksimal dan bobot usus halus akan semakin berat. Pertiwi et al. (2017) menambahkan, bobot dan panjang saluran pencernaan serta perkembangan vili usus yang optimal menandakan saluran pencernaan broiler yang sehat sehingga dapat mengoptimalkan penyerapan nutrisi, disamping itu menyebabkan tingginya kecernaan bahan kering yang diukur untuk mengetahui jumlah kandungan zat-zat makanan yang
dapat diserap tubuh (Dewi, unpublished) dan mengakibatkan lebih tingginya konsumsi ransum pada perlakuan tersebut dibanding perlakuan lainnya (Putri, unpublished). Kesehatan usus dipengaruhi dari populasi mikroba/bakteri yang hidup di dalamnya. Maggot memiliki berbagai jenis Antimicrobial peptide (AMP) dan senyawa lain yang memiliki sifat menghambat berbagai jenis mikroorganisme pathogen. Aktivitas antimikroba pada maggot berperan aktif dalam kesehatan dan membantu perkembangan organ saluran pencernaan khususnya unggas dalam penyerapan nutrisi (Auza et al., 2020). Penyerapan nutrisi yang maksimal menyebabkan tingginya feed intake atau meningkatnya konsumsi ransum dan hal ini didukung dengan meningkatnya bobot akhir dan pertambahan bobot badan, serta menurunkan feed convertion ratio.
Persentase empedu
Rataan persentase empedu pada broiler yang mendapat perlakuan ransum tanpa maggot (P0) adalah 0,08% (Tabel 5). Pada perlakuan P1 menunjukan rata-rata sebesar 0,07%, P2 sebesar 0,08%, dan P3 dengan rataan 0,08%. Secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).
Empedu merupakan organ yang berfungsi sebagai penyalur cairan empedu yang berwarna kuning kehijauan dari hati ke usus dengan pembesaran saluran empedu membentuk kantong empedu (Amrullah, 2004). Persentase berat empedu yang diperoleh pada perlakuan P0, P1 dan P2 masing-masing adalah 0,08%, 0,07% dan 0,08% dari bobot potong (Tabel 5), secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Berat empedu dipengaruhi oleh banyaknya cairan yang dikeluarkan oleh empedu di hati, karena semakin berat kerja hati maka cairan empedu yang dihasilkan semakin banyak dan ukuran kantong empedu semakin besar. Yusuf (2007) berpendapat bahwa meningkatnya kerja organ hati menyebabkan kebutuhan cairan empedu yang lebih banyak, sehingga memacu peningkatan bobot kantong empedu yang dihasilkan. Penambahan bobot empedu juga diakibatkan tingginya aktivitas empedu di dalam tubuh ternak, salah satu pemicu dalam meningkatnya aktivitas empedu didalam tubuh ternak dapat dikarenakan tingginya jumlah lemak kasar didalam ransum (Yaman, 2010).
Persentase hati
Rataan persentase hati pada broiler yang mendapat perlakuan P0 didapatkan rataan sebesar 1,64% pada P1 sebesar 1,67%, pada P2 sebesar 1,61%, dan perlakuan P3 didapatkan rataan sebesar 1,72% secara statistik pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05%).
Hati berfungsi menyimpan gula dalam bentuk glikogen dan menghasilkan cairan empedu yang berfungsi mengemulsikan lemak pada pakan. Senyawa bioaktif pada pakan dapat meningkatkan fungsi hati untuk mensekresikan cairan empedu sehingga meningkatkan masa organ hati (Swarayana et al., 2012). Putnam (1991) melaporkan persentase hati normal berkisar 1,70 % – 2,80% dari bobot hidup. Persentase berat hati yang diperoleh pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 masing-masing adalah 1,64%, 1,67%, 1,61% dan 1,72% dari bobot potong (Tabel 5), secara statistik perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap persentase berat hati broiler. Hal ini menunjukan bahwa dengan pemberian maggot hingga taraf 15% tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat hati diduga karena pakan yang dikonsumsi lebih ditujukan pada pertambahan bobot badan dan pembentukan karkas. Berat hati dipengaruhi oleh bobot tubuh, jenis ternak, umur, genetik serta pakan yang diberikan. Pembesaran hati dapat terjadi jika bahan pakan sulit dicerna dan adanya zat toksik di dalam ransum (Hetland et al., 2005). Hal tersebut juga menunjukan bahwa perlakuan dengan penggantian ransum komersial dengan maggot tidak mengandung senyawa berbahaya yang bersifat racun bagi broiler. Sesuai dengan yang disebutkan Basya (2004) bahwa di dalam hati, senyawa beracun akan mengalami proses detoksifikasi, senyawa beracun yang berlebihan tidak dapat didetoksifikasi seluruhnya, hal inilah yang mengakibatkan hati dapat mengalami kerusakan dan pembengkakan.
Persentase pankreas
Rataan persentase pankreas pada broiler yang mendapat perlakuan ransum tanpa maggot (P0) sebesar 0,19%, ransum dengan penggantian 5% maggot (P1) sebesar 0,21%, ransum dengan penggantian 10% maggot (P2) sebesar 0,19%, ransum dengan penggantian 15% maggot (P3) sebesar 0,19% (Tabel 5) secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).
Berdasarkan analisis statistika pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak berpengaruh secara signifikan (P>0,05) terhadap persentase berat pankreas. Rataan hasil penelitian secara berturut-turut adalah sebagai berikut 0,19%, 0,21%, 0,19%, dan 0,19%. Hal ini disebabkan pemberian maggot tidak banyak mempengaruhi kerja enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan pada pankreas yang merupakan salah satu organ pelengkap sistem pencernaan selain hati dan kelenjar empedu. Menurut laporan Simamora (2011) persentase normal berat pankreas unggas sekitar 0,25 – 0,40%. Peningkatan bobot pankreas merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk mencukupi kebutuhan enzim pencernaan yang meningkat, dimana fungsi pankreas adalah menghasilkan enzim-enzim lipolitik, amilolitik dan proteolitik. Faktor yang mempengaruhi persentase berat pankreas yaitu faktor genetik, tingkah laku dan lingkungan (Yuwanta, 2004; Aqsa et al., 2016).
Persentase proventrikulus
Rataan persentase proventrikulus pada broiler yang mendapat perlakuan ransum tanpa maggot (P0), ransum dengan penggantian 5% maggot (P1), ransum dengan penggantian 10% maggot (P2), ransum dengan penggantian 15% maggot (P3) menunjukan hasil secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada Tabel 5 persentase proventrikulus tertinggi adalah perlakuan P1 sedangkan nilai persentase terendah adalah perlakuan P0, dengan nilai berturut-turut P0 (0,36%), P1 (0,41%), P2 (0,38%), P3 (0,37%).
Proventrikulus berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses pencernaan secara kimiawi, terjadi sekresi enzim-enzim di dalam seperti enzim pepsin yang mengurai protein pakan dan HCL yang menghasilkan asam lambung. Ukuran proventrikulus dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dalam pakan, karena proventrikulus memproduksi enzim HCL, pepsin dan enzim yang dapat memecah protein dan serat kasar dalam pakan (Sari dan Ginting, 2012). Data persentase proventrikulus sebagaimana tersaji pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak berpengaruh secara signifikan (P>0,05) terhadap persentase bobot proventrikulus. Rataan persentase bobot proventrikulus hasil penelitian ini berkisar 0,36 - 0,41% hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain diantaranya menurut Mahmilia (2005) sebesar 0,32 - 0,34% dan Awad et al. (2009) sebesar 0,39% dari bobot potong. Ukim et al. (2012) menyatakan persentase bobot proventrikulus broiler normal berkisar antara 0,40 - 0,54% dari bobot hidup. Hal yang menyebabkan bobot proventrikulus tidak berbeda nyata adalah kandungan serat kasar antar perlakuan masih di dalam ambang batas optimal pada broiler, yakni dibawah 6%. Menurut Amrullah (2004) bahwa serat kasar ransum broiler berkisar antara 5-6 %. Ransum yang banyak mengandung serat akan mempengaruhi pembesaran dan penipisan organ proventrikulus. Hal ini dijelaskan oleh Chinajariyawong dan Muangkeow (2011) yang menyatakan terjadi peningkatan bobot proventrikulus seiring peningkatan serat kasar.
Persentase ventrikulus
Rataan persentase ventrikulus pada broiler yang mendapat perlakuan ransum tanpa maggot (P0) sebesar 1,21%, ransum dengan penggantian 5% maggot (P1) sebesar 1,18%, ransum dengan penggantian 10% maggot (P2) sebesar 1,26%, ransum dengan penggantian 15% maggot (P3) sebesar 1,25% (Tabel 5) secara statistik menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).
Persentase berat ventrikulus yang diperoleh pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 masing-masing adalah 1,21%, 1,18%, 1,26%, dan 1,25% dari bobot potong (Tabel 4.1), secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa penggantian ransum komersial dengan maggot dapat meringankan beban kerja ventrikulus karena kandungan serat kasar antar perlakuan masih di dalam ambang batas optimal pada broiler, yakni dibawah 6%. Secara filosofi kinerja ventrikulus akan meningkat ketika kandungan serat dalam pakan semakin tinggi akan membuat pembesaran ventrikulus. Hal ini serupa dilaporkan Aryus et al. (2020) yang menyatakan bahwa bobot ventrikulus dipengaruhi oleh serat kasar yang terdapat di dalam pakan, semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka semakin besar bobot ventrikulus yang didapatkan, sebaliknya semakin rendah serat kasar dalam pakan semakin rendah pula bobot ventrikulus. Fungsi ventrikulus adalah menggiling dan memecah partikel makanan menjadi ukuran yang lebih kecil. Menurut Sumiati dan Sumirat (2003) peningkatan bobot ventrikulus disebabkan karena ventrikulus bekerja lebih berat untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi, sehingga kerja ventrikulus semakin berat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan penggantian 5%, 10%, dan 15% maggot dengan ransum komersial dapat meningkatkan panjang usus halus dan persentase usus halus, tetapi memberikan hasil yang sama terhadap persentase berat empedu, persentase berat hati, persentase berat pankreas, persentase berat proventrikulus, dan persentase berat ventrikulus. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan kepada peternak broiler untuk memanfaatkan maggot hingga taraf 5% sebagai bahan campuran ransum komersial karena mendapatkan hasil yang terbaik diantara empat perlakuan, disisi lain penggantian 5% maggot tidak mengganggu usus halus sehingga dapat bekerja secara normal dalam membantu proses pencernaan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M. Eng, IPU., Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., IPU., ASEAN Eng., Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Ir Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt, M.P, IPM., ASEAN Eng. atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan III. Lembaga Satu Gedung Budi, KKP IPB, Bogor.
Aqsa, A. D., K. Kiramang, dan M. N. Hidayat. 2016. Profil organ dalam ayam pedaging (broiler) yang diberi tepung daun sirih (Piper betle Linn) sebagai imbuhan pakan. Jurnal Ilmu dan Industry Peternakan. 3(1): 148-159
Aryus, R., P. Anwar, dan Jiyanto. 2020. Pengaruh pemberian tepung daun titonia (Tithonia diversifolia) dalam ransum terhadap bobot berat organ pencernaan broiler. Jurnal of Animal Center (JAC). 2(1): 23-28.
Auza, F. A., S. Purwanti, J. A. Syamsu, and A. Natsir. 2020. Antibacterial activities of black soldier flies (Hermetia illucens) extract towards the growth of Salmonella typhimurium, E. coli and Pseudomonas aeruginosa. IOP Conference Series Earth and Environmental Science. 492(1): 1-6
Awad, W. A., K. Ghareeb, S. Abdel-Raheem, and J. Bohm. 2009. Effects of dietary inclusion of probiotic and synbiotic on growth performance, organ weight, and intestinal histomorphology of broiler chickens. Poultry Science. 88: 49-55.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-3930-2006. Pakan anak ayam ras pedaging (broiler starter). Badan Standarisasi Nasional: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-3931-2006. Pakan ayam ras pedaging masa akhir (broiler finisher). Badan Standarisasi Nasional: Jakarta.
Basya, A. M. 2004. Persentase Berat Karkas, Lemak Abdominal dan Organ Dalam Ayam Pedaging yang Diberi Pakan Mengandung Protein Sel Tunggal. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bosch, G., S. Zhang, D. G. A. B. Oonincx, and W. H. Hendriks. 2014. Protein quality of insects as potential ingredients for dog and cat foods. J Nutr Sci. 3 :1-4.
Chinajariyawong, C., and C. Muangkeow. 2011. Carcass yield and visceral organs of broiler chickens fed palm kernel meal or Aspergillus wentii TISTR 3075 fermented palm kernel meal. Walailak J. Sci. & Tech. 8(2): 175‐185.
Dewi, G. A. M. K., I. M. Nuriyasa, dan I. M. Wirapartha. 2018. Pengaruh Ransum dengan Tepung Kulit Buah Naga (Hylocereus polyrhizus) Terfermentasi terhadap Karkas Broiler. Majalah Ilmiah Peternakan. 21(3): 114-119.
Hetland, H., B. Svihus, and M. Choctt. 2005. Role of insoluble fiber on gizzard activity in layers. J. Apply. Poultry Res. 14: 38–46.
Ketaren, P. P. 2010. Kebutuhan gizi ternak di Indonesia. Wartazoa. 4:172-180.
Kim, S. A., and M. S. Rhee. 2016. Highly enhanced bactericidal effects of medium chainfatty acids (caprylic, capric, and lauric acid) combined with edible plant essential oils (carvacrol, eugenol, b-resorcylic acid, trans cinnamaldehyde, thymol, and vanillin) against Escherichia coli O157:H7. Food Control. 60: 447-454.
Kinasih, I., R. E. Putra, A. D. Permana, F. F. Gusmara, M. Y. Nurhadi, dan R. A. Anitasari. 2018. Growth performance of black soldier fly larvae (Hermetia illucens) fed on some plant based organic wastes. HAYATI Journal of Biosciences. 25(2): 79-79.
Mahmilia, F. E. R. A. 2005. Perubahan nilai gizi tepung eceng gondok fermentasi dan pemanfaatannya sebagai ransum ayam pedaging. JITV. 10(2), 90-95.
Newton, G. L., D. C. Sheppard, D. W. Watson, G. J. Burtle, C. R. Dove, J. K. Tomberlin, and E. E. Thelen. 2005. The black soldier fly, Hermetia illucens, as a manure management/resource recovery tool. In Symposium on the state of the science of Animal Manure and Waste Management. 1:57.
Odesanya, B. O., S. O. Ajayi, B. K. O. Agbaogun, and B. Okuneye. 2011. Comparative evaluation of nutritive value of maggots. Int. J. Sci. Eng. Res. 2(11): 1-5.
Park, S. I., B.S. Chang, and S.M. Yoe. 2014. Detection of antimicrobial substances from larvae of the black soldier fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Entomological Research. 44(2): 58-64.
Pertiwi, D. D. R., R. Murwani, dan T. Yudiarti. 2017. Bobot relatif saluran pencernaan broiler yang diberi tambahan air rebusan kunyit dalam air minum. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science). 19(2):61-65.
Putnam, P. A. 1991. Hand book of Animal Science. San Diego, California: Academic Press.
Rambet, V., J.F. Umboh, Y.L.R. Tulung, dan Y.H.S. Kowel. 2016. Kecernaan protein dan energi ransum broiler yang menggunakan tepung maggot (Hermetia
illuctomberlinens) sebagai pengganti tepung ikan. J Zootek. 36:13-22.
Rizkinta, G. 2020. Pemberian ulat maggot bsf terhadap performance ayam kampung joper umur 1 sampai 90. Kumpulan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Sains dan Tekhnologi. 2(2):109-109.
Sánchez-Muros, M. J., F. G. Barroso, and F. Manzano-Agugliaro. 2014. Insect meal as renewable source of food for animal feeding: A review. Journal of Cleaner Production. 65: 16-27
Sari, M. L. dan F. G. N. Ginting. 2012. Pengaruh penambahan enzim fitase pada ransum terhadap berat relatif organ pencernaan ayam broiler. J. Agribisnis Peternakan. 2(2): 37 – 41.
Simamora, N. 2011. Performa Produksi dan Karakteristik Organ Dalam Ayam Kampung Umur 12-16 Minggu yang Diinfeksi Cacing (Ascaridia galli) dan Disuplementasi Ekstrak
Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah Bambang Sumantri. P.T Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sumiati dan A. Sumirat. 2003. Persentase bobot saluran pencernaan dan organ dalam itik lokal (Anas platyrhyncos) jantan yang diberi berbagai taraf kayambang (Salvinia molesta) dalam ransumnya. Med. Pet. 26 (1): 11-16.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Swarayana, I. M. I., I. W. Sudira dan I. K. Berata. 2012. Perubahan histopatologi Mencit (Mus musculus) yang diberikan ekstrak daun ashitaba (Angelica keiskei). Buletin Veteriner Udayana. 4:119-125.
Ukim, C. I., G. Ojewola, C. O. Obun and E. N. Delekwute. 2012. Performance and carcass and organ weights of broiler chicks feed graded levels of acha grains (Digitaria exilis). J. of Agriculture and Veterinary Sci. 1:28-33.
Van Huis, A. 2013. Potential of insects as food and feed in assuring food security. Annual review of entomology. 58: 563-583.
Yaman, A. 2010. Ayam Kampung Unggul 6 Minggu Panen. Yogyakarta: Penebar Swadaya.
Yusuf, Z. 2007. Pengaruh Pemberian Silase Ransum Komplit terhadap Organ Dalam Itik Mojosari Albino Jantan. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius
Pramesti, A.R., Peternakan Tropika Vol. 12 No. 1 Th. 2024: 291 – 306
Page 306
Discussion and feedback