THE EFFECT OF COMMERCIAL FEEDING AND CONVENTIONAL FEEDS ON ISA BROWN CHICKENS ON THE QUALITY OF EGGS STORED FOR 28 DAYS
on
ISSN 2722-7286

Jurnal
FAPET UNUD
Jurnal

Peternakan Tropika
Journal of Tropical Animal Science
email: [email protected]
Submitted Date: July 12, 2022
Accepted Date: May 3, 2023
Editor-Reviewer Article : A.A. Pt. Putra Wibawa & Eny Puspani
PENGARUH PEMBERIAN RANSUM KOMERSIAL DAN RANSUM KONVENSIONAL PADA AYAM ISA BROWN TERHADAP KUALITAS TELUR YANG DISIMPAN SELAMA 28 HARI
Yoga, P. A. A, I. G. Mahardika, P. A. Astawa
PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali e-mail : [email protected], Telp + 6282146298773
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas telur ayam yang diberikan ransum komersial dan konvensional pada ayam petelur strain Isa Brown. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali yang berlangsung selama tiga bulan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan, sehingga terdapat 16 unit percobaan. Masing-masing unit percobaan menggunakan 10 ekor ayam petelur. Keempat perlakuan tersebut adalah ayam yang diberikan pakan komersial (P0), Ayam yang diberikan ransum konvensional 1 (P1), Ayam yang diberikan ransum konvensional 2 (P2), Ayam yang
diberikan ransum konvensional 3 (P3). Variabel yang diamati meliputi berat telur, berat jenis telur, haugh unit, indeks kuning telur dan warna kuning telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum konvensional 1(P1) mendapatkan hasil yang terbaik dibandingkan perlakuan lainnya pada variabel berat telur (62,89g), berat jenis telur (1,21), haugh unit (60,03), indeks kuning telur (0,29) dan warna kuning telur (9). Berdasarkan hasil penelitian antara pemberian ransum komersial dan konvensional dapat disimpulkan bahwa, ransum konvensional P1 menghasilkan berat telur, berat jenis, haugh unit dan warna kuning telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum komersial, konvensional P2 dan P3, sedangkan indeks kuning telur tidak terdapat perbedaan.
Kata kunci : Ayam isa brown, kualitas telur, ransum komersial, ransum konvensional.
THE EFFECT OF COMMERCIAL FEEDING AND CONVENTIONAL FEEDS ON ISA BROWN CHICKENS ON THE QUALITY OF EGGS STORED FOR 28 DAYS
ABSTRACT
This research aimed to determine the quality of chicken eggs given commercial and conventional rations on laying hens strain Isa Brown. This research was conducted in Candikusuma Village, Melaya District, Jembrana Regency, Bali which lasted for three

months. The design used was a completely randomized design (CRD) with four treatments and four replications, so there were 16 experimental units. Each experimental unit used 10 laying hens. The four treatments were chickens fed a commercial feed (P0), chickens being given a conventional ration 1 (P1), chickens being given a conventional ration 2 (P2), chickens being given a conventional ration 3 (P3). The variables observed included egg weight, egg specific gravity, Haugh unit, egg yolk index and egg yolk color. The results showed that the conventional ration 1(P1) got the best results compared to other treatments on the variable egg weight (62.89g), egg specific gravity (1.21), haugh unit (60.03), egg yolk index (0,29) and egg yolk color (9). Based on the results of the study between the provision of commercial and conventional rations, it can be concluded that the conventional P1 ration produced higher egg weight, specific gravity, Haugh unit and egg yolk color compared to the provision of commercial, conventional rations P2 and P3, while the egg yolk index there was no difference.
Keywords : Hens Isa Brown, egg quality,feed commercial, feed conventional.
PENDAHULUAN
Peternakan selain dapat membantu perekonomian di Indonesia juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi protein hewani berupa daging, telur dan susu yang sangat di butuhkan oleh masyarakat. Salah satu sumber protein hewani yang cukup diminati di Indonesia adalah telur ayam. Menurut Respati et al. (2013) kandungan protein pada telur yaitu mencapai 13%. Protein pada telur mempunyai mutu yang tinggi dari pada yang lain, karena protein pada telur memiliki susunan asam amino yang lengkap.
Rasyaf (2004a) ransum merupakan kumpulan dari bahan makanan yang layak dimakan oleh ayam yang telah disusun mengikuti aturan tertentu, aturan itu meliputi nilai kebutuhan gizi yang diperlukan oleh ayam dan nilai kandungan gizi dari bahan makanan tersebut. Menurut Rasyaf (2004b) pakan komersial adalah ransum yang terdiri dari beberapa bahan pakan, yang disusun sesuai dengan kebutuhan gizi yang lengkap dan seimbang namun memiliki harga yang relatif mahal. Pakan konvensional merupakan ransum yang terdiri dari beberapa bahan pakan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang lengkap dan seimbang namun memiliki harga yang relative lebih murah.
Penyusunan ransum yang sudah sesuai aturan untuk ayam petelur yang telah ditetapkan dapat membantu memenuhi kriteria telur yang layak kosumsi, kriteria tersebut
meliputi kualitas fisik dan organoleptik. Telur yang segar dipengaruhi oleh daya simpan dari telur itu sendiri. Semakin lama telur tersebut disimpan maka semakin encer putih telur dan telur tersebut mengalami penyusutan. Selain dari faktor lamanya penyimpanan, kerusakan dari isi telur juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Lama dan suhu dalam penyimpanan akan sangat mempengaruhi kualitas fisik telur (Yuwanta, 2010).
Menyusun formulasi ransum menggunakan ketersediaan bahan pakan lokal sangat penting bertujuan untuk mengurangi ketergantungan peternak pada pakan komersial (Mampioper et al., 2008). Dalam pembuatan pakan secara konvensional terdapatnya peluang tersedianya sumber bahan pakan yang melimpah dengan harga yang murah seperti tepung ikan, asam amino, jagung, dedak padi, dan konsentrat diharapkan dapat menjadi alternatif untuk menghemat biaya produksi pakan.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengamati perbandingan pemberian pakan konvensional dan komersial dengan campuran yang berbeda terhadap kualitas dari telur ayam yang disimpan.
MATERI DAN METODE
Ayam Petelur
Ayam petelur yang digunakan adalah ayam yang berjenis Isa brown yang berumur 70 minggu, sebanyak 160 ekor.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixer untuk mengaduk pakan, tray telur, timbangan digital, plastik, jangka sorong, egg yolk coulor fan, papan kaca, gelas ukur, dan alat tulis.
Telur Ayam
Sampel yang digunakan adalah telur ayam ras yang ada di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Sampel yang diambil ditempatkan pada tray telur agar tidak pecah dan disimpan pada suhu ruang. Sampel yang dipakai adalah telur yang berasal dari ayam yang sudah diberikan perlakuan P0, P1, P2 dan P3 selama 1 bulan.
Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial jenis piala (PL 241) dan ransum konvensional yaitu jagung, dedak padi, konsentrat, mineral, tepung ikan. Komposisi kandungan bahan penyusun ransum komersial dan ransum konvensional dapat dilihat pada Tabel 1, serta kandungan zat gizi ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi bahan penyusunan ransum komersial dan Konvensional ayam ras
petelur
Pakan (%) |
Ransum Perlakuan1 | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | |
Piala (PL 241) |
100 |
30 |
29 |
28 |
Konsentrat (KLK) |
- |
10 |
9 |
8 |
Pakan broiler 1 |
- |
10 |
9 |
8 |
Jagung |
- |
30 |
31,6 |
32,7 |
Dedak padi |
- |
10 |
11 |
12 |
Tepung ikan |
- |
9,5 |
10 |
11 |
Mineral |
- |
0,5 |
0,4 |
0,3 |
TOTAL |
100 |
100 |
100 |
100 |
Keterangan :
1. P0 = Ransum komersial atau ransum piala produksi PT. Japfa Comfeed INDONESIA, Tbk.
P1 = Ransum konvensional 1
P2 = Ransum konvensional 2
P3 = Ransum Konvensional 3
Tabel 2. Kandungan zat gizi ransum perlakuan
Kandungan zat gizi pakan |
Ransum Perlakuan P0 P11 P2 P3 Standar2 |
Energi termetabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Ca(%) Abu (%) Fosfor (%) |
2.900 2.825 2.802 2.723 2.900 18,5 18,9 17,9 17,9 18,5 3 5 7 5 5 – 10 6 4 7 9 4 – 9 4 4 4 4 3,5 – 4 14 10 12 13 14 0,45 0,5 0,48 0,45 0,45-0,5 |
Keterangan :
1. Analisa ransum dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana (2021)
2. Standar Scott et al. (1982)
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Penelitian dilakukan selama tiga bulan dari persiapan hingga analisis data.
Rancangan Penelitian
Ransum Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan sehingga terdapat 16 unit percobaan. Keempat perlakuan tersebut adalah : Perlakuan P0 : Ayam yang diberikan ransum komersial Perlakuan P1 : Ayam yang diberikan ransum konvensional 1 Perlakuan P2 : Ayam yang diberikan ransum konvensional 2 Perlakuan P3 : Ayam yang diberikan ransum konvensional 3 Pemberian Ransum dan Air Minum
Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum, setiap pemberian ransum selalu dicatat untuk mengetahui selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum.
Penyimpanan
Telur yang digunakan disimpan di tray telur pada suhu ruang (pagi 270C, siang 310C) di Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Pengujian ini dilakukan sebanyak empat kali selama 28 hari dimana setiap tujuh hari telur yang sudah disimpan diambil sebanyak 16 butir untuk diuji kualitasnya, total telur yang digunakan sebanyak 64 butir.
Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan cara telur disimpan sampai 28 hari untuk mengetahui penurunan kualitas berat telur dan berat jenis telur, sedangkan untuk mengetahui haugh unit, indeks kuning telur, dan warna kuning telur, dipecah sejumlah satu butir disetiap ulangan dimasing-masing perlakuan untuk diuji setiap minggunya.
Variabel Yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: berat telur, berat jenis telur, haugh unit telur (HU), indeks kuning telur, warna kuning telur. Pengamatan terhadap variabel tersebut dilakukan selama empat minggu.
-
1. Berat telur : Berat telur yang akan diamati yaitu dengan cara menimbang telur tersebut
terlebih dahulu dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,001g.
-
2. Berat jenis telur : Berat jenis telur dihitung dengan cara membagi berat telur dengan volume telur. Volume telur didapatkan dengan cara memasukkan telur ke dalam gelas ukur yang sudah berisi air, lalu catat kenaikan volume air tersebut.
-
3. Haugh unit (HU) : Untuk memperoleh haugh unit, telur ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat lalu dipecah dan diletakkan pada kaca. Tinggi putih telur (mm) diukur dengan jangka sorong. Bagian putih telur yang diukur adalah 1 cm dari pinggir kuning tidak boleh di antara kalaza (Sudaryani, 2003).
Kemudian hitung haugh unit dngan rumus : HU = 100 Log (H + 7,57 – 1,7 W0,37)
Keterangan :
HU = Haugh Unit
H = Tinggi Putih Telur Kental
W = Berat Telur
-
4. Warna kuning telur : Warna kuning telur akan diukur dengan menggunakan standar kuning telur “Roche Yolk Colour Fan” dengan kisaran antara 1 - 15. Warna kuning telur disesuaikan dengan warna standar yang mendekati.
-
5. Indeks kuning telur : Untuk mengetahui mutu indeks kuning telur dilakukan dengan cara mengukur tinggi dan diameter kuning telur dengan jangka sorong. Indeks kuning telur (yolk index) dihitung menggunakan rumus menurut SNI 01-3926-2006 sebagai berikut :
Indeks kuning telur = Tinggi Kuning Telnr (cm)
Tliameter Kuning Telur (cm)
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berat telur, berat jenis telur, haugh unit telur (HU), indeks kuning telur, warna kuning telur pada ayam petelur yang diberikan ransum komersial dan ransum konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengaruh pemberian ransum komersial dan ransum konvensional pada
ayam isa brown terhadap kualitas telur yang disimpan selama 28 hari
Variabel |
Perlakuan1) |
SEM2) | |||
P0 |
P1 |
P2 |
P3 | ||
Berat Telur (g) |
61,17b3) |
62,89a |
60,61b |
58,61c |
0,25 |
Berat Jenis Telur |
1,15b |
1,21a |
1,12c |
1,11c |
0,00008 |
Haugh Unit (HU) |
52,44b |
60,03a |
45,97b |
40,87c |
2,33 |
Indeks Kuning Telur |
0,28a |
0,29a |
0,27a |
0,26a |
0,0002 |
Warna Kuning Telur |
8b |
9a |
7c |
7c |
0,03 |
Keterangan :
1. P0 = Ayam yang diberikan ransum komersial
P1 = Ayam yang diberikan ransum konvensional 1
P2 = Ayam yang diberikan ransum konvensional 2
P3 = Ayam yang diberikan ransum konvensional 3
2. SEM “Standar Error Of The Treatment Means”
3. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Berat Telur
—•—PO
-■—Pl
-⅛-P2
P3
Gambar 1. Berat telur ayam selama pengamatan 28 hari dari ayam yang diberikan perlakuan
Berat telur pada perlakuan P0 adalah 61,17g (Tabel 3.). Berat telur yang mendapat perlakuan P1 2,81% nyata lebih tinggi (P<0,05), perlakuan P2 dan P3 masing – masing adalah 0,92% dan 4,36% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P0. Berat telur yang mendapat perlakuan P2 dan P3 masing – masing 3,76% dan 7,30% nyata lebih rendah Yoga, P. A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 325 – 339 Page 331
(P<0,05) dibandingkan perlakuan P1. Berat telur yang mendapat perlakuan P3 3,41 % nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan P2.
Pada hasil penelitian berat telur diketahui bahwa pada perlakuan P3 memiliki berat telur terendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga disebabkan kecernaan serat kasar yang tinggi. Dari hasil penelitian Trisnayanthi (Unpublished) bahwa perlakuan P3 memiliki kecernaan serat kasar tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 52,33%, sehingga menyebabkan menurunnya penyerapan nutrisi pada ternak yang berdampak pada berat telur ayam. Lebih lanjut dijelaskan oleh Udayana et al. (2022) bahwa kandungan serat kasar yang terlalu tinggi dapat menggangu pencernaan zat lain dan menyebabkan pemanfaatan nutrisi menjadi rendah yang mengakibatkan penurunan bobot badan yang berdampak pada berat telur yang dihasilkan. Selain itu, daya simpan juga berpengaruh terhadap berat telur, hal ini dikarenakan telur memiliki masa simpan yang terbatas. Pernyataan tersebut didukung oleh Nova et al. (2014) bahwa semakin lama penyimpanan telur maka penurunan berat telur akan semakin besar, hal ini dipengaruhi oleh penguapan CO2 dan H2O pada telur yang menyebabkan setiap penambahan masa penyimpanan perminggu maka presentase penurunan berat telur akan terakumulasi sebanyak lama penyimpanan telur tersebut. Selain hal tersebut penyimpanan telur dalam ruangan tertutup, dengan lubang ventilasi udara yang baik dan suhu ruangan yang stabil rata-rata 28oC dengan kelembaban mencapai sekitar 71% dapat membantu memperlambat penguapan senyawa-senyawa yang berada dalam telur (Setiawan et al., 2019).
Berat Jenis Telur
Gambar 2. Berat jenis telur ayam selama pengamatan 28 hari yang diberikan perlakuan
Berat jenis telur pada perlakuan P0 adalah 1,15. Berat jenis telur yang mendapat perlakuan P1 lebih tinggi 5,21% nyata lebih tinggi (P<0,05), perlakuan P2 dan P3 masing – masing adalah 2,67% dan 3,60% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P0. Berat jenis telur yang mendapat perlakuan P2 dan P3 masing – masing 8,03% dan 9,00% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P1. Berat jenis telur yang mendapat perlakuan P3 0,90% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan P2.
Pada hasil penelitian berat jenis telur perlakuan P2 dan P3 memiliki berat jenis telur lebih rendah dibandingkan perlakuan P0, sedangkan pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan P0. Kandungan protein P2 dan P3 lebih rendah 0,6% dibandingkan P0, sedangkan pada perlakuan P1 lebih tinggi 0,4% dibandingkan P0 (Tabel 3.2). Tingginya berat jenis telur disebabkan karena tingginya kandungan protein yang menyebakan berat telur meningkat (Amo et al., 2013). Selain itu, rendahnya berat jenis telur dapat dipengaruhi oleh suhu, lama penyimpanan, dan kelembaban ruangan penyimpanan. Sejalan dengan penelitian (Butcher dan Miles, 1991) yang menyatakan berat jenis telur sangat ditentukan oleh ketebalan kerabang dan kualitas dari cangkang telur tersebut.
Haugh Unit (HU)
Gambar 3. Haugh unit telur ayam selama pengamatan 28 hari yang diberikan perlakuan
Haugh unit pada perlakuan P0 adalah 62,44. Haugh unit yang medapat perlakuan P1 lebih tinggi 14,47% nyata lebih tinggi (P<0,05), perlakuan P2 dan P3 masing – masing adalah 14,07% dan 28,31% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P0. Haugh unit yang mendapat perlakuan P2 dan P3 masing – masing 30,59% dan 46,88% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P1. Haugh unit yang mendapat perlakuan P3 12,48 % nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan P2.
Pada hasil penelitian Haugh Unit perlakuan P2 dan P3 memiliki nilai Haugh Unit terendah, hal ini diduga karena penguapan CO2 dan H2O lebih besar, yang menyebabkan tinggi putih telur lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Sejalan dengan penelitian Novita (2014) menyatakan bahwa penurunan HU disebabkan penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH dan CO2. NaOH yang dibentuk akan diurai menjadi Na+ dan OH sedangkan CO2 yang dibentuk akan menguap, sehingga meningkatkan pH putih telur. Peningkatan pH tersebut akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozym yang menyebabkan kondisi putih telur menjadi encer. Lebih lanjut Muchtadi dan Sugiono (1992) menyebutkan bahwa penurunan nilai haugh unit selama penyimpanan terjadi karena penguapan air dalam telur dan kantung udara yang bertambah besar. Menurut Tugiyanti dan Iriyanti (2012) bahwa semakin tinggi putih telur ayam maka nilai haugh unit-nya semakin tinggi, dan semakin bagus kualitas telur yang dihasilkan. Menurut Wirapartha et al. (2019) faktor yang mempengaruhi Haugh Unit antara lain masa penyimpanan, tempat penyimpanan, wadah penyimpanan dan kualitas dari cangkang telurnya. Nilai haugh unit lebih dari 72-100 dikategorikan sebagai telur
berkualitas AA, haugh unit 60-72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31-60 berkualitas B dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikatagorikan kualitas C (Stadelman, 1995).
Indeks Kuning Telur
Gambar 4. Indeks kuning telur ayam selama pengamatan 28 hari yang diberikan perlakuan
Indeks kuning telur pada perlakuan P0 adalah 0,28 (Table 3). Pada perlakuan P1, P2 dan P3 Indeks kuning telur pada masing-masing perlakuan secara statistik tidak menunjukan perbedaan nyata (P>0,05) di bandingkan perlakuan P0.
Pada hasil penelitian indeks kuning telur diketahui bahwa terjadinya penurunan pada setiap minggu, akan tetapi tidak terjadinya perbedaan yang nyata. Hal ini diduga disebabkan oleh hasil kecernaan protein kasar yang tidak jauh berbeda, yang kemungkinan mengindikasikan bahwa penurunan kualitas telur disebabkan karena lamanya penyimpanan, semakin lama disimpan kualitas telur menurun (Sastrawan et al., 2020). Dari hasil penelitian juga menujukkan bahwa perlakuan P3 memiliki hasil lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya, hal ini diduga disebabkan oleh masuknya putih telur ke dalam kuning telur yang menyebabkan semakin melebarnya kantong udara yang ada di dalam telur. Hal ini sejalan dengan penelitian Romanoff dan Romanoff (1993) yang menyatakan penurunan indeks kuning telur diduga karena masuknya air dan putih telur ke dalam kuning telur, sebagai akibat adanya perbedaan tekanan osmosis antara putih telur dan kuning telur, sehingga kuning telur menjadi encer. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sarwono et al. (1994) telur akan mengalami perubahan kualitas seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan dapat mengakibatkan terjadinya penguapan cairan di dalam telur dan
menyebabkan kantung udara didalam telur semakin besar. Menurut Kusumastuti et al. (2012) menyatakan rata-rata nilai IKT yang didapat dari analisis data berkisar antara 0,36 sampai 0,46 nilai tersebut dikategorikan dalam nilai IKT normal, yaitu antara 0,33-0,50. Faktor yang memengaruhi indeks kuning telur antara lain lama penyimpanan, suhu tempat penyimpanan, dan nutrisi pakan yang berbeda pada tiap perlakuannya.
Warna Kuning Telur
Gambar 3.5 Warna kuning telur ayam selama pengamatan 28 hari yang diberikan perlakuan
Warna kuning telur pada perlakuan P0 adalah 8. Warna kuning telur yang mendapat perlakuan P1 lebih tinggi 12,5% nyata lebih tinggi (P<0,05), perlakuan P2 dan P3 masing – masing adalah 14,2% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P0. Warna kuning telur yang mendapat perlakuan P2 dan P3 masing – masing 28,5% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan P1. Warna kuning telur yang mendapat perlakuan P3 mendapat hasil yang sama dengan perlakuan P2.
Pada hasil penelitian warna kuning telur diketahui bahwa perlakuan P2 dan P3 memiliki hasil yang rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan kandungan protein, energi dan mineral pada ransum. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartono et al. (2014) tinggi rendahnya skor warna kuning telur dipengaruhi oleh pakan, semakin tinggi kandungan protein, energi dan mineral pada ransum maka kualitas kuning telur semakin baik. Pada hasil penelitian tingginya warna kuning telur P0 dan P1 disebabkan karena tingginya kandungan protein dan penambahan mineral dalam ransum. Winarno (2002) bahwa warna kuning telur dipengaruhi oleh jenis pigmen warna yang
terdapat di dalam ransum. Menurut Sihombing et al. (2014) menyatakan perbedaan warna kuning telur diduga karena perbedaan kemampuan metabolisme dari ayam dalam mencerna ransum dan perbedaan dalam menyerap pigmen xantophyl dalam ransum. Juliambarwati (2010) untuk mengetahui kualitas dari warna kuning telur perlu dilakukan pengukuran dengan menggunakan yolk colour fan dengan skala 1-15. Sudaryani (2003) menyatakan skor terbaik dari warna kuning telur berkisar antara 9-12. Hal ini selaras dengan pernyataan Muharlien (2010) bahwa semakin tinggi warna kuning telur tersebut maka semakin bagus kualitas dari telurnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, ransum konvensional P1 menghasilkan berat telur, berat jenis, haugh unit dan warna kuning telur yang lebih unggul dibandingkan dengan pemberian ransum komersial, konvensional P2 dan P3. Pada indeks kuning telur tidak terdapat perbedaan.
Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan penggunaan ransum konvensional 1 (P1) dapat diberikan kepada ayam petelur, Isa Brown untuk meningkatkan kualitas telur dari ayam petelur Isa Brown. Disarankan melakukan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan hasil yang lebih maksimal lagi sehingga dapat dijadikan acuan pada para peternak kedepannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir I Nyoman Gde Antara, M. Eng, IPU, Dekan Fakultas Peternakan Dr. Ir I Nyoman Tirta Ariana, MS., IPU Koordinator Program Studi Sarjana Peternakan Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani, S.Pt.,MP,IPM, ASEAN Eng., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Amo, M., J. L. P. Saerang, M. Najoan, dan J. Keintjem. 2013. Pengaruh penambahan tepung kunyit (Curcuma domestica val) dalam ransum terhadap kualitas telur puyuh (Coturnixcoturnix japonica). Jurnal Zootek. 33(1): 48-57.
Butcher, G. D., and D. R. Miles. 1991. Egg Spesific Gravity-Designing A Monitoring Program. Institute of Food and Agricultural Science. Florida.
Hartono T. A., A. W. Puger, dan I. M. Nuriyasa. 2014. Kualitas telur lima jenis ayam kampung yang memiliki warna bulu berbeda. Journal of Tropical Animal Science. 2(2): 153-162.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/download/18457/11964/
Juliambarwati M. 2010. Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Udang Dalam Ransum Terhadap Kualitas Telur Itik. Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Ketaren, S. 2010. Minyak dan Lemak Pangan. Edisi pertama Jakarta: Universitas Indonesia.
Kusumastuti, D. T., K. Praseno, dan T. R. Saraswati. 2012. Indeks kuning telur dan nilai haugh unit telur puyuh (Coturnix coturnix japonica L.) setelah pemberian tepung kunyit (Curcuma longa L.). Jurnal Biologi. 1(1) : 15-22.
Mampioper, A., S. D. Rumetor, dan F. Pattiselanno. 2008. Kualitas telur ayam petelur yang mendapat ransum perlakuan substitusi jagung dengan tepung singkong. Jurnal Ternak Tropika. 9(2): 42-51.
Muchtadi, D., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muharlien. 2010. Meningkatkan kualitas telur melalui penambahan teh hijau dalam pakan ayam petelur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 5(1): 32-37.
Nova, I., T. Kurtini, dan V. Wanniatie. 2014. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur ayam ras pada fase produksi pertama. Jurnal Imiah Peternakan Terpadu. 2(2): 16-21.
Novita, A. 2014. Potensi daun bandotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai bahan curing alamiah telur ayam ras. Jurnal Medika Veterinaria. 8(1): 72-75.
Rasyaf, M. 2004a. Beternak Ayam Kampung. Kanisius. Yogyakarta.
Rasyaf, M. 2004b. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
Respati, E., L. Hasanah, S. Wahyuningsih, Sehusman, M. Manurung, Y. Supriyani, dan Rinawati. 2013. Buletin Konsumsi Pangan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 4(2): 1-56.
Romanoff, A. L., and A. J. Romanoff. 1993. The avian egg. Jhon Wiley and Sons. New York.
Sarwono, B. B. Murtidjo, dan A. Daryanto. 1994. Telur, Pengawetan dan Manfaatnya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sastrawan, I P. L., I. P. A. Astawa, dan I G. Mahardika. 2020. Pengaruh suplementasi (asam amino, mineral, dan vitamin) melalui air minum terhadap kualitas telur yang disimpan sampai 21 hari. Journal of Tropical Animal Science. 8(1): 189-201.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/60478/35013
Scott, M. L., M. C. Nesheim, and R.J. Young 1982. Nutrition of the Chicken. 3rd Ed. London: Mc. Grow-Hill Book Co. Inc.
Sihombing, R., T. Kurtini, dan Nova. 2014. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur ayam ras pada fase ke dua. Jurnal Imiah Peternakan Terpadu. 2(2): 8186.
Stadelman, W. J., and O. J. Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. New York: Avi. Publishing Co. Inc. New York
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tugiyanti, E., dan N. Iriyanti. 2012. Kualitas eksternal telur ayam petelur yang mendapat ransum dengan penambahan tepung ikan fermentasi menggunakan isolat prosedur antihistamin. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1(2): 44-47.
Udayana, P. W. K., I. P. A. Astawa, dan I G. Mahardika. 2022. Kecernaan ransum ayam broiler yang diberikan asam amino lysine dan methionin melalui air minum pada kandang close house. Journal of Tropical Animal Science. 10(2): 258-272.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/86074
Winarno, F. G. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.
Wirapartha, M., K. A. Wiyana, G. A. M. Kristina Dewi, Dan I W. Wijana. 2019. Pengaruh Tray Karton, Kayu Dan Kawat Terhadap Kualitas Telur Ayam Isa Brown Yang Disimpan Pada Suhu Kamar. Majalah Ilmiah Peternakan. 22(1): 1-4.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yoga, P. A. A., J. Peternakan Tropika Vol. 11 No. 2 Th. 2023 : 325 – 339 Page 339
Discussion and feedback