STILISTIKA

Journal of Indonesian Language and Literature

ISSN: 2808-8336

Vol.01, No.02: April 2022, pp-99-116.

PERUBAHAN BUNYI BAHASA INDONESIA

DALAM PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 3-4 TAHUN DI DESA JAGARAGA, KECAMATAN KURIPAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

Harani¹, I Nyoman Suparwa², dan I Wayan Teguh² Universitas Udayana

*Surel: [email protected]

doi: https://doi.org/10.24843/STIL.2022.v01.i02.p09

Artikel dikirim: 25 Januari 2022; Diterima: 25 Februari 2022

INDONESIAN SOUND CHANGE

IN LANGUAGE ACQUISITION IN CHILDREN AGED 3—4 YEARS IN JAGARAGA VILLAGE, KURIPAN DISTRICT, LOMBOK BARAT REGENCY: A PSYCHOLINGUISTIC STUDY

Abstract. This study entitled "Changes in Indonesian Language Sounds in Language Acquisition in Children Age 3-4 Years, in Jagaraga Village, Kuripan District, West Lombok Regency: A Psycholinguistic Study" which discusses changes in sounds that occur in the speech of children aged 3-4 years and the cause of the change in sound. In this study, researchers focused more on children who use Indonesian as their first language or mother tongue. Children's language development starts from the family and largely depends on the attention of parents and those around them. Language acquisition is associated with mastering a language without being based directly, that is, without going through formal education to teach it. This study uses a descriptive qualitative method, because the data studied are in the form of words not numbers, namely the observation/interview method with qualitative analysis techniques and the presentation of the results of data analysis is carried out using formal and informal methods (Sudaryanto, 2014: 214).The results of this study indicate that the types of sound changes found in the speech of children aged 3-4 years are assimilation, vocal modification, neutralization and zeronization and anaptiksis. Sounds that experience changes in the speech of children aged 3-4 years are dominated by sound [r] and sound [s]. This is because the growth of the articulatory organ in children is not perfect, causing children to have difficulty pronouncing sounds. This case is often referred to as lisp, which is a condition where a person has difficulty pronouncing certain letters or words correctly (Halodoc, 2018). There are internal factors and external factors that influence the cause of sound changes in children aged 3-4 years.

Keywords : Perubahan Bunyi Bahasa; Psikolinguistik

PENDAHULUAN

Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang sudah dimiliki manusia sejak lahir. Bahasa merupakan alat komunikasi yang diperoleh manusia sejak lahir. Pada awal bayi dilahirkan belum memiliki kemampuan berbicara. Perkembangan bahasa anak dimulai sejak usia dua tahun dan secara khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, meskipun dalam pengucapannya belum sempurna, bahkan hanya menyebut suku kata terakhir dari kata yang diucapkan tersebut.

Perkembangan bahasa anak dimulai dari keluarga dan sebagian besar bergantung pada perhatian orang tua dan orang sekitarnya. Oleh karena itu, pengembangan kemampuan berbahasa di antara anak-anak yang dimulai dari lingkungan keluarga akan sangat bermanfaat. Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan suatu bahasa tanpa didasari secara langsung, yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal untuk mengajarinya.

Bahasa pertama yang didapatkan oleh anak-anak adalah bahasa ibu atau bahasa daerah di mana anak tersebut lahir dan dibesarkan. Sangat jarang ditemukan orang tua mengajarkan anak-anaknya berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai awal pekembangan bahasa anak.

Menurut Gleason dan Ratner (1998), dalam psikolinguistik ada tiga hal dalam pemerolehan bahasa anak, yaitu (1) bagaimana orang memahami proses komunikasi dalam suatu bahasa, (2) bagaimana orang menghasilkan bahasa dengan menggunakan stimulasi bahasa untuk menganalisis bentuk kesalahan, dan (3) bagaimana merespons ujaran yang didengar. Namun lebih sulit untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana konsep yang dibentuk dalam bahasa.

Pemerolehan bahasa anak diikuti oleh perkembangan pralinguistik yang dimulai sejak lahir sampai pada usia satu tahun. Mulai tahun kedua anak dapat menuturkan satu dan dua kata sampai pada umur satu setengah tahun, kemudian gabungan kata dapat diujarkan dari umur satu setengah tahun sampai umur dua tahun.Anak semakin menyadari bahwa kata-kata yang diujarkan mempunyai makna dalam pemerolehan kata dan dapat membuat pertanyaan-pertanyaan tentang nama-nama benda yang ada di sekitarnya (Tarigan, 1988:79).

Bahasa ibu merupakan padanan untuk istilah Inggris native language, yaitu satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah oleh anak dari ibu atau keluarga. Bahasa ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu (atau biasa disebut bahasa sang ibu), tetapi mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.

Ciri-ciri khusus bahasa sang ibu adalah kalimatnya pendek-pendek, nada suara biasanya tinggi, intonasinya agak berlebihan, laju ujaran agak lambat, banyak reduplikas (pengulangan), dan banyak memakai kata-kata sapaan. Adapun contoh kosakata yang diperoleh anak yang diajarkan oleh ibunya dalam bahasa sasak, seperti ‘boo’ yang berarti

‘anjing’, ‘momok yang berarti minum, ‘nak’ yang berarti ‘inak’ (bahasa sasak), berarti ibu (bahasa Indonesia) dan sebagiannya.

Menurut Danim (2010) kemampuan bahasa juga mengalami perbaikan selama anak usia dini. Bahasa merupakan hasil dari kemampuan seorang anak untuk menggunakan dan memaknai simbol-simbol, sesuai dengan tingkat penalaran mereka.Jadi, sebagai otak manusia mengembangkan dan memperoleh kapasitas untuk berpikir representasional, anak-anak juga memperoleh dan memperbaiki kemampuan bahasa. Beberapa peneliti, seperti Roger Brown, telah mengukur perkembangan bahasa dengan jumlah rata-rata kata dalam kalimat yang dikuasai oleh anak.Semakin banyak anak menggunakan kata-kata dalam kalimat, semakin canggih perkembangan bahasa anak. Brown berkesimpulan bahwa bahasa berkembang secara bertahap berurutan: ujaran, frasa dengan nada, kalimat sederhana dan kalimat kompleks.

Pada kenyataannya anak-anak usia 34 tahun masih belum sempurna alat ucapnya sehingga mengalami perubahan bunyi dalam bertutur. Hal itu dapat dilihat melalui ucapan anak itu pada saat anak itu berbicara atau bertutur pada mitra tuturnya. Untuk itu penulis akan melakukan penelitian terhadap perubahan bunyi bahasa Indonesia dalam memperoleh bahasa pada tuturan anak usia 34.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini digunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, karena data yang diteliti berupa kata-kata bukan angka. Menurut Sukadiman (2006:72), pengertian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berbentuk aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan anatara fenomena yang satu dengan fenomena yang lain.

Waktu penelitian ini adalah satu titik tertentu, subjeknya lebih dari satu orang, dan topiknya sudah ditentukan, yang disebut dengan penelitian cross-sectional. Topik yang dipilih bukanlah topik yang menyangkut perkembangan anak, tetapi kemampuan yang sesaat itu. Dalam penelitian ini, anak dibiarkan berbahasa secara natural di tempat yang tidak khusus disediakan. Tetapi di manapun anak itu berada, misalnya di kamar mandi, di pasar, dan lain sebagainya.

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006:129). Sumber data dalam penelitian ini adalah perubahan bunyi tuturan anak usia 3—4 tahun. Penelitian ini meneliti anak yang berada di lingkungan Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.

Penelitian ini mengambil data dari keseluruhan kepala keluarga yang memiliki anak usia 3—4 tahun yang berada di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yang digunakan anak. Lokasi utama penelitian ini adalah Dusun Beremi, Dusun Dasan

Geres dan Dusun Tegal. Daerah tersebut dianggap sebagai lokasi utama karena masyarakat yang tinggal di dusun tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang diajarkan kepada anak pada usia dini. Data dalam penelitian ini adalah berupa kutipan-kutipan ungkapan atau kata-kata yang mengandung unsur perubahan bunyi bahasa Indonesia pada tuturan anak usia 3—4 tahun yang berada di Desa Jagaraga.

Metode Observasi adalah pengumpulan data dengan cara mengamati atau meninjau secara cermat dan langsung di lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi yang terjadi atau membuktikan kebenaran dari sebuah desain penelitian yang sedang dilakukan. Dalam penelitian ini diobservasi tuturan anak usia 3—4 tahun. Dan metode cakap/wawancara yaitu cara mendapatkan informasi yang dilakukan dengan tanya jawab antara peneliti dengan responden untuk mendapatkan data yang diperlukankan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik catat, teknik rekam, dan teknik simak. Teknik catat adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data. Teknik rekam adalah teknik yang dapat digunakan pada saat penerapan teknik cakap semuka. Teknik ini bersifat melengkapi penyediaan data denga teknik catat. Maksudnya, apa yang dicatat itu dapat dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan (Mahsun, 2007:132). Dan teknik simak adalah mendengarkan dan memahami tentang apa yang diucapkan oleh responden. teknik simak ini melibatkan peneliti berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan. Jadi, peneliti terlibat langsung dalam dialog dan informasi. Dalam hal ini, keikutsertakan peneliti dapat aktif dan reseptif, (Sudaryanto, 2015:205). Dalam penelitian ini, peneliti tergolong kedalam penelitian reseptif. Artinya, peneliti mendengarkan percakaan ibu dengan anaknya pada proses pemerolehan bahasa.

Dalam menganalisis data dgunakan teknik analisis kualitatif. Teknik ini dilakukan secara khusus dari data yang diperoleh melalui pengamatan dan simak libat cakap pada keluarga yang memiliki anak berusia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat. Teknik ini bersifat deskritif yang bertujuan menguraikan dan menjelaskan sifat karakterisitik responden yang telah diperoleh.

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan bentuk yang umum dikenal sebagai tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 2014:214). Metode ini digunakan untuk menjabarkan bunyi-bunyi secara fonetis dalam kosakata yang dilafalkan oleh anak berusia 3—4 tahun. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 2015:214). Metode informal digunakan uuntuk mendeskripsikan data yang telah dijabarkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data, ditemukan tiga jenis kosakata yang diajarkan ibu kepada anak balita di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat yaitu nomina, verba dan adjektiva. Nomina, verba dan adjektiva yang diajarkan

mengguakan bahasa Indonesia. Namun tidak semua anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pertamanya. Sebagia besar dari mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Hal ini disebabkan karena Desa Jagaraga masih terbilang sebagai daerah bukan perkotaan. Nomina, Verba, dan Adjektiva yang diajarkan menggunakan bahasa Indonesia, Bahasa Sasak (bahasa daerah), dan ada juga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sasak (bahasa campuran Indonesia-Sasak). Untuk mempermudah mengetahui kosakata yang diajarkan ibu kepada anak balita usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, dijabarkan dalam bentuk tabel.

Tabel 1. Kosakata yang Diajarkan Ibu kepada Anak Usia 3—4 Tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Loambok Barat

Nama Dusun

Jumlah

Jumlah dan presentae Bahasa yang Digunakan untuk Menyebutkan Nomina, Verba dan Adjektiva

BI (%)

BS (%)

BC (%)

Beremi

50

10(20%)

34 (68%)

6 (12%)

Tegal

80

12 (15%)

48 (60%)

20 (25%)

Dasan Geres

25

3 (12%)

19 (76%)

3 (12%)

Keterangan:

BI = Bahasa Indonesia

BS = Bahasa Sasak

BC = Bahasa Campuran

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa bahasa yang digunakan di Dusun Beremi, yaitu 10 (20%) menggunakan bahasa Indonesia, 34 (68%) menggunakan bahasa Sasak, dan 6 (12%) menggunakan bahasa Campuran. Bahasa di Dusun Tegal, yaitu 12 (15%) menggunakan bahasa Indonesia, 48 (60%) menggunakan bahasa Sasak, dan 20 (25%) menggunakan bahasa Campuran. Dan bahasa yang digunakan di Dusun Dasan Geres, yaitu 3 (12%) menggunakan bahasa Indonesia, 19 (76%) menggunakan bahasa Sasak, dan 3 (12%) menggunakan bahasa Campuran. Dari jumlah keseluruhan anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, terdapat 25 anak yang menggunakan bahasa Indonesia sebahagai bahasa pertama atau bahasa ibunya. Sehingga peneliti menggunakan 25 anak tersebut sebagai sampel penelitian.

Kosakata yang diajarkan ibu kepada anak di Desa Jagaraga Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, sesuai dengan hasil yang diperoleh di lapangan. Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh sang ibu dipengaruhi oleh faktor keturunan, status sosial dan lingkungan dimana anak tersebut dibesarkan. Kosakata-kosakata yang telah diajarkan ibu kepada anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat dijabarkan di bawah ini.

  • 1.    Jenis-jenis Perubahan Bunyi Bahasa Indonesia

Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa Asimilasi, Desimilasi, Modifikasi vokal. Netralisasi, Zeroisasi, Metatesis, Diftongisasi, Monoftongisasi, dan anaptiksis. Dari data yang di peroleh di lapangan, peneliti menemukan jenis perubahan bunyi yang tejadi pada penuturan anak usia 3—4 tahun. Jenis-jenis perubahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

  • 1.1    Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Dari data yang diperoleh dari lapangan, kosakata yang mengalami asimilasi dapat dijabarkan sebagai berikut.

Tabel 2. Data Kosakata yang Mengalami Perubahan Asimilasi

Data

Kata Asal

Setelah terjadi Asimilasi

Arti

[01]

[ buʷah ]

[ buʷa? ]

[ buah ]

[02]

[ dəŋar ]

[ dəŋal ]/ [dəŋah”

[ dengar ]

[03]

[ makan ]

[ maŋan ]

[ makan ]

[04]

[ tidʊr ]

[ tidəm ]/ [tidʊl]

[ tidur ]

[05]

[ baru ]

[ bəru ]/ [balu]

[ baru ]

[06]

[ basah ]

[ basa? ]

[ basah ]

[07]

[ bulat ]

[ bulət ]

[ bulat ]

[08]

[ jaʊh ]

[ jao? ]

[ jauh ]

[09]

[ kəcil ]

[ kodek ]

[ kecil ]

[10]

[ licin ]

[ lolat ]

[ licin ]

[11]

[ pənuh ]

[ pəno? ]

[ penuh ]

Pada data [01] terdapat kata asal ‘buah’berubah bunyi menjadi “buaq” setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem “h” dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem “q” dalam bahasa sasak.

Pada data [02] terdapat kata asal ‘dengar’ berubah bunyi menjadi ‘dengah’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘r’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘h’ dalam bahasa sasak. . Sedangkan dalam peneyebutan anak usia 3-4 tahun kata ‘dengar’ berubah bunyi menjadi ‘dengal’ dimana fonem ‘r’ mengalami asimilasi menjadi fonem ‘l’ .

Pada data [03] terdapat kata asal ‘makan’ berubah bunyi menjadi ‘mangan’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘k’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘ng’ dalam bahasa sasak.

Pada data [04] terdapat kata asal ‘tidur’ berubah bunyi menjadi ‘tidem’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘u’ dan fonem ‘r’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘e’ dan fonem ‘m’ dalam bahasa sasak. Sedangkan dalam peneyebutan anak usia 3—4 tahun kata ‘tidur’ berubah bunyi menjadi “tidul” dimana fonem ‘r’ mengalami asimilasi menjadi fonem ‘l’.

Pada data [05] terdapat kata asal ‘baru’ berubah bunyi menjadi ‘baru’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘a’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘e’ dalam bahasa sasak. Sedangkan dalam peneyebutan anak usia 3-4 tahun kata ‘baru’ sebelum terjadi asimilasi berubah bunyi menjadi ‘balu’ dimana fonem ‘r’ mengalami asimilasi menjadi fonem ‘l’.

Pada data [06] terdapat kata asal ‘basah’ berubah bunyi menjadi ‘basaq’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘h’dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ’q’dalam bahasa sasak.

Pada data [07] terdapat kata asal ‘bulat’ berubah bunyi menjadi ‘bulet setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘a’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘e’ dalam bahasa sasak.

Pada data [08] terdapat kata asal ‘jauh’ berubah bunyi menjadi ‘jao?’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘u’ dab fonem ‘h’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘o’ dan fonem ‘?’ dalam bahasa sasak.

Pada data [09] terdapat kata asal ‘kecil’ berubah bunyi menjadi ‘kodek’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘e’ , fonem ‘c’,

fonem ‘i’ dan fonem ‘l’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘o’, fonem ‘d’, fonem ‘e’ dan fonem ‘k’ dalam bahasa sasak.

Pada data [10] terdapat kata asal ‘licin’ berubah bunyi menjadi lolat setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘i’, fonem ‘c’, fonem ‘n’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘o’, fonem ‘l’, fonem ‘a’, dan fonem ‘t’dalam bahasa sasak.

Pada data [11] terdapat kata asal ‘penuh’ sebelum terjadi asimilasi berubah bunyi menjadi ‘penoq’ setelah terjadi asimilasi karena perubahan fonem ‘u’, dan fonem ‘h’ dalam bahasa indonesia berubah menjadi fonem ‘o’dan fonem ‘?’ dalam bahasa sasak.

  • 1.2    Modifikasi Vokal

Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat daripengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas,               maka               perlu               disendirikan.

Tabel 3. Data Kosakata yang Mengalami Modifikasi Vokal

Data

Kata Asal

Setelah terjadi Modifikasi Vokal

Arti

[01]

[ daun ]

[ dədaun ]

[ daun ]

Pada data [01] terdapat kata asal ‘daun’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘dedaun’ dalam bahasa sasak setelah terjadi modivikasi vokal karena penambahan fonem ‘de’ di awal kata.

  • 1.3    Netralisasi

Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan.

Table 4. Data Kosakata yang Mengalami Netralisasi

Data

Kata Asal

Setelah terjadi Netralisasi

Arti

[01]

[ makan ]

[ maŋan ]

[ makan ]

Pada data [01] terdapat kata asal ‘makan’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘mangan’ dalam bahasa sasak setelah terjadi netralisai karena perubahan fonem ‘k dalam bahasa indonesia’ pada posisi tengah menjadi fonem ‘ng’ dalam bahasa sasak.

  • 1.4    Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asalkan saja tidak menggangu proses dan tujuan komunikasi Tabel 5. Data Kosakata yang Mengalami Zeroisasi

Data

Kata Asal

Setelah terjadi Zeroisasi

Arti

[01]

[ bərhituŋ ]

[ bərɛtuŋ ] / [bəhituŋ]

[ berhitung ]

[02]

[ bərɳaɳi ]

[ bəɳaɳi ] / [ bəlɳaɳi ]

[ bernyanyi ]

[03]

[ hidʊɳ ]

[ idoɳ ]

[ hidung ]

Pada data [01] terdapat kata asal ‘berhitung’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘beretung’ dalam bahasa sasak setelah terjadi zeronisasi karena perubahan fonem ‘i’ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem ‘e’ dalam bahasa sasak, sedangkan dalam penyebutan pada anak usia 3—4 tahun fonem ‘r’ pada imbuhan ‘ber-‘ seetelah mengalami zeronisasi berubah menjadi fonem ‘l’ (bel-).

Pada data [02] terdapat kata asal ‘bernyanyi’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘benyenyi’ dalam bahasa sasak setelah terjadi zeroisasi karena perubahan fonem ‘a’ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem ‘e’ dalam bahasa sasak. Sedangkan dalam penyebutan pada anak usia 3—4 tahun fonem ‘r’ pada imbuhan ‘ber-‘ luruh setelah mengalami zeroisasi berubah menjadi ‘be’

Pada data [03] terdapat kata asal ‘hidung’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘idong’ dalam bahasa sasak setelah terjadi zeroisasi karena perubahan fonem ‘u’ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem ‘o’ dalam bahasa sasak, sedangkan dalam penyebutan pada anak usia 3—4 tahun fonem ‘h’ luruh setelah mengalami zeroisasi.

  • 1.5    Anaptiksis

Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambah bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk mempelancar ucapan.

Tabel 6. Data Kosakata Yang mengalami Anaptiksis

Data

Kata Asal

Setelah terjadi Anaptiksis

Arti

[01]

[ sapi ]

[ səmpi ]

[ sapi ]

[02]

[ mandi ]

[ məndI? ]

[ mandi ]

Pada data [01] terdapat kata asal sapi’ berubah bunyi menjadi ‘sempi’ setelah mengalami proses anaptiksis. Terdapat penambahan fonem [m] pada tengah kata.

  • 2.    Bunyi-Bunyi yang Sering Berubah

Adapun teori yang digunakan untuk menganalisis bunyi-bunyi yang sering berubah pada tuturan anak ada dua, teori yang pertama yaitu perubahan bunyi bahasa dimana dalam wikipedia gangguan bunyi bahasa adalah gangguan bicara dimana bunyi bahasa (yang disebut fonem) tidak mampu diucapkan, atau tidak digunakan secara benar oleh penutur bahasa ibu yang bersangkutan. Gangguan ini dapat terjadi baik pada anak kecil maupun orang dewaa. Inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan bunyi bahasa. Teori kedua yaitu ciri umum perubahan bunyi. Kesalahan pengucapan yang dilakukan oleh anak-anak yang mengidap ganggua bunyi bahasa biasanya diklasifikasikan kedalam empat kategori, yaitu Omisi, Adisi (comisi), Distorsi dan Substitusi.

Berdasarkan data penelitian yang telah ditemukan dilapangan, peneliti akan menjabarkan data-data yang mengalami perubahan bunyi dalam penuturan anak usia 3—4 tahun. Dari kemepat kategori ciri perubahan bunyi, terdapat dua kategori yang akan dijabarkan yaitu distorsi dan substitusi sesuai dengan data yang telah diperoleh di lapangan. Hal ini dikarenakan data yang diperoleh dari tuturan anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat sangat terbatas. Data tersebut diantaranya sebagai berikut.

Tabel 7. Data Kosakata Yang mengalami Perubahan Bunyi

Data

Kosakata

Ciri  Perubahan

Bunyi ‘Distorsi’

Ciri Perubahan

Bunyi

‘Substitusi’

Bunyi      ynag

Berubah

[01]

basah

bacah

s – c

[02]

bəsar

becal

becal

s – c / r – l

[03]

burʊŋ

buʸʊŋ

r - ʸ

[04]

pərut

ʸut

r - ʸ

[05]

dəŋar

dəŋal

r – l

[06]

dorɔŋ

dolɔŋ

r – l

[07]

bərdiri

bəldili

r – l

[08]

bərhiʈ

bəlhiʈ

r – l

[09]

bərjalan

bəljalan

r – l

[10]

bərmain

bəlmain

r – l

[11]

bərɳaɳi

bərɳaɳi

r – l

[12]

bərisIk

bəlisIk

r – l

[13]

baru

balu

r – l

[14]

bənar

bənal

r – l

[15]

bəsar

bəsal

bəsal

r – l / s -c

[16]

burʊ?

buʸʊ?

r – ʸ

[17]

kərIɳ

ʸIɳ

r – ʸ

[18]

kotɔr

kotɔl

r – l

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa bunyi-bunyi yang sering berubah didominasi oleh fonem ‘r’ yang digantikan oleh fonem ‘l’ atau ‘ʸ’. Kasus ini sering disebut cadel. Cadel adalah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam melafalkan beberapa huruf atau kata tertentu dengan benar (Halodoc, 2018). Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, 16 dari 20 anak mengalami kesulitan mengucapkan fonem ‘r’. Dan dari 16 anak tersebut terdapat 3 anak dalam pelafalan fonem ‘r’ berubah menjadi fonem ‘y’, dan 11 dari 16 anak yang mengalami kesulitan pengucapan fonem ‘r’ berubah menjadi fonem ‘l’, sedangkan 7 dari 20 anak mengalami kesulitan dalam pengucapan fonem “s” berubah menjadi fonem “c”.

  • 3.    Penyebab Perubahan Bunyi

Adapun teori yang digunakan untuk menganalisis penyebab yang mempengaruhi perubahan bunyi bahasa Indonesia kepada anak usia 3—4 tahun, yaitu ada dua. Teori pertama yaitu teori perkembangan anak. Dalam teori

perkembangan anak digunakan pandangan nativisme. Nativisme atau mentalisme berpendapat bahwa selama proses pemerolehan bahasa pertama, anak-anak sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya secara genetis telah diprogramkan. Oleh karena itu, nativisme tidak menanggapi bahwa bahasa merupakan pemberian biologis ‘hipotesis pemberian alam’. Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa sangat kompleks dan ruit sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode peniruan (Chaer, 2003:222).

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan dua faktor yang mempengaruhi penyebab perubahan bunyi bahasa pada usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, yaitu faktor eksternal dan fakroe internal. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan. Sedangkan faktor internal meliputi kondisi fisik pada anak meliputi alat ucap atau articulator baik aktif (contohnya lidah dan bibir) dan pasif (contohnya gigi, langit-langit dsb), dan faktor kondisi alat indra.

  • 3.1    Faktor Eksternal

Faktor ekternal meliputi faktor lingkungan, dimana faktor ini sangat besar mempenngaruhi proses pengajaran kosakata bahasa ibu kepada anak balita. Jika bahasa kedua dipengaruhi oleh faktor lingkungan formal, beda halnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang hanya di pengaruhi oleh lingkungan informal. Lingkungan informal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan tetangga dan lingkungan teman sepermainan. Anak akan cenderung mengikuti sesuatu yang menurut mereka menarik rasa keingintahuannya. Oleh karena itu, lingkungan ini sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasian memperoleh bahasa pertama.

Dalam proses pemerolehan bahasa ini anak cenderung melakukan hal-hal yang membuat mereka tidak fokus dalam penerimaan kosakata. Adapun hal-hal penghambat yang dilakukan anak saat ibu mengajarkan kosakata, seperti di bawah ini.

  • 1.    Tidak menurut

Perilaku ini sangat jelas terlihat ketika proses pengjaaran kosakata oleh ibu kepaa anak seang berlangsung. Periaku ini diperlihatkan anak ketika anak sudah merasa bosan dalam berkominikasi untuk memperoleh kosakata yang baru.

  • 2.    Sering Menentang

Perilaku ini dilakukan anak saat sedang asik bermain atau sedang tidak ingin mendengarkan ibunya. Hal ini sangat besar pengaruhnya dalam memnghambat pengajaran bahasa agar mudah dipajami oleh anak.

  • 3.    Susah untuk berkomunikasi

Perilaku ini sering peneliti temukan ketika sedang mengajak anak untuk berkomunikasi. Anak terkesan malu untuk berbicara karena lawan bicaranya merupakan orang asing yang batu pertama mereka lihat yang menyebabkan susahnya untuk berkomunikasi. Perilaku ini juga dilakukan anak ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya dan tidak ingin diganggu. Perilaku ini sering kali diperlihatkan anak ketika pengajaran bahasa dilakukan pada waktu sore hari karena merupakan waktu bagi anak untuk bermain dengan teman-temannya. Oleh karena itu, dalam pemerolehan bahasa ibu cenderung menggunakan waktu anak selesai mandi atau sedang waktu akan tidur.

  • 3.2    Faktor Internal

Faktor internal memiliki dampak yang besar terhadap perubahan bunyi bahasa pada anak. Faktor ini meliputi kondisi fisik pada anak meliputi alat ucap atau articulator baik aktif (contohnya lidah dan bibir) dan pasif (contohnya gigi, langit-langit dsb), dan faktor usia.

Gangguan fisik pada anak berdampak besar terhadap perubahan bunyi yang dihasilkan oleh anak. Gangguan ini ada yang bersifat sementara yaitu terjadi ketika anak masih berusia 1 tahun sampai usia 4 tahun. Dan ketika anak berusia 5 tahun keatas kondisi fisik dari anak sudah mengalami perekembangan dengan baik sehingga ganggua tersebut hilang sejalan dengan perkembangan fisik pada anak. Namun ada juga yang bersifat permanen yaitu gangguang yang terjadi dari usia satu tahun hingga dewasa. Hal ini terjadi akibat dari karena fisik anak yang tidak berkembang dengan baik hingga mereka dewasa.

Beberapa dari gangguan fisik tersebut, sebagai berikut.

Berdasarkan hasil yang didapat dari lapangan, faktor fisik yang mendominasi terjadinya perubahan bunyi pada tuturan anak adalah faktor cadel atau kondisi pada organ mulut, seperti gigi yang belum sempurna pertumbuhannya. Dari kondisi di lapangan, terdapat kondisi gigi anak yang ompong, sehingga dalam pelafalan terjadi perubahan huruf-huruf tertentu.

Faktor yang kedua yaitu faktor usia. Faktor ini sangat berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan organ mulut pada anak. Dalam pemerolehan bahasa pertama pada anak. Usia menentukan kelancaran dalam pelafalan huruf-huruf dengan benar. Pada usi 3—4 tahun anakmasih mengalami kesulita dalam mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. Keterbatasan ini berpengaruh terhadap perubahanbunyi yang terjadi dalam pelafalan.

Dari faktor-faktor yang telah dijabarkan diatasa sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak dalam mengucapkan bunyi-bunyi suara. Semakin sempurna pertumbuhan organ mulut pada anak, semakin sempurna juga bunyi yang dihasilkan. Dan semakin bertambahnya usia pada anak makan semakin jelas pula bunyi-bunyi suara yang dihasilkan. Perkembangan fisik pada anak sangat berpengaruh besar terhadap kemampuan anak mengucapkan bunyi-bunyi suara.

Dalam pemerolehan bahasa ini anak cenderung melakukan hal-hal yang membuat tidak fokus dalam penerimaan kosakata. Adapun hal yang dilakukan anak usia 3-4 tahun saat pemerolahan bahasa, yaitu seperti berikut.

  • a.    Rasa ingin tahu yang besar

  • b.    Hiperaktif

  • c.    Susah diberi tahu

  • d.    Menangis, dan

  • e.    Berbicara kurang jelas

SIMPULAN

Berdasarkan analisi pada bab IV diperoleh tiga simpulan dalam penelitian ini. Ketiga simpulan tersebut adalah sebagai berikut.

  • 1.    Dalam pemerolehan bahasa ibu pada anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat ditemukan tiga kategori kosakata yang diajarkan ibu kepada anaknya, yaitu nomina, verba dan adjektiva. Hal ini disebabkan oleh bahasa ibu berupa kalimatnya pendek-pendek, nada suara biasanya tinggi, intonasi agak berlebihan, laju ujaran agak lambat, banyak pengulangan, dan

banyak memakai kata sapaan. Oleh karena itu, kata yang diperoleh anak saat pemerolehan bahasa adalah kata inti (nomina, verba dan adjektiva), dan belum menggunakan kata bantu atau konjungsi. Dari tiga kategori tersebut, terdapat lima jenis perubahan bunyi yang terjadi dalam pelafalan yang dituturkan oleh anak dalam pemerolehan bahasa pertamanya, yaitu asimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi dan anaptiksis. Kelima jenis perubahan tersebut ditentukan dari kosakata yang diperoleha anak dalam pemerolehan bahasa pertamanya masih sangat terbatas. Salah satu contoh kosakata pada anak yang mengalami perubahan asimilasi adalah kata ‘dengar’ dimana dalam pelafalan anak usia 3—4 tahun berubah menjadi kata [dengal] dimana fonem [r] pada posisi akhir dilafalkan menjadi fonem [l]. Salah satu contoh kosakata pada anak usia 3—4 tahun mengalami modifikasi vokal adalah kata ‘daun’ dalam bahasa Indonesia berubah bunyi menjadi ‘dedaun’ dalam bahasa sasak setelah terjadi modivikasi vokal karena penambahan fonem ‘de’ di awal kata. Salah satu contoh kosakata yang mengalami perubahan netralisasi adalah kata asal ‘makan’ dalam bahasa indonesia berubah bunyi menjadi ‘mangan’ dalam bahasa sasak setelah terjadi netralisai karena perubahan fonem ‘k dalam bahasa Indonesia’ pada posisi tengah menjadi fonem ‘ng’ dalam bahasa Sasak. Salah satu contoh kosakata yang mengalami perubahan zeroisasi adalah kata ‘berhitung’ dalam bahasa Indonesia berubah bunyi menjadi ‘beretung’ dalam bahasa Sasak setelah terjadi zeroisasi karena perubahan fonem ‘i’ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem ‘e’ dalam bahasa Sasak, sedangkan dalam penyebutan pada anak usia 3—4 tahun fonem ‘r’ pada imbuhan ‘ber-‘ seetelah mengalami zeroisasi berubah menjadi fonem ‘l’ (bel-). Dan salah satu contoh kosakata yang mengalami perubahan anaptiksis adalah kata ‘sapi’ berubah bunyi menjadi ‘sempi’ setelah mengalami proses anaptiksis. Terdapat penambahan fonem [m] pada tengah kata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagain besar kosakata yang diajarkan ibu pada anak mengalami perubahan-perubahan bunyi yang didominasi oleh perubahan asimilasi.

  • 2.    Bunyi-bunyi yang sering berubah pada tuturan anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat didominasi oleh bunyi [r] berubah menjadi bunyi [l] atau bunyi [y] saat dilafalkan oleh anak usia 3—4 tahun. Kondisi ini sering disebut dengan cadel. Adapun bunyi yang juga mengalami perubahan yaitu bunyi [s] yang berubah menjadi bunyi [c] dan bunyi [i] yang berubah menjadi bunyi [e]. Dari keemepat kategori ciri perubahan bunyi, terdapat dua kategori yang akan dijabarkan yaitu distorsi dan substitusi sesuai dengan data yang telah diperoleh di lapangan.

  • 3.    Penyebab yang memperngaruhi perubahan bunyi bahasa Indonesia pada tuturan anak usia 3—4 tahun di Desa Jagaraga, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dalam hal ini faktor yang menyebabkan perubahan bunyi paling banyak di pengaruhi oleh internal, Faktor internal memiliki dampak yang besar terhadap perubahan bunyi bahasa pada anak. Faktor ini meliputi kondisi fisik pada anak meliputi alat ucap atau artikulator baik aktif (contohnya lidah dan bibir) maupun pasif (contohnya gigi, langit-langit dsb), dan faktor usia. Gangguan fisik pada anak berdampak besar terhadap perubahan bunyi yang dihasilkan oleh anak. Gangguan ini ada yang bersifat sementara yaitu terjadi ketika anak masih berusia 1 tahun sampai usia 4 tahun. . Adapun hal yang dilakukan anak usia 3—4 tahun saat pemerolahan bahasa, yaitu seperti rasa ingin tahu yang besar, hiperaktif, Susah diberi tahu, menangis, dan, berbicara kurang jelas

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. d.2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Annisa, S. R.2016. Penguasaan Leksikan pada Anak Balita di TK dan PAUD Tunas Kori Dharma:Kajian Psikolingistik”(Skripsi). Denpasar: Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Bauman-Waengler, Jacqueline 2004. Articulatory and Phonological Impairments: A Clinical Focus (2cd ed)Chaer, A.1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A.2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A.2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian dan Pebelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A.2021. Linguistik Umum. Jakarta: Balai Pustala.

Chomsky, N.1974. Reflections of Language. New York : Pantheon Books.

Dardjowidjojo, S.2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Gleason, J. B.1998. Psycholinguistic. Orlando: Harcourt Brace College.

Herlina.2016. “Pemerolehan Fonologi pada Anak Usia Dua Tahun Dua Bulan( Skripsi)". Jakarta: Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Hurlock, E.1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Krissanjaya.1998. Teori Belajar Bahas, Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta: IKIP Jakarta.

Lestari, D. W. (2013). Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia pada Anak Usia 2-3 Tahun Melalui Permainan dan Nyanyian. Medan: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

Meilan, A. (2014). “Pemerolehan Bahasa Anak (Kajian Psikolinguistik)"( Skripsi). Semarang: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indoensia, Fakuktas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Sultan Agung.

Muslich, M. (2009). Perubahan Bunyi dalam Bahasa Indonesia. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negri Malang.

Simanjuntak, M. (1987). Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan ustakan Kementrian Pelajaran Malaysia.

Skinner, B. (1969). Contingecies of Reinforcement. New York: Appleton Century Crofts.

Soedjito. (2009). Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto. (1998). Metode Linguistik Bagian Kedua:Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada Universita Perss.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Budaya Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Universitas Press.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABET.

Tarigan, H. G. (1988). Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung.

Tarigan, H. G. (2009). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa Bandung.

Widjajanti, W. D. (2009). Teori Kemampuan Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak.

Denpasar: Udayana University Perss.

PROFIL PENULIS

Harani adalah mahasiswa programstudi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana yang mengambil fokus linguistik.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum. memperoleh gelar sarjana di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar pada 31 Desember 1985; sejak 1 Maret 1987 diangkat menjadi dosen tetap di almamaternya; memperoleh gelar magister di Program Studi Ilmu Sastra, Bidang Kajian Utama Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung pada 12 Desember 1995. Pernah menjadi Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Udayana, Denpasar (2011--2017).

Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suparwa, M.Hum. memperoleh gelar sarjana di Universitas Udayana tahun 1984, gelar magister kebahasaan pada Universitas Hasanuddin tahun 1993, gelar doktor Linguistik tahun 2007 dari Universitas Udayana, dikukuhkan sebagai guru besar bidang fonologi tahun 2010. Judul disertasinya “Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal.” Sekarang bertugas sebagai dosen S1 Sastra Indonesia, S2 Linguistik, dan S3 Linguistik di samping sebagai Wakil Dekan 1 FIB Unud.

116